• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III JEPANG PADA MASA KRISIS EKONOMI 1930-AN

B. Penetrasi Jepang di Hindia Belanda

Masa krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda tahun 1930-an memberikan dampak persaingan dagang antara komunitas Tionghoa dengan orang-orang Jepang. Kegiatan perdagangan Jepang dengan melakukan penetrasi barang-barang Jepang yang masuk ke Hindia Belanda memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian. Barang-barang Jepang yang dijual dengan harga murah membuat pedagang-pedagang Tionghoa kehilangan pasar, apalagi ditambah dengan meletusnya perang Tiongkok-Jepang yang menumbuhkan sentimen anti Jepang. Pada masa itu kegiatan impor Hindia Belanda dengan Jepang melebihi kegiatan ekspor bahkan melebihi kegiatan impor dengan negara-negara Eropa. Hal ini menimbulkan kecurigaan pemerintah Hindia Belanda dengan komunitas dagang Jepang pada masa krisis.

Kegiatan dagang Jepang di Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik dunia yang sedang berguncang pada masa krisis 1930-an. Pada tahun 1930-an di Jepang sedang berkembang teori ekspansi ke selatan setelah Jepang menguasai bagian utara (Rusia/Uni Soviet) dan barat (Tiongkok dan Korea). Ekspansi ke Selatan ini berkembang setelah berakhirnya perang Tiongkok-Jepang yang kemudian Jepang mendapatkan Taiwan di mana pengembangan Jepang tidak hanya berhenti pada Tiongkok saja melainkan sampai

28

ke selatan.29 Alasan Jepang melakukan ekspansi ke selatan adalah meniru eksploitasi ekonomi ala barat yakni mengambil potensi sumber daya alam dan manusia yang bisa memberikan pangsa pasar besar bagi Jepang.30

Seperti yang sudah diketahui bahwa dimulainya restorasi Meiji tahun 1868 memberikan dampak yang cukup besar dalam perkembangan Jepang. Jepang yang membuka diri setelah dibuka secara paksa oleh Matthew Calbraith Perry pada 8 Juli 1853 membuka kontak pertama Jepang dengan negara-negara barat setelah tertutup sekian lama.31 Jepang kemudian meniru cara-cara barat dalam mengembangkan perekonomiannya dengan cara mengembangkan teknologi-teknologi modern dan menggantikan industri tradisional yang masih menggunakan tenaga manusia.

Kemudian Jepang mengembangkan industri ringan khususnya tekstil diikuti dengan industri skala berat seperti pertambangan, metalurgi, kereta api, mesin uap, dan lain sebagainya.32 Banyak industri-industri modern berkembang di Jepang pada masa ini bahkan tidak jarang bahwa industri modern ini kemudian dibantu oleh pemerintah setempat guna mengembangkan daerahnya. Akhirnya pada abad XX Jepang kemudian berkembang menjadi negara yang disegani oleh

29

Ken‟Ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 4.

30

Meta Sekar Puji Astuti. 2008. Apakah Mereka Mata-Mata? Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak, hlm. 52; “Japan's Industrieele Expansie”, Soerabaijasche Handelsblad pada Selasa, 2 Januari 1934, hlm. 1.

31

Meta. Ibid., hlm. 23.

32

banyak negara khususnya negara-negara barat sehingga dapat menguasai pasar ekspor-impor di dunia.

Keberadaan Jepang sebagai negara yang disegani oleh barat memberikan keuntungan yang cukup besar bagi komunitas Jepang di Hindia Belanda. Sejak tahun 1898 secara yuridis orang-orang Jepang yang tinggal di Hindia Belanda memiliki kedudukan yang setara dengan orang-orang Eropa.33 Padahal sebelumnya kedudukan orang Jepang sama dengan orang Tionghoa karena mereka dianggap sebagai golongan Timur Asing yakni masuk dalam golongan kedua di atas golongan bumiputera. Hal ini sebagai efek dari restorasi Meiji yang memberikan dampak pada kemajuan ekonomi Jepang di mata bangsa-bangsa barat sehingga mereka dianggap maju sama seperti orang Eropa. Kedudukan komunitas Jepang yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas Tionghoa inilah yang juga membangkitkan sentimen kebencian diantara orang Tionghoa.

Pada abad XX telah berkembang komunitas Jepang di Hindia Belanda meskipun masih belum diketahui kapan pastinya orang-orang Jepang datang ke Hindia Belanda.34 Kedatangan mereka ada yang secara kelompok namun juga ada yang datang secara perorangan sehingga sulit untuk dicatat keberadaan mereka. Orang-orang Jepang yang hidup di Hindia Belanda berbeda dengan komunitas Tionghoa di mana orang Jepang lebih memilih untuk tidak membaur dengan

33

Goto. Op. cit., hlm. 190.

34

Masih belum dapat diketahui dengan pasti kapan kedatangan pertama orang Jepang di Hindia Belanda. Banyak sumber mengatakan bahwa kedatangan orang Jepang antara abad ke-XIX sampai abad ke-XX. Untuk mengetahui lebih lanjut dapat dibaca pada Takeda Shigesaburo (ed.). 1968. Jagarata Kanwa. Nagasaki: diterbitkan secara pribadi oleh penulis.

masyarakat setempat. Mereka masih memiliki akar yang cukup kuat dengan tanah kelahirannya sehingga diperantauan pun mereka masih memiliki sikap sebagai bangsa kelas satu.

Keberadaan komunitas Jepang di Hindia Belanda tidak jauh berbeda dengan kelompok-kelompok perantauan lainnya dalam hal profesi. Hampir separuh dari jumlah populasi orang Jepang di Hindia Belanda berprofesi sebagai pedagang. Meskipun juga terdapat orang-orang Jepang yang memiliki pekerjaan di luar dari perdagangan, namun keadaan Hindia Belanda sebagai pangsa pasar yang besar memberikan ketertarikan bagi pedagang-pedagang Jepang. Macam-macam profesi orang-orang Jepang di Hindia Belanda dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 8. Populasi Orang Jepang di Hindia Belanda Menurut Pekerjaan Tahun 1912-1935 (Sic!) Satuan: % Pekerjaan 1912 1915 1920 1925 1930 1935 Pertanian 1,2 2,3 3,7 6,4 3,1 5,5 Perikanan 4,1 0,1 1,0 6,0 11,3 13,7 Pertambangan 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 0,50 Manufakturing 4,9 3,9 5,6 7,3 8,5 6,2 Perdagangan 26,8 29,3 71,6 66,1 57,1 62,9 Transportasi 0,0 3,9 1,0 1,8 1,5 0,8 Jasa & berkerja sendiri 2,4 2,0 3,9 6,1 5,8 5,7 Pekerjaan lain 57,2 10,3 2,4 1,2 1,5 1,3 Pekerja rumah 2,9 4,7 4,3 3,4 6,6 2,5 Tidak bekerja 0,2 43,5 6,0 1,4 1,4 1,8 Sumber: “Kaigai zairyu hompojin shokugyobetsu jinko chosa ikken” [Survei populasi pihak konsuler pada warga Jepang di Luar Negeri menurut pekerjaan,

Arsip Sejarah Diplomatik, Kementerian Luar Negeri].

Pertumbuhan kegiatan perdagangan komunitas Jepang ini tumbuh menjamur di kota-kota pelabuhan seperti di Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Bahkan pada tahun 1924 di Surabaya didirikan Asosiasi Perdagangan Jepang yang pertama dan kemudian berkembang di kota-kota lainnya.35 Mereka juga menerbitkan surat kabar milik Jepang sendiri yang berguna untuk menjalankan bisnis mereka. Tercatat seperti surat kabar Shimbun yang dicetak di Batavia tahun 1910 dan Java Nippo yang juga dicetak di Batavia tahun 1920.36

Komunitas pedagang Jepang memilih Surabaya sebagai tempat kegiatan ekspor impor sehingga mereka membentuk Asosiasi Pedagang Jepang yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pedagang-pedagang besar Jepang yang tinggal di Surabaya.37 Bahkan kemudian pada 18 Desember 1938 dibentuklah Surabaya

Nihon-jin Seinen-kai yang juga memiliki tujuan untuk melindungi hak dagang

komunitas Jepang dan sebagai langkah untuk melakukan ekspansi ke selatan (Hindia Belanda).38 Pembentukan Surabaya Nihon-jin Seinen-Kai tidak dapat dilepaskan dari propaganda yang dilakukan Tomegoro Yosizumi dalam surat kabar Tohindo Nippo. Isi dari propaganda Yoshizumi adalah bahwa keberadaan orang-orang Jepang di Hindia Belanda merupakan suatu bentuk bantuan mereka kepada Jepang untuk menguasai dan membebaskan Asia dari negara-negara

35

P. Post. “Karakteristik Kewirausahaan Jepang dalam Ekonomi Indonesia Sebelum Perang”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.). 2002. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 357.

36

Ibid.

37

Yoshitada Murayama. “Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Timur Belanda Sebelum Perang”, dalam Saya Shiraishi & Takashi Shiraishi (ed.). 1998. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 162.

38

barat.39 Keberadaan organisasi-organisasi pedagang Jepang di Surabaya memperlihatkan betapa Surabaya menjadi kota terpenting untuk kegiatan berdagang dan sebagai langkah untuk menguasai perdagangan di Hindia Belanda.

Isi dari tulisan Tomegoro Yoshizumi dalam surat kabar Tohindo Nippo yang berhasil memicu terbentuknya Surabaya Nihon-jin Seinen-Kai adalah sebagai berikut:

Apa yang sedang dilakukan Ibu Pertiwi kita Jepang dan apa yang sesungguhnya ingin ia lakukan? Ia kini tengah berupaya membangun di atas tanah Timur yang padat, sebuah ide besar yang tak pernah disadari oleh sejarah dunia…

Lebih dari satu tahun sejak Ibu Pertiwi kita dipisahkan ke daratan di bawah api suci, sejak negarawan kita, yang dengannya kita berbagi daging dan darah yang sama, telah secara patriotis menyadari adanya sebuah cita-cita besar dan banyak lagi nilai-nilai lainnya yang dapat kita ikuti darinya mulai dari sekarang…

Lebih dari 6000 mil jauhnya dari Ibu Pertiwi, kita telah bekerja dengan tekun untuk melayani negeri kita sebagai prajurit atas pembangunan di luar tanah Jepang, di bawah bakaran matahari di Tenggara. Inilah waktu kita untuk maju satu langkah lebih jauh menjanjikan sebuah kerja bersama Ibu Pertiwi.40

Ketika masa krisis ekonomi 1929 banyak barang-barang impor dari Eropa tersendat masuk ke Hindia Belanda, keadaan ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang Jepang untuk memasuki pasar Hindia Belanda. Hal ini memberikan keuntungan bagi pihak Jepang karena sudah adanya hubungan antara pedagang di Jepang dengan yang di Hindia Belanda. Tahun 1931 dengan adanya devaluasi yen membuat impor Jepang ke Hindia Belanda makin lama makin meningkat

39

Wenri Wanhar. 2014. Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 78-79.

40

Tohindo Nippo, Kamis, 15 Desember 1938 dalam Wenri Wanhar, Op. cit., hlm. 78-79.

dibandingkan dengan ekspor ke Jepang.41 Keadaan inilah yang menjadi awal dari penetrasi barang-barang Jepang ke Hindia Belanda pada tahun 1930-an.

Tabel 9. Jumlah Impor dan Ekspor antara Hindia Belanda dengan Jepang (Sic!) Tahun Impor (%) Ekspor (%)

1913 7 (1,6%) 36 (3,9%) 1920 134 (12%) 140 (6,3%) 1925 90 (11%) 95 (5,3%) 1928 94 (9,4%) 57 (3,6%) 1929 115 (11%) 48 (3,3%) 1930 100 (11%) 46 (4,0%) 1931 93 (16%) 33 (4,4%) 1932 78 (20%) 24 (4,4%) 1933 99 (30%) 23 (4,9%) 1934 93 (32%) 19 (3,9%) 1935 82 (26%) 24 (5,4%) 1936 75 (25%) 31 (5,8%) 1937 125 (15%) 43 (4,5%) 1938 72 (18%) 21 (3,2%) 1939 85 (18%) 25 (3,3%)

Sumber: Howard Dick. 1989. “Japan‟s Economic Expansion in the Netherlands Indies between the First and Second World Wars,” dalam Journal of Southeast

Asian Studies, Vol. 20, No. 2., hlm. 246.

Barang-barang Jepang yang diimpor ke Hindia Belanda didominasi oleh industri tekstil yang saat itu juga sedang meningkat pula di Jepang.42 Bahkan impor tekstil berupa kapas dari Jepang menggeser Inggris yang sejak tahun-tahun sebelumnya mendominasi pasar Hindia Belanda.43 Hal ini membuat khawatir banyak pihak di Hindia Belanda dengan membanjirnya tekstil dari Jepang yang dijual dengan murah. Bahkan surat kabar Soerabaijasche Handelsblad mencatat bahwa pabrik-pabrik tekstil milik Jepang telah dibangun di Hindia Belanda

41

Post. Op. cit., hlm. 359; Claver. Op. cit., hlm. 351.

42

Meta. Op. cit., hlm. 27.

43

menggantikan pabrik-pabrik tekstil milik Eropa.44 Keberadaan barang-barang Jepang yang membanjiri Hindia Belanda semakin membuat resah pemerintah karena barang-barang dalam negeri bahkan pengusaha dari Eropa pun makin kehilangan pasarnya.

Penetrasi barang-barang Jepang ke Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari bencana ekonomi yang membuat masyarakat memilih barang-barang Jepang karena lebih murah.45 Setidaknya terdapat tiga alasan utama produk-produk Jepang dijual begitu murah yakni ongkos produksi yang semakin menurun sehingga meningkatkan produktivitas, devaluasi yen terhadap mata uang Eropa, dan menurunnya ongkos pelayaran karena persaingan harga dengan orang barat.46 Keadaan ini juga diikuti dengan kondisi perekonomian dunia di mana permintaan lebih kecil dibandingkan dengan penawaran sehingga banyak barang-barang makin tidak laku terjual.

Penetrasi yang dilakukan Jepang dengan membanjiri Hindia Belanda dengan barang-barang yang murah dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat persentase impor setiap tahunnya yang dilakukan Jepang selalu mengalami kenaikan. Penetrasi Jepang yang terbilang cukup sukses ini tidak dapat dilepaskan dari strategi yang dilakukan oleh Jepang di Hindia Belanda seperti yang dicatat

44

“Indische Nijverheid”, Soerabaijasche Handelsblad pada Jumat, 17 Juli 1931, hlm. 1.

45

Indisch Verslag 1932 Vol. 1. 1932/1933. „s-Gravenhage: Algemeene Landsdrukerij, hlm. 156.

46

Nawiyanto 2010. Mata Hari Terbit dan Tirai Bambu: Persaingan Dagang Jepang-Cina. Yogyakarta: Ombak, hlm. 51; Hiroshi Shimizu. 1988. “Dutch-Japanese Competion in the Shipping Trade on the Java-Japan Route on the Inter-War Period”, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 26, No. 1., hlm. 13-14.

oleh Nawiyanto. Pertama, Jepang memiliki strategi tidak hanya mengirim barang-barangnya ke Hindia Belanda tetapi juga membangun pabrik-pabrik yang dikelolanya sendiri sehingga dapat menangani sistem distribusi barang dari Jepang ke Hindia Belanda.47 Kedua, toko-toko Jepang juga memperkerjakan orang-orang bumiputera terutama mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari masa depresi yang berkepanjangan.48 Ketiga, harga barang-barang Jepang dijual dengan harga yang cukup murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah yang saat itu begitu banyak.49

Impor Jepang ke Hindia Belanda setelah masa depresi ekonomi 1930-an setiap tahunnya memang terjadi kenaikan seperti yang terlihat pada tabel 7. Hasil impor yang besar dibandingkan ekspor ini juga disebabkan karena jaringan pedagang-pedagang Jepang yang tumbuh subur di Hindia Belanda. Tercatat pada tahun 1933 terdapat 424 perusahaan dagang yang diantaranya 58 perusahaan ada di Surabaya, 32 di Batavia, 27 di Semarang, 15 di Bandung, 12 di Cirebon, dan kota-kota besar lainnya.50 Bahkan laporan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 kegiatan perdagangan Jepang melalui perusahaan telah menjamur ke berbagai tempat.51

47

Nawiyanto. Op. cit., hlm. 55.

48

Ibid., hlm. 57.

49

Ibid.

50

Liem. Op. cit., hlm. 77-78.

51

Indisch Verslag 1935. 1935/1936. „s-Gravenhage: Algemeene Landsdrukerij, hlm. 174-175.

Perusahaan Jepang yang menjamur di Surabaya dan kota-kota perdagangan lainnya merupakan salah satu cara yang dilakukan pedagang Jepang untuk menyingkirkan pedagang-pedagang dari Tionghoa.52 Bahkan barang-barang impor Jepang yang dijual di Surabaya merupakan barang-barang komoditi yang sama dengan pedagang Tionghoa seperti katun, sutera, perabotan rumah tangga, barang pecah belah, logam, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi salah satu cara yang dilakukan pedagang Jepang untuk menekan pedagang Tionghoa di Hindia Belanda apalagi dengan barang-barang Jepang yang dijual dengan murah. Pengusaha-pengusaha Tionghoa juga begitu lambat dalam merespon kegiatan perdagangan Jepang, pengusaha Tionghoa juga tidak dibantu oleh pemerintah Tiongkok berbeda dengan Jepang.53 Maka tidak mengherankan pada tahun 1930-an toko-toko Jep1930-ang di Surabaya makin lama makin menjamur d1930-an berdamping1930-an langsung dengan toko-toko pedagang Tionghoa.

Jepang membangun jaringan bisnisnya di Surabaya sebagai pusat perekonomian di Hindia Belanda. Tercatat terdapat tiga bank milik Jepang (Mitsui, Bank Taiwan, dan Bank Yokohama), tujuh rumah produksi ekpor-impor, 21 toko grosir barang-barang Jepang, dua hotel, dan toko-toko bisnis kecil lainnya yang dimiliki langsung oleh orang Jepang.54 Begitu banyaknya toko-toko dan jaringan bisnis yang dibangun oleh Jepang di Surabaya membuat persaingan

52

Liem. Op. cit., hlm. 77; Claver. Op. cit., hlm. 386.

53

Claver. Ibid., hlm. 387.

54

dagang antara komunitas Tionghoa yang sebelumnya juga memiliki pengaruh kuat di Surabaya dengan pendatang baru dari komunitas Jepang.

Pedagang Tionghoa juga semakin lama semakin terjepit dengan keadaan begitu banyaknya toko-toko Jepang yang menjual barang-barang yang murah. Orang Tionghoa yang sejak dahulu dikenal sebagai pedagang perantara antara produsen dari Eropa dengan konsumen dari bumiputera mengalami nasib yang buruk sejak penetrasi barang Jepang. Makin sedikitnya pasokan barang dari Eropa yang digantikan dengan barang-barang impor dari Jepang membuat pedagang perantara Tionghoa kehilangan pekerjaannya bahkan mendapatkan upah yang minim. Pedagang dari Jepang tidak menggunakan jasa pedagang perantara Tionghoa dalam sistem perekonomiannya karena mereka juga saling bersaing. Apalagi dengan daya konsumsi masyarakat bumiputera yang lebih memilih barang-barang Jepang yang dianggap lebih murah dan dapat dijangkau dibandingkan barang-barang dari Eropa.

Perusahaan-perusahaan skala menengah sampai besar yang dikelola oleh orang Tionghoa di Surabaya juga terdampak dari penetrasi Jepang. Industri gula, kopi, indigo, dan komoditi lainnya dari sektor perkebunan yang dimiliki oleh orang Tionghoa Surabaya juga terdampak seiring makin turunnya komoditi ekspor Hindia Belanda.55 Akibatnya mereka harus mengurangi jumlah produksi dan tenaga kerja untuk menyelamatkan perusahaan di masa krisis 1930 ini. Keadaan komunitas Tionghoa di Surabaya pada masa krisis tidaklah jauh berbeda

dengan keadaan bumiputera yang kehilangan pekerjaan karena persaingan dagang dengan Jepang.

Keadaan ini memicu pemerintah Hindia Belanda untuk bertindak cepat atas apa yang terjadi dengan penetrasi Jepang dengan impor barang-barangnya yang murah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat regulasi seperti Ordonansi Darurat tentang Pembatasan Impor dan Ordonansi Darurat tentang Pembatasan Masuknya Orang Asing dengan tujuan untuk mengurangi penetrasi Jepang.56 Dikeluarkannya regulasi untuk pembatasan impor ini juga bertujuan agar pasar ekonomi Hindia Belanda tidak dipenuhi oleh barang-barang impor yang murah.57 Bahkan juga berkembang suatu gerakan untuk memboikot barang-barang Jepang yang pada awalnya berkembang dari media cetak dan menjadi sebuah gerakan yang masif terutama oleh golongan Tionghoa.58