• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKSI BOIKOT JEPANG: NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II, 1930-AN 1940-AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKSI BOIKOT JEPANG: NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II, 1930-AN 1940-AN"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

i

AKSI BOIKOT JEPANG:

NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA

DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II,

1930-AN – 1940-AN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sejarah

Oleh:

Martinus Danang Pratama Wicaksana NIM 154314004

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii Skripsi

AKSI BOIKOT JEPANG:

NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA

DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II,

1930-AN – 1940-AN

Disusun Oleh

Martinus Danang Pratama Wicaksana NIM 154314004

Telah disetujui oleh:

Dr. Yerry Wirawan 9 September 2019 Pembimbing

(3)

iii

AKSI BOIKOT JEPANG:

NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA

DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II

1930-AN – 1940-AN

Oleh

Martinus Danang Pratama Wicaksana NIM 154314004

Dipertahankan di depan panitia penguji Program Studi Ilmu Sejarah dan dinyatakan diterima pada tanggal 3 Oktober 2019

Ketua : Dr. Yerry Wirawan ……….

Sekretaris : Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum. ...

Anggota : Heri Priyatmoko, S.S., M.A. ……….

Yogyakarta, 21 Oktober 2019 Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma Dekan

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertetu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta, 9 September 2019 Penulis

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Martinus Danang Pratama Wicaksana Nomor Mahasiswa : 154314004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul:

AKSI BOIKOT JEPANG: NASIONALISME KOMUNITAS TIONGHOA DI SURABAYA MENJELANG PERANG DUNIA II, 1930-AN – 1940-AN Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada 9 September 2019 Yang menyatakan

(6)

vi

La Historia me Absolverá

-Fidel Castro-

Dengan melawan kita takkan sepenuhnya kalah

-Pramoedya Ananta Toer-

(7)

vii

Skripsi ini saya persembahkan untuk mereka yang telah mengisi sejarah

Indonesia namun kalah pertaruhan dengan para pemenang sejarah sehingga

narasi mereka tidak pernah dituliskan oleh bangsa ini.

(8)

viii

ABSTRAK

Martinus Danang Pratama Wicaksana, Aksi Boikot Jepang: Nasionalisme

Komunitas Tionghoa di Surabaya Menjelang Perang Dunia II, 1930-an – 1940-an. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas

Sanata Dharma, 2019.

Skripsi berjudul Aksi Boikot Jepang: Nasionalisme Komunitas

Tionghoa di Surabaya Menjelang Perang Dunia II, 1930-an – 1940-an

bertujuan untuk mengetahui pengaruh nasionalisme yang berkembang di Tiongkok daratan akibat ekspansi Jepang sehingga bertumbuh kembang dalam komunitas Tionghoa di Surabaya dengan melakukan aksi boikot. Penelitian ini akan menjawab tiga pertanyaan. Pertama, apa yang melatarbelakangi terbentuknya identitas ganda komunitas Tionghoa. Kedua, instrumen apa saja yang digunakan untuk menyerukan aksi boikot. Ketigas, bagaimana dan mengapa aksi boikot Jepang di Surabaya berjalan.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yakni pencarian topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, intepretasi atau analisis data, dan penulisan atau historiografi. Sumber yang digunakan adalah dokumen atau arsip-arsip pemerintah Hindia Belanda; surat kabar Pewarta Soerabaia, Soeara Oemoem, dan

Soerabaiasch Handelsblad dari tahun 1930-1941. Penelitian ini menggunakan

teori nasionalisme jarak jauh yang dikemukakan oleh Benedict Anderson dan teori perdagangan Asia yang dikemukakan oleh Meilink Roelofsz.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh nasionalisme yang berkembang di Tiongkok setelah ekspansi oleh Jepang juga bertumbuh kembang pada komunitas Tionghoa perantauan di Hindia Belanda. Kebencian terhadap Jepang oleh komunitas Tionghoa berujung pada aksi boikot barang-barang Jepang. Organisasi Tionghoa perantauan yang memiliki hubungan dengan Kuo Min Tang dan surat kabar Pewarta Soerabaia memiliki pengaruh dalam melakukan aksi boikot di Surabaya.

Kata kunci: Pewarta Soerabaia, Tionghoa, Jepang, Perdagangan, Nasionalisme, Surabaya.

(9)

ix

ABSTRACT

Martinus Danang Pratama Wicaksana, Aksi Boikot Jepang: Nasionalisme

Komunitas Tionghoa di Surabaya Menjelang Perang Dunia II, 1930-an – 1940-an. A Thesis. Yogyakarta: History Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma

University, 2019.

This thesis entitled Aksi Boikot Jepang: Nasionalisme Komunitas

Tionghoa di Surabaya Menjelang Perang Dunia II, 1930-an – 1940-an, aims

to determine the influence of nationalism that developed in China which underlie the boycott action in Surabaya as the result of Japanese expansion. This research will answer three questions. First, what influences the dual identity formation of the Chinese community. Second, what instruments are used to propagate boycott actions. How and why the Japanese boycott in Surabaya happened.

This research uses historical methods which are topic research, data collection, source criticism, data interpretation or analysis, and writing or historiography. Sources used were documents or archives of the Dutch East Indies government; Pewarta Soerabaia newspaper , Soeara Oemoem newspaper, and

Soerabaiasch Handelsblad newspaper from 1930-1941. This study uses the theory

of long-distance nationalism put forward by Benedict Anderson and Asian trade theory by Meilink Roelofsz.

The results of this study indicate that the influence of nationalism that developed in China after Japanese expansion also grew and flourished in the immigrant Chinese community in the Dutch East Indies. Hatred of Japan by the Chinese community led to a boycott of Japanese goods. Immigrant Chinese organizations that have links to Kuo Min Tang and the Pewarta Soerabaia newspaper influence in carrying out boycotts in Surabaya.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada:

1. Seluruh jajaran dosen Ilmu Sejarah, Drs. Heribertus Hery Santosa M.Hum., Dr. Lucia Juningsih M.Hum., Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno M.Hum., Dr. Hieronymus Purwanta M.A., Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J., Heri Priyatmoko M.A., dan Heri Setyawan, S.J. S.S., M.A. 2. Pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik Dr. Yerry

Wirawan.

3. Kedua orangtua saya, adik saya, Budhe dan Pakdhe yang telah memberikan saya tumpangan selama berkuliah di Yogyakarta, Whowik, Asri, Angga, dan Dewi yang telah membantu saya selama di Jakarta, dan seluruh keluarga saya yang selama ini terus membantu, mendukung, dan memotivasi saya supaya tetap semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Mas Doni sebagai sekretaris program studi sejarah yang selama ini

membantu saya mengurus administrasi kuliah.

5. Teman-teman sejarah angkatan 2015, Mas Irawan, Laili, Sukma, Nita, Claudia, Pinto, Yohana, Herry, Eko, Lewi, Vagus, dan Aldy yang tidak pernah lelah menemani dan mendukung saya selama ini.

6. Teman-tema jurusan sejarah lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selama ini telah menemani dan menghibur saya.

7. Teman-teman UKPM Natas angkatan tahun 2015, 2016, dan 2017 yang telah banyak membantu saya.

8. Teman-teman alumni SMA St. Albertus Malang (DEMPO) yang merantau di Yogyakarta yang selalu mengajak saya menongkrong sambil menyeruput kopi.

9. Semua staf mikrofilm Perpustakaan Nasional yang sudah saya repotkan dengan pemesanan scan surat kabar, Dr. Andi Achdian yang memberikan pencerahan dan sumber-sumber dalam skripsi selama saya di Jakarta, dan Perpustakaan Medayu Agung khususnya Pak Oei Hiem Hwie yang telah membantu saya dalam menemukan topik skripsi setelah diberi buku Lima

(11)

xi

Jaman Siauw Giok Tjhan dan Mas Didin beserta staf Perpustakaan

Medayu Agung.

10. Saya juga berterimakasih kepada seorang perempuan spesial kekasih saya Dyas Putri Winayu yang telah membantu dan mendampingi saya dengan tanpa lelah selama penulisan skripsi ini.

11. Kepada teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu memberikan informasi dan mendukung saya selama mengerjakan skripsi ini.

Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Saya harap semoga skripsi ini dapat mendorong munculnya penelitian-penelitian lain yang akan melengkapi, ataupun menyanggah hasil dari penelitian ini.

Yogyakarta, 21 Agustus 2019 Penulis

(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL. ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR. ... x

DAFTAR ISI ... .xii

DAFTAR TABEL. ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN. ... xvi

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah. ... 6

C. Tujuan. ... 7 D. Manfaat. ... 7 E. Tinjauan Pustaka. ... 8 F. Landasan Teori ... 13 G. Metode Penelitian ... 18 H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KOTA SURABAYA & KOMUNITAS TIONGHOA PADA AWAL ABAD KE-XX ... 23

A. Kota Kolonial Surabaya. ... 23

B. Gelombang Imigran Tionghoa. ... 32

C. Aktivitas Komunitas Tionghoa. ... 40

1. Pedagangan ... 40

2. Pendidikan ... 45

3. Surat Kabar ... 51

(13)

xiii

BAB III JEPANG PADA MASA KRISIS EKONOMI 1930-AN. ... 63

A. Krisis Ekonomi 1930-an. ... 63

B. Penetrasi Jepang di Hindia Belanda. ... 75

C. Perang Tiongkok-Jepang. ... 86

1. Negara Boneka Manchukuo ... 87

2. Pembantaian Nanking ... 95

BAB IV AKSI BOIKOT JEPANG TAHUN 1931-1941. ... 101

A. Aksi Boikot Jepang di Surabaya. ... 101

1. Kelompok Organisasi Tionghoa... 103

2. Surat Kabar Pewarta Soerabaia ... 116

B. Aktivitas Propaganda Jepang Sebelum Pendudukan di Surabaya. ... 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ... 147

A. Kesimpulan ... 147 B. Saran. ... 152 DAFTAR PUSTAKA. ... 154 LAMPIRAN 1 ... .162 LAMPIRAN 2 ... 172 LAMPIRAN 3 ... 175 LAMPIRAN 4 ... 178 LAMPIRAN 5 ... 180 LAMPIRAN 6 ... 182

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah Penduduk Eropa, Tionghoa, dan Bumiputera Kota Surabaya Tahun 1917-1940 ... 26 Tabel 2. Jumlah Penduduk Tionghoa Surabaya Berdasarkan Suku Bangsa Tahun 1930 ... 36 Tabel 3. Jumlah Penduduk Tionghoa di Surabaya Menurut Tempat Kelahirannya Berdasarkan Klasifikasi Umur Tahun 1930 ... 38 Tabel 4. Jenis-Jenis Pekerjaan Komunitas Tionghoa di Surabaya Tahun 1930 .... 41 Tabel 5. Angka Indeks Impor dan Ekspor Hindia Belanda ... 64 Tabel 6. Harga-Harga Komoditi Ekspor Hindia Belanda ... 67 Tabel 7. Persentase Asal Impor Hindia Belanda Tahun 1905-1934 ... 72 Tabel 8. Populasi Orang Jepang di Hindia Belanda Menurut Pekerjaan Tahun 1912-1935 ... 78 Tabel 9. Jumlah Impor dan Ekspor antara Hindia Belanda dengan Jepang ... 81 Tabel 10. Daftar Surat Kabar yang Diberangus Tahun 1936-1940 ... 132

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Peta Kota Surabaya Tahun 1900 ... 30 Gambar 2. Berita Mengenai Krisis Ekonomi yang Melanda Hindia Belanda ... 66 Gambar 3. Isi dari Memorial Tanaka dalam Surat Kabar Pewarta Soerabaia ... 90 Gambar 4. Perang Tiongkok-Jepang Menghiasi Halaman Depan Pemberitaan Surat Kabar Pewarta Soerabaia ... 98 Gambar 5. Pemberitaan Aksi Boikot oleh Surat Kabar Soeara Oemoem ... 117 Gambar 6. Ajakan Aksi Boikot oleh Surat Kabar Pewarta Soerabaia ... 121 Gambar 7. Pembelaan Surat Kabar Pewarta Soerabaia terhadap Golongan Anti Boikot Jepang ... 129

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Surabaya ... 162 Lampiran 2. Indonesia Boycot Japan? ... 172 Lampiran 3. Keoentoengan dan “Keroegiannja” Indonesia Boycot Japan ... 175 Lampiran 4. Indonesische Handelsvereeniging dan Oeroesan Boycott Japan178 Lampiran 5. Sikepnja Handelsvereeniging Indonesia ... 180 Lampiran 6. Indonesiers Wadjib Bantoe Gerakan Tionghoa terhadep Japan ... 182

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran komunitas Tionghoa sebagai pedagang di Hindia Belanda memberikan pengaruh yang cukup besar dalam dunia perdagangan. Mereka dikenal akan kerajinan dan keterampilannya dalam berdagang sehingga memiliki posisi yang cukup penting dalam perdagangan dan menjadi sumber pemasukan yang besar di Hindia Belanda.1 Keunggulan dalam perdagangan ini membuat mereka banyak sekali melakukan imigrasi ke berbagai tempat di wilayah Asia Tenggara. Bahkan memasuki akhir abad XIX sampai abad XX imigran Tionghoa yang memasuki wilayah Hindia Belanda melonjak signifikan terutama di kota-kota perdagangan.2

Kota yang memiliki simbol modernitas seperti industri, transportasi, dan pemukiman modern menjadi daya tarik para imigran ini karena banyaknya dukungan dalam kegiatan ekonomi.3 Ketertarikan inilah yang membuat komunitas Tionghoa memilih Surabaya sebagai tempat perdagangan mereka, karena

1

G. William Skinner. “Golongan Minoritas Tionghoa”, dalam Mely G. Tan (ed.). 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 2.

2

Ibid., hlm: 6-8.

3

Samidi. 2017. “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat”, dalam Mozaik Humaniora, Vol. 17 No. 1, hlm. 157.

(18)

Surabaya pada awal abad XX sudah dikenal sebagai kota yang modern serta memiliki pemerintahan yang otonom (gemeente).4

Hal ini kemudian membuat kedatangan komunitas Tionghoa ke Surabaya melonjak cukup besar pada abad XX. Terdapat dua alasan yang membuat orang Tionghoa harus meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau hingga ke Surabaya.5 Pertama, pada akhir abad XIX dan abad XX masih terjadi kekacauan politik di Tiongkok. Kedua, tahun 1930 terjadi krisis ekonomi yang membuat banyak orang Tionghoa yang kehilangan pekerjaan sehingga harus merantau ke Surabaya.

Situasi di Surabaya dengan membludaknya imigran Tionghoa yang berasal dari Tiongkok memberikan dampak bagi perkembangan Kota Surabaya dan komunitas Tionghoa yang sudah tinggal sebelumnya. Kedatangan golongan Tionghoa totok6 di Surabaya memberikan dampak pada perkembangan ekonomi dan kekuatan sosial di kalangan komunitas Tionghoa peranakan7 sebelumnya.8

4

Purnawan Basundoro. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, hlm. 27.

5

Ibid., hlm. 43.

6

Tionghoa totok juga disebut sebagai Singkeh atau Sinkeh yang berasal dari dialek percakapan di Amoy yakni hsin-k’o yang berarti pendatang baru. Mereka yang baru datang dari Tiongkok ke Hindia Belanda disebut sebagai totok oleh penduduk Hindia Belanda. Lea E. Williams. 1960. Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of The Pan-Chinese Movement in Indonesia 1900-1916. Massachusetts: The Massachusets Institute of Technology, hlm. 10.

7

Orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda disebut sebagai peranakan yang berasal dari bahasa setempat yakni anak. Seorang peranakan merupakan campuran antara orang Tionghoa dengan penduduk bumiputera yang kemudian menikah dan memiliki seorang anak yang disebut sebagai peranakan. Ibid., hlm. 10-11.

(19)

Salah satu perkembangan yang dirasakan adalah terbentuknya perkumpulan kamar dagang Tionghoa atau disebut sebagai Siang Hwee9. Keberadaan Siang Hwee yang anggotanya didominasi oleh kelompok totok ini memberikan dampak yang cukup besar bagi komunitas Tionghoa di Surabaya sehingga menimbulkan kesenjangan dengan kelompok peranakan.10

Memasuki tahun 1930-an ketika masa depresi ekonomi melanda, para pedagang Tionghoa di Hindia Belanda mengalami kerugian yang cukup besar karena politik ekspansi Jepang. Bahkan memasuki tahun 1933 dan 1934 terjadi kenaikan jumlah barang Jepang yang diimpor dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.11 Akibatnya barang-barang tersebut dijual dengan harga yang murah, sehingga konsumen yang hanya memiliki pendapatan rendah beralih dari barang-barang Tionghoa ke barang-barang-barang-barang Jepang.12

Para pedagang Tionghoa menganggap aksi ekspansi barang-barang Jepang memberikan ancaman yang cukup besar. Banyak dari pedagang Tionghoa

8

Andi Achdian. 2017. “Kaum Pergerakan dan Politik Kota: Perkembangan Politik Kewargaan di Kota Kolonial Surabaya 1906-1942”. Disertasi. Depok: Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, unpublished, hlm. 77.

9

Pada tahun 1906 dibentuklah Siang Hwee oleh lima pedagang Tionghoa yakni Ong Tjien Hong, Tio Tjee An, dan Lie Siong Hwie. Siang Hwee sendiri sebagai sebuah organisasi perdagangan telah disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun berikutnya. Claudine Salmon. 2009. “The Chinese Community of Surabaya, from its Origins to the 1930s Crisis”, dalam Chinese Southern Diaspora Studies, Vol. 3, hlm. 53.

10

Ibid., hlm. 54.

11

Howard Dick. 1989. “Japan’s Economic Expansion in the Netherlands Indies between the First and Second World War”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 20 No. 2 September, hlm. 246.

12

Nawiyanto 2010. Mata Hari Terbit dan Tirai Bambu: Persaingan Dagang Jepang-Cina. Yogyakarta: Ombak, hlm. 49.

(20)

menanggapi aksi ekspansi barang-barang Jepang pada tahun 1930-an dengan berbagai macam aksi salah satunya adalah dengan aksi boikot barang Jepang. Salah satu aksi boikot barang-barang Jepang di Surabaya terjadi tahun 1931 yang dilakukan oleh anggota Siang Hwee yakni dengan cara melaburi toko-toko peranakan dengan kotoran manusia yang kedapatan menjual barang-barang Jepang.13

Aksi boikot barang-barang Jepang terjadi tidak hanya disebabkan karena menanggapi aksi ekspansi barang Jepang masuk Hindia Belanda, namun juga disebabkan karena kondisi perpolitikan antara Tiongkok dan Jepang. Jepang dengan semangat ultranasionalisme melancarkan politik Hakko-Ichiu yakni ingin menyatukan seluruh semesta dalam satu atap sehingga tercetus ide ekspansi.14 Hasilnya satu persatu wilayah di Asia Timur bahkan menuju wilayah selatan yang berdekatan langsung dengan Jepang dikuasai untuk diambil sumber dayanya.

Puncak peperangan Tiongkok-Jepang yang terjadi pada tahun 1937 direspon secara besar-besaran oleh komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Mereka mengikuti langsung jalannya perang Tiongkok-Jepang melalui berita-berita di surat kabar Tionghoa-Melayu. Respon komunitas Tionghoa adalah dengan aksi boikot Jepang kembali pada tahun 1938.15 Bahkan mulai Januari 1938

13

Siauw Giok Tjhan. 1981. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, hlm. 18.

14

I Ketut Surajaya, dalam pengantar Ken’Ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. xvii.

15

Harry A. Poeze (ed.). 1994. Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel IV 1935-1941. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, hlm. 200-201.

(21)

surat kabar Tionghoa-Melayu yang terdapat di Surabaya yakni Pewarta Soerabaia mulai mengabarkan dan mengajak komunitas Tionghoa bersama bumiputera untuk melakukan aksi boikot.16 Seruan-seruan ini bahkan terjadi sepanjang tahun 1938-1939 seiring terjadinya aksi boikot di Surabaya bahkan juga terjadi di kota-kota lainnya seperti di Batavia, Yogyakarta dan Semarang.17

Aksi boikot yang dilakukan komunitas Tionghoa tidak hanya mempermasalahkan kepentingan ekonomi pedagang-pedagang Tionghoa demi melindungi kepentingan ekonomi dari ekspansi barang-barang Jepang. Aksi ini juga memperlihatkan bahwa komunitas Tionghoa di Hindia Belanda memprotes keras penyerbuan Jepang ke Tiongkok sehingga aksi boikot lebih menggambarkan sikap dan perasaan anti Jepang.18 Perasaan anti Jepang sebagai salah satu bentuk nasionalisme jarak jauh dan kepentingan ekonomi yang menjadi penggerak utama dalam melancarkan aksi boikot.

Penelitian ini menarik untuk melihat perbedaan kepentingan berdasarkan identitas yang dianut dalam menjalankan aksi boikot. Ada kelompok yang melakukan boikot karena paham nasionalisme jarak jauh sebagai bentuk perasaan solidaritas terhadap saudara-saudara mereka di Tiongkok. Sisi lain terdapat kelompok yang menjalankan aksi boikot karena disebabkan oleh kepentingan ekonomi yang ingin bertahan di masa depresi. Dalam penelitian menjadi menarik

16

“Gerakan Boycot”. Pewarta Soerabaia pada Jumat, 7 Januari 1938, hlm. 10.

17

Poeze. 1994. Loc. cit.

18

Mona Lohanda. 2002. Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java 1890-1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm. 158-159.

(22)

untuk melihat bahwa nasionalisme yang berkembang di Tiongkok berujung pada aksi boikot di Surabaya sebagai bentuk ikatan dengan tanah kelahirannya.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Penelitian ini perlu dibatasi oleh batasan spasial dan batasan temporal agar penelitian ini tidak meluas. Batasan spasial yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah Surabaya, karena wilayah ini memiliki tingkat pertumbuhan penduduk Tionghoa yang meningkat tiap tahunnya mulai dari awal abad XX hingga terjadi lonjakan pada tahun 1930-an. Surabaya juga dikenal sebagai kota yang modern pada abad XX sehingga menarik minat imigran Tionghoa untuk datang. Aksi boikot barang-barang Jepang juga terjadi di Surabaya karena begitu banyaknya pedagang Tionghoa dan pedagang Jepang yang mendiami kota ini.

Sedangkan batasan temporal dalam karya ilmiah ini mengambil waktu pada tahun 1930-an di mana terjadi depresi ekonomi dan politik ekspansi Jepang mulai dijalankan. Pada tahun 1930-an juga menjadi awal babak baru perseteruan Tiongkok-Jepang yang memuncak pada tahun 1937. Sepanjang tahun inilah terjadi aksi boikot yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa. Penelitian ini diakhiri pada tahun 1940-an karena menjadi awal dari kedatangan Jepang ke Hindia Belanda yang menjadi babak baru hubungan Hindia Belanda-Jepang yang berujung pada tertekannya kelompok Tionghoa.

Serangkaian peristiwa aksi boikot Jepang yang terjadi pada masa sebelum Perang Dunia II di Surabaya memunculkan beberapa permasalahan yang perlu dikaji:

(23)

1. Apa yang melatarbelakangi terbentuknya identitas ganda komunitas Tionghoa?

2. Instrumen apa saja yang digunakan untuk menyerukan aksi boikot? 3. Bagaimana dan mengapa aksi boikot Jepang di Surabaya berjalan?

C. Tujuan

Secara garis besar tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui instrumen yang digunakan untuk menyerukan aksi boikot dan jalannya aksi tersebut. Penelitian ini juga untuk mengetahui latar belakang terbentuknya identitas ganda komunitas Tionghoa dalam menjalankan aksi boikot ini.

Lewat penelitian ini akan didapatkan gambaran yang utuh mengenai sikap nasionalisme jarak jauh yang tidak lagi menekankan pada nasionalisme yang tumbuh hanya pada pengalaman langsung dan dibatasi oleh wilayah. Nasionalisme yang memiliki kedekatan emosional pada kampung halaman memberikan dampak terjadinya gerakan aksi boikot.

D. Manfaat

Manfaat akademis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru mengenai sejarah Tionghoa sebagai salah satu penggerak perkembangan sejarah di Indonesia sehingga dapat melengkapi kajian-kajian sejarah Tionghoa sebelumnya.

Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian bagi peneliti selanjutnya dalam perkembangan sejarah nasionalisme jarak jauh yang

(24)

tidak hanya sebatas nasionalisme fisik, namun juga nasionalisme yang tidak hanya terbatas pada satu wilayah.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sejarah nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda tentu saja sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Bahkan penelitian hubungan perdagangan antara komunitas Tionghoa dengan Jepang di Hindia juga sudah pernah diteliti sebelumnya. Masing-masing penelitian tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan yang ingin dilengkapi melalui penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari penelitian sebelumnya. Skripsi ini muncul sebagai usaha untuk melengkapi kajian akan nasionalisme Tionghoa, dengan ditinjau dari sudut pandang aksi boikot Jepang sebagai salah satu bentuk nasionalisme yang dimunculkan oleh komunitas Tionghoa.

Penelitian yang membahas mengenai hubungan dagang antara komunitas Tionghoa dengan komunitas di Jepang di Hindia Belanda telah dilakukan oleh Nawiyanto dalam bukunya yang berjudul Mata Hari Terbit dan Tirai Bambu:

Persaingan Dagang Jepang-Cina19. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Nawiyanto yang menjabarkan mengenai hubungan dagang antara Tionghoa dan Jepang disebabkan oleh dua masa krisis yakni tahun 1930-an dan 1990-an.

Dalam buku ini dibahas mengenai persaingan dagang antara pedagang Tionghoa dengan pedagang Jepang yang disebabkan oleh masa krisis ekonomi.

19

(25)

Masa krisis ekonomi 1930-an yang membuat Jepang mengekspansi Hindia Belanda lewat barang-barang Jepang yang dijual murah. Akibatnya timbul kebencian komunitas Tionghoa terhadap pedagang Jepang karena mengganggu kepentingan dagang Tionghoa di Hindia Belanda karena pada masa krisis kelompok bumiputera lebih memilih barang-barang Jepang yang dijual murah.

Meskipun membahas mengenai timbulnya persaingan dagang komunitas Tionghoa dengan pedagang Jepang, karya ini lebih memfokuskan pada faktor ekonomi yang menjadi latar belakang terjadinya aksi boikot. Proses terjadinya aksi boikot lebih disebabkan karena tingginya impor barang-barang Jepang yang masuk ke Hindia sehingga membuat pedagang Tionghoa tidak terima sehingga merasa dirugikan oleh pedagang Jepang. Terjadinya aksi boikot yang disebabkan oleh keadaan di Tiongkok sehingga menimbulkan rasa solidaritas komunitas Tionghoa dalam buku ini tidak dibahas. Padahal aksi boikot terhadap Jepang tidak dapat dilepaskan dari situasi perang Tiongkok-Jepang dan rencana ekspansi Jepang ke selatan.

Penelitian lainnya yang membahas mengenai hubungan dagang antara pedagang Tionghoa dengan pedagang Jepang adalah buku yang berjudul Dutch

Commerce and Chinese Merchants in Java20 karya Alexander Claver. Buku ini membahas mengenai hubungan dagang antara pemerintah kolonial dengan pedagang Tionghoa pada tahun 1800-1942. Hubungan perdagangan antara orang Tionghoa dengan pemerintah kolonial merupakan sesuatu hal yang penting

20

(26)

bahkan pedagang Tionghoa memiliki peranan sebagai pedagang perantara antara kolonial Belanda sebagai penjual dengan bumiputera sebagai pembeli.

Dalam buku ini juga dibahas mengenai pedagang Tionghoa dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 1930 dan impor barang Jepang secara besar-besaran. Konflik pedagang Tionghoa dengan kehadiran barang-barang Jepang yang murah juga memberikan efek pada kebijakan pemerintah kolonial dalam hal perdagangan di Hindia Belanda. Sayangnya penelitian ini tidak membahas mengenai gerakan boikot barang-barang Jepang akibat derasnya arus impor dari Jepang yang membuat barang dijual murah di Hindia Belanda.

Karya penelitian lainnya yang membahas mengenai kehidupan sosial komunitas Tionghoa masa Hindia Belanda adalah buku yang berjudul Growing

Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java, 1890-194221 karya Mona Lohanda. Buku ini membahas mengenai kehidupan komunitas Tionghoa di Pulau Jawa sejak di mulai kedatangannya sebagai imigran, dibangunnya sekolah Tiong Hoa Hwee Koan sebagai landasan pendidikan anak-anak Tionghoa, perjuangan politik komunitas Tionghoa dalam meraih kesetaraan dengan orang barat, perbedaan politik antara totok dengan peranakan, dan gerakan Tionghoa peranakan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Buku ini membahas mengenai hubungan Tionghoa totok dengan peranakan dalam menyikapi gejolak politik di Tiongkok mulai dari Revolusi 1911, organisasi Kuo Min Tang yang di bawa dari Tiongkok dan disebarkan di Jawa, dan perkembangan perang Tiongkok-Jepang. Meskipun dalam buku ini dibahas

21

(27)

mengenai aksi boikot Jepang yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa, namun penjelasannya hanyalah garis besar mengenai aksi boikot. Buku ini tidak membahas mengenai aksi-aksi boikot yang terjadi di daerah-daerah salah satunya di Surabaya secara mendetail. Sayangnya buku ini juga tidak menjelaskan mengenai posisi Tionghoa totok dan peranakan dalam menyikapi aksi boikot.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai Tionghoa di Surabaya adalah jurnal yang berjudul The Chinese Community of Surabaya, from its Origin

to the 1930s Crisis22 karya Claudine Salmon. Penelitian ini membahas mengenai komunitas Tionghoa yang berada di Surabaya mulai dari alasan mereka memilih Surabaya sebagai tempat imigrasi, hubungan mereka dengan pemerintah kolonial, pekerjaannya yang dimulai dari keluarga-keluarga besar totok yang datang dari Tiongkok yang kemudian membangun industri-industri besar, dan aktivitas politik mereka sampai mendirikan surat kabar Tionghoa-Melayu. Penelitian ini hanya dibatasi sampai tahun 1930 di mana terjadi krisis ekonomi.

Dalam penelitian ini dibahas mengenai awal perseteruan antara Tionghoa totok dengan peranakan di Surabaya akibat membludaknya imigran dari Tiongkok pada tahun 1930-an. Perseteruan ini kemudian memasuki babak yang baru setelah pembentukan Siang Hwee yakni salah satu organisasi yang melakukan aksi boikot. Meskipun begitu dalam penelitian ini belum menunjukkan Siang Hwee sebagai salah satu pelopor aksi boikot apalagi dengan posisi anggotanya yang mayoritas totok. Perseteruan antara totok dengan peranakan memang dibahas

22

(28)

dalam penelitian ini, namun tidak begitu mendalam dan tidak menyinggung aksi boikot.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai aksi boikot Jepang adalah buku yang berjudul Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar23 yang ditulis oleh Siauw Giok Thjan. Buku ini merupakan memoar yang ditulis oleh Siauw Giok Tjhan yang memotret kehidupannya mulai dari masa pendudukan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, masa revolusi fisik, masa kemerdekaan Indonesia, sampai pada masa Orde Baru. Dalam bukunya kehidupan komunitas Tionghoa yang merentang zaman ini ditulis dan dinarasikan oleh seorang Tionghoa yang benar-benar mengalami sendiri setiap peristiwa yang ada.

Buku ini juga menarasikan kakek Siauw Giok Tjhan yang merupakan anggota Siang Hwee melalukan aksi boikot Jepang dalam merespon pendudukan Manchuria oleh Jepang tahun 1930-an. Jalannya aksi boikot Jepang yang dilakukan oleh kelompok Siang Hwee dinarasikan oleh Siauw Giok Tjhan dalam bukunya ini dengan cukup jelas karena kakeknya sebagai seorang penggerak aksi. Namun sayangnya buku ini hanya sedikit saja menggambarkan aksi boikot yang terjadi sehingga hanya menjadi gambaran sederhana mengenai perseteruan antara totok dengan peranakan. Bahkan buku ini hanya menjelaskan mengenai aksi boikot yang terjadi pada tahun 1931 padahal aksi boikot masih terjadi kembali pada tahun 1937.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai nasionalisme Tionghoa dalam perseteruannya dengan Jepang adalah jurnal yang berjudul Reaksi Media

23

(29)

Peranakan terhadap Perang Tiongkok-Jepang 1937-193924 karya Ravando Lie. Penelitian ini membahas mengenai aksi-aksi surat kabar milik Tionghoa-Melayu dalam mengabarkan perang Tiongkok-Jepang. Surat kabar Tionghoa-Melayu merupakan media yang paling efektif saat itu dalam mengabarkan jalannya perang di Tiongkok sehingga imigran Tionghoa tetap mengikuti jalannya perang tersebut. Meskipun penelitian ini menekankan pada aksi nasionalisme komunitas Tionghoa lewat media massa, namun yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini hanya surat kabar Sin Tit Po yang merupakan corong tidak resmi Partai Tionghoa Indonesia. Padahal secara keberpihakan politik surat kabar Sin Tit

Po tidak terlalu dekat dengan orang-orang totok sehingga penelitian ini tidak

membahas secara lengkap surat kabar Tionghoa-Melayu yang memiliki pandangan politik ke Tiongkok. Kemudian penelitian ini mencakup tahun 1937-1939 yang merupakan titik puncak dari perang Tiongkok-Jepang. Padahal mulai tahun 1930 perang Tiongkok-Jepang sudah memasuki babak yang baru dengan didudukinya Manchuria. Akibatnya banyak surat kabar Tionghoa-Melayu sudah mulai melakukan aksi propaganda sejak tahun tersebut sehingga penelitian ini tidak membahas secara lebih luas mulai dari ekspansi Jepang tahun 1930-an hingga puncak perang Tiongkok-Jepang.

F. Landasan Teori

Pembahasan konsep nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari kata nasional atau nation yang berasal dari bahasa Latin natio (lahir) yang secara garis besar

24

(30)

adalah sekumpulan orang yang memiliki ikatan darah. National atau nation sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari kata state yakni negara. Nasional atau nation yang berarti adalah sekumpulan penduduk dalam sebuah negara di bawah satu pemerintahan.25 State atau negara diartikan sebagai sebuah tubuh politik di mana setiap orang menempati suatu wilayah yang pasti dengan dipimpin oleh satu pemerintahan yang berdaulat dan tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu yang berada di luar.26

Nasionalisme sendiri memiliki banyak pengertian tergantung para ahli yang mengungkapkannya. Namun, dari sekian banyak pengertian secara garis besar nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham di mana kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.27 Paham nasionalisme ini berakar pada ikatan-ikatan seorang individu terhadap kampung halaman atau tanah tempat kelahirannya sehingga paham ini pada kemudian hari melahirkan sebuah negara bangsa yang berdaulat.

Perkembangan nasionalisme pada abad XX berkembang secara luas tidak lagi terikat dan dibatasi oleh suatu wilayah. Bangsa bagi Anderson adalah sesuatu yang terbayang karena sesama anggotanya tidak bakal tahu dan tidak bakal mengenal sebagian besar anggota bangsa lainnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak pernah bertatap muka bahkan tidak pernah mendengar tentang

25

Louis L. Snyder. 1954. The Meaning of Nationalism. New Jersey: Rutgers University Press, hlm. 17.

26

Ibid.

27

Hans Kohn. 1984. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 11.

(31)

mereka.28 Bahwa perasaan sebagai suatu bangsa tidak harus lahir atau bertemu dengan orang-orang yang tinggal di dalam sebuah wilayah yang sama.

Perkembangan migrasi yang begitu besar sehingga menghasilkan keturunan yang tidak memiliki ikatan darah yang sama membuat paham nasionalisme berkembang secara luas. Frederick Hertz mengatakan bahwa konsep nasionalisme adalah perasaan solidaritas akan persatuan di antara anggota keluarga dalam sebuah bangsa.29 Bahwa nasionalisme yang berkembang adalah ikatan darah bukan lagi tempat tinggal di suatu wilayah.30

Kondisi ini kemudian dikemukakan oleh Anderson bahwa bangsa kini dipahami sebagai sebuah komunitas yang memiliki hubungan kesetiakawanan tanpa memedulikan suatu wilayah.31 Keterikatan seseorang terhadap kampung halaman, kota kelahiran, dan negara tanah tumpah darah akan menjadi pemicu seseorang masih memikirkan tentang apa yang terjadi dengan kampung halamannya.32 Nasionalisme yang berkembang pada para imigran inilah yang membuat ikatan darah menjadi hal yang membuat mereka setia pada bangsa dan negaranya.

28

Benedict Anderson. 2008. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, hlm. 8.

29

Snyder. Op. cit., hlm. 14.

30

Ibid.

31

Anderson, Op. cit., hlm. 11.

32

Benedict Anderson. 2002. The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso, hlm. 59-60.

(32)

Lahirnya identitas nasionalisme jarak jauh di daerah imigrasi merupakan dampak dari berkembangnya permasalahan di negara asalnya. Lewat paham inilah muncul gerakan-gerakan boikot Jepang oleh komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Aksi boikot merupakan salah satu bentuk aksi nasionalisme yang ditunjukkan komunitas Tionghoa menanggapi aksi Jepang. Hal ini memperlihatkan bahwa nasionalisme tidak hanya berkembang secara fisik, namun juga berkembang dalam perang dagang.

Aksi boikot Jepang juga menunjukkan suatu teori bahwa perkembangan perdagangan di Hindia Belanda tidak hanya digerakkan oleh orang-orang barat saja. Perkembangan bangsa-bangsa Asia yang mulai menunjukkan kekuatan ekonominya mulai turut ambil bagian dalam sejarah perekonomian di Hindia Belanda. Hal ini yang ingin ditunjukkan Meilink Roelofsz bahwa sebelum bangsa barat hadir di Hindia Belanda telah hadir bangsa-bangsa Asia yang memiliki posisi yang cukup penting dalam perdagangan Asia.33

Sejarah perekonomian di Hindia Belanda selalu menempatkan bangsa-bangsa barat sebagai aktor utama, namun lewat Meilink bangsa-bangsa-bangsa-bangsa Asia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perdagangan sebelum kedatangan bangsa barat.34 Meilink ingin memperlihatkan bahwa perdagangan di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Asia dengan kehadiran mereka di Hindia Belanda. Dua kekuatan Asia yakni Tiongkok dan Jepang yang sedang berperang berdampak pada aktivitas perdagangan mereka di Hindia Belanda. Ini

33 M. A. P. Meilink-Roelofsz. 2016. Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di

Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630. Yogyakarta: Ombak, hlm. xi.

34

(33)

menunjukkan bahwa aksi boikot Jepang merupakan tanda kehadiran bangsa Asia turut dalam dinamika perdagangan di Hindia Belanda.

Aksi boikot Jepang merupakan bentuk dari solidaritas komunitas Tionghoa kepada warga negara Tiongkok yang menderita akibat perang Tiongkok-Jepang. Ikatan darah sebagai warga negara Tiongkok membentuk identitas nasionalisme mereka meskipun mereka jauh dari Tiongkok daratan bahkan tidak mengalami langsung perang Tiongkok-Jepang.

Kelahiran nasionalisme jarak jauh juga tidak dapat dilepaskan dari peranan surat kabar dalam menyampaikan propaganda atau paham nasionalisme secara luas. Tumbuhnya kapitalisme cetak pada abad XX membuat orang Tionghoa memiliki surat kabarnya sendiri menjadi faktor utama identitas nasionalisme berkembang. Keberadaan kapitalisme cetak dapat menyebarkan gagasan mengenai nasionalisme melalui bahasa yang dapat dimengerti.35

Imigran Tionghoa menggunakan surat kabar untuk mengetahui jalannya perang Tiongkok-Jepang sehingga mereka mengetahui keadaan keluarga mereka di Tiongkok daratan. Perasaan yang dibangun lewat tulisan-tulisan di surat kabar yang mengabarkan jalannya perang setiap harinya membuat imigran Tionghoa menaruh sikap benci pada Jepang. Secara imajinasi hal ini memperlihatkan adanya kedekatan antara keluarga di Tiongkok dengan imigran Tionghoa. Hal inilah yang kemudian membentuk identitas nasionalisme jarak jauh imigran Tionghoa yang kemudian berkembang pada aksi boikot.

35

(34)

Penelitian ini menggunakan perpektif sejarah pergerakan Tionghoa di Hindia Belanda. Paham nasionalisme yang lahir karena sikap solidaritas mereka kepada saudara dan keluarga di kampung halaman melahirkan sebuah pergerakan dan sikap anti terhadap Jepang. Aksi boikot inilah yang kemudian menjadi bentuk pergerakan komunitas Tionghoa di Surabaya sebagai bentuk penekanan terhadap Jepang yang menduduki Tiongkok.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kaidah-kaidah keilmuan dalam metode penelitian sejarah. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah memilih topik yang diangkat dalam penelitian ini. Tahapan selanjutnya adalah pencarian sumber-sumber utama dalam penelitian ini yakni berasal dari Politiek-Politioneele

Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel III 1931-1934 penerbit Foris

Publications dan Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel

VI 1935-1941 penerbit Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Kedua buku yang dieditori oleh Harry A. Poeze ini merupakan catatan kepolisian Hindia Belanda tentang gerakan-gerakan politik. Selain itu juga digunakan surat kabar Tionghoa-Melayu yang terbit di Surabaya yakni Pewarta Soerabaia yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini lebih banyak menggunakan surat kabar Pewarta Soerabaia karena merupakan surat kabar perdagangan yang banyak diminati oleh Tionghoa Surabaya. Meskipun begitu surat kabar Pewarta Soerabaia yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tidak begitu lengkap. Surat kabar Pewarta Soerabaia tahun

(35)

1933-1936 tidak diketahui keberadaannya. Selain surat kabar Tionghoa-Melayu juga digunakan surat kabar milik nasionalis Soeara Oemoem dan surat kabar milik Belanda yakni Soerabaiasch Handelsblad untuk melihat respon terhadap aksi boikot.

Selain sumber-sumber tersebut, penelitian ini juga menggunakan data statistik dan laporan-laporan yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sumber-sumber tersebut adalah Volkstelling 1930: Deel VII Chineezen en Andere

Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie dan Verslag van de Toestand der Staadsgemeente Soerabaja yang terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia.

Selain itu juga digunakan sumber dari Statistische berichten der Gemeente

Soerabaja Jaarnummer 1931, Indisch Verslag 1932 Vol. 1, dan Indisch Verslag 1935 yang terdapat di Arsip Daerah Provinsi Jawa Timur. Hal ini digunakan

untuk memperoleh data penduduk, aktivitas komunitas Tionghoa, dan aktivitas perdagangan di Surabaya.

Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan sumber dari Ten Years of

Japanese Burrowing in The Netherlands East Indies: Official Report of The Netherlands East Indies Governement on Japanese Subversive Activities in The Archipelago During The Last Decade. Sumber ini diterbitkan oleh Biro Informasi

Belanda pada tahun 1942 yang mencatat pola-pola propaganda yang dilakukan oleh Jepang dalam melakukan ekspansinya ke Hindia Belanda. Sumber ini dapat diakses secara bebas.

Sumber-sumber sejarah seperti buku-buku, surat kabar, hingga terbitan resmi pemerintah Hindia Belanda didapatkan dari penelusuran di perpustakaan

(36)

dan arsip yang berada di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Perpustakaan Medayu Agung, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, dan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma.

Tahapan selanjutnya adalah verifikasi sumber dan kritik sumber dengan mengecek keabsahan sumber yang digunakan. Selanjutnya adalah intepretasi data, yakni menggabungkan fakta-fakta sejarah dan sebab akibatnya. Hal ini akan memunculkan intepretasi yang baru berdasarkan penelitian. Tahapan terakhir adalah penulisan atau historiografi berdasarkan intepretasi yang penulis bangun.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang membahas mengenai gambaran umum penelitian ini. Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mengetahui proses pembahasan tiap babnya.

Bab II membahas tentang Kota Surabaya dan komunitas Tionghoa pada awal abad XX. Kota kolonial Surabaya berkembang menjadi kota otonom atau

gemeente pada awal abad XX memberikan dampak pada perkembangan ekonomi

industri. Hal ini berakibat pada terjadinya gelombang kedatangan imigran Tionghoa yang cukup besar pada 1930-an di Surabaya membawa perubahan sosial dalam komunitas Tionghoa. Dalam bab ini dibahas bagaimana aktivitas

(37)

masyarakat Tionghoa baik totok maupun peranakan baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan surat kabar. Pada bab ini juga dibahas mengenai kebangkitan Jepang dan Pan Asianisme yang berkembang pada awal abad XX yang memicu nasionalisme.

Bab III membahas tentang Jepang pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an. Pada masa inilah terjadi krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh wilayah di dunia bahkan hingga sampai ke Hindia Belanda. Pada masa krisis inilah kemudian Jepang melakukan banyak ekspansi ke wilayah di Asia Timur bahkan melakukan ekspansi barang-barang murah ke Hindia Belanda. Inilah fase awal di mana Jepang melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di Asia. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai konflik Jepang-Tiongkok berdasarkan pada surat kabar Tionghoa-Melayu di Hindia Belanda. Konflik inilah yang akan memicu rasa nasionalisme Tiongkok pada kelompok Tionghoa di Hindia Belanda yang kemudian memicu terjadinya aksi boikot.

Bab IV membahas tentang aksi boikot barang-barang Jepang oleh komunitas Tionghoa. Mulai aksi propaganda yang dilancarkan oleh kelompok organisasi Tionghoa dan dalam bentuk surat kabar Pewarta Soerabaia untuk mendorong terjadinya aksi boikot hingga bagaimana aksi tersebut berjalan. Aksi propaganda ini melahirkan sikap solidaritas Tionghoa perantauan terhadap perang Tiongkok-Jepang untuk menyerukan aksi anti Jepang. Bab ini juga membahas mengenai respon bumiputera dan pemerintah Hindia Belanda dalam hubungan dagang dengan Jepang. Pada bab ini membahas juga mengenai aktivitas

(38)

propaganda melalui aksi-aksi spionase sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Bab V membahas tentang kesimpulan yang didapat dari pembahasan di Bab II hingga Bab IV. Dalam bab ini akan disampaikan jawaban atas rumusan masalah yang menjadi dasar dari penulisan penelitian ini dan temuan-temuan yang didapat dari hasil penelitian yang berguna bagi perkembangan penelitian sejarah.

(39)

23

BAB II

KOTA SURABAYA DAN KOMUNITAS TIONGHOA

DI AWAL ABAD XX

A. Kota Kolonial Surabaya

Abad XX menjadi awal babak yang baru dalam perkembangan kolonialisme Hindia Belanda. Pada abad inilah diberlakukanlah Politik Etis atau politik balas budi atas desakan kaum liberal di Belanda. Hal ini berujung pada melonjaknya kedatangan orang Eropa ke kota-kota besar untuk membuka perusahaan-perusahaan swasta yang tidak terikat dengan pemerintah pusat. Akibatnya banyak penduduk Eropa memilih kota-kota besar dan penting untuk menjalankan perekonomiannya dan menuntut dibentuknya sistem pemerintahan yang otonom (gemeente).1

Tujuan dari sistem pemerintahan yang otonom ini adalah agar penduduk Eropa yang tinggal di kota-kota besar dapat menjalankan perusahaannya secara bebas tanpa ada suatu ikatan dengan pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari kaum liberal yang kemudian menguasai lahan-lahan pertanian dan perkebunan di pedalaman Jawa. Dari pedalaman Jawa mereka tinggal langsung

1

Purnawan Basundoro. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri., hlm. 8. Menurut William F. Frederick. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia(Surabaya 1926-1946). Jakarta: PT Gramedia, hlm. 3. Gemeente secara harafiah berarti “kota komunitas”, namun dalam bahasa awam berarti “kota praja”. Meskipun gemeente merupakan sistem dari pemerintahan yang desentralisasi, namun dalam pembentukannya hanya ditujukan kepada orang Eropa sedangkan bumiputera hanya sebagai bawahanya.

(40)

mengangkutnya menuju pusat-pusat industri sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Melalui sistem pemerintahan kota yang otonom inilah para pelaku bisnis Eropa dapat dengan bebas menjalankan sistem pemerintahan dan sistem perekonomian tanpa harus terhubung dengan Batavia.

Dalam pemerintahan yang otonom atau gemeente dibentuklah sebuah komposisi perangkat pemerintahan yang terdiri dari wali kota yang diangkat oleh gubernur jenderal dan dewan kota atau gemeenteraad2 yang mewakili tiap kelompok etnis.3 Meskipun begitu komposisi dewan kota lebih banyak kaum Eropa sehingga tidak seimbang antara bumiputera dan timur asing. Dalam menjalankan pemerintahannya wali kota membentuk beberapa departemen yang akan membantu wali kota dalam menjalankan pemerintahannya.

Surabaya yang sudah dikenal sebagai kota perdagangan yang penting bagi pemerintah kolonial kemudian ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1906 mengacu pada Staadblad Nomor 149 Tahun 1906. Penetapan ini sesuai dengan kesepakatan pemerintah Hindia Belanda pada De wet houdende decentralitatie

van het bestuur in Nederlands-Indie yang disahkan pada 23 Juli 1903.4 Status

2

Gemeenteraad terdiri dari 27 orang yang terbagi menurut garis etnik, namun kaum Eropa memiliki mayoritas anggota. Kekuasaan dalam gemeenteraad sangatlah terbatas , dalam sidang-sidanganya masukan gemeenteraad dalam pembentukan kebijakan hanya sedikit pengaruhnya. William H. Frederick. Op. cit., hlm. 4-5.

3

Ibid., hlm. 4.

4

Soetandyo Wignjosoebroto. 2005. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia. Malang: Bayumedia, hlm. 13; Bernard H.M. Vlekke. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG, hlm. 337.

(41)

Surabaya yang menjadi gemeente inilah yang kemudian merubah sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi dan tidak tergantung pada pusat.5

Status Kota Surabaya yang menjadi gemeente ini membuat perkembangan kota menjadi semakin modern dan berdampak pada perkembangan penduduk. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri transportasi dan pemukiman yang modern memberikan geliat ekonomi di Surabaya.6 Pertumbuhan ekonomi yang meningkat inilah membuat penduduk tidak hanya Eropa tetapi juga bumiputera dan timur asing bermigrasi ke Surabaya. Hal ini menumbuhkan kelas-kelas pekerja dan kelas-kelas-kelas-kelas pedagang di Surabaya.

Ketertarikan pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini juga memberikan efek pada imigran Tionghoa untuk datang ke Surabaya. Bahkan tercatat memasuki awal abad XX tidak hanya terjadi lonjakan penduduk bumiputera saja melainkan penduduk Tionghoa merangkak naik.7 Terdapat dua faktor yang membuat orang Tionghoa bermigrasi dari Tiongkok menuju ke Surabaya pada awal abad XX. Pertama, pada awal abad XX daratan Tiongkok masih dilanda peperangan dan kekacauan politik sehingga banyak dari mereka yang mengalami krisis ekonomi. Kedua, terjadinya krisis ekonomi global membuat mereka mencari peruntungan di tempat-tempat yang sedang berkembang ekonominya.

5

Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 4.

6

Samidi. 2017. “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat”, dalam Mozaik Humaniora, Vol. 17 No. 1, hlm. 157.

7

(42)

Perkembangan ekonomi dengan menggeliatnya pada sektor perindustrian menjadi daya tarik masyarakat untuk pindah ke Surabaya karena terbukanya lapangan pekerjaan.8 Hal inilah yang membuat penduduk Tionghoa berbondong-bondong untuk bermigrasi ke Surabaya dengan dibukanya lapangan pekerjaan secara luas. Apalagi dengan keberadaan etnis Tionghoa yang dikenal akan keuletan dalam perdagangan sehingga dimanfaatkan sebagai pedagang perantara antara produsen dari Eropa dengan konsumen dari bumiputera.9 Peranan Tionghoa sebagai pedagang inilah yang membuat mereka merantau mencari peruntungan di tempat-tempat yang perekonomiannya sedang berkembang.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Eropa, Tionghoa, dan Bumiputera Kota Surabaya Tahun 1915-1940

Tahun Eropa Tionghoa Bumiputera Arab Timur Asing Jumlah 1915 9.108 18.957 117.585 2.734 326 148.710 1916 15.000 19.053 119.733 2.660 306 156.752 1917 15.000 20.847 121.559 2.553 396 160.355 1918 17.000 23.000 122.000 2.640 426 165.106 1919 15.987 17.228 149.229 2.640 2.521 184.965 1920 18.714 18.020 148.411 2.593 165 187.903 1921 19.524 23.206 146.810 3.155 363 193.058 1922 20.105 27.595 148.000 3.410 504 199.614 1923 20.855 30.653 149.000 3.639 644 204.791 1924 22.153 32.005 150.000 3.818 847 208.823 1925 23.314 32.868 196.825 3.922 870 257.799 1926 24.372 33.370 188.977 4.040 981 251.740 1927 23.782 35.077 188.977 4.078 1.008 252.922 1928 24.625 36.850 188.977 4.208 1.039 255.699 1929 25.346 38.389 188.977 4.610 1.167 258.489 1930 26.502 42.768 265.872 4.994 1.303 341.493 1931 27.628 43.288 265.872 5.298 1.384 343.470 8

Samidi. Op. cit., hlm. 161.

9

G. William Skinner. “Golongan Minoritas Tionghoa”, dalam Mely G. Tan (ed.). 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 2.

(43)

Tahun Eropa Tionghoa Bumiputera Arab Timur Asing Jumlah 1932 26.411 40.781 274.000 5.634 1.444 352.129 1933 26.882 39.792 280.000 5.227 1.521 357.362 1934 27.297 40.533 286.000 5.175 1.519 365.524 1935 27.599 41.749 290.000 5.209 1.152 370.709 1936 28.548 43.650 294.000 4.998 900 377.096 1937 29.783 46.219 294.000 4.961 890 380.853 1938 30.687 43.779 294.000 4.921 929 390.989 1939 32.601 45.767 300.000 5.148 968 390.394 1940 34.576 47.884 308.000 5.242 1.027 396.720 Sumber: G.H. Von Faber. 1934. Niuew Soerabaia: De Geschiedenis van Indies

voornamste Koopstad in de Eerste Kwaarteeuw Sederthare Instelling, 1906-1930.

Surabaya: Boekhandel Drukkerij van Ingen Bussum; Verslag van den toestand

der Gemeente Soerabaja. 1917-1940; Bureau van Statistiek Soerabaja. 1932. Statistische berichten der Gemeente Soerabaja Jaarnummer 1931. „s-Gravenhage:

Martinus Nijhof.

Sejak memasuki awal abad XX jumlah penduduk di Surabaya mengalami kenaikan setiap tahunnya, walaupun ada beberapa tahun yang mengalami penurunan. Hal ini memperlihatkan bahwa semenjak Surabaya ditetapkan sebagai

gemeente kota ini lambat laun menjadi jujukan migrasi penduduk untuk

mengembangkan perekonomiannya. Bahkan dapat dilihat pada tabel 1 bahwa komposisi penduduk di Surabaya sudah beragam etnis menandakan bahwa Surabaya sebagai kota yang dinamis. Dalam tabel 1 diperlihatkan bahwa golongan bumiputera merupakan golongan dengan penduduk paling banyak dikuti oleh golongan Tionghoa, Eropa, Arab, dan Timur Asing.

Apabila dilihat pada tabel 1 memasuki awal abad XX migrasi orang Tionghoa yang masuk ke Surabaya bertambah setiap tahunnya, meskipun ada beberapa tahun yang menurun. Namun, penurunan jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya tidaklah signifikan melainkan kenaikan yang terjadi cukup besar. Terdapat beberapa faktor kenaikan jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya.

(44)

Pertama, penduduk Tionghoa yang sudah lama tinggal di Surabaya telah melakukan perkawinan dengan penduduk setempat sehingga melahirkan Tionghoa peranakan hal ini terlihat pada jumlah kelahiran penduduk Tionghoa yang cukup besar dibandingkan kematian.10 Kedua, jumlah kedatangan orang Tionghoa yang berasal dari Tiongkok cukup besar dibandingkan penduduk Tionghoa yang meninggalkan Kota Surabaya.11 Ketiga, pencatatan yang tidak cermat karena dalam Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja pada tahun-tahun awal abad XX tidak dicantumkan jumlah kelahiran, kematian, kepergian, dan kedatangan penduduk.

Komposisi penduduk yang cukup beragam menjadikan Kota Surabaya sebagai kota yang dinamis dibandingkan dengan kota-kota kolonial lainnya. Bahkan keberagaman penduduk di Surabaya juga menciptakan penduduk yang heterogen.12 Penduduk yang heterogen ini kemudian membuat pemerintah Kota Surabaya membagi-bagi wilayah pemukiman berdasarkan etnisnya. Pembagian wilayah berdasarkan golongan etnis merupakan sistem apartheid yang diciptakan oleh pemerintah kolonial.13 Pemerintah kolonial membagi dalam tiga golongan yakni (1) golongan Eropa atau Belanda, (2) golongan Timur Asing seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain-lainnya, (3) golongan bumiputera.

10

Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja over 1920, hlm. 8-9.

11

Ibid.

12

Purnawan Basundoro. 2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak, hlm. 14.

13

Onghokham. “Etnis Cina di Indonesia: Sebuah Catatan Sejarah”, dalam Onghokham. 2017. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina dan Anti Cina. Depok: Komunitas Bambu, hlm. 3.

(45)

Sistem penggolongan berdasarkan etnis yang diciptakan pemerintah kolonial ini bertujuan untuk mengisolasi penduduk agar tidak saling bertemu dengan penduduk yang lain sehingga satu golongan hanya tinggal dalam satu wilayah saja.14 Seperti contohnya penduduk Tionghoa yang hanya boleh tinggal di Kampung Tionghoa (Pecinan) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Dampak dari pengelompokkan pemukiman berdasarkan golongan ini di Surabaya tiap-tiap golongan ditempatkan sesuai dengan spesialisasi atau pekerjaannya.

Pembagian pemukiman berdasarkan golongan etnis ini kemudian menciptakan pemukiman-pemukiman orang Tionghoa (Chinese Kamp), pemukiman orang Melayu (Malaische Kamp), dan pemukiman orang Arab (Arabische Kamp).15 Pembangunan pemukiman ini berdasarkan pada peraturan

wijkenstelsel dalam Peraturan Negara tanggal 6 Juni 1866 yakni memusatkan

pemukiman orang Tionghoa dan etnis lainnya pada satu wilayah.16 Mereka penduduk Tionghoa yang ingin keluar dari wilayahnya untuk keperluan harus membawa surat jalan agar tidak mendapatkan hukuman.

Pemukiman penduduk Tionghoa selalu berada di wilayah perdagangan sesuai dengan profesi mereka sebagai pedagang. Mereka lebih memilih tinggal di wilayah yang berdekatan langsung dengan pantai utara karena dekat dengan

14

Onghokham. Op. cit., hlm. 4.

15

Purnawan Basundoro. 2012. “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, dalam Paramita, Vol. 22 No. 1, hlm. 4.

16

Andjarwati Noordjanah. 2010. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Yogyakarta: Ombak, hlm. 83.

(46)

pelabuhan sebagai pusat aktivitas perdagangan dan sepanjang aliran sungai.17 Perkampungan Tionghoa terletak di tepi Kali Mas di Kampung Songoyudan, Panggung, Pabean, Slompretan, dan Bibis.18 Perkampungan Tionghoa dibelah

Gambar 1. Peta Kota Surabaya Tahun 1900

Sumber: Handinoto. 2015. Komunitas Cina dan Perkembangan Kota Surabaya

(Abad XVII Sampai Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Ombak, hlm. 103.

17

R.N. Bayu Aji. 2010. Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942. Yogyakarta: Ombak, hlm. 32.

18

(47)

oleh satu jalan dari selatan ke utara dengan nama jalan Handelstraat atau biasa dikenal dengan Kembang Jepun19, kemudian di timur terdapat pasar yang biasa disebut Chineesche Breestraat dan di barat terdapat Kali Mas.20 Berbeda dengan arsitektuk bangunan pada pemukiman biasanya, rumah-rumah penduduk Tionghoa biasanya digabung antara toko sebagai aktivitas dagang di lantai satu dan lantai dua sebagai tempat tinggal mereka.21

Pemukiman Tionghoa di Surabaya ini kemudian disebut sebagai Kapasan sebagai wilayah pemukiman yang ditinggali baik oleh totok maupun peranakan. Kampung Kapasan sendiri tidak hanya menjadi kampung dengan aktivitas perdagangan bagi kaum Tionghoa saja melainkan juga menjadi tempat aktivitas politik dan kebudayaan penduduk Tionghoa Surabaya.22 Perkembangan perdagangan Tionghoa sampai pebentukan Siang Hwee dan adu politik Tionghoa semua berawal dari Kapasan. Maka tidak mengherankan bahwa banyak aktivitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya Tionghoa muncul di Kapasan bahkan tokoh-tokoh penting Tionghoa bermunculan di kampung ini.23

19

Kembang Jepun merupakan pemukiman bagi etnis Tionghoa di Surabaya. Kembang Jepun merupakan pusat perekonomian Tionghoa dengan banyaknya pedagang mulai dari yang kecil hingga yang menengah. Wilayah ini juga menjadi bentuk sistem wijkenstelsel yang memisahkan pemukiman berdasarkan etnisnya. Miqdad Nidzam Fahmi. 2017. “Kembang Jepun (Handelstraat) Sebagai Pusat Ekonomi Etnis China di Surabaya Tahun 1906-1930”, dalam Avatara, Vol. 5 No. 1, hlm. 119.

20

Verslag van der Toestand de Gemeente Soerabaja over 1917, hlm. 222.

21

Miqdad. Op. cit., hlm. 100.

22

Siauw Giok Tjhan. 1981. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, hlm. 13

23

(48)

Bagi penduduk Eropa mereka lebih cenderung untuk menempati wilayah di pusat kota karena aktivitas mereka sebagai pegawai pemerintah dan kawasan tengah kota merupakan kawasan elit Eropa. Kemudian pemukiman bumiputera lebih menyebar tidak ada kawasan atau pemukiman yang menjadi pengelompokkan kaum bumiputera. Namun, secara garis besar pemukiman-pemukiman di Surabaya dibangun memanjang mengikuti aliran sungai, meskipun begitu jalan darat menjadi prioritas utama bagi penduduk Surabaya.

B. Gelombang Imigran Tionghoa

Keberadaan komunitas Tionghoa di Surabaya yang begitu besar tidak dapat dipisahkan dari gelombang migrasi yang melanda Surabaya pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Gelombang migrasi Tionghoa yang begitu besar ini tidak dapat dilepaskan dari dua faktor yang mempengaruhi mereka untuk berpindah tempat. Faktor pertama adalah masalah politik di Tiongkok akibat kekalahan perang dengan Jepang dan Eropa sehingga terjadi gejolak modernisasi pada sistem pemerintahan.24 Kekacauan politik ini membuat kedua kekuatan antara kaum modernisasi dengan kaum dinasti dari Kerajaan Manchu saling berebut kekuasaan hingga terjadi krisis ekonomi. Faktor kedua adalah krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda membuat komunitas Tionghoa yang berada di luar Jawa menjadi

24

Kwee Tek Hoay. 1969. The Origins of The Modern Chinese Movement in Indonesia, New York: Ithaca, hlm. 1-2. Gelombang migrasi komunitas Tionghoa akibat gejolak politik di Tiongkok tidak hanya membawa orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda, namun mereka juga bermigrasi ke wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Motivasi mereka tetap sama yakni untuk melakukan perdagangan akibat krisis ekonomi di Tiongkok. Lihat G. William Skinner. 1959. “Overseas Chinese in Southeast Asia”, dalam The Annals of the American Academy Political and Social Science, Vol. 321, hlm. 138.

(49)

korban pemutusan kerja.25 Hal ini berujung pada berpindahnya mereka ke tempat-tempat yang memiliki kesempatan kerja yang besar salah satunya adalah Surabaya.

Meskipun begitu keberadaan komunitas Tionghoa di Surabaya tidak hanya berasal dari Tiongkok, namun terdapat komunitas Tionghoa yang telah lama tinggal dan telah melakukan asimilasi dari perkawinan campur dengan penduduk bumiputera.26 Hal ini disebabkan karena pada abad XV dan XVI sudah banyak komunitas Tionghoa yang berinteraksi langsung dengan penduduk bumiputera yang menetap di wilayah pesisir pantai sebagai pusat-pusat perdagangan.27 Mereka kemudian menetap dan menikahi perempuan-perempuan bumiputera sehingga mereka kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.28

Kelompok Tionghoa yang melakukan migrasi ini tidak datang dalam gelombang yang besar melainkan secara kelompok-kelompok kecil karena motivasi mereka adalah sebagai pedagang. Kebanyakan komunitas Tionghoa yang melakukan migrasi adalah golongan laki-laki dan hanya sedikit jumlahnya

25

Purnawan. 2013. Op. cit., h. 43; Puspa Vasanty. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat (ed.). 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm. 357.

26

Skinner. 1981. Op. cit., hlm. 1.

27

Denys Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Bagian II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 69. Pembahasan lebih lanjut mengenai Komunitas Tionghoa Surabaya serta kehidupan masyarakat Tionghoa pada awal kedatangannya pada abad ke-XV dan ke-XVI dapat dibaca di Claudine Salmon. 2009. “The Chinese Community of Surabaya from its Origin to the 1930s Crisis”, dalam Chinese Southern Diaspora Studies, Vol. 3, hlm. 22-46.

28

Claudine Salmon. 1991. “The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)”, dalam Archipel, Vol. 41, hlm. 61.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk Eropa, Tionghoa, dan Bumiputera Kota Surabaya  Tahun 1915-1940
Gambar 1. Peta Kota Surabaya Tahun 1900
Tabel 2. Jumlah Penduduk Tionghoa Surabaya Berdasarkan Suku Bangsa   Tahun 1930
Tabel 3. Jumlah Penduduk Tionghoa di Surabaya Menurut Tempat Kelahirannya  Berdasarkan Klasifikasi Umur Tahun 1930
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Treffinger (dalam Munandar, 2004:35-36) dalam penelitiannya menemukan beberapa ciri kreatif pada diri anak, antara lain : (1) lebih terorganisir dalam tindakan dan

Gambar 4.2 Hasil Simulasi (Quality Prediction) dengan Parameter Melt Temperature 200°C, Mold Temperature 50°C, Maximum Machine Injection Pressure 85 MPa, Injection Time 2 s,

Siswa SMK PGRI 13 Surabaya dalam menerapkan dalil tersebut yaitu beberapa dari mereka sudah sadar akan lingkungan yang tidak sama dengan mereka, seperti contoh

Berdasarkan hasil pengukuran zona hambat terhadap ke-tiga bakteri uji Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholera , semua isolat probiotik B, C, G, dan

Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian Geiger dan Rama (2006). Hasil menunjukkan bahwa tingkat kesalahan Tipe I dan II yang dihasilkan oleh Big 4 lebih rendah daripada non

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe cabai yang berpotensi toleran dan peka Al melalui metode penapisan panjang akar dan evaluasi karakter agronomi,

Berdasarkan hasil dari analisis penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu reputasi perusahaan, deskripsi pekerjaan,

Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa dari 55 responden yang terdiri 28 responden pekerja borongan dan 27 responden pekerja harian yang diteliti dalam