• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKSI BOIKOT JEPANG TAHUN 1931-1941

A. Aksi Boikot Jepang di Surabaya

1. Kelompok Organisasi Tionghoa

Perkembangan nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari berkembangnya pengaruh nasionalisme dari Tiongkok. Setelah suksesnya revolusi pada tahun 1911 oleh Sun Yat Sen berdirilah kelompok partai nasionalis Kuo Min Tang (KMT).3 KMT kemudian berkembang di Hindia Belanda dengan berdirinya kelompok Soe Po Sia atau Klub Membaca Tionghoa.4 Menurut Claudine Salmon bahwa di Surabaya kelompok Siang Hwee, Tiong Hoa Hwee Koan, Soe Po Sia, dan Klub Membaca Tionghoa memiliki satu koordinasi dengan KMT.5 Kelompok-kelompok inilah yang kemudian berkembang dan saling berdiskusi permasalahan yang terkait dengan nasionalisme Tiongkok di Surabaya.

3

Kuo Min Tang (KMT) berdiri pada tahun 1892 oleh Sun Yat Sen yang kemudian berkembang menjadi partai yang mempersiapkan pemerintahan konstitusional setelah Revolusi 1911. Kuo Min Tang yang diisi oleh kaum nasionalis Tiongkok berusaha untuk memberikan pengaruh yang cukup besar kepada penduduk Tionghoa terkait dengan sistem pemerintahan yang modern menggeser pemerintahan yang sifatnya kerajaan sebelumnya. Pengaruh nasionalisme ini tidak hanya dikembangkan di Tiongkok daratan saja melainkan berkembang ke penduduk Tionghoa perantauan. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai Kuo Min Tang dapat dibaca pada Hollington K. Tong (ed.). 1947. China Handbook 1937-1945: A Comprehensive Survey of Major Developments in China in Eight Years of War. New York: The Macmillan Company, hlm. 35-94.

4

Mona Lohanda. 2002. Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java 1890-1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm. 139.

5

Claudine Salmon. 2009. “The Chinese Community of Surabaya from its Origin to the 1930s Crisis”, dalam Chinese Southern Diaspora Studies, Vol. 3, hlm. 55.

Diketahui sebelumnya bahwa kelompok Siang Hwee dan Tiong Hoa Hwee Koan merupakan kelompok yang cukup besar di Surabaya. Siang Hwee mampu menghimpun pedagang-pedagang Tionghoa yang juga memiliki koneksi dengan Tiongkok daratan. Begitu pun juga dengan Tiong Hwa Hwee Koan yang kemudian mengembangkan sekolah-sekolah yang menekankan pada pendidikan Tionghoa modern menghimpun hampir semua anak-anak Tionghoa Surabaya. Kedua kelompok tersebut tidak mengherankan memiliki hubungan dengan KMT sehingga anggota-anggotanya memiliki perasaan nasionalisme yang begitu besar. Bahkan hampir seluruh masyarakat Tionghoa di Surabaya memiliki hubungan dengan KMT baik secara resmi maupun tidak resmi.

Aksi boikot Jepang terjadi pertama kali pada September 1931 sebagai akibat dari penyerangan Jepang atas Manchuria yang kemudian diubahnya menjadi negara boneka Manchukuo. Aksi boikot ini juga merespon krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada tahun 1930 sehingga membuat Jepang begitu mudah mengekspansi dengan barang-barangnya yang murah. Melihat kembali pada tabel 9 yang menunjukkan bahwa impor Jepang lebih besar dibandingkan dengan ekspornya sehingga membuat banjir barang-barang murah dari Jepang di Hindia Belanda. Keadaan krisis ekonomi membuat Jepang mengeruk keuntungan yang besar dibandingkan dengan kelompok Tionghoa.

Kedua peristiwa tersebut menyulut emosi kelompok Tionghoa karena pertama negeri leluhur mereka telah diduduki oleh Jepang yang ingin menguasai seluruh wilayah Tiongkok dan kedua kelompok pedagang Tionghoa merasa dirugikan dengan membanjirnya barang murah dari Jepang. Segera setelah itu

kelompok Tionghoa di Surabaya kemudian menyebarkan berita-berita mengenai kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh Jepang selama menyerang Tiongkok.6 Mereka menggunakan pamflet dan surat kabar yang berafiliasi dengan kelompok Tionghoa untuk mempropagandakan kejahatan yang dilakukan oleh Jepang.

Disebutkan bahwa pada saat itu dinding-dinding telah ditempeli oleh pamflet-pamflet propaganda kebencian terhadap Jepang, bahwa Jepang telah melakukan pendudukan ke wilayah Tiongkok dan bermaksud untuk menguasainya. Banyak juga dari perwakilan kelompok Tionghoa melakukan pidato-pidato yang menyerukan sikap anti Jepang dengan menceritakan keadaan keluarga mereka di Tiongkok daratan yang disiksa oleh Jepang.7 Hal-hal ini dilakukan untuk menarik simpati masyarakat Tionghoa lainnya dan juga masyarakat bumiputera untuk menanamkan sikap anti Jepang sebagai salah satu cara untuk memboikot Jepang.

Bahkan toko-toko yang ketahuan menjual barang-barang Jepang dipaksa untuk ditutup oleh kelompok-kelompok Tionghoa.8 Hal ini sebagai salah satu cara agar barang-barang murah dari Jepang tidak dapat dijual sehingga banyak orang beralih kepada barang-barang dari Tiongkok. Mereka juga memberitakan propaganda akan barang-barang buatan dari Jepang dengan nada-nada yang

6

Harry A. Poeze (ed.). 1988. Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië Deel III 1931-1934. Dordrecht: Foris Publications, hlm. 108.

7

Ibid.

8

negatif sehingga banyak orang mau meninggalkan barang-barang dari Jepang tersebut.

Pada Oktober 1931 aksi boikot Jepang yang terjadi di Surabaya kemudian berkembang dengan dikirimkannya telegram-telegram berupa berita-berita mengenai kekejaman Jepang di Tiongkok kepada kelompok-kelompok Tionghoa di beberapa wilayah yang lain.9 Terlebih setelah diterbitkannya Memorial Tanaka pada 13-23 Oktober 1931 oleh Pewarta Soerabaia memberikan dampak karena isinya yang ingin menguasai wilayah Tiongkok. Isi dari telegram sama seperti pemberitaan sebelumnya di mana isi utama dalam pemberitaan tersebut merupakan perasaan kebencian mereka terhadap Jepang. Hal ini dilakukan untuk menggalang kekuatan kelompok Tionghoa yang tidak hanya terbatas pada Surabaya saja melainkan juga berbagai wilayah di Hindia Belanda. Tercatat aksi boikot Jepang kemudian menyebar ke wilayah Batavia, Medan, Bagansiapi-api, dan Singkawang.

Pemboikotan barang-barang Jepang di Surabaya memiliki kekuatan yang cukup besar melihat Kota Surabaya pada tahun 1933 memiliki jumlah toko Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan kota-kota lainnya.10 Bahkan Kota Surabaya dijadikan sebagai pusat perdagangan oleh Jepang sesaat setelah ekspansi yang cukup berhasil pada periode 1931-1933 dengan impor dari Jepang yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Surabaya Nihon-jin

Seinen-kai sebagai sebuah kelompok pedagang-pedagang Jepang di Surabaya. Tidak

9

Ibid., hlm. 116.

10

Nawiyanto 2010. Mata Hari Terbit dan Tirai Bambu: Persaingan Dagang Jepang-Cina. Yogyakarta: Ombak, hlm. 58.

mengherankan bahwa pada tahun tersebut barang-barang Jepang yang berada di Surabaya cukup banyak belum lagi dengan barang-barang Jepang yang dijual di toko-toko Tionghoa dan bumiputera.

Pada bulan-bulan berikutnya aksi boikot lebih diwarnai dengan aksi-aksi propaganda dengan menggunakan surat-surat kabar seperti yang dituliskan oleh Poeze “Mereka meminta surat kabar lokal untuk memuat propaganda berupa

tulisan-tulisan kebencian dan perasaan permusuhan terhadap penduduk Jepang.”11 Cara-cara ini terbilang cukup efektif dalam menggalang dukungan untuk aksi-aksi boikot, bahkan mereka pun mengiklankan untuk meminta sumbangan guna membantu saudara mereka yang dalam peperangan dengan Jepang.

Dalam aksi boikot yang terjadi pada periode 1931 kelompok Tionghoa memang menekankan pada aksi boikot terhadap barang-barang murah Jepang dan toko-toko Jepang. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Mona Lohanda bahwa

Aksi boikot terhadap Jepang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung seperti: (a) tidak melakukan perdagangan, pembelian atau penjualan terhadap barang-barang Jepang; (b) tidak melakukan transaksi apapun terhadap bank-bank yang dimiliki langsung oleh Jepang; (c) tidak melakukan transaksi apapun dengan transportasi yang dimiliki Jepang guna mengangkut barang-barang penjualan.12

Hal ini dilakukan agar banyak pedagang-pedagang Tionghoa diuntungkan dalam aksi boikot ini sehingga hasil keuntungan dari penjualan barang-barang mereka dapat diberikan kepada saudara-saudara mereka di Tiongkok.

11

Ibid., hlm. 124.

12

Aksi boikot terhadap barang-barang Jepang tidak hanya berdampak pada pedagang-pedagang Jepang melainkan juga pedagang-pedagang Tionghoa Surabaya. Aksi boikot dilakukan oleh kelompok-kelompok rahasia yang masih memiliki ikatan dengan organisasi Tionghoa seperti di Siang Hwee. Tercatat bahwa intimidasi dan teror dilakukan oleh kelompok yang dinamakan „Darah dan Besi‟, „Kelompok Sepuluh Laki-Laki‟, dan „Pembebasan Nasional untuk Membersihkan Pengkhianat‟.13

Bahkan dalam Siauw Giok Tjhan juga dikatakan bahwa “Tindakan semacam ini dilakukan dengan tenaga-tenaga tukang pukul,

yang ketika itu diorganisasi dalam perkumpulan seperti Gie Hoo, Hoo Hap, Sing Khie dan lain-lain.”14

Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok rahasia yang memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok besar sebelumnya yakni Siang Hwee. Mereka dibentuk secara resminya untuk menjalankan tugas sebagai penarik iuran kematian bagi anggotanya sehingga nantinya iuran tersebut diberikan kepada keluarga yang tertimpa sial.15 Namun, tugas tersebut hanya dilakukan sebagai kedok sebagai organisasi resmi selebihnya mereka adalah tukang-tukang pukul.

Seperti yang dikatakan oleh Siauw bahwa di daerah Kapasan Surabaya ada beberapa orang-orang Tionghoa yang dipekerjakan sebagai tukang pukul. Mereka dipekerjakan oleh anggota-anggota Siang Hwee untuk melindungi

13

Ibid., hlm. 160. Dalam isi buku Mona Lohanda tertulis „Blood and Iron Band‟, „Ten Men Band‟, dan „National Liberation for Wiping Out the Traitors‟.

14

Siauw Giok Tjhan. 1981. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, hlm. 18.

15

pedagang Tionghoa dari kesialan. Kelompok-kelompok rahasia inilah yang kemudian melakukan penyisiran ke toko-toko yang menjual barang-barang Jepang. Seperti yang sudah diketahui bahwa pada periode 1930-an ketika terjadi krisis ekonomi terjadi banjir barang-barang murah dari Jepang. Banyak toko-toko Tionghoa baik totok maupun peranakan menjual barang-barang Jepang karena banyak sekali keuntungan yang didapatkannya. Terlebih karena kondisi perekonomian yang sedang lesu dengan upah yang minim konsumen hanya mampu membeli barang-barang Jepang sehingga membuat barang-barang dari Tiongkok tidak laku dijual.

Kondisi ini membuat banyak toko-toko Tionghoa lebih baik menjual barang-barang dari Jepang karena mendapatkan keuntungan yang besar. Namun, toko-toko tersebut pada akhirnya menjadi target dari tukang pukul tanpa membedakan antara totok maupun peranakan menjadi target kelompok-kelompok militan dari aksi boikot.16 Tukang pukul kemudian mengambil barang-barang Jepang kemudian dirusaknya sehingga tidak dapat dijual kembali. Tukang pukul juga melakukan kekerasan fisik terhadap pemilik toko yang tidak ingin melakukan aksi boikot.

Aksi boikot yang dilakukan oleh tukang pukul tersebut tidak hanya berhenti pada penjarahan barang-barang Jepang saja. Tercatat bahwa mereka juga melaburi toko-toko yang ketahuan menjual barang-barang Jepang dengan kotoran manusia, menempelkan surat ancaman dan dinding-dinding toko dicoret-coret

16

supaya pemilik toko tersebut tidak menjual barang-barang Jepang lagi.17 Peristiwa ini terjadi pada periode Januari hingga Maret 1938 sebagai respon terhadap penyerbuan Jepang ke Nanking dan melakukan pembantian massal pada Desember 1937.

Pelaburan toko-toko Tionghoa dengan kotoran manusia juga tercatat pada memoar Siauw Giok Tjhan di mana banyak sekali toko-toko Tionghoa peranakan di Kapasan dilaburi dengan kotoran manusia.18 Bagi kakek Siauw Giok Tjhan yang melakukan aksi tersebut terbilang cukup berani terutama dengan sesama orang Tionghoa. “Jadi menggunakan nama Tionghoa tidak otomatis

membenarkan segala apa dari Tiongkok, apalagi ketika itu dagang barang Jepang mendatangkan banyak keuntungan.”19

Beberapa toko-toko Tionghoa yang dilaburi oleh kotoran manusia juga diberitakan oleh beberapa surat kabar seperti di bawah ini:

Selang seminggoe doea, disini dalam kalangan Tionghoa ramai dibitjarakan pelaboeran nadjis pada satoe toko Tionghoa dan diterimanja soerat soerat antjaman oleh beberapa toko lainnja, dalam mana diantjam, kalau toko jang tersangkoet masih memasoekkan barang-barang Japan, nanti akan diberi adjaran jang pedas.20

Bagi kelompok Tionghoa dari kalangan fanatik dalam melakukan aksi boikot tidak lagi mempedulikan untung maupun rugi dalam melakukan perdagangan dengan barang-barang Jepang. Bagi mereka hal yang paling utama

17

Harry A. Poeze (ed.). 1994. Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel IV 1935-1941. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, hlm. 200; Nawiyanto. Op. cit., hlm. 64.

18

Siauw. Op. cit., hlm. 18.

19

Ibid.

20

“Aksi Boikot Barang Japan?”, Soeara Oemoem pada Selasa, 11 Januari 1938, hlm. 6.

adalah menunjukkan harga diri yang begitu tinggi sebagai orang Tionghoa terhadap orang-orang Jepang yang telah menduduki Tiongkok. Ideologi nasionalisme yang sudah disebarkan oleh KMT melalui organisasi-organisasi resmi di Hindia Belandalah yang membentuk sikap mereka dalam melakukan aksi boikot.

Selain itu kelompok-kelompok tersembunyi yang masih memiliki hubungan dengan organisasi Tionghoa di Surabaya juga memiliki beberapa cara untuk membantu saudara-saudara mereka di Tiongkok. Mereka menerbitkan iklan-iklan di surat kabar Tionghoa-Melayu maupun milik bumiputera yang isinya adalah ajakan untuk menyumbang sejumlah uang bantuan yang digunakan untuk membantu perang Tiongkok-Jepang. Dalam menerbitkan iklan sumbangan untuk perang Tiongkok-Jepang tidak sedikit mereka menggunakan bahasa yang jauh dari kesan propaganda, namun ada juga beberapa surat kabar yang mengiklankan dengan nada propaganda.21 Hal ini ditujukan agar masyarakat baik itu Tionghoa totok atau peranakan dan masyarakat bumiputera mau menyumbang demi kemenangan Tiongkok melawan Jepang.

Sumbangan untuk korban perang Tiongkok-Jepang juga diakomodasi oleh kelompok Siang Hwee dengan mengumpulkan orang-orang Tionghoa kemudian dibentuk sebuah panitia pengumpulan dana. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Tjin Tjay Hwee. Banyak dari kelompok-kelompok Tionghoa kemudian saling bantu-membantu mengumpulkan dana tersebut guna membantu Tiongkok dalam perang. Pemerintah Hindia Belanda yang bersikukuh untuk

21

mempertahankan sikap netral terhadap perang Tiongkok-Jepang hanya memperbolehkan dana yang dikumpulkan untuk saudara-saudara mereka di Tiongkok hanya melalui Palang Merah Tiongkok.22 Dana bantuan terhadap orang-orang Tionghoa korban perang Tiongkok-Jepang kemudian diberinama Dana Amal Tiongkok. Begitu banyak orang-orang Tionghoa terutama dari kalangan totok yang kemudian ikut ambil bagian dalam Dana Amal Tiongkok karena mereka ingin membantu saudara-saudara mereka di tanah kelahirannya.

Kelompok Tjin Tjay Hwee di Surabaya tidak hanya berhenti pada mengumpulkan dana untuk korban perang Tiongkok-Jepang. Mereka justru memperjuangkan sebuah gerakan untuk mengirimkan ambulans dengan alat-alat yang lengkap disertai dengan dokter dan perawatnya.23 Gerakan ini cukup berhasil diakomodasi oleh kelompok Tjin Tjay Hwee di Surabaya sehingga bantuan berupa ambulans dan dokter dapat dikirimkan ke Tiongkok. Bahkan gerakan kelompok Tjin Tjay Hwee di Surabaya setidaknya dapat memperbaiki hubungan antara kelompok totok dan peranakan akibat perbedaan pandangan sosial-ekonomis dalam menjalankan aksi boikot di Surabaya. Meskipun begitu Siauw Giok Tjhan mencatat kedua golongan dalam kelompok Tjin Tjay Hwee di Surabaya memiliki perbedaan tujuan dalam aksi boikot. Kelompok totok hendak menunjukkan patriotismenya kepada tanah kelahirannya, sedangkan kelompok

22

Ang Yan Goan. 2009. Memoar Ang Yan Goan. Jakarta: Yayasan Nabil-Hasta Mitra, hlm. 120.

23

peranakan ingin menghentikan aggressor Jepang agar tidak sampai ke Hindia Belanda.24

Dalam mengumpulkan dana Tjin Tjay Hwee juga menggunakan surat kabar Pewarta Soerabaia untuk mengajak seluruh kelompok Tionghoa untuk menyumbang saudara-saudara mereka di Tiongkok. Tercatat pada tanggal 7 September 1938 Tjin Tjay Hwee melalui Pewarta Soerabaia menuliskan “Maskipoen kita tida bisa goenaken darah dan daging boeat didjadiken benteng

oentoek melindoengken negri leloehoer tapi kita lajik sabisa-bisanja goenaken kitapoenja kakoeatan financien boeat toeloeng pada rajat jang bersengsara.”25 Hal ini dilakukan untuk menggalang dana dengan jumlah yang cukup besar agak dapat dikirimkan ke Tiongkok.

Tiongkok yang sedang dilanda perang melawan Jepang sangat membutuhkan dana yang cukup besar mengingat ekonomi mereka yang berantakan akibat peperangan ini.26 Motivasi inilah yang membuat kelompok Tjin Tjay Hwee untuk membantu mereka dalam hal dana mengingat keberadaan kelompok Tionghoa di Hindia Belanda memiliki ekonomi yang cukup. Bagi mereka sebagai kelompok Tionghoa perantauan wajib untuk membantu keluarga mereka yang sedang berperang untuk kemenangan Tiongkok dan menjadikannya negara yang merdeka kembali. Maka dengan menggunakan surat kabar Pewarta

24

Ibid., hlm. 62.

25

“Seroehan pada Kiauwpao Boeat Meloeasken Pergerakan Contributie Tjin Tjay Hwee”, Pewarta Soerabaia pada Rabu, 7 September 1938, hlm. 10.

26

Soerabaia harapannya kelompok Tionghoa dapat menyalurkan bantuan baik kecil

maupun besar kepada saudara mereka di Tiongkok.

Tida perdoeli orang-orang kaja atawa miskin, toea atawa moedah, lelaki atawa prampoean, asal sadja marika ada bangsa Tionghoa semoea haroes toendjang ini contributie boelanan jang bersifat amal. Kita haroes oekoer tenaga kita boeat pikoel itoe kewadjiban dan anggep kewadjiban itoe sebagi soeatoe kebanggahan dan hiboeran jang tida terhingga. Kita koedoe anggep pikoelan contributie boelanan jang tida selaras dengen tenaga atawa tampik boeat pikoel kewadjiban demikian sebagi soeatoe perboeatan jang haroes dimaloei dan aken dapetken tegoran dari Hangsiem sendiri.27

Namun, aksi boikot yang dilakukan tersebut tidak selamanya disetujui oleh sesama kelompok Tionghoa Surabaya. Hal ini disebabkan karena pengaruh boikot memberikan dampak yang cukup besar dalam perekonomian komunitas Tionghoa terutama ketika masa-masa krisis ekonomi. Bagi mereka aksi boikot merupakan sebuah aksi yang menganggu jalannya perdagangan sehingga aksi tersebut dianggap tidak efektif.28 Suara-suara tersebut berasal dari kelompok Tionghoa peranakan yang dirugikan dengan diboikotnya barang-barang Jepang sehingga menurunkan pendapatan mereka. Mereka juga tidak sepaham dengan golongan totok karena bagi peranakan mereka sudah tidak memiliki ikatan dengan keluarga mereka di Tiongkok.

Pemerintah Hindia Belanda pun tidak tinggal diam dengan banyaknya pers Tionghoa Melayu yang memberitakan kekejaman Jepang dan menyerukan anti Jepang serta tukang-tukang pukul yang melaburi toko-toko yang kedapatan menjual barang Jepang. Jaksa Agung telah memberikan peringatan keras kepada pers Tionghoa Melayu yang menyerukan propaganda anti Jepang dan menugaskan

27

Ibid.

28

intel-intel Belanda untuk melakukan penyelidikan terhadap tukang pukul tersebut.29 Hal ini dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga sikap netral terhadap perang Tiongkok-Jepang dan menjaga hubungan baik dengan Jepang.

Cara kerja tukang pukul yang cepat dan tidak terlihat karena dikerjakan ketika orang sedang terlelap dalam tidur membuat mereka tidak pernah ditangkap. Meskipun begitu pihak dari kepolisian telah melakukan penyisiran terhadap aksi boikot tersebut karena dianggap telah meresahkan warga masyarakat.30 Beberapa dari pihak kepolisian juga mampu menangkap pelaku-pelaku yang melakukan aksi boikot tersebut bahkan mereka juga menuduh beberapa pemimpin organisasi Tionghoa sebagai aktor utama.31 Namun, menurut Siauw Giok Tjhan pelaku-pelaku aksi boikot dan pemimpin organisasi yang dianggap memiliki keterlibatan dalam aksi boikot di Surabaya sangat sulit diungkap bahkan jejak-jejak mereka tidak pernah tercium oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID).32

29

Harry A. Poeze. 1994. Op. cit., hlm. 200; Didi Kwartanada. 2000. Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas Cina di Kota Yogyakarta Pada Zaman Jepang 1942-1945. Yogyakarta: Tarawang, hlm. 87.

30

Didi Kwartanada. Ibid.

31

“Akibat Boikot Barang Jepang”, Soeara Oemoem pada Kamis, 6 Januari 1938, hlm. 1.

32

Siauw. Op. cit., hlm. 18; PID merupakan satuan intelijen politik yang bertugas untuk melakukan penyelidikkan terhadap pelaku-pelaku kejahatan yang mengganggu keresahan masyarakat Hindia Belanda.