• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elemen Loyalitas Kepada Warga

Dalam dokumen 198e8947 8ee9 4450 89e6 805e4fc52e66 (Halaman 66-69)

Mari Belajar Menulis dan Membaca Media…

2. Elemen Loyalitas Kepada Warga

Chapter 3, Who Journalists Work For, page 50

Organisasi pemberitaan memang dituntut untuk melayani berbagai kepentingan konstituennya:

Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta

berfokus untuk menceritakan apa yang sebenar- benarnya terjadi. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

jurnalisme sejak 1919. Pelopornya Walter Lipman dan Charles Menz redaktur harian New York World. Mereka mengkritik berita-berita tentang Rusia saat itu yang menurutnya “hanya menuliskan apa yang ingin dilihat, bukan yang benar-benar terjadi”.

Menurut Kovach, di era internet dan social-media,

begitu deras dan cepat datangnya. Lipman memberi pertanyaan kunci pada hati masing-masing

jurnalisnya sebelum menulis berita:

Apakah saya tidak bersikap berat sebelah pada sumber-sumber saya?

Apakah salah satu pihak tidak gusar dengan tulisan ini?

Pemeriksaan keterangan saksi semaksimal mungkin akan menghindarkan pers menjadi “jurnalisme

ilmu peliputan, yang dikenal dengan “Lima Prinsip

1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada;

2) Jangan menipu/mengecoh pembaca; 3) Bersikaplah setransparan mungkin dalam

metode dan motivasi penulisan;

4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri;

5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

Kovach dan Rosenstiel juga menawarkan

itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist”, yaitu:

Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?

Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?

Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?

Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?

Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?

Apa ada yang kurang?

Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Jika jurnalis tidak mengetahui langsung peristiwa yang diceritakan saksi/sumber maka pembaca harus diberi tahu itu. Termasuk menuliskannya dalam judul. Lipman mencontohkan berita Lenin meninggal yang dikutip dari kata orang. Maka judulnya:

“Helsingfor Mengatakan Lenin Meninggal”. Bukan lantas ditulis “Lenin Meninggal” sebab wartawan tidak melihat langsung jenazahnya.

Waktu, lokasi, tanggal kejadian peristiwa menjadi

kantor pers AS menerapkan sistem kontrol sangat ketat. Misalnya harian Oregonian di Portland Oregon yang dikutip Kovach, wartawan Oregonian ditanya “Bagaimana Anda tahu?”, “Mengapa pembaca harus mempercayai ini?”, “Apa asumsi di balik kalimat ini?”

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer

sedekat mungkin. David Protess seorang Professor Medill School of Journalism dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen- dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

David Protess melatih mahasiswa anti asumsi. Jurnalis itu haram berasumsi! David Protess berhasil menyelamatkan lima calon terpidana mati setelah memeriksa ulang dokumen berbasis asumsi.

Keempat, pengecekan fakta ala Tom

French (pemenang Pulitzer 1998) yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana.

dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat. Dengan pensil warnanya, ia menandai mana yang opininya dan mana yang hasil wawancara narasumber. Seorang sumber di-check ulang latar belakangnya, terutama motif utama dia memberikan informasi. Kepentingan apa? uang? popularitas?

Pada proses penyuntingan itu seideal mungkin melibatkan reporter dan redaktur yang duduk berdampingan dan reporter membawa naskah aslinya. Jika jarak berjauhan, bias kadang muncul. Jawa Pos pernah mengalaminya.

Nooraini Jusoh (Nur Aini). Wawancara secara eksklusif itu dilakukan via telepon, mengingat Nur Aini ada di Johor, Malaysia. Satu bulan kemudian (10 November 2005), Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya dengan Nur Aini, beberapa hari setelah Azahari dilaporkan tewas dalam operasi penyergapan polisi di Villa Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Koran itu juga menggambarkan dialek Nur Aini kental dengan logat Melayu.

Kebohongan Rizal terkuak, ketika beberapa saat kemudian, stasiun televisi Trans TV menayangkan wawancara langsung dengan Nur Aini. Dalam tayangan itu, Nur hanya bisa berkomunukasi lewat tulisan tangan. Ternyata faktanya, Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak beberapa tahun sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker kelenjar thyroid, yang membuat pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan telah terungkap dari seorang jurnalis Jawa Pos yang

Setelah ketahuan memanipulasi berita, Rizal Husein kemudian dipecat dan Jawa Pos meminta maaf secara terbuka di halaman pertama. Rizal Husein mengaku tidak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam liputan terorisme.

Dalam dokumen 198e8947 8ee9 4450 89e6 805e4fc52e66 (Halaman 66-69)