• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

B. Menjadi Konsumen Hijau

3. Makanan Organik

Tanggal 22 April 2016 beberapa aktivis hidup hijau dari berbagai komunitas hijau Yogyakarta berkumpul membicarakan sumbangan makanan pribadi kepada pelestarian lingkungan. Diskusi itu bertema sangat jelas: Jaga Lingkungan Dari Meja Makan. Yang menjadi sorotan utama diskusi adalah

pertanian sebagai sumber pangan dan perilaku individu sebagai konsumen pangan.

Para pemateri dalam diskusi ini menyatakan ada 3 persoalan utama terkait lingkungan hidup dengan pertanian dan kehidupan para petani di Indonesia. Yang pertama adalah situasi pertanian konvensional yang menjauhkan petani dengan konsumen. Situasi ini membuat petani berada dalam lingkaran setan kemiskinan, membuat konsumen tidak bisa mendapatkan pangan yang sehat dan segar, serta faktor transportasi dari petani ke konsumen menyumbang polusi udara dan pemanasan global.

Yang kedua adalah sikap para petani yang tidak mau menikmati hasil pertaniannya sendiri. Para petani dianggap menjual seluruh hasil pertanian mereka untuk kemudian membeli lagi bahan makanan dari tempat lain dengan kualitas dan harga lebih rendah. Situasi ini dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan keluarga petani memiliki kesehatan yang buruk, selain faktor lingkungan pertanian yang dipenuhi pestisida dan pupuk sintetis.

Dan masalah ketiga adalah kurangnya komitmen dan kemampuan masyarakat sebagai konsumen dalam mengolah dan menghargai makanan. Ketidakmampuan ini menciptakan situasi ironik. Bahwa di tengah-tengah krisis pangan ternyata sepertiga bahan makanan dibuang menjadi sampah dan menyumbang persoalan lingkungan hidup urban.

Untuk mengatasi ketiga persoalan tersebut, para aktivis ini mengusulkan untuk memulai sistem pertanian natural dan menjadi konsumen pertanian natural. Sistem pertanian natural adalah sistem pertanian yang memotong jalur distribusi hasil pertanian dari petani sebagai produsen kepada masyarakat sebagai konsumen. Selain itu petani harus menolak pemakaian pestisida dan pupuk sintetis dan menggantinya dengan pupuk organik.

Sistem ini akan memotong jalur transportasi serta distribusi yang sangat panjang, yang membuat harga pangan menjadi mahal dan menyumbang polusi udara. Jadi sistem ini mempertemukan secara langsung antara si petani sebagai produsen dengan konsumennya. Selain itu diharapkan para petani mengalami perubahan sikap dengan menjadi konsumen pertama bagi hasil panennya sendiri. Jadi mereka hanya akan menjual panen yang berlebih, yaitu saat kebutuhan keluarganya sendiri sudah terpenuhi.

Salah satu pemateri, Komunitas Teman Berkebun memberikan usul agar para peserta diskusi tidak lagi hanya menjadi konsumen. Mulailah menjadi petani urban yang menghasilkan sendiri bahan pangannya melalui kebun pribadi. Komunitas ini menyatakan sikap itu dapat mendorong kesehatan para petani karena petani kota ini akan menjadi pihak pertama yang menikmati hasil panennya.

Sementara untuk mengatasi masalah ketiga, Mbak Susi dari Warung Salad menyesalkan mengapa jarang sekali ditemukan petani yang sekaligus memiliki keahlian mengolah hasil pertanian menjadi makanan yang menarik. Mereka mencontohkan seorang rekan mereka di komunitas pangan organik, yaitu Mas Bimo, petani sekaligus artisan Tahu. Ia menyebut Mas Bimo sebagai petani urban yang hebat dalam menanam kedelai

organik dengan bibit non GMO (genetically modified organism), sekaligus

hebat pula mengolahnya menjadi Tahu organik. Mas Bimo juga disebutkan hebat dalam mengolah Tahu-Tahu buatannya menjadi aneka bentuk makanan yang enak dan variatif sehingga keluarganya tidak bosan memakan Tahu.

Karena itu salah satu cara mengatasi masalah lingkungan dari pangan adalah setiap warga Indonesia harusnya memiliki kemampuan untuk mengolah bahan pangan menjadi makanan enak. Kemampuan ini akan menjadi faktor utama yang membuat makanan tidak akan terbuang sia-sia, seperti yang juga mereka lakukan. Jadi demikianlah upaya menjaga lingkungan yang dimulai dari meja makan sendiri.

Warung Salad adalah sebuah warung makanan organik yang mulai berdiri sejak tahun 2011, digawangi oleh 3 orang aktivis hidup hijau yang aktif dalam jaringan komunitas pangan organik di Yogyakarta. Warung Salad berkembang seiring waktu dan kini mereka memiliki karyawan sebanyak 7 orang. Awalnya Warung Salad memang hanya menjual sayur

Salad, namun kini mereka juga menjual jenis pangan lain seperti Nasi Sorgum atau juga Nasi Coklat Pecah Kulit. Salad dan berbagai jenis olahan sayur tetap menjadi dagangan utama, dengan nama-nama menu yang sebagian besar memakai bahasa asing.

“Kita jualan salad tujuannya supaya orang mau kenal dan mau makan sayur, setelah itu punya target lebih, kita bikin terintegrasi, kita produksi sendiri, warung dan kita nanam sendiri gitu. Itu sudah terlaksana, setelah sekian lama. Habis itu setelah ini gimana caranya kita nggak cuman jualan, kita pengen siapapun yang berhubungan dengan kita sejahtera. Mulai dari petaninya, gimana petaninya juga tau tentang kita, tau produk diri sendiri dan apa manfaatnya bagi dia, dan segala macemnya gitu. Di agamaku, Islam, diharuskan untuk mencari uang halal ya, bukan hanya nyari uang saja tapi semua harus ada pertanggung-jawabannya dari awal sampe akhir. Karna kita jualan makanan otomatis harus memikirkan orang, kita tau dari mana asal bahan makanan dan gimana, dimana dan bagaimana itu diolah, dari produsen sampe ke hulu ke hilirnya. Kita juga bikin menu warteg ya, itu murah sekali, tujuannya karna kita pengen sehat itu untuk semua, jadi semua bisa makan makanan yang sehat”

(Wawancara Mbak Nisa Warung Salad tanggal 4 April 2016)

Ada misi besar dibawa Warung Salad yang menyangkut kepentingan orang-orang di sekitar mereka. Misi besar itu menyangkut kesehatan para konsumen, kesejahteraan para karyawan dan kesejahteraan para petani yang menjual bahan pangan organik kepada mereka. Namun misi besar inilah yang akhirnya membuat harga Rp 40.000,- untuk 1 porsi makanan menjadi harga yang tidak lagi mahal.

Konon makanan yang sehat itu wajar mahal, karena hampir setiap hari televisi menayangkan makanan murah yang dibuat dari bahan dan cara yang berbahaya. Mbak Nisa menyatakan bahwa menu warteg di Warung Salad seharga Rp. 15.000,- adalah harga yang sangat murah. Seseorang pernah berkomentar di Instagram Warung Salad bahwa menu

Meal Plan 5 kali seharga Rp. 200.000,- adalah harga yang sangat murah.

Menurutnya sangat jarang ada makanan organik diberi harga semurah itu. Makanan seharga Rp. 15.000,- dan Rp. 40.000,- disebut menjadi tidak mahal karena makanan itu digolongkan makanan organik yang sehat. Tapi klasifikasi seperti ini bukankah justru menegaskan bahwa makanan organik sewajarnya memang mahal?

Usaha Warung Salad dapat menyehatkan konsumen, mensejahterakan para petani dan karyawan tentu dianggap sebagai proses yang masih dan akan terus berjalan. Namun dalam diskusi Jaga Lingkungan Dari Meja Makan, seorang aktivis jaringan pangan organik menyesalkan sikap 80% petani organik di sekitar lereng Gunung Merbabu yang justru menjual seluruh hasil pertaniannya tanpa sempat menghidangkannya bagi keluarganya sendiri. Ternyata sikap para petani konvensional yang disesalkan sebagai salah satu sumber masalah lingkungan juga terjadi pada petani organik.

Warung Salad mendapatkan bahan makanan dengan 3 cara, cara pertama adalah dengan menanam sendiri. Satu dari 3 tim inti Warung

Salad berperan sebagai petani di lahan mereka yang berukuran 1500 meter. Di sinilah mereka menanam hampir semua bahan pangan yang dibutuhkan dengan sistem pertanian organik. Cara kedua adalah membelinya dari para petani organik, diantaranya adalah para petani organik di sekitar Gunung Merbabu. Dan cara ketiga adalah mendapatkannya dari jaringan aktivis makanan organik.

Para personil Warung Salad memang sudah dikenal di jaringan komunitas pangan organik karena sudah cukup lama bergabung dan terlibat di dalamnya. Bahkan jaringan komunitas pasar organik adalah salah satu lokasi pertama mereka menjual dan membeli bahan pangan yang dibutuhkan, meski kini mereka sudah membangun tempat sendiri dan terpisah dari lokasi pasar organik.

Mbak Arma adalah salah satu pedagang yang masih aktif ikut di pasar organik. Sudah 4 tahun Mbak Arma membuat dan menjual macam-macam roti siap konsumsi dan roti dasar dengan label Taman Roti. Sebagian besar roti-roti itu bernama asing; roti sourdough, roti tawar, roti baguette, roti pain de campagne, burger bun, pizza vegetarian, roti gandum, cinnamon roll, roti greentea, roti galaxie. Label vegan ia tetapkan pada roti-roti ini karena bahan-bahan pembuatan roti-roti ini ia nyatakan bebas dari produk hewani, semua bahan berasal dari produk nabati.

“Aku nggak pakai telur dan minyak sayur, aku pakai minyak kelapa, gula putih aku nggak pakai. Gula putih itu ada unsur kimianya, kalo gula batu kan pakai benang prosesnya. Kalo gula

putih itu dari kotor trus dibersihkan ada dikasi tambahan zat pemutih gitu. Jadi aku pakenya gula semut aren, mentok gula batu. Tapi kebanyakan gula semut aren, karna lebih alami. Trus pakenya garam laut bukan garam dehidranasi. Ragi roti aku buat dari tumbuhan, aku buat sendiri mulai dari biangnya.”

(Wawancara Mbak Arma di Pasar Organik tanggal 19 Februari 2016) Menguraikan jenis-jenis bahan apa saja yang dipakai untuk membuat sebuah roti menjadi penting karena di situlah terletak jaminan roti itu dapat digolongkan sebagai makanan sehat. Memakai minyak kelapa dan bukan minyak sayur, memakai garam laut dan bukan garam rafinasi yang mengandung MSG, serta memakai gula aren atau gula batu dan bukan gula putih yang mengandung bahan kimiawi buatan. Bahan-bahan ini dibedakan, dibandingkan dan dipakai sebagai penjamin kualitas roti. Dan sebagai seorang vegetarian, menolak memakai telur sangat penting bagi Mbak Arma. Baginya proses produksi telur menggunakan segala bentuk kekerasan terhadap hewan demi keuntungan materi manusia.

“Telur itu kan dikasi obat untuk makannya, ayamnya dipaksa bertelor, nggak berprikemanusiaan, bahkan ayam kampung sekarang banyak udah pake obat kan. Kolesterolnya tinggi. Animal abuseaku nggak suka. Tapi aku nggak ikut Animal Friend

gitu, cuman mendukung gerakan semacam itu. Aku mendukung gerakan dengan cara menjual roti itu tidak memakai produk

yang animal abuse. Dia ngambil untung dari hewan, hewannya

nggak nerima apa-apa. Katakanlah penjual daging gitu ya, hewan mengorbankan diri buat majikannya, dia yang berkorban majikannya yang dapat duit, nggak adil kan, bagiku itu

traficking. Aku pikir manusia, hewan, sama aja, itu traficking. Jadi mengorbankan sesuatu demi keuntungan sendiri. Jadi aku pikir aku nggak mau ikut disitu, memberantas mungkin nggak bisa, tapi kan setidaknya mengurangi.”

Semua daftar bahan pembuatan roti ini penting bagi Mbak Arma, menurutnya dengan cara itulah ia melibatkan diri dengan upaya menyelamatkan lingkungan. Di waktu yang sama, upaya ini justru menjadi “alasan” roti-roti ini dijual dengan harga yang bahkan lebih mahal daripada harga roti-roti yang dijual di mall. Karena upaya itu pulalah, Taman Roti sangat ramai didatangi pengunjung.

Bukan saja stan Taman Roti, stan lain di pasar organik ini juga sama ramainya. Pada awalnya pasar organik ini hanya berdagang di satu lokasi di daerah Jalan Parangtritis, di sebuah restoran vegan. Kemudian karena semakin banyak yang bergabung sebagai pedagang dan pembeli, maka pada tahun 2014 para pedagang di komunitas ini membentuk pasar berjalan tiban dan menamakan dirinya sebagai pasar organik. Pak Heri, kordinator pasar ini mengatakan bahwa pasar organik ini dibentuk dengan tujuan kedaulatan pangan, yaitu menciptakan masyarakat yang petani hingga konsumen-nya mendapatkan makanan yang sehat, baik, lokal dan murah67.

Tujuan besar ini coba dicapai dengan cara mempertemukan secara langsung produsen pangan yaitu petani yang menanam dan artisan yang membuat makanan siap konsumsi dengan para pembelinya. Cara ini dianggap sebagai jalan untuk memutus rangkaian kapitalis yang diwakili 67Dokumentasi DAAI TV, dilihat pada https://www.youtube.com/watch?v=yUD0CKOLPnQ.

oleh tengkulak dan distributor. Karena itu pasar ini diisi oleh aneka bahan pangan sayur-sayuran organik, beras, kecap, serta bahan pangan lain dengan label organik. Termasuk didalamnya makanan siap konsumsi seperti nasi dan lauk-pauk, hingga kue-kue tradisional dan roti-roti bergaya dan berbahasa asing.

Pak Heri dan Pak Soleh mengatakan pertemuan antara produsen dan konsumen di pasar ini penting untuk membangun komunikasi. Yaitu perbincangan yang saling menginformasikan asal-usul bahan pangan yang dijual serta bagaimana cara-cara kreatif mengolahnya. Bagi Pak Soleh, informasi ini adalah hak para konsumen. Pernah tanpa sengaja saya mendengar seorang pembeli bertanya kepada pedagang Tahu Goreng Organik, “Eh, ini gorengnya pake minyak sawit gak?” Dan si pedagang langsung menjawab dengan amat sopan, “Hahaha enggak, Mbak, disini nggak bisa, ini semua bahannya pake organik, tepungnya juga organik, Mbak”.

Yang dimaksud “disini” adalah di komunitas pasar organik itu, pasar yang mewajibkan setiap pedagang memakai bahan-bahan tertentu saja. Yang wajib diperbincangkan adalah bahan-bahan apa saja yang dipakai si pedagang, yaitu bahan-bahan yang dijadikan sebagai standar makanan organik dan sehat. Dengan perbincangan itu pasar organik diidentikkan sebagai pasar yang diisi oleh orang-orang yang baik, tidak seperti

supermarket yang diisi oleh manusia-manusia yang berada di tempat yang sama namun tidak akan saling berbincang satu dengan yang lain.68

Meski baru dibentuk pasar ini sudah cukup terkenal dan terbilang sangat ramai. Dengan durasi waktu hanya sekitar 3-4 jam saja, makanan dan bahan pangan umumnya habis terjual. Label organik adalah faktor utamanya, ia berfungsi untuk kesehatan konsumen dan penyelamat lingkungan. Mbak Kiki mengatakan kesehatannya semakin membaik sejak berbelanja rutin di pasar ini.69Mbak Nana juga demikian, faktor riwayat ibu yang terkena kanker membuat ia memutuskan menjadi seorang vegetarian dan menjadi konsumen tetap. Menurutnya, kesehatan, penyelamatan lingkungan serta keadilan ekonomi bagi para petani dan konsumen adalah janji yang dimasukkan ke dalam label pangan organik.

Namun demikian baik Pak Soleh, Mbah Nisa maupun Mbak Arma mengatakan bahwa mereka lebih memilih menyebut kata “natural” daripada kata “organik”.

“Kalau kita terpaku sama yang namanya organik susah juga. Di Indonesia kalo nyari yang 100% organik nggak ada ya, susah. Karna yang namanya organik itu sertifikasinya mulai dari tanah, air, udara, berapa polutannya, dan segala macam jadi kan dihitung, apalagi harus ada radius sekian meter bebas dari kimia dan lain sebagainya. Kan itu di persyaratan organik juga ada. Sebenarnya itu untuk idealnya tanah ya kita kombinasi terus. Apalagi makanan organik itu harus ada sertifikasinya juga, tau sendiri kan di Indonesia kayak apa kalo ngurus sertifikasi. Jadi kita lebih memilih kata natural, nanamnya tidak pake pestisida

68Wawancara dengan Pak Soleh tanggal 7 April 2016.

dan pupuk kimia. Yang penting kita tau teman petani nanamnya kayak apa.”

(Wawancara dengan Mbak Nisa tanggal 4 April 2016)

Pak Soleh, yang juga berdagang di pasar ini, bahkan menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengatakan produksi tanaman mereka sebagai jenis makanan organik. Alasannya adalah tidak ada hal yang bisa memastikan tanaman itu dapat 100% organik. Penyebabnya adalah semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, seperti air, udara, tanah, punya kemungkinan membawa polusi yang tak diinginkan. Bahkan

di areal steadhome miliknya yang berada di desa dan berdampingan

dengan hutan pun syarat 100% organik itu ternyata tidak bisa dipastikan. Meski demikian, sama seperti yang terjadi di warung Green Family, kata “organik” tetap dipakai sebagai nama pasar bagi komunitas ini, begitu juga pada semua makanan yang dijual. Dalam dokumentasi DAAI TV tanggal 17 Juni 2015 baik pedagang maupun konsumen yang diliput bahkan tidak ada satu kalipun menyebut kata “natural”, kata organik mendominasi di sepanjang durasi video 24 menit itu. Pengunjung atau konsumen baru tidak akan menemukan kata “natural” pada deretan bahan pangan dan makanan jadi yang dijual di sini. Kata “organik” melekat lebih kuat.

Masalah label organik memang kompleks. Lagipula di Indonesia bukankah hal yang biasa jika konsumen tidak berurusan, bahkan tidak perduli dengan sertifikat organik dan semacamnya pada barang yang dibeli. Karena itu jaringan komunitas ini terbilang cukup berhasil membangun

kepercayaan dan modal sosial sehingga para pengunjung dan pembeli merasa tidak keberatan dengan harga mahal yang ditawarkan.

Mbak Kiki mengatakan makanan dan bahan pangan di pasar ini terbilang murah jika dibandingkan dengan harga-harga makanan di supermarket. Para pedagang di pasar organik memang menyatakan bahwa supermarket adalah pasar yang jahat. Supermarket adalah salah satu yang menyebabkan petani menjadi miskin dan membuat konsumen membeli dengan harga mahal. Semua ini disebabkan oleh keinginan pemilik supermarket untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan informasi ini pasar organik membedakan dirinya, baik dengan pasar tradisional maupun dengan supermarket. Supermarket identik dengan harga yang mahal –seperti yang disebutkan Mbak Kiki, sedangkan pasar tradisional identik dengan bahan pangan dan situasi pasar yang tidak sehat dan tidak higienis.

Jika demikian apakah harga-harga di pasar organik murah sebagaimana yang mereka klaim? Mbak Aminah mengatakan harga-harga di pasar organik itu mahal. Katanya:

“Mengkonsumsi makanan organik itu mahal ya. Dan itu riil buat aku ketika bandingin misalnya beras biasa C4 10ribu, tapi kalo organik 14ribu, ngitung juga, udah gitu pakainya kan rutin. Ya itulah, kadang-kadang kita terbentur sama persoalan kayak gitu, walaupun sebetulnya dibanding manfaatnya tentu saja efek jangka panjangnya akan lebih bagus organik, tapi untuk bagian itu aku belum bisa.”

Pak Sugeng mengatakan harga-harga di pasar organik adalah layak dan pantas, layak dan pantas untuk barang-barang sehat dan berkualitas. Mbak Nana sebagai pengunjung rutin mengatakan harga di pasar komunitas organik ini memang lebih mahal daripada harga-harga di pasar lain. Namun menurutnya harga mahal itu setara dengan “misi besar” yang sedang diusung dan diperjuangkan oleh pasar komunitas itu. Harga mahal itu menjadi layak dan pantas untuk membeli sebuah “misi besar”, misi inilah yang sebenarnya sedang dibeli.

“Kalo ketemu komunitas ini, kita tau oh, ternyata relasi antar manusia itu masih baik ya, ternyata ada orang-orang yang memperlakukan sesama dengan baik, relasi dengan alam juga bermasalah toh sekarang, ini ada orang yang berelasi dengan alam dengan cara yang baik. Lagipula yang jual langsung petaninya, kenapa lebih mahal ya karna perawatannya lebih, dan disitulah letaknya keadilan kan. Itu juga memotivasi dia untuk menjual tidak tanaman yang biasa, kayak sayur-sayuran yang aneh-aneh kayak gitu, ya biar nggak dibanding-bandingin juga kan, mungkin nggak ada di tempat lain, banyak petani lain yang buahnya masih banyak macam-macamnya kan, lucu-lucu, seger-seger dan banyak jenisnya.”

Bagi Mbak Arma harga makanan di pasar organik dapat terbilang murah karena ia membandingkannya dengan harga jajanan makanan di

supermarketdanmall. Pernyataan ini benar dan salah. Benar karena harga sepiring Pizza di Pizza Hut bisa mencapai Rp 100.000,- dan harga segelas kopi di Starbucks mencapai Rp 70.00,-, lebih mahal daripada harga beras dan sayur-sayuran di pasar organik. Namun salah karena nyatanya harga

roti-roti yang dijual Mbak Arma berharga sama –bahkan lebih mahal-dengan harga roti-roti bermerk terkenal yang membuka gerainya dimall.

Lagipula meski sangat mahal, Pizza dan kopi Starbucks bukanlah makanan rutin, hanya sesekali saja dicicipi sambil nongkrong bergaya. Berbeda dengan beras, minyak, gula dan sayur-sayuran yang menjadi makanan harian. Disini pernyataan Mbak Aminah benar.

Harga-harga makanan dan bahan pangan di pasar organik itu mahal karena ia merupakan kebutuhan harian yang setiap hari harus dikonsumsi. Hanya bisa digantikan sesekali saja, dan bukan makanan tambahan yang cukup sesekali saja dicicipi. Tentu menjadi sangat mahal jika harus disiapkan oleh sebuah keluarga seperti keluarga Mbak Aminah.

Karena itu jika mengingat janji besar yang disematkan pada makanan organik, yaitu kesehatan dan keadilan bagi semua, maka pertanyaannya siapakah yang bisa mewujudkan janji ini? Ya, siapa lagi kalau bukan orang kaya. Dan jika mengingat visi besar yang diusung aktivis hijau tentang situasi pangan Indonesia, maka jika ditanya meja makan siapa yang bisa menyelamatkan situasi krisis pangan dan krisis lingkungan hidup di Indonesia? Ya, jawabnya meja makan orang kaya.