• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

B. Menjadi Konsumen Hijau

4. Sampah

Produksi sampah tidak terelakkan dari kegiatan berkonsumsi, baik ketika momen berbelanja hingga pasca berbelanja, ada sampah yang dihasilkan

dalam berbagai bentuk. Ada beberapa jenis macam sampah dan pembagian ini membedakan juga perlakuan penanganannya.

a. Sampah Organik

Sampah organik didapat dari sisa makanan dan sisa bahan pembuat makanan, semua partisipan mengatakan sampah-sampah organik ini diolah menjadi pupuk kompos. Namun cara mengkomposnya berbeda-beda. Ibu Dian dan Mbak Aminah langsung menaburkannya begitu saja di antara tanaman-tanaman dan pepohonannya, dan menurut mereka cara itu cukup berhasil sebagai pupuk bagi tanaman. Pak Soleh mengolahnya menjadi pupuk kompos dengan cara yang lebih profesional. Pupuk ini digunakan di kebun-kebun organik di Green Family, demikian pula dengan Mbak Nisa di kebun Warung Salad.

Mbak Nana membuat pupuk kompos dengan mengumpulkan terlebih dahulu sisa biji dan kulit buah dari buah-buah yang ia konsumsi, terutama buah-buah yang ia pakai sebagai minuman infus water. Sisa buah-buah itu kemudian difermentasi dengan cara sederhana, dan setelah menghasilkan aroma alkohol pupuk itu dapat dipakai untuk berbagai tanaman yang ia pelihara.

Umumnya sampah organik tidak dikhawatirkan, karena sampah-sampah ini dapat “dihabiskan” oleh alam tanpa harus ada usaha keras manusia untuk mengolahnya. Tapi agar efektif, sisa makanan diolah dengan cara-cara tertentu supaya menghasilkan pupuk organik.

b. Sampah Plastik

Jika sampah organik tidak terlalu dikhawatirkan, beda halnya dengan sampah anorganik. Sampah anorganik menjadi kekhawatiran besar karena sulit terurai di alam. Ia membutuhkan waktu yang sangat lama, dan sebagian besar mengandung bahan yang beracun dan berbahaya. Karena itu cara partisipan menanganinya harus berbeda.

Aku suka sekali sama teknologi refill ya, isi ulang itu, karna itu cukup gerakan yang ramah lingkungan juga sebetulnya daripada beli botol terus gitu kan, trus ada yang refill dengan plastik yang tebal gitu. Nah kemasan refill itu s’lalu kusimpan, minyak 2 liter, 1 liter, pelembut, pengepel, kotak milo 1 kilo, kemasan-kemasan kartonnya, sereal kayak gitu, itu kupisahkan di dalam plastik-plastik yang berbeda.”

(Wawancara dengan Mbak Aminah tanggal 5 Oktober 2015)

Mbak Aminah mengelompokkan sampah anorganik berdasarkan jenisnya masing-masing, karena harusnya ada perlakuan berbeda terhadap tiap jenis barang. Namun pembedaan perlakuan itu tidak mudah terwujud. Kesulitannya adalah karena tidak ada infrastruktur untuk mendukung hal itu. Tidak ada tempat pengelompokan sampah di luar rumah mereka. Bahkan sebelum sampai di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), para petugas pengumpul sampah menyatukan kembali semua jenis sampah itu.

“Kita udah tau ini sampah apa, sampah bungkus obat itu kan

aluminium foil, trus ada sampah plastik, tapi masalahnya ya nggak ada fasilitas yang mendukung, kita udah misahin nih tapi nantinya pas dibawa ke tempat sampah sana digabungin lagi aja jadi satu. Kan artinya yang kita perbuat percuma deh, toh dijadiin satu.”

Keluhan yang disampaikan oleh Mas Farah juga dialami oleh semua partisipan. Umumnya sampah rumah tangga diambil setiap pagi oleh para petugas yang diatur oleh kelurahan. Sampah-sampah ini akan diangkut dengan satu bak pengangkut saja sehingga sampah-sampah yang telah dipisahkan akhirnya digabungkan kembali menjadi satu. Ternyata pengelompokan sampah hanya sampai pada individu saja. Hal seperti ini menjadi resiko yang harus dihadapi jika persoalan lingkungan hidup dibatasi dalam tataran individu saja.

Akhirnya “harapan” penanganan jenis sampah ini dialihkan kepada bentuk lain, dan jenis sampah plastik menjadi isu dominan dari semua jenis sampah anorganik. Meski ada banyak jenis sampah anorganik yang dianggap berbahaya dan beracun, plastik adalah jenis sampah yang paling ditakuti keberadaannya. Hal ini dikarenakan sampah plastik adalah jenis terbanyak di Indonesia, disebut sebagai penyebab banjir besar yang melanda Jakarta di awal tahun 2013. Sampah plastik juga dinyatakan sebagai penyebab kematian hewan-hewan di hutan dan laut.

Mbak Nisa dan para karyawan di Warung Letusse memilih membakar sampah plastik dengan pertimbangan membakar adalah pilihan terakhir, sekaligus mencegah sampah plastik itu terbawa ke hutan, sungai dan laut. Mbak Nana memilih memakai kembali botol-botol plastik air kemasan dan beberapa jenis sampah plastik yang kuat untuk menjadi pot-pot tanaman.

Ibu Dian mengelompokkan sampah-sampahnya agar tetap bisa dipungut oleh para pemulung sampah sebagai sampah daur ulang. Kemasan botol plastik biasanya dipungut oleh pemulung sampah dan dijual ke pengusaha pengepul sampah bekas dengan harga yang sangat murah. Yang umumnya terjadi adalah sang pemulung tetap berada dalam keadaan miskin sementara sang pengusaha pengepul sampah-sampah bekas bisa dikategorikan kaya. Dan Mbak Aminah pernah mengelompokkannya agar dipakai ulang menjadi barang kerajinan.

“Dulu aku pernah punya kenalan dekat yang ngolah limbah, sampah yang udah aku pisahin aku kasih ke dia, kemudian sama komunitas yang dia bina dibuat macam-macam produk, dibikin tas, agenda, dijahit lagilah kayak itu. Tapi sekarang dia gak membina kelompok pengolah lagi, yang aku belum temukan sekarang adalah bank sampah. Kabarnya di dekat area rumahku aku dengar ada bank sampah, tapi aku belum nemuin sih. Menarik juga sebetulnya bagaimana sampah itu dinilai punya value ekonomi, kalau misalnya orang desa disadarkan pada value ekonomis dari sampah pasti orang akan lebih bijak memperlakukan sampah. Dihitung perkilo kan lumayan, misalnya perkilo 5 ribu, dikali 3000 kan itu duit gitu loh, daripada kamu buang akhirnya cuman ngerugiin orang lain kan bikin kumuh juga.”

Nilai ekonomi pada sampah memang salah satu kabar yang dibawa wacana lingkungan era neoliberal di Indonesia. Media juga sering mengabarkan kesuksesan individu-individu pengubah sampah menjadi uang. Mbak Aminah juga menerima kabar itu dengan memposisikan yang lain sebagai keluarga yang keuangannya bisa ditopang oleh

sampah. Ia menyebutkan yang lain sebagai orang desa yang perlu disadarkan, sementara orang kota dianggap mampu secara ekonomi dan menyumbang sampah-sampah bernilai ekonomi itu.

Kemasan-kemasan beberapa produk memang berasal dari kemasan plastik yang kuat sehingga dapat dijahit dan dikreasikan sebagai barang tertentu dengan kegunaan tertentu pula. Yang paling penting adalah ia dapat dijual kembali. Persoalan pemanfaatan sampah menjadi “barang baru” justru memberi logika bahwa konsumsi berlebihan itu tidaklah masalah, selama ia dapat diolah kembali sebagai barang ramah lingkungan. Maka semakin banyak-lah acara pameran dan

fashion show yang digelar dengan memakai kemasan plastik sebagai

bahan dasar untuk macam-macam tas, pakaian serta asesoris.

Tapi dari manakah bahan-bahannya didapatkan? Mas Farah, mahasiswa pasca sarjana yang aktif sebagai aktivis sebuah komunitas hijau, mencurigainya sebagai tindakan yang sudah lain sekali dari semangat awalnya.

“Ada yang bikin tas dari plastik-plastik itu, kayak kerajinan gitu, bagus sih, tapi kadang tak tanya itu dari mana bahannya, ‘wah itu mas beli bahannya, katakanlah bungkus-bungkus kopi kayak gitu, dibuka, dibikin, trus dikumpulin’, jadi sama aja saya pikir, jadi bukan sampah yang memang sudah terlanjur ada gitu lho. Maksudku gaya hidup hijau itu mengurangi konsumsi kita sehari-hari, jangan berlebih, kalo sehari 2 bungkus umpamanya, ya udah 2 bungkus. Tapi kalo gini, kopinya dibeli supaya bungkusnya mau diambil, baru kopinya dibikin. Maksud saya, ya udah beli kopi 2 bungkus

sehari, bungkusnya jangan dibuang, dikumpulin, jadi sampah yang terlanjur sudah ada yang dimanfaatin gitu lho. Bukan yang ‘eh ada permintaan ini’ bukan menuruti permintaan pasar. Saya mikir kayak gini akhirnya, udahlah nggak apa-apa beli, kan ada kerajinan dari botol-botol itu, ya udah nggak apa-apa beli botolnya, nanti botolnya dikumpulin, nanti ada kok yang ngelola, akhirnya kan nggak ngurangin nggak apa-apa.”

(Wawancara dengan Mas Farah tanggal 19 November 2015)

Kecurigaan Mas Farah ini tentu beralasan. Tapi, jika satu buah tas tangan wanita dibuat dari sisa kemasan kopi instan yang berukuran kecil-kecil, berapa banyak dan berapa lama sampah-sampah ini harus dikumpulkan? Karena itu bukankah akhirnya “wajar” jika ada yang tak bisa bersabar menunggu jumlah sampah tercukupi? Apalagi jika memungut sampah kemasan dari tempat sampah, bukankah sebagian besar sampah-sampah kemasan itu kotor dan tidak higienis?

Tentu tidak semua “pengrajin bahan kontemporer” ini membeli bahan dasarnya, ada yang memang sungguh memanfaatkan sampah yang terlanjur ada. Mbak Tika adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki sebuah rumah yang disewakan kepada mahasiswa (kost), dari para mahasiswa inilah ia mendapatkan sampah-sampah botol plastik. Di kelurahan tempat ia tinggal disediakan Bank Sampah sebagai tempat warga menitipkan sampah yang memiliki nilai ekonomi. Sejak awal tahun 2015 ia tidak lagi menitipkan sampah-sampah itu ke Bank Sampah

karena harganya yang semakin lama semakin murah. Ia kemudian mengolahnya menjadi macam-macam asesoris.

Lantas kemana asesoris itu dijual? Macam-macam karya asesoris yang ia hasilkan dititip ke beberapa tempat, misalnya di PAUD milik kelurahan, gereja, serta di kantor kelurahan. Yang dipajang di tempat itu bukan hanya karya-karya Mbak Tika, namun juga macam-macam tas, pakaian plastik serta berbagai hiasan rumah tangga dan asesoris karya ibu-ibu di sekitar kediamannya. Nyatanya semua barang-barang ini susah terjual.

Situasi menjadi lebih baik jika Badan Lingkungan Hidup (BLH) mengadakan pameran tentang penyelamatan lingkungan hidup melalui Bank Sampah. Pameran ini biasanya dihadiri oleh beberapa pejabat daerah, pihak swasta serta warga negara asing. Disinilah barang-barang kerajinan dari sampah itu akhirnya terjual. Pameran selesai, penjualan pun kembali ke keadaan semula. Karena itu Mbak Tika berupaya mengikuti hampir semua kegiatan pameran yang diselenggarakan oleh BLH, karena tanpa BLH pasar untuk barang-barang itu tidak ada.70

Pertengahan tahun 2015 Mbak Tika akhirnya “masuk koran” karena “berjasa” dalam mengubah sampah menjadi uang, demikian judul artikel koran lokal tentang usaha asesoris itu. Sejak itu Mbak Tika pun mendapat pekerjaan baru. Ia ditunjuk oleh BLH sebagai “pelatih” 70Wawancara dengan Mbak Tika tanggal 21 Oktober 2015.

untuk mengajar dan memotivasi ibu-ibu di berbagai kelurahan dalam membuat kerajinan asesoris dari botol-botol plastik bekas.

Upaya terstruktur untuk membuat sampah bernilai ekonomi itu nyatanya tidak memberikan sebaran uang lebih adil. Pengusaha pengepul sampah-sampah daur ulang bisa menjadi kaya asal memiliki modal yang besar untuk menyiapkan lokasi pengumpulan sampah, truk pengangkut barang, dan karyawan. Demikian juga pengrajin barang bekas bisa menjadi kaya asal “beruntung” memiliki kedekatan dengan BLH agar bisa mengikuti pameran-pameran di dalam dan di luar negeri. Beda nasibnya dengan pemulung dan ibu rumah tangga biasa yang tidak beruntung.

Nilai ekonomi sampah tetap dipercaya karena ada kelas elit – pejabat BLH, pengrajin kaya dan pengusaha barang bekas- mendapatkan manfaat besar darinya, baik berupa modal sosial maupun modal ekonomi. Sementara bagi penduduk miskin mereka tetap mengumpulkan barang-barang itu karena bagaimanapun juga, seberapapun kecilnya uang tersebut, dibutuhkan untuk penghidupan sehari-hari. Di luar itu yang pelan tapi pasti diterima adalah nilai ekonomi pada sampah. Sehingga seperti yang dikhawatirkan oleh Mas Fahmi, berkonsumsi berlebihan itu tidak apa-apa, toh akan ada orang yang mengolahnya menjadi barang baru yang bisa dijual kembali.