• Tidak ada hasil yang ditemukan

NSPK SPM SPP SOP ISO Fokus ongkos

Dalam dokumen 198e8947 8ee9 4450 89e6 805e4fc52e66 (Halaman 147-155)

Tabel 1: Perbandingan inti jenis standar

NSPK SPM SPP SOP ISO Fokus ongkos

penerapan Tuntutan NSPK dapat berimplikasi biaya (e.g., pilihan teknologi) Jangkauan/ mutu sesuai target pencapaian yang diatur oleh Menteri2 Ongkos mengembang- kan SPP; SPP cenderung prosedural, namun mutu staf dapat berimplikasi dana Ongkos awal untuk mengembang- kan SOP Ongkos akreditasi dan monitoring secara berkala cukup tinggi Dasar hukum di daerah Kurang jelas kalau diperlukan Kurang jelas kalau diperlukan; terdapat Perda & peraturan KDH Masing- masing UPTD mempunyai panduan, dan service charter Pedoman internal UPTD/ dokumen akreditasi Dokumen akreditasi dari badan akreditasi Pelaporan/ pengend-alian Pelaporannya tergantung kategori dalam NSPK. Menteri2 seharusnya memonitor penerapan NSPK Pencapaian SPM dilaporkan kepada KDH dan kepada Menteri yang bersangkutan. Menteri memonitor pencapaian SPM Belum keluar PP yang akan menjelaskan. Sistem ombudsman? Kalau SOP intern saja – tidak ada pelaporan. Untuk yang berasal dari badan akreditasi, sesuai tuntutan badan Sesuai tuntutan ke badan akreditasi nasional (di bawah ISO) Sanksi untuk pengabaian Tergantung kategori NSPK

Belum jelas Belum jelas Badan akreditasi dapat tarik statusnya Badan akreditasi dapat tarik statusnya?

Sebagian standar merupakan kewajiban (NSPK/ SPM/sebagian dari SPP/sebagian dari SOP). Untuk sebagian SPP, SOP dan standar berkaitan akreditasi ISO, pengembangan atau penerapannya tergantung instansi/unit pelaksana – tidak ada keharusan yang berasal dari Pemerintah. Pencapaian atau penerapan standar sangat tergantung pada kapasitas aktor di daerah, dan jenis standar yang dihadapi. Ada standar yang menuntut kapasitas yang tinggi (misalnya beberapa SPM), dan ada yang lebih mudah diterapkan (berbagai SOP yang sepenuhnya dikembangkan secara intern). Kapasitas yang dimaksudkan termasuk aspek keuangan. SPM sangat berimplikasi pendanaan karena terfokus pada jangkauan/akses, mutu pelayanan, dan tata kelola. Beberapa dari SOP/ SPP lebih menekankan prosedur internal sebuah organisasi, dan tidak menuntut pendanaan yang besar untuk membenahi prosedur tersebut.

Penerapan berbagai standar juga dimudahkan oleh peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyentuh hal yang penting. Sebaliknya,

berbagai jenis standar. Misalnya, dalam UU

25/2009 masyarakt diberikan hak untuk mengajukan pengaduan kepada Ombudsman. Masih belum jelas apakah Ombudsman daerah juga dapat menangani pengaduan dari unit pelayanan pemerintah daerah/ UPTnya atau hanya Ombudsman yang dibentuk oleh Pemerintah.1 Lagipula, belum jelas apakah

1 Isu ini digugat oleh beberapa daerah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Perlu juga dicatat bahwa lembaga ombudsman belum terbentuk di semua propinsi dan

masyarakat yang kurang puas dengan pencapaian SPM dapat mengunakan jalur Ombudsman (Pusat atau Daerah) untuk pengaduannya. Selain contoh ini, banyak pertanyaan lain yang masih menunggu

secara terkait oleh pihak nasional yang berperan mensponsori berbagai jenis standar.

Dilihat secara menyeluruh, dapat dimengerti jika penerapan semua jenis standar secara simultan menjadi tantangan yang kurang layak diupayakan untuk kebanyakan daerah. Oleh karena itu, sebaiknya masing-masing daerah memutuskan secara bijaksana bagaimana memanfaatkan dari kekayaan standar yang didorong oleh berbagai “sponsor.”

c. Hakekat Jenis Standar

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)

Sebelum era desentralisasi dan reformasi, peranan unit dekonsentrasi (perpanjangan pemerintah pusat seperti Kantor Wilayah dan Kantor Departemen), sangat berperan di daerah. Perangkat daerah melaksanakan beberapa urusan, namun daerah diberikan ruang gerak yang terbatas. Peranan instansi di daerah, apakah “dekon” atau otonom, sering diberikan koridor yang agak sempit melalui pentunjuk pelaksanaan - Juklak (yang menekankan aspek peranan dan prosedural) dan petunjuk teknis (Juknis). Juklak biasannya dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri (pembinaan umum), sedangkan Juknis biasannya dikeluarkan oleh departemen-departemen sektoral (pembinaan

Dengan desentralisasi yang sangat dalam (dikatakan Big Bang oleh pengamat luar), kebanyakan urusan berkaitan pelayanan dasar/ pelayanan publik,2 diserahkan kepada kabupaten/ kota. Pedoman-pedoman yang dulu menjadi alat mendukung Kanwil/Kandep dan unit otonom di daerah, sebagian menjadi kurang relevan lagi (khususnya Juklak) mengingat perubahan drastis dalam sistem pemerintahan; dari pendekatan sentralistis ke pendekatan desentralisasi. Konsekuensinya, perlu disesuaikan berbagai juklak/juknis agar mencerminkan letak urusan dan hubungan kelembagaan baru, dengan terutama memperhatikan pembagian urusan pemerintahan yang diuraikan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah (awalnya dalam PP 25/2000, kemudian diperbaharui dalam PP 38/2007). Pedoman- pedoman baru, yang relevan bagi daerah, tidak lagi dinamakan “juklak/juknis,” melainkan diberikan singkatan “NSPK” (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria).3

Proses penyesuaian pedoman-pedoman tersebut telah mulai tahun 2007 (seharusnya diselesaikan pada 2009, sesuai ketentuan PP 38/2007), dan harus dilakukan dalam semua bidang urusan (31) yang tidak menjadi bidang esklusif Pemerintah.

2 Pelayanan dasar adalah “jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.” (Pasal 1(8) PP 65/2005)

3 Kecuali di Aceh, di mana peraturan perundang-undangan berkaitan otonomi khusus menyebutkan hanya “NSP”

Tentu, tidak semua urusan yang sekarang dipegang daerah perlu NSPK, atau perlu NSPK yang “berat/ tebal.” “Campur tangan” Pemerintah dalam urusan

pembagian urusan sebagaimana terdapat dalam PP 38/2007 tetap perlu penjelasan yang operasional. Kementrian-kementrian sebenarnya dapat dengan cepat menyelesaikan NSPK apabila mereka memanfaatkan (menyesuaikan) juklak/juknis yang telah ada agar mencermin pengaturan kelembagaan yang terdesentralisasi.

Terdapat departemen-departemen yang

dengan tetap mengunakan nama produk hukum yang lama. Misalnya, Kementrian Pendidikan Nasional mengunakan istilah Standar Nasional Pendidikan (SNP) untuk suatu paket standar yang telah lama dikembangkan dan telah familiar bagi

stakeholders sektor pendidikan. Terdapat juga

kementrian-kementrian yang mengeluarkan paket parsial atau lengkap yang diperbaharui dengan judul yang memuat istilah “NSPK.” Ternyata tidak ada cara yang baku dalam penyusunan instrumen kementrian tentang NSPK. Oleh karena itu, para

stakeholders perlu waspada; dapat terjadi bahwa

suatu kementrian mengeluarkan instrumen baru dengan judul “NSPK”, namun kementrian itu tetap menjalankan instrumen lain yang juga bersifat NSPK (yang juga disesuaikan atau mungkin masih lama/ kontradiktif).

diharapkan bahwa pembinaan dari Pemerintah diimbangi dengan hak otonomi daerah. Oleh

karena itu, praktek yang baik dalam menyusun/ memperbaharui NSPK adalah untuk membatasinya pada prinsip/kepentingan nasional yang pokok, seperti yang berikut: pemerataan akses pada pelayanan, mutu pelayanan, keselamatan,

kebangsaan.

Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Standar pelayanan minimal (SPM) adalah hak warga negara yang tertuang dalam konstitusi,Undang- Undang dan Konvenan Internasional. Sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004, penyelenggaraan urusan wajib (yang bersifat pelayanan dasar) berpedoman pada standar pelayanan minimal. Standar yang dimaksudkan ditetapkan oleh Pemerintah dan diperkirakan akan dicapai secara bertahap. Peraturan Pemerintah No. 65/2005 dan peraturan lanjutan lainnya menambah rincian tentang konsep SPM.

Beberapa Kementerian mulai menerbitkan berbagai peraturan tentang SPM pada tahun 2001, sabagai respons terhadap PP 25/2001. Namun, dianggap SPM dalam babak ini terlalu ambisius, khususnya tuntutan pendanaan. Lagipula, formulasinya kurang jelas, dan kurang layak dikendalikan melalui sistem data/pelaporan yang ada pada saat itu. Pada fase ini muncul juga banyak debat dan kesalahpahaman

Misalnya, telah jelas sekarang ini bahwa daerah dapat mengejar SPM lebih cepat daripada sasaran periodik yang ditentukan Pemerintah, dan daerah dapat meningkatkan SPM pendidikan (9 tahun wajib

belajar sekarang ditingkatkan di berbagai daerah menjadi 12 tahun wajib belajar). Lagipula, lebih jelas bahwa tidak ada, dan tidak perlu, dana khusus atau organisasi khusus di daerah untuk SPM; pencapaian SPM merupakan kegiatan inti daerah, dan segala sumber daya perlu memprioritaskan pencapaian SPM. Organisasi daerah dapat disesuaikan agar pelayanan yang dimaksudkan menonjol, namun tidak perlu menambah unit-unit khusus sepertinya SPM adalah suatu “proyek” tambahan.

Tahun 2008, setelah dikeluarkan PP 65/2005 dan peraturan pelaksana yang sangat operasional, Tim Konsultasi antar departemen membantu DPOD mempedomani departemen-departemen dan menyaring usulan SPM dari departmen, dengan kriteria yang lebih sesuai konsep yang tertuang dalam PP 65/2005. Kini, 13 Menteri mengeluarkan SPM yang disaring melalui proses baru. Walaupun masih belum sempurna, daftar SPM sekarang ini lebih berguna bagi semua pihak.4 Diharapkan masyarakat akan lebih jelas atas pelayanan dasar yang mereka dapat mengklaim. Pemerintah daerah akan lebih jelas atas pencapaian yang diharapkan dalam suatu periode jangka menengah, dan mampu mengukur “kesenjangan” dan merencanakan/ menganggarakan agar kesenjangan itu tertutup dalam masa waktu yang ditentukan.

4 Masih cukup banyak SPM yang dikembangkan untuk pelayanan dasar.” Lagipula, belum jelas apakah sasaran periodik untuk pencapaian SPM, secara bertahap, seimbang dengan segala sumber daya keuangan yang

Penerapan SPM telah mulai di berbagai daerah, namun belum jelas sejauhmana. Kementrian- kementrian belum mengeluarkan gambaran utuh tentang pencapaian SPM di daerah, karena sistem pelaporan5 belum berjalan semestinya, mungkin karena daerah dibebani dengan terlalu banyak tuntutan melapor, dengan format yang berbeda- beda. Kelihatan bahwa beberapa kementrian (seperti Pendidikan Nasional) hanya mengetahui status sistem pendataan dan pencapaian SPM di beberapa daerah, melalui upaya pilot misalnya. Walaupun informasi atas status penerapan SPM agak cepat, namun daerah mengalami kesulitan dalam penerapan SPM. Dukungan bersifat pengembangan kapasitas masih terbatas, khususnya untuk pengintegrasian SPM dalam proses perencanaan/penganggaraan dan metode menghitung biaya yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan dalam pencapaian SPM.

Standar Pelaynan Publik (SPP)

Menurut UU 25/2009 tentang pelayanan publik, SPP adalah indikator “kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang

berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.” Motivasi untuk mengembangkan SPP adalah untuk mencegah korupsi dan menjamin masyarakat

5 Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah-LPPD, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah- LKPJ, Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah – LAKIP

mendapatkan pelayanan publik yang baik. Tiga aspek diutamakan, yakni syarat-syarat pelayanan publik disampaikan dengan jelas dan terang, waktu pelayanan jelas dan menjamin akses, dan biaya diketahui dan pas. Prinsip transparansi dan akuntabilitas sangat mewarnai standar-standar yang dikembangkan di bawah payung SPP.

Dengan adanya SPP, diharapkan bahwa persoalan yang seringkali dihadapi oleh penyelenggara layanan (misalnya penundaan waktu pelayanan, pelayanan yang kurang sopan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, perlakukan tidak adil terhadap pengguna layanan, permintaan imbalan yang tidak sesuai biaya) dapat dibenahi oleh organisasi pelayanan itu sendiri.6

Belum banyak daerah/ organisasi yang

mengembangkan dan menerapkan SPP. Sosialisasi belum dilakukan secara intensif, dan ini dapat dimengerti karena PP untuk UU 25/ 2009

belum siap. Dalam PP tersebut diharapkan akan diuraikan pendekatan kongkrit untuk mewujudkan SPP dan cara menjamin SPP dihormati. Aspek sanksi diatur secara umum dalam undang-undang (misalnya peranan Ombudsman) dan perlu

dijelaskan dengan baik dalam peraturan pelaksana.

Sasaran Standar Pelayanan Publik adalah agar penyelenggaraan pelayanan publik pada setiap unit

6 Ombusdman (2010). Banyak Istansi Tak Terapkan Standar Pelayanan Publik, Kamis, 2 September. http://www.

pelayanan didasarkan pada standar pelayanan. Komponen standar pelayanan meliputi antara lain:

1. dasar hukum; 2. persyaratan;

3. sistem, mekanisme, dan prosedur; 4. jangka waktu penyelesaian; 5. biaya/tarif;

6. produk pelayanan;

7. Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas; 8. Kompetensi pelaksana;

9. Pengawasan internal;

10. Penanganan pengaduan, saran dan masukan; 11. Jumlah pelaksana;

12. Jaminan pelayanan;

13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan;

14. Evaluasi kinerja pelaksana.

Dengan demikian hal penting dalam SPP adalah deklarasi unit pelayanan atau SKPD yang disampaikan kepada publik/pengguna layanan berupa janji dan komitmen yang akan dijalankannya agar layanan dapat diberikan secara optimal. Penyampaian kepada publik tersebut dapat melalui media atau wadah tertentu yang mudah diakses oleh publik – seperti misalnya dikembangkan dalam bentuk pamphlet, disampaikan melalui papan informasi dan sebagainya -- setempat dan memenuhi hal-hal yang telah diutarakan di atas.

Standard Operating Procedures (SOP)

Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi

tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan suatu tahapan kegiatan yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam kegiatan.

SOP menurut PermenPAN No. 35/2012 adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan. Terdapat dua jenis SOP yakni SOP administratif dan SOP teknis. SOP administratif adalah prosedur standar yang bersifat umum dan tidak rinci dari kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang aparatur atau pelaksana dengan lebih dari satu peran atau jabatan. SOP teknis adalah prosedur standar yang sangat rinci dari kegiatan yang dilakukan oleh satu orang aparatur atau pelaksana dengan satu peran atau jabatan. SOP teknis umumnya menyangkut pekerjaan terkait sektornya masing-masing yang lebih mendetail.

SOP dibutuhkan oleh hampir semua organisasi yang menjamin mutu suatu proses, apakah internal atau pelayanan langsung kepada masyarakat umum. Penyusunan SOP memerlukan suatu pengertian tentang berbagai sistem/proses dalam suatu organisasi, khususnya yang paling menentukan sukses organisasi. SOP memberikan arahan dan petunjuk untuk menambah keseragaman agar keluaran akan konsisten. SOP juga menekankan

akan lebih mudah berkomunikasi dan melatih staff baru.

Satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) dan/atau UPTnya dapat mengembangkan SOP. Biasanya, untuk organisasi yang mirip, SOP akan hampir sama; tidak perlu mulai dari nol. Namun demikian, SOP perlu mencerminkan juga perbedaan yang terdapat dalam organisasi (dibandingkan kelas organisasi tersebut) dan kekhususan pengguna pelayanan.

Semua organisasi dapat memanfaatkan SOP, dan pada umumnya organisasi mengembangkan SOP secara suka rela (atau menerima itu dari organisasi induknya). Di Indonesia, dalam bidang pemerintahan, terdapat juga SOP yang wajib diikuti apabila suatu organisasi ingin atau harus mendapat akreditasi. Misalnya, seluruh rumah sakit (RS) wajib melakukan akreditasi, dan dinilai 3 tahun sekali. Badan yang mengelola akreditasi di Indonesia adalah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Apabila RS inging mendapat akreditasi yang diakui secara internasional, perlu menerapkan SOP yang diatur oleh badan internasional ISQua.7

Standar ISO8

ISO 9001: 2008 adalah salah satu dari berbagai standar ISO (International Organization for

7 Jurnas.com (2010). 2014, RS Ditargetkan Terakreditasi Internasional Jakarta Friday, 9 July, 7 http://www.jurnas. com/news/3248/2014,_RS_Ditargetkan_Terakreditasi_ Internasional/103/Sosial_Budaya

8 Informasi untuk bagian laporan ini disesuaikan sebagian besar dari situs ISO, di bawah judul “ISO 9000 essentials”

Standardization) yang mengarah pada manajemen

organisasi yang bermutu. ISO adalah suatu organisasi non-pemerintah internasional, dan bentuknya adalah jaringan antar 159 organisasi nasional (yang dapat merupakan badan pemerintah atau berorientasi pada swasta). Sekretariat ISO terpusat do Geneva, Swiss. ISO hanya menentukan standar, dengan kerjasama organisasi nasional dan keahlian tertentu.

Standar ini bersifat persyaratan proses manajemen yang dianggap akan menghasilkan suatu sistem manajemen yang bermutu. Sistem ini relevan untuk organisasi apapun, publik atau swasta, besar atau kecil. Organisasi yang mampu menerapkannya

organisasi dapat mengikuti standar tanpa mendapat

adalah yang mengutamakan kepuasan kliennya. Sistem ISO telah teruji menjadi suatu pendekatan yang menyeluruh untuk memperbaiki proses intern agar kepuasan klien tercapai. Standar yang dituntut cukup ketat, namun cara untuk memenuhinya

organisasi.

ISO 9001-2008 mengandalkan pada organisasi sendiri untuk menerapkan suatu audit manajemen guna mendapat gambaran atas status organisasi. Aspek yang tercakup termasuk aspek hukum, perencanaan, proses desain keluaran organisasi, komunikasi, kompetensi staf, otoritas dan

Pelibatan klien dalam tahap ini didorong agar nampak apakah organisasi mampu memenuhi kebutuhan klien. Apabila diinginkan, organisasi dapat membuktikan statusnya/perbaikan dengan memanfaatkan dari suatu “badan independen

(independent quality ) yang akan menjamin dengan kredibilitas tinggi bahwa organisasi betul mencapai standar ISO. Di Indonesia,

sistem akreditasi ISO dikelolah oleh Komite Akreditasi Nasional9 dan didukung oleh pihak

ISO (seris 9000) diakreditasi (data 2003).10 Selain

untuk mengecek (surveillance visits) setiap tahun minimal sekali, untuk menjamin bahwa sistem ISO betul berjalan.

atau UPTnya, sangat tergantung persepsi manfaat dan ongkos (yang cukup berat pada tahap

kunjungan surveillance

(yang berada di Indonesia dan menawarkan harga

yang baik.

9 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2001 Tentang Komite Akreditasi Nasional

10 Achmad, Kukuh, S. (2011). The Acceptance of Accredited Conformity Assessment Bodies by Regulatory

Authorities – Indonesian Experience, National

Accreditation Body of Indonesia (KAN). Obtained April

d. Hubungan antar berbagai jenis standar Banyak keterkaitan antar jenis standar yang perlu diperhatikan. Misalnya, apabila NSPK dipahamai dalam arti yang luas, seperti dijelaskan diatas, maka kebanyakan standar lain dapat dipayungi oleh NSPK. Contoh, jelas bahwa Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan bagian integral dari NSPK. Namun, sebagaimana dilihat dalam Bagan 1, SPM berkaitan urusan wajib yang bersifat “pelayanan dasar;” NSPK meliputi semua urusan.

Dalam Bagan 1, diupayakan memberikan suatu gambaran sederhana atas tumpang tindih berbagai standard secara konseptual, yaitu, berkaitan dengan urusan daerah. Dalam bidang pendidikan misalnya, NSPK (yang dinamakan SNP – Standar Nasional Pendidikan), sebagian merupakan SOP. Keduannya berkaitan urusan yang non-pelayanan dasar, namun juga dapat bermain dalam domain urusan wajib yang bersifat pelayanan dasar.

Kesan bahwa NSPK merupakan payung untuk semua standar wajar untuk pihak pemerintah, namun perlu disadari bahwa tidak semua standar dapat dipayungi oleh NSPK, karena NSPK merupakan suatu kewajiban yang berasal dari Pemerintah (mutlak untuk urusan wajib, atau diaktifkan pada saat daerah memilih untuk melaksanakan urusan pilihan). Berarti bahwa standar yang berasal dari badan akreditasi non- pemerintah (sebagian SOP atau standar yang didorong dalam konteks ISO) tidak masuk dalam Bagan 1, namun perlu juga diperhatikan.

Bagan 1: Keterkaitan berbagai jenis

Dalam dokumen 198e8947 8ee9 4450 89e6 805e4fc52e66 (Halaman 147-155)