• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada tahun 1930-an ketika terjadi krisis ekonomi dunia terjadi begitu banyak dinamika di wilayah Asia. Hal ini setelah Jepang melakukan ekspansi secara besar-besaran yang memasuki puncaknya pada tahun 1930-an. Perkembangan Jepang di Asia menjadi awal dari munculnya gejala-gejala awal terjadinya Perang Dunia II di wilayah Asia. Hal ini disebabkan karena ekspansi yang dilakukan oleh Jepang tidak hanya berada di dekatnya saja melainkan sampai ke seluruh wilayah Asia.

Keinginan Jepang untuk menyatukan Asia di bawah bendera Jepang menjadi motivasi yang besar bagi Jepang untuk menguasai wilayah-wilayah Asia. Slogan “Asia untuk Asia” mulai berkembang ke arah membebaskan Asia dari

pengaruh kolonial barat. Cara-cara ini dilakukan sebagai bentuk Jepang ingin dianggap sebagai negara yang besar dan kuat sama seperti negara-negara barat lainnya. Namun, keinginan Jepang untuk menyatukan Asia ini menjadi awal pergerakan beberapa wilayah Asia yang tidak suka dengan cara-cara Jepang.

Dalam mewujudkan impian Jepang untuk memenangi peperangan dengan negara-negara barat maka Jepang melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah-wilayah di Asia. Hal ini didasarkan bahwa Jepang memiliki kekurangan dalam hal sumber daya alam karena wilayah Jepang yang kurang subur. Maka Jepang

pertama-tama melakukan ekspansi ke wilayah Tiongkok dengan merebut Manchuria. Perebutan wilayah Manchuria oleh Jepang menyulut emosi orang-orang Tionghoa karena Jepang telah dianggap melakukan kolonialisme di Tiongkok. Bahkan kemudian wilayah Manchuria ditetapkan Jepang sebagai negara boneka dengan nama Manchukuo.

Tidak lama berselang tahun 1937 Jepang juga menyerang ibukota Tiongkok Nanking untuk menegaskan Jepang ingin menguasai wilayah Tiongkok secara penuh. Pembantaian di Nanking menjadi tragedi berdarah yang dilakukan oleh tentara-tentara Jepang kepada penduduk setempat. Maka peristiwa pembantaian di Nanking menjadi puncak dari perang Jepang-Tiongkok yang sudah dimulai pada tahun 1930-an ketika Jepang ingin menguasai Manchuria.

Dalam menguasai wilayah Asia Jepang juga melakukan politik penetrasi barang-barangnya yang murah ke beberapa wilayah di Asia termasuk Hindia Belanda. Dikirimnya barang-barang murah Jepang ke wilayah Hindia Belanda juga memiliki maksud tertentu terutama hal ini terjadi ketika krisis ekonomi sedang melanda dunia. Strategi Jepang cukup berhasil karena masyarakat hanya mampu membeli barang-barang dari Jepang yang dijual dengan harga murah dan kualitas baik. Penduduk bumiputera tidak mampu membeli barang-barang dari barat dan dari Tiongkok.

Keberhasilan Jepang dalam melakukan penetrasi barang-barangnya ke Hindia Belanda diikuti dengan dibangunnya jaringan bisnis Jepang yang berpusat di Surabaya. Ketika itu juga banyak sekali toko-toko, pabrik, dan bank yang dijalankan langsung oleh Jepang. Bahkan Jepang melakukan monopolistik dengan

cara membangun jaringan bisnisnya dari hulu sampai ke hilir hanya oleh orang-orang Jepang.

Penetrasi barang-barang murah Jepang ke Hindia Belanda ini ditanggapi serius oleh pihak pemerintah karena tahun 1930-an impor dari Jepang ke Hindia justru yang paling banyak dibandingkan dengan ekspornya. Bahkan impor Jepang melebihi dari impor-impor barang dari negara-negara Eropa. Akibatnya terjadilah banjir barang-barang murah Jepang di Hindia Belanda dan jaringan bisnis Jepang semakin lama makin kuat. Pemerintah menaruh perhatian cukup besar atas penetrasi barang-barang Jepang ini karena banyaknya kecurigaan terhadap imigran-imigran Jepang yang justru malah dianggap sebagai spion-spion Jepang.

Namun, apa yang dilakukan Jepang di Hindia Belanda tidak selamanya disenangi oleh penduduknya. Kelompok Tionghoa yang ada di Hindia Belanda justru malah tidak suka dengan keberadaan Jepang di Hindia. Pertama, penetrasi barang-barang Jepang ke Hindia Belanda menggeser keberadaan pedagang Tionghoa sehingga mengalami kerugian ekonomi selama masa krisis. Kedua, karena perasaan sakit hati yang dilakukan oleh Jepang dengan menyerang Tiongkok dengan dikuasainya beberapa wilayah penting sehingga menimbulkan perang Tiongkok-Jepang. Maka timbullah perasaan nasionalisme Tionghoa sebagai bentuk sikap mereka yang anti terhadap Jepang. Tidak mengherankan sikap yang dibangun oleh kelompok Tionghoa ini cukup besar dan membangkitkan gerakan-gerakan anti Jepang karena sejak awal abad ke-XX kelompok Tionghoa telah mengupayakan nasionalisme Tionghoa lewat Tiong

Hwa Hwee Koan, Siang Hwee, surat kabar Tionghoa-Melayu, dan organisasi politik lainnya.

Maka sebagai bentuk sikap anti Jepang ini kelompok Tionghoa melakukan aksi boikot barang-barang Jepang. Aksi ini bukanlah semata-mata sebagai bentuk untuk mengambil kembali keuntungan pedagang Tionghoa yang direbut dari pedagang Jepang, melainkan murni sebagai bentuk perasaan nasionalisme Tionghoa. Aksi pemboikotan barang-barang Jepang dilakukan oleh kelompok organisasi Tionghoa baik secara legal maupun ilegal. Mereka juga melakukan aksi boikot dengan menggunakan surat kabar milik Tionghoa Melayu.

Organisasi Tionghoa Surabaya yang berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Kuo Min Tang (KMT) berperang cukup besar dalam aksi boikot. Kelompok Siang Hwee, Tiong Hoa Hwee Koan, Soe Po Sia, dan Klub Membaca Tionghoa merupakan kelompok-kelompok Tionghoa Surabaya yang melakukan aksi boikot. Bahkan kelompok-kelompok tersebut memiliki kelompok rahasia yang bertugas untuk melakukan intimidasi dan terror aksi boikot. Dalam menjalankan aksi boikot mereka tak pandang bulu ketika Tionghoa peranakan ketahuan menjual barang Jepang maka mereka melaburi toko-toko peranakan dengan kotoran manusia dan memasang pamflet peringatan untuk tidak menjual barang Jepang. Peristiwa ini kemudian membuat kelompok peranakan dan totok berseberangan dalam melakukan aksi boikot. Kelompok totok cukup fanatik dalam melakukan aksi boikot Jepang karena perasaan sakit hati yang menimpa keluarganya. Sedangkan, sebagian kelompok peranakan tidak peduli karena mereka sudah tidak memiliki hubungan keluarga lagi dengan Tiongkok.

Kelompok lain yakni Tjin Tjay Hwee di Surabaya juga melakukan aksi boikot dengan cara yang lain. Mereka mengumpulkan dana yang akan dikirimkan ke Tiongkok guna mendukung tentara Tiongkok memenangkan perang dengan Jepang. Mereka mengandeng kelompok Siang Hwee dan surat kabar Tionghoa Melayu untuk mengiklankan program bantuan dana untuk membantu korban perang Tiongkok-Jepang. Bahkan mereka juga mengirimkan alat-alat medis yang berguna untuk merawat para korban perang. Aksi Tjin Tjay Hwee ini tidak dilakukan dengan kekerasan berbeda dengan kelompok sebelumnya bahkan aksi tersebut didukung baik dari kelompok totok dan peranakan.

Seruan aksi boikot juga dilakukan dengan menggunakan surat kabar terutama surat kabar Tionghoa Melayu. Surat kabar Pewarta Soerabaia yang dimiliki oleh kelompok Tionghoa totok menjadi salah satu surat kabar yang mengajak untuk melakukan aksi boikot. Pewarta Soerabaia dikenal sebagai surat kabar perdagangan milik Tionghoa Surabaya yang juga memiliki banyak pembacanya di kalangan orang totok. Namun, ajakan boikot yang dilakukan

Pewarta Soerabaia tidak selamanya didukung secara penuh. Surat kabar seperti Soeara Parindra justru malah mengkritik bahwa aksi tersebut hanya demi

keuntungan pedagang Tionghoa saja. Seruan ajakan melakukan aksi boikot juga dikritik oleh kelompok Indonesische Handelsvereeniging karena dianggap memberikan keuntungan bagi pedagang Tionghoa sehingga merugikan pedagang bumiputera yang mendapatkan keuntungan besar dari penjualan barang-barang Jepang.

Aksi ajakan boikot dan berita-berita yang mempropagandakan anti Jepang yang dilakukan surat kabar Tionghoa Melayu direspon oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda tidak suka dengan pemberitaan yang menyudutkan Jepang dalam perang Jepang-Tiongkok. Hal ini disebabkan karena pemerintah berkeinginan untuk mempertahankan sikap netralitasnya dan menjaga hubungan dengan Jepang. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda melakukan aksi pembungkaman dan melakukan pemberangusan kepada surat kabar Tionghoa Melayu yang mengajak untuk melakukan aksi boikot dan pemberitaan anti Jepang.

Meskipun aksi boikot ini dianggap sebagai aksi yang spontan sehingga tidak berlangsung lama, namun aksi ini menjadi peringatan terhadap pergerakan Jepang ke selatan. Dibentuknya jaringan bisnis Jepang di Hindia Belanda justru memunculkan aksi-aksi spionase yang di mana mereka bekerjasama dengan angkatan perang Jepang. Pola-pola yang sudah diketahui oleh pemerintah membuat diselenggarakannya perundingan perdagangan antara Jepang dengan Hindia Belanda. Pemerintah ingin menghentikan urusan dagang dengan Jepang karena dianggap terlalu berbahaya Jepang di Hindia, namun sisi yang lain Jepang tidak ingin kehilangan Hindia Belanda untuk mendukung Jepang dalam peperangan.