• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

A. Individualisasi

2. Kesadaran Diri

Kesadaran adalah kata yang paling sering muncul dari seluruh para partisipan. Kata “mulai dari kesadaran diri sendiri”, misalnya untuk mengungkapkan bagaimana gaya hidup hijau ini seharusnya dimulai, atau “masyarakat belum cukup sadar”, untuk menyatakan mengapa gaya hidup hijau tidak dilakukan oleh banyak orang.

Bagi Pak Soleh misalnya, gaya hidup hijau tidak memerlukan pendidikan tertentu untuk melakukannya. Menurutnya siapa saja bisa melakukannya, asal saja punya kesadaran diri.

“Karena itu self conscius, dari kesadaran diri, kalau saya merusak ini efeknya nanti ke saya lagi, kalau saya ngambil lebih nanti efeknya ke saya dan anak cucu saya lagi, itu conscius, itu kesadaran, ini yang sekarang hilang. Ini namanya local wisdom, kebijakan lokal yang sudah dihancurkan oleh teknologi dan

modernisasi. Kita bisa menggunakan teknologi modern, cuman dalam hal yang bagaimana. Misalnya media memproganda bahwa anak saya butuh susu kaleng padahal sampah semua. Saya pengen anak saya sehat makan tempe, padahal kedelainya GMO. Itu gimana kan? Ini tugas yang harusnya dilakukan oleh setiap government, padahal kan setiap rakyat dilindungi oleh negara.”

(Pak Soleh, wawancara, 7 April 2016)

Pak Soleh memilih kesadaran diri sebagai cara untuk “bertahan” di tengah situasi negara yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk hidup dengan sehat. Sementara Mbak Nana menggunakan kesadaran diri sebagai cara untuk menata hidupnya mendapatkan kebahagiaan dan memperlakukan alam dengan baik.

“Yoga itu sikap hidup, gaya hidup hijau itu juga. Bagaimana memperlakukan orang, memperlakukan alam, kayak gitu ya mulai dari sikap hidup. Awalnya itu pikiran, tidak ke perilaku langsung ya, saya ngapain saya pikir awalnya dari pikiran. Dari

bangun. Dari bangun itu yah mengumpulkan kesadaran, dari

sejak bangun sudah dipikirkan, hidup ini harus ada kesadaran. Terus ya aktivitas masak, apa yang kita konsumsi, belanja ke pasar, biji-biji buah yang ditanam lagi. Saya punya keyakinan dengan cara ini saya akan lebih sehat, lebih bahagia.”

(Mbak Nana, wawancara, 11 Oktober 2015)

Mbak Aminah mengungkapkan kesadaran sebagai: “berhentilah

berfikir kita hidup terpisah sama lingkungan kita, karna kita hanya hidup di planet bumi yang itu tok, nggak ada yang lain.” Kesadaran diri ini menuntun kepada informasi yang selalu dibawa dalam wacana gaya hidup hijau, bahwa ada yang salah dengan persoalan konsumsi manusia.

Gaya hidup hijau akhirnya melampaui soal konsumsi semata, ia

menjadi tanggung-jawab menata hidup. “Gaya hidup hijau itu soal

tanggung-jawab yang diberikan Tuhan pada kita untuk memelihara alam, juga harus mengingat bahwa bumi ini bukan milik saya sendiri, itu harus saya jaga, untuk anak cucu kita. Bumi ini bukan milik kita sendiri, kita harus memikirkan orang-orang lain di sekitar kita.”, kata Ibu Dian.

Kata “kesadaran diri” bagi Mas Hari bahkan cukup sebagai langkah awal untuk memulai sebuah gerakan penghematan energi dan mineral.

“Saya pribadi sadar betul bahwa sumber daya energi kita makin lama makin menipis, minyak bumi kita trus listrik makin lama makin mahal, sepenuhnya kami sadar kondisinya seperti itu

kan. Makanya karena kesadaran ini, melakukan hal-hal yang sederhana kayak matiin lampu, gak make motor secara berlebihan itu ya tinggal dilaksanain aja, gitu. Itu cuma path

kecil dari kesadaran yang udah kita bangun dari awal. Dan itu yang selalu saya dan teman-teman itu sampaikan ke masyarakat yang lain bahwa kalian sadar dulu, kalau misalnya kalian sadar ayo kitagerakinbareng dari hal yang sederhana.” (Mas Hari, wawancara, tanggal 4 Oktober 2015)

Sebagai aktivis dan pendiri komunitas SaveEnergy, Mas Hari menegaskan “kesadaran diri” tiap-tiap individu amat penting dalam sebuah kepentingan yang bersifat nasional. Maka apa sebetulnya yang dimaksudkan sebagai “kesadaran diri”?

Seluruh partisipan mengaku belum pernah “bertemu” langsung dengan bencana yang disebabkan oleh kerusakan alam. Dan meski beberapa partisipan memiliki alasan kesehatan yang bersifat personal,

ternyata ide gaya hidup hijau yang dilakukan berasal dari banyak sumber diluar pengalaman diri mereka. Ide itu berasal dari berbagai informasi yang dibaca di berbagai media, dari diskusi-diskusi yang dilakukan, serta lewat jaringan pertemanan dengan aktivis-aktivis hidup hijau.

“Aku hanya mengadopi konsep-konsep yang mereka kampanyekan lalu kemudian aku menerapkan sendiri gitu lho”, kata Mbak Aminah. Ia pernah berkunjung ke sebuah negara di Eropa dan menyaksikan cara berbelanja masyarakat disana. Maka ketika pulang kembali ke Indonesia ia pun mencoba melakukan yang sama. Sama seperti Ibu Dian yang mengatakan bahwa sebagai pendeta dan teolog, ia memiliki pengetahuan tentang konsep perdamaian manusia dengan Tuhan dan alam. Namun ide praktik gaya hidup hijau itu ia dapatkan dari berbagai informasi dan praktik pengaturan membuang sampah yang diterapkan saat ia bersama keluarganya tinggal beberapa tahun di Amerika Serikat.

Mbak Nana pernah bergabung dengan komunitas Teman Berkebun, kemudian bekerja di sebuah organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berkampanye tentang isu lingkungan hidup dan gaya hidup hijau, sehingga tentulah wajar jika ia pun melakukannya. Sebagian besar partisipan terlibat aktif dalam komunitas hijau, dan umumnya mereka melakukan sebagian besar hal yang dikampanyekan oleh komunitas itu.

Artinya mereka adalah subjek yang patuh kepada sebuah wacana tertentu sambil kemudian memproduksi sebuah budaya baru. Ada perpaduan antara informasi yang diketahui, praktik budaya yang diadopsi, yang kemudian dikompromikan, dicocokkan, dihindari atau bahkan dipakai untuk melegitimasi informasi-informasi yang didapat.

Karena itu kata “kesadaran diri” yang dimaksud oleh para partisipan ini tidak bisa diartikan sebagai -katakanlah sebuah perenungan panjang akan pengalaman tentang kehidupan pribadi bersama alam dan masyarakat lainnya. Bahkan “kesadaran” yang dimaksud “hanyalah” pengetahuan tertentu –atau bahkan sekedar informasi tertentu. Namun informasi dan pengetahuan itu sanggup menjadi kekuatan yang cukup besar untuk membuat keseharian itu tidak lagi dimaknai sama dengan sebelumnya. Keseharian itu kini mengalami penataan dan pemaknaan yang baru.