• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KOTA SURABAYA & KOMUNITAS TIONGHOA PADA AWAL

B. Gelombang Imigran Tionghoa

Keberadaan komunitas Tionghoa di Surabaya yang begitu besar tidak dapat dipisahkan dari gelombang migrasi yang melanda Surabaya pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Gelombang migrasi Tionghoa yang begitu besar ini tidak dapat dilepaskan dari dua faktor yang mempengaruhi mereka untuk berpindah tempat. Faktor pertama adalah masalah politik di Tiongkok akibat kekalahan perang dengan Jepang dan Eropa sehingga terjadi gejolak modernisasi pada sistem pemerintahan.24 Kekacauan politik ini membuat kedua kekuatan antara kaum modernisasi dengan kaum dinasti dari Kerajaan Manchu saling berebut kekuasaan hingga terjadi krisis ekonomi. Faktor kedua adalah krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda membuat komunitas Tionghoa yang berada di luar Jawa menjadi

24

Kwee Tek Hoay. 1969. The Origins of The Modern Chinese Movement in Indonesia, New York: Ithaca, hlm. 1-2. Gelombang migrasi komunitas Tionghoa akibat gejolak politik di Tiongkok tidak hanya membawa orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda, namun mereka juga bermigrasi ke wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Motivasi mereka tetap sama yakni untuk melakukan perdagangan akibat krisis ekonomi di Tiongkok. Lihat G. William Skinner. 1959. “Overseas Chinese in Southeast Asia”, dalam The Annals of the American Academy Political and Social Science, Vol. 321, hlm. 138.

korban pemutusan kerja.25 Hal ini berujung pada berpindahnya mereka ke tempat-tempat yang memiliki kesempatan kerja yang besar salah satunya adalah Surabaya.

Meskipun begitu keberadaan komunitas Tionghoa di Surabaya tidak hanya berasal dari Tiongkok, namun terdapat komunitas Tionghoa yang telah lama tinggal dan telah melakukan asimilasi dari perkawinan campur dengan penduduk bumiputera.26 Hal ini disebabkan karena pada abad XV dan XVI sudah banyak komunitas Tionghoa yang berinteraksi langsung dengan penduduk bumiputera yang menetap di wilayah pesisir pantai sebagai pusat-pusat perdagangan.27 Mereka kemudian menetap dan menikahi perempuan-perempuan bumiputera sehingga mereka kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.28

Kelompok Tionghoa yang melakukan migrasi ini tidak datang dalam gelombang yang besar melainkan secara kelompok-kelompok kecil karena motivasi mereka adalah sebagai pedagang. Kebanyakan komunitas Tionghoa yang melakukan migrasi adalah golongan laki-laki dan hanya sedikit jumlahnya

25

Purnawan. 2013. Op. cit., h. 43; Puspa Vasanty. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat (ed.). 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm. 357.

26

Skinner. 1981. Op. cit., hlm. 1.

27

Denys Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Bagian II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 69. Pembahasan lebih lanjut mengenai Komunitas Tionghoa Surabaya serta kehidupan masyarakat Tionghoa pada awal kedatangannya pada abad ke-XV dan ke-XVI dapat dibaca di Claudine Salmon. 2009. “The Chinese Community of Surabaya from its Origin to the 1930s Crisis”, dalam Chinese Southern Diaspora Studies, Vol. 3, hlm. 22-46.

28

Claudine Salmon. 1991. “The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)”, dalam Archipel, Vol. 41, hlm. 61.

perempuan yang dibawa pada saat perantauan.29 Akhirnya perantau ini menikahi perempuan-perempuan bumiputera dan telah berasimilasi dengan penduduk setempat. Mereka sudah tidak lagi menggunakan bahasa Tiongkok dan tidak lagi menggunakan kebudayaan Tiongkok. Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai golongan peranakan yang berasal dari kata anak atau beranak yakni perkawinan campur antara orang Tionghoa dari garis keturunan laki-laki dengan orang bumiputera dari garis keturunan perempuan, maka anak yang dilahirkan disebut sebagai peranakan.30

Berbeda dengan gelombang migrasi komunitas Tionghoa pada akhir abad XIX hingga abad XX yang dalam kelompok yang besar dan disertai perempuan Tionghoa sehingga tidak berasimilasi dengan masyarakat bumiputera.31 Kelompok ini cenderung kurang cepat membaur dan tetap mempertahankan adat kebiasaan mereka dari Tiongkok sehingga mereka tidak melakukan asimilasi terutama karena tidak terjadi perkawinan campur.32 Mereka melakukan perkawinan dengan sesama kelompok Tionghoa karena mereka juga ikut dalam

29

Puspa. Op. cit., hlm. 355; Leo Suryadinata. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pres, hlm. 86.

30

Lea E. Williams. 1960. Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of The Pan-Chinese Movement in Indonesia 1900-1916. Massachusetts: The Massachusets Institute of Technology, hlm. 11.

31

Leo. Op. cit., hlm. 90.

32

imigrasi. Kelompok ini kemudian disebut sebagai totok atau juga disebut sebagai

singkehs atau sinkehs yang artinya adalah tamu baru.33

Gelombang imigran Tionghoa pada abad XX merupakan gelombang imigran yang cukup besar dibandingkan pada abad sebelumnya.34 Pada abad XIX jumlah penduduk Tionghoa kurang lebih 150.000 orang, kemudian pada tahun 1900 jumlahnya meningkat 280.000 orang, dan terjadi kenaikan pula pada tahun 1930 ketika terjadi sensus penduduk di Hindia Belanda.35 Kenaikan jumlah penduduk Tionghoa rata-rata 4,3% setiap tahunnya selama tahun 1920-1930 di Jawa dan Madura. Maka dapat dilihat pada tabel 1 bahwa jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya saja setiap tahunnya naik 1-2% setiap tahunnya. Jumlah kenaikan penduduk Tionghoa juga disebabkan karena faktor kelahiran yang begitu

33

Williams. Op. cit., hlm. 10.

34

Pertumbuhan penduduk Tionghoa di Hindia Belanda pada akhir abad ke-XIX hingga awal abad ke-XX tidak dapat dilepaskan dari kebijakan perusahaan-perusahaan swasta dengan dibantu oleh pemrintah mendatangkan kuli-kuli Tionghoa dari luar negeri. Mereka didatangkan dari Singapura, Hongkong, Kanton, dan wilayah-wilayah lain di daratan Tiongkok. Mereka diambil dengan cara dipaksa, ditipu, bahkan dieksploitasi mengingat ketika itu banyak dari orang Tionghoa pekerjaan dengan pendapatan yang cukup besar karena kemelaratan negeri itu. Kuli-kuli Tionghoa ini didatangkan dalam jumlah yang besar karena bagi orang Eropa kuli-kuli Tionghoa merupakan pekerja yang murah. Mereka dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik perusahaan swasta. Pramoedya Ananta Toer. 1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya, hlm. 232-233.

35

Volkstelling 1930 Deel VII: Chineezen en Andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsche-Indië. 1935. Batavia: Departement van Ecomonische Zaken, hlm. 3. Sensus penduduk Hindia Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, namun secara perhitungan masih kurang cermat karena terjadi perbedaan dengan laporan jumlah penduduk di tiap kota atau karesidenan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat.

besar dari keluarga Tionghoa sehingga membuat jumlah penduduk Tionghoa yang masih muda lebih besar dibandingkan generasi yang sudah tua.36

Kedatangan komunitas Tionghoa di Surabaya tidak hanya berasal dari satu tempat di Tiongkok, namun mereka berasal dari wilayah yang berbeda-beda dengan budaya yang berbeda-beda. Komunitas Tionghoa ini berasal dari Tiongkok Selatan di dua provinsi yakni Fukien dan Kwantung.37 Dari Provinsi Fukien terdapat suku Hokkian sedangkan dari Provinsi Kwantung terdapat suku Hakka, Teociu, dan Kwangfu. Suku-suku ini memiliki kebudayaan dan spesialisasi yang berbeda-beda sesuai dengan kelebihan masing-masing golongan.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Tionghoa Surabaya Berdasarkan Suku Bangsa Tahun 1930

Suku Bangsa Jumlah Prosentase

Hokkian 19.747 61,97 Hakka 1.391 4,37 Teociu 2.399 7,53 Kwangfu/Canton 5.622 17,64 Lain-lain 2.707 8,49 Jumlah 31.866 100,0

Sumber: Volkstelling 1930 Deel VII: Chineezen en Andere Vreemde Oosterlingen

in Nederlandsche-Indië. 1935. Batavia: Departement van Ecomonische Zaken,

hlm. 91-93.

Melalui data pada tabel 2 dapat dilihat bahwa suku Hokkian merupakan suku yang paling banyak penduduknya di Surabaya dibandingkan dengan suku-suku lainnya. Hampir setengah dari jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya berasal dari Hokkian karena juga pengaruh kedatangan mereka yang cukup besar

36

Ibid., hlm. 4.

37

pada abad XIX.38 Suku Hokkian memiliki sifat dagang yang kuat sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki oleh orang-orang Hokkian sehingga tidak mengherankan bahwa orang-orang Hokkian dikenal sebagai pedagang yang ulet.39 Hal ini membuat mereka lebih cenderung memilih kota-kota besar yang maju dalam perdagangannya seperti Surabaya untuk ditinggali.

Provinsi Kwangtung yang bersebelahan dengan Fukien didiami oleh dua suku bangsa yakni orang Hakka dan orang Teociu.40 Sifat geografis yang didiami oleh orang Hakka merupakan wilayah pegunungan kapur yang tandus sehingga membuat mereka pergi meninggalkan wilayahnya untuk mencari peruntungan ekonomi.41 Sedangkan orang Teociu memiliki keahlian di bidang pertanian dan perkebunan.42 Orang Hakka dan Teociu lebih banyak mendiami wilayah di luar Pulau Jawa untuk mencari peruntungan ekonominya seperti orang Hakka di Kalimantan dan orang Teociu di Sumatera.43 Sama seperti orang Hakka dan Teociu orang Kwangfu atau biasa disebut sebagai orang Canton juga biasa mendiami wilayah di luar Jawa seperti di Bangka sebagai penambang.44

38

Anjarwati, Op. cit., hlm. 41.

39

Skinner. 1981, Op. cit., hlm. 7.

40

Volkstelling 1930 Deel VII: Chineezen en Andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsche-Indië, hlm. 87.

41

Anjarwati, Op. cit., hlm. 42.

42

Skinner. 1981, Loc. cit.

43

Ibid.

44

Volkstelling 1930 Deel VII: Chineezen en Andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsche-Indië, hlm. 88.

Meskipun pada awalnya orang-orang dari Hakka, Teociu, dan Kwangfu mendiami wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa karena kota-kota perdagangan telah didiami oleh orang Hokkian, namun pada tahun 1930-an mereka menyerbu Surabaya seperti yang terlihat pada tabel 2. Hal ini disebabkan karena faktor krisis ekonomi yang melanda wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa membuat mereka diputus kontrak kerjanya. Akibatnya mereka bermigrasi ke Surabaya yang saat itu berkembang perekomian industrinya sehingga membuka lapangan pekerjaan yang baru membuat mereka beralih profesi menjadi pedagang atau menjadi buruh-buruh industri.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Tionghoa di Surabaya Menurut Tempat Kelahirannya Berdasarkan Klasifikasi Umur Tahun 1930

Kelompok Umur Lahir di Hindia Belanda Lahir di Luar Hindia Belanda Total 0-14 tahun 4.660 3.928 8.588 15-19 tahun 1.602 1.455 3.057 20-49 tahun 5.757 9.236 14.993 50 tahun ke atas 1.200 796 1.996 Usia tidak diketahui 3.747 3.820 7.567 Total 16.966 19.235 36.201

Sumber: Volkstelling 1930 Deel VII: Chineezen en Andere Vreemde Oosterlingen

in Nederlandsche-Indië. 1935. Batavia: Departement van Ecomonische Zaken,

hlm. 202-203.

Masuknya golongan Tionghoa totok ke Surabaya pada awal abad XX menimbulkan beberapa permasalahan terutama dengan golongan Tionghoa peranakan. Dapat dilihat pada tabel 3 bahwa golongan yang lahir di luar Hindia Belanda pada kelompok umur 20-49 tahun lebih banyak dari pada yang lahir di Hindia Belanda. Sebagian dari imigran Tionghoa ini berasal dari golongan

terpelajar dan pernah menjadi anggota perkumpulan politik di Tiongkok.45 Hal ini menjadi bukti bahwa golongan totok memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap golongan peranakan pada komunitas Tionghoa. Golongan totok yang sejak awal tidak ingin berintegrasi dengan kebudayaan bumiputera dan membawa pengaruh revolusioner nasionalisme Tiongkok membawa perubahan sosial dan ekonomi bagi komunitas Tionghoa.46 Hal ini menimbulkan kompleksitas dengan golongan peranakan yang sebelumnya mereka sudah berintegrasi dengan bumiputera dan sudah tidak memiliki pengaruh lagi dengan tempat asal mereka yakni Tiongkok.

Golongan Tionghoa peranakan pada umunya berorientasi dengan kebudayaan bumiputera atau tempat di mana mereka lahir karena bagi mereka orientasi kepada negeri leluhurnya sudah tidak relevan lagi.47 Kedua paham yang berbeda antara totok dengan peranakan ini pun sulit untuk dipersatukan karena perbedaan kebudayaan dan identitas yang sudah mengakar kuat pada diri masing-masing golongan. Pengaruh orang totok yang menganggap memiliki kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peranakan cukup menyita perhatian seperti yang tertulis dalam surat kabar Pewarta Soerabaia, “Pranakan Tionghoa haroes bersoekoer, iapoenja perhoeboengan dengen bangsanja dari Tiongkok tiada ada sebraba djelek, kaloe tiada bisa dibilang masi baek dan bisa diharep aken bisa

45

Shinta Devi Ika Santhi Rahayu. 2010. “Pendidikan Etnis Tionghoa di Surabaya Pada Pertengahan Abad ke-19 hingga Abad ke-20”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, unpublished, hlm. 59.

46

Andi Achdian. 2017. “Kaum Pergerakan dan Politik Kota: Perkembangan Politik Kewargaan di Kota Kolonial Surabaya 1906-1942”. Disertasi. Depok: Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, unpublished, hlm. 77.

47

bertamba kekal.”48 Pengaruh kebudayaan diantara kedua golongan ini

memberikan perbedaan dalam hal pemahaman mereka terhadap orientasi identitasnya sebagai orang Tionghoa. Orang totok bersikukuh mempertahankan kebudayaan Tiongkok yang masih asli, sedangkan orang peranakan yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda lebih lama dari orang totok sudah bercampur dengan budaya bumiputera. Akibatnya segala aktivitas sosial, politik, dan ekonomi diantara kedua golongan ini akan dipengaruhi dari masing-masing orientasi.