• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KOTA SURABAYA & KOMUNITAS TIONGHOA PADA AWAL

A. Kota Kolonial Surabaya

Abad XX menjadi awal babak yang baru dalam perkembangan kolonialisme Hindia Belanda. Pada abad inilah diberlakukanlah Politik Etis atau politik balas budi atas desakan kaum liberal di Belanda. Hal ini berujung pada melonjaknya kedatangan orang Eropa ke kota-kota besar untuk membuka perusahaan-perusahaan swasta yang tidak terikat dengan pemerintah pusat. Akibatnya banyak penduduk Eropa memilih kota-kota besar dan penting untuk menjalankan perekonomiannya dan menuntut dibentuknya sistem pemerintahan yang otonom (gemeente).1

Tujuan dari sistem pemerintahan yang otonom ini adalah agar penduduk Eropa yang tinggal di kota-kota besar dapat menjalankan perusahaannya secara bebas tanpa ada suatu ikatan dengan pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari kaum liberal yang kemudian menguasai lahan-lahan pertanian dan perkebunan di pedalaman Jawa. Dari pedalaman Jawa mereka tinggal langsung

1

Purnawan Basundoro. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri., hlm. 8. Menurut William F. Frederick. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia(Surabaya 1926-1946). Jakarta: PT Gramedia, hlm. 3. Gemeente secara harafiah berarti “kota komunitas”, namun dalam bahasa awam berarti “kota praja”. Meskipun gemeente merupakan sistem dari pemerintahan yang desentralisasi, namun dalam pembentukannya hanya ditujukan kepada orang Eropa sedangkan bumiputera hanya sebagai bawahanya.

mengangkutnya menuju pusat-pusat industri sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Melalui sistem pemerintahan kota yang otonom inilah para pelaku bisnis Eropa dapat dengan bebas menjalankan sistem pemerintahan dan sistem perekonomian tanpa harus terhubung dengan Batavia.

Dalam pemerintahan yang otonom atau gemeente dibentuklah sebuah komposisi perangkat pemerintahan yang terdiri dari wali kota yang diangkat oleh gubernur jenderal dan dewan kota atau gemeenteraad2 yang mewakili tiap kelompok etnis.3 Meskipun begitu komposisi dewan kota lebih banyak kaum Eropa sehingga tidak seimbang antara bumiputera dan timur asing. Dalam menjalankan pemerintahannya wali kota membentuk beberapa departemen yang akan membantu wali kota dalam menjalankan pemerintahannya.

Surabaya yang sudah dikenal sebagai kota perdagangan yang penting bagi pemerintah kolonial kemudian ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1906 mengacu pada Staadblad Nomor 149 Tahun 1906. Penetapan ini sesuai dengan kesepakatan pemerintah Hindia Belanda pada De wet houdende decentralitatie

van het bestuur in Nederlands-Indie yang disahkan pada 23 Juli 1903.4 Status

2

Gemeenteraad terdiri dari 27 orang yang terbagi menurut garis etnik, namun kaum Eropa memiliki mayoritas anggota. Kekuasaan dalam gemeenteraad sangatlah terbatas , dalam sidang-sidanganya masukan gemeenteraad dalam pembentukan kebijakan hanya sedikit pengaruhnya. William H. Frederick. Op. cit., hlm. 4-5.

3

Ibid., hlm. 4.

4

Soetandyo Wignjosoebroto. 2005. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia. Malang: Bayumedia, hlm. 13; Bernard H.M. Vlekke. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG, hlm. 337.

Surabaya yang menjadi gemeente inilah yang kemudian merubah sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi dan tidak tergantung pada pusat.5

Status Kota Surabaya yang menjadi gemeente ini membuat perkembangan kota menjadi semakin modern dan berdampak pada perkembangan penduduk. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri transportasi dan pemukiman yang modern memberikan geliat ekonomi di Surabaya.6 Pertumbuhan ekonomi yang meningkat inilah membuat penduduk tidak hanya Eropa tetapi juga bumiputera dan timur asing bermigrasi ke Surabaya. Hal ini menumbuhkan kelas-kelas pekerja dan kelas-kelas-kelas-kelas pedagang di Surabaya.

Ketertarikan pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini juga memberikan efek pada imigran Tionghoa untuk datang ke Surabaya. Bahkan tercatat memasuki awal abad XX tidak hanya terjadi lonjakan penduduk bumiputera saja melainkan penduduk Tionghoa merangkak naik.7 Terdapat dua faktor yang membuat orang Tionghoa bermigrasi dari Tiongkok menuju ke Surabaya pada awal abad XX. Pertama, pada awal abad XX daratan Tiongkok masih dilanda peperangan dan kekacauan politik sehingga banyak dari mereka yang mengalami krisis ekonomi. Kedua, terjadinya krisis ekonomi global membuat mereka mencari peruntungan di tempat-tempat yang sedang berkembang ekonominya.

5

Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 4.

6

Samidi. 2017. “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat”, dalam Mozaik Humaniora, Vol. 17 No. 1, hlm. 157.

7

Perkembangan ekonomi dengan menggeliatnya pada sektor perindustrian menjadi daya tarik masyarakat untuk pindah ke Surabaya karena terbukanya lapangan pekerjaan.8 Hal inilah yang membuat penduduk Tionghoa berbondong-bondong untuk bermigrasi ke Surabaya dengan dibukanya lapangan pekerjaan secara luas. Apalagi dengan keberadaan etnis Tionghoa yang dikenal akan keuletan dalam perdagangan sehingga dimanfaatkan sebagai pedagang perantara antara produsen dari Eropa dengan konsumen dari bumiputera.9 Peranan Tionghoa sebagai pedagang inilah yang membuat mereka merantau mencari peruntungan di tempat-tempat yang perekonomiannya sedang berkembang.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Eropa, Tionghoa, dan Bumiputera Kota Surabaya Tahun 1915-1940

Tahun Eropa Tionghoa Bumiputera Arab Timur Asing Jumlah 1915 9.108 18.957 117.585 2.734 326 148.710 1916 15.000 19.053 119.733 2.660 306 156.752 1917 15.000 20.847 121.559 2.553 396 160.355 1918 17.000 23.000 122.000 2.640 426 165.106 1919 15.987 17.228 149.229 2.640 2.521 184.965 1920 18.714 18.020 148.411 2.593 165 187.903 1921 19.524 23.206 146.810 3.155 363 193.058 1922 20.105 27.595 148.000 3.410 504 199.614 1923 20.855 30.653 149.000 3.639 644 204.791 1924 22.153 32.005 150.000 3.818 847 208.823 1925 23.314 32.868 196.825 3.922 870 257.799 1926 24.372 33.370 188.977 4.040 981 251.740 1927 23.782 35.077 188.977 4.078 1.008 252.922 1928 24.625 36.850 188.977 4.208 1.039 255.699 1929 25.346 38.389 188.977 4.610 1.167 258.489 1930 26.502 42.768 265.872 4.994 1.303 341.493 1931 27.628 43.288 265.872 5.298 1.384 343.470 8

Samidi. Op. cit., hlm. 161.

9

G. William Skinner. “Golongan Minoritas Tionghoa”, dalam Mely G. Tan (ed.). 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 2.

Tahun Eropa Tionghoa Bumiputera Arab Timur Asing Jumlah 1932 26.411 40.781 274.000 5.634 1.444 352.129 1933 26.882 39.792 280.000 5.227 1.521 357.362 1934 27.297 40.533 286.000 5.175 1.519 365.524 1935 27.599 41.749 290.000 5.209 1.152 370.709 1936 28.548 43.650 294.000 4.998 900 377.096 1937 29.783 46.219 294.000 4.961 890 380.853 1938 30.687 43.779 294.000 4.921 929 390.989 1939 32.601 45.767 300.000 5.148 968 390.394 1940 34.576 47.884 308.000 5.242 1.027 396.720 Sumber: G.H. Von Faber. 1934. Niuew Soerabaia: De Geschiedenis van Indies

voornamste Koopstad in de Eerste Kwaarteeuw Sederthare Instelling, 1906-1930.

Surabaya: Boekhandel Drukkerij van Ingen Bussum; Verslag van den toestand

der Gemeente Soerabaja. 1917-1940; Bureau van Statistiek Soerabaja. 1932. Statistische berichten der Gemeente Soerabaja Jaarnummer 1931. „s-Gravenhage:

Martinus Nijhof.

Sejak memasuki awal abad XX jumlah penduduk di Surabaya mengalami kenaikan setiap tahunnya, walaupun ada beberapa tahun yang mengalami penurunan. Hal ini memperlihatkan bahwa semenjak Surabaya ditetapkan sebagai

gemeente kota ini lambat laun menjadi jujukan migrasi penduduk untuk

mengembangkan perekonomiannya. Bahkan dapat dilihat pada tabel 1 bahwa komposisi penduduk di Surabaya sudah beragam etnis menandakan bahwa Surabaya sebagai kota yang dinamis. Dalam tabel 1 diperlihatkan bahwa golongan bumiputera merupakan golongan dengan penduduk paling banyak dikuti oleh golongan Tionghoa, Eropa, Arab, dan Timur Asing.

Apabila dilihat pada tabel 1 memasuki awal abad XX migrasi orang Tionghoa yang masuk ke Surabaya bertambah setiap tahunnya, meskipun ada beberapa tahun yang menurun. Namun, penurunan jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya tidaklah signifikan melainkan kenaikan yang terjadi cukup besar. Terdapat beberapa faktor kenaikan jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya.

Pertama, penduduk Tionghoa yang sudah lama tinggal di Surabaya telah melakukan perkawinan dengan penduduk setempat sehingga melahirkan Tionghoa peranakan hal ini terlihat pada jumlah kelahiran penduduk Tionghoa yang cukup besar dibandingkan kematian.10 Kedua, jumlah kedatangan orang Tionghoa yang berasal dari Tiongkok cukup besar dibandingkan penduduk Tionghoa yang meninggalkan Kota Surabaya.11 Ketiga, pencatatan yang tidak cermat karena dalam Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja pada tahun-tahun awal abad XX tidak dicantumkan jumlah kelahiran, kematian, kepergian, dan kedatangan penduduk.

Komposisi penduduk yang cukup beragam menjadikan Kota Surabaya sebagai kota yang dinamis dibandingkan dengan kota-kota kolonial lainnya. Bahkan keberagaman penduduk di Surabaya juga menciptakan penduduk yang heterogen.12 Penduduk yang heterogen ini kemudian membuat pemerintah Kota Surabaya membagi-bagi wilayah pemukiman berdasarkan etnisnya. Pembagian wilayah berdasarkan golongan etnis merupakan sistem apartheid yang diciptakan oleh pemerintah kolonial.13 Pemerintah kolonial membagi dalam tiga golongan yakni (1) golongan Eropa atau Belanda, (2) golongan Timur Asing seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain-lainnya, (3) golongan bumiputera.

10

Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja over 1920, hlm. 8-9.

11

Ibid.

12

Purnawan Basundoro. 2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak, hlm. 14.

13

Onghokham. “Etnis Cina di Indonesia: Sebuah Catatan Sejarah”, dalam Onghokham. 2017. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina dan Anti Cina. Depok: Komunitas Bambu, hlm. 3.

Sistem penggolongan berdasarkan etnis yang diciptakan pemerintah kolonial ini bertujuan untuk mengisolasi penduduk agar tidak saling bertemu dengan penduduk yang lain sehingga satu golongan hanya tinggal dalam satu wilayah saja.14 Seperti contohnya penduduk Tionghoa yang hanya boleh tinggal di Kampung Tionghoa (Pecinan) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Dampak dari pengelompokkan pemukiman berdasarkan golongan ini di Surabaya tiap-tiap golongan ditempatkan sesuai dengan spesialisasi atau pekerjaannya.

Pembagian pemukiman berdasarkan golongan etnis ini kemudian menciptakan pemukiman-pemukiman orang Tionghoa (Chinese Kamp), pemukiman orang Melayu (Malaische Kamp), dan pemukiman orang Arab (Arabische Kamp).15 Pembangunan pemukiman ini berdasarkan pada peraturan

wijkenstelsel dalam Peraturan Negara tanggal 6 Juni 1866 yakni memusatkan

pemukiman orang Tionghoa dan etnis lainnya pada satu wilayah.16 Mereka penduduk Tionghoa yang ingin keluar dari wilayahnya untuk keperluan harus membawa surat jalan agar tidak mendapatkan hukuman.

Pemukiman penduduk Tionghoa selalu berada di wilayah perdagangan sesuai dengan profesi mereka sebagai pedagang. Mereka lebih memilih tinggal di wilayah yang berdekatan langsung dengan pantai utara karena dekat dengan

14

Onghokham. Op. cit., hlm. 4.

15

Purnawan Basundoro. 2012. “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, dalam Paramita, Vol. 22 No. 1, hlm. 4.

16

Andjarwati Noordjanah. 2010. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Yogyakarta: Ombak, hlm. 83.

pelabuhan sebagai pusat aktivitas perdagangan dan sepanjang aliran sungai.17 Perkampungan Tionghoa terletak di tepi Kali Mas di Kampung Songoyudan, Panggung, Pabean, Slompretan, dan Bibis.18 Perkampungan Tionghoa dibelah

Gambar 1. Peta Kota Surabaya Tahun 1900

Sumber: Handinoto. 2015. Komunitas Cina dan Perkembangan Kota Surabaya

(Abad XVII Sampai Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Ombak, hlm. 103.

17

R.N. Bayu Aji. 2010. Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942. Yogyakarta: Ombak, hlm. 32.

18

oleh satu jalan dari selatan ke utara dengan nama jalan Handelstraat atau biasa dikenal dengan Kembang Jepun19, kemudian di timur terdapat pasar yang biasa disebut Chineesche Breestraat dan di barat terdapat Kali Mas.20 Berbeda dengan arsitektuk bangunan pada pemukiman biasanya, rumah-rumah penduduk Tionghoa biasanya digabung antara toko sebagai aktivitas dagang di lantai satu dan lantai dua sebagai tempat tinggal mereka.21

Pemukiman Tionghoa di Surabaya ini kemudian disebut sebagai Kapasan sebagai wilayah pemukiman yang ditinggali baik oleh totok maupun peranakan. Kampung Kapasan sendiri tidak hanya menjadi kampung dengan aktivitas perdagangan bagi kaum Tionghoa saja melainkan juga menjadi tempat aktivitas politik dan kebudayaan penduduk Tionghoa Surabaya.22 Perkembangan perdagangan Tionghoa sampai pebentukan Siang Hwee dan adu politik Tionghoa semua berawal dari Kapasan. Maka tidak mengherankan bahwa banyak aktivitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya Tionghoa muncul di Kapasan bahkan tokoh-tokoh penting Tionghoa bermunculan di kampung ini.23

19

Kembang Jepun merupakan pemukiman bagi etnis Tionghoa di Surabaya. Kembang Jepun merupakan pusat perekonomian Tionghoa dengan banyaknya pedagang mulai dari yang kecil hingga yang menengah. Wilayah ini juga menjadi bentuk sistem wijkenstelsel yang memisahkan pemukiman berdasarkan etnisnya. Miqdad Nidzam Fahmi. 2017. “Kembang Jepun (Handelstraat) Sebagai Pusat Ekonomi Etnis China di Surabaya Tahun 1906-1930”, dalam Avatara, Vol. 5 No. 1, hlm. 119.

20

Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja over 1917, hlm. 222.

21

Miqdad. Op. cit., hlm. 100.

22

Siauw Giok Tjhan. 1981. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, hlm. 13

23

Bagi penduduk Eropa mereka lebih cenderung untuk menempati wilayah di pusat kota karena aktivitas mereka sebagai pegawai pemerintah dan kawasan tengah kota merupakan kawasan elit Eropa. Kemudian pemukiman bumiputera lebih menyebar tidak ada kawasan atau pemukiman yang menjadi pengelompokkan kaum bumiputera. Namun, secara garis besar pemukiman-pemukiman di Surabaya dibangun memanjang mengikuti aliran sungai, meskipun begitu jalan darat menjadi prioritas utama bagi penduduk Surabaya.