• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III JEPANG PADA MASA KRISIS EKONOMI 1930-AN

A. Krisis Ekonomi 1930-an

kebencian komunitas Tionghoa terhadap pedagang Jepang karena mengganggu kepentingan dagang Tionghoa di Hindia Belanda karena pada masa krisis kelompok bumiputera lebih memilih barang-barang Jepang yang dijual murah.

Meskipun membahas mengenai timbulnya persaingan dagang komunitas Tionghoa dengan pedagang Jepang, karya ini lebih memfokuskan pada faktor ekonomi yang menjadi latar belakang terjadinya aksi boikot. Proses terjadinya aksi boikot lebih disebabkan karena tingginya impor barang-barang Jepang yang masuk ke Hindia sehingga membuat pedagang Tionghoa tidak terima sehingga merasa dirugikan oleh pedagang Jepang. Terjadinya aksi boikot yang disebabkan oleh keadaan di Tiongkok sehingga menimbulkan rasa solidaritas komunitas Tionghoa dalam buku ini tidak dibahas. Padahal aksi boikot terhadap Jepang tidak dapat dilepaskan dari situasi perang Tiongkok-Jepang dan rencana ekspansi Jepang ke selatan.

Penelitian lainnya yang membahas mengenai hubungan dagang antara pedagang Tionghoa dengan pedagang Jepang adalah buku yang berjudul Dutch

Commerce and Chinese Merchants in Java20 karya Alexander Claver. Buku ini membahas mengenai hubungan dagang antara pemerintah kolonial dengan pedagang Tionghoa pada tahun 1800-1942. Hubungan perdagangan antara orang Tionghoa dengan pemerintah kolonial merupakan sesuatu hal yang penting

20

bahkan pedagang Tionghoa memiliki peranan sebagai pedagang perantara antara kolonial Belanda sebagai penjual dengan bumiputera sebagai pembeli.

Dalam buku ini juga dibahas mengenai pedagang Tionghoa dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 1930 dan impor barang Jepang secara besar-besaran. Konflik pedagang Tionghoa dengan kehadiran barang-barang Jepang yang murah juga memberikan efek pada kebijakan pemerintah kolonial dalam hal perdagangan di Hindia Belanda. Sayangnya penelitian ini tidak membahas mengenai gerakan boikot barang-barang Jepang akibat derasnya arus impor dari Jepang yang membuat barang dijual murah di Hindia Belanda.

Karya penelitian lainnya yang membahas mengenai kehidupan sosial komunitas Tionghoa masa Hindia Belanda adalah buku yang berjudul Growing

Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java, 1890-194221 karya Mona Lohanda. Buku ini membahas mengenai kehidupan komunitas Tionghoa di Pulau Jawa sejak di mulai kedatangannya sebagai imigran, dibangunnya sekolah Tiong Hoa Hwee Koan sebagai landasan pendidikan anak-anak Tionghoa, perjuangan politik komunitas Tionghoa dalam meraih kesetaraan dengan orang barat, perbedaan politik antara totok dengan peranakan, dan gerakan Tionghoa peranakan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Buku ini membahas mengenai hubungan Tionghoa totok dengan peranakan dalam menyikapi gejolak politik di Tiongkok mulai dari Revolusi 1911, organisasi Kuo Min Tang yang di bawa dari Tiongkok dan disebarkan di Jawa, dan perkembangan perang Tiongkok-Jepang. Meskipun dalam buku ini dibahas

21

mengenai aksi boikot Jepang yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa, namun penjelasannya hanyalah garis besar mengenai aksi boikot. Buku ini tidak membahas mengenai aksi-aksi boikot yang terjadi di daerah-daerah salah satunya di Surabaya secara mendetail. Sayangnya buku ini juga tidak menjelaskan mengenai posisi Tionghoa totok dan peranakan dalam menyikapi aksi boikot.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai Tionghoa di Surabaya adalah jurnal yang berjudul The Chinese Community of Surabaya, from its Origin

to the 1930s Crisis22 karya Claudine Salmon. Penelitian ini membahas mengenai komunitas Tionghoa yang berada di Surabaya mulai dari alasan mereka memilih Surabaya sebagai tempat imigrasi, hubungan mereka dengan pemerintah kolonial, pekerjaannya yang dimulai dari keluarga-keluarga besar totok yang datang dari Tiongkok yang kemudian membangun industri-industri besar, dan aktivitas politik mereka sampai mendirikan surat kabar Tionghoa-Melayu. Penelitian ini hanya dibatasi sampai tahun 1930 di mana terjadi krisis ekonomi.

Dalam penelitian ini dibahas mengenai awal perseteruan antara Tionghoa totok dengan peranakan di Surabaya akibat membludaknya imigran dari Tiongkok pada tahun 1930-an. Perseteruan ini kemudian memasuki babak yang baru setelah pembentukan Siang Hwee yakni salah satu organisasi yang melakukan aksi boikot. Meskipun begitu dalam penelitian ini belum menunjukkan Siang Hwee sebagai salah satu pelopor aksi boikot apalagi dengan posisi anggotanya yang mayoritas totok. Perseteruan antara totok dengan peranakan memang dibahas

22

dalam penelitian ini, namun tidak begitu mendalam dan tidak menyinggung aksi boikot.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai aksi boikot Jepang adalah buku yang berjudul Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar23 yang ditulis oleh Siauw Giok Thjan. Buku ini merupakan memoar yang ditulis oleh Siauw Giok Tjhan yang memotret kehidupannya mulai dari masa pendudukan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, masa revolusi fisik, masa kemerdekaan Indonesia, sampai pada masa Orde Baru. Dalam bukunya kehidupan komunitas Tionghoa yang merentang zaman ini ditulis dan dinarasikan oleh seorang Tionghoa yang benar-benar mengalami sendiri setiap peristiwa yang ada.

Buku ini juga menarasikan kakek Siauw Giok Tjhan yang merupakan anggota Siang Hwee melalukan aksi boikot Jepang dalam merespon pendudukan Manchuria oleh Jepang tahun 1930-an. Jalannya aksi boikot Jepang yang dilakukan oleh kelompok Siang Hwee dinarasikan oleh Siauw Giok Tjhan dalam bukunya ini dengan cukup jelas karena kakeknya sebagai seorang penggerak aksi. Namun sayangnya buku ini hanya sedikit saja menggambarkan aksi boikot yang terjadi sehingga hanya menjadi gambaran sederhana mengenai perseteruan antara totok dengan peranakan. Bahkan buku ini hanya menjelaskan mengenai aksi boikot yang terjadi pada tahun 1931 padahal aksi boikot masih terjadi kembali pada tahun 1937.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai nasionalisme Tionghoa dalam perseteruannya dengan Jepang adalah jurnal yang berjudul Reaksi Media

23

Peranakan terhadap Perang Tiongkok-Jepang 1937-193924 karya Ravando Lie. Penelitian ini membahas mengenai aksi-aksi surat kabar milik Tionghoa-Melayu dalam mengabarkan perang Tiongkok-Jepang. Surat kabar Tionghoa-Melayu merupakan media yang paling efektif saat itu dalam mengabarkan jalannya perang di Tiongkok sehingga imigran Tionghoa tetap mengikuti jalannya perang tersebut. Meskipun penelitian ini menekankan pada aksi nasionalisme komunitas Tionghoa lewat media massa, namun yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini hanya surat kabar Sin Tit Po yang merupakan corong tidak resmi Partai Tionghoa Indonesia. Padahal secara keberpihakan politik surat kabar Sin Tit

Po tidak terlalu dekat dengan orang-orang totok sehingga penelitian ini tidak

membahas secara lengkap surat kabar Tionghoa-Melayu yang memiliki pandangan politik ke Tiongkok. Kemudian penelitian ini mencakup tahun 1937-1939 yang merupakan titik puncak dari perang Tiongkok-Jepang. Padahal mulai tahun 1930 perang Tiongkok-Jepang sudah memasuki babak yang baru dengan didudukinya Manchuria. Akibatnya banyak surat kabar Tionghoa-Melayu sudah mulai melakukan aksi propaganda sejak tahun tersebut sehingga penelitian ini tidak membahas secara lebih luas mulai dari ekspansi Jepang tahun 1930-an hingga puncak perang Tiongkok-Jepang.

F. Landasan Teori

Pembahasan konsep nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari kata nasional atau nation yang berasal dari bahasa Latin natio (lahir) yang secara garis besar

24

adalah sekumpulan orang yang memiliki ikatan darah. National atau nation sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari kata state yakni negara. Nasional atau nation yang berarti adalah sekumpulan penduduk dalam sebuah negara di bawah satu pemerintahan.25 State atau negara diartikan sebagai sebuah tubuh politik di mana setiap orang menempati suatu wilayah yang pasti dengan dipimpin oleh satu pemerintahan yang berdaulat dan tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu yang berada di luar.26

Nasionalisme sendiri memiliki banyak pengertian tergantung para ahli yang mengungkapkannya. Namun, dari sekian banyak pengertian secara garis besar nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham di mana kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.27 Paham nasionalisme ini berakar pada ikatan-ikatan seorang individu terhadap kampung halaman atau tanah tempat kelahirannya sehingga paham ini pada kemudian hari melahirkan sebuah negara bangsa yang berdaulat.

Perkembangan nasionalisme pada abad XX berkembang secara luas tidak lagi terikat dan dibatasi oleh suatu wilayah. Bangsa bagi Anderson adalah sesuatu yang terbayang karena sesama anggotanya tidak bakal tahu dan tidak bakal mengenal sebagian besar anggota bangsa lainnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak pernah bertatap muka bahkan tidak pernah mendengar tentang

25

Louis L. Snyder. 1954. The Meaning of Nationalism. New Jersey: Rutgers University Press, hlm. 17.

26

Ibid.

27

Hans Kohn. 1984. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 11.

mereka.28 Bahwa perasaan sebagai suatu bangsa tidak harus lahir atau bertemu dengan orang-orang yang tinggal di dalam sebuah wilayah yang sama.

Perkembangan migrasi yang begitu besar sehingga menghasilkan keturunan yang tidak memiliki ikatan darah yang sama membuat paham nasionalisme berkembang secara luas. Frederick Hertz mengatakan bahwa konsep nasionalisme adalah perasaan solidaritas akan persatuan di antara anggota keluarga dalam sebuah bangsa.29 Bahwa nasionalisme yang berkembang adalah ikatan darah bukan lagi tempat tinggal di suatu wilayah.30

Kondisi ini kemudian dikemukakan oleh Anderson bahwa bangsa kini dipahami sebagai sebuah komunitas yang memiliki hubungan kesetiakawanan tanpa memedulikan suatu wilayah.31 Keterikatan seseorang terhadap kampung halaman, kota kelahiran, dan negara tanah tumpah darah akan menjadi pemicu seseorang masih memikirkan tentang apa yang terjadi dengan kampung halamannya.32 Nasionalisme yang berkembang pada para imigran inilah yang membuat ikatan darah menjadi hal yang membuat mereka setia pada bangsa dan negaranya.

28

Benedict Anderson. 2008. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, hlm. 8.

29

Snyder. Op. cit., hlm. 14.

30

Ibid.

31

Anderson, Op. cit., hlm. 11.

32

Benedict Anderson. 2002. The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso, hlm. 59-60.

Lahirnya identitas nasionalisme jarak jauh di daerah imigrasi merupakan dampak dari berkembangnya permasalahan di negara asalnya. Lewat paham inilah muncul gerakan-gerakan boikot Jepang oleh komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Aksi boikot merupakan salah satu bentuk aksi nasionalisme yang ditunjukkan komunitas Tionghoa menanggapi aksi Jepang. Hal ini memperlihatkan bahwa nasionalisme tidak hanya berkembang secara fisik, namun juga berkembang dalam perang dagang.

Aksi boikot Jepang juga menunjukkan suatu teori bahwa perkembangan perdagangan di Hindia Belanda tidak hanya digerakkan oleh orang-orang barat saja. Perkembangan bangsa-bangsa Asia yang mulai menunjukkan kekuatan ekonominya mulai turut ambil bagian dalam sejarah perekonomian di Hindia Belanda. Hal ini yang ingin ditunjukkan Meilink Roelofsz bahwa sebelum bangsa barat hadir di Hindia Belanda telah hadir bangsa-bangsa Asia yang memiliki posisi yang cukup penting dalam perdagangan Asia.33

Sejarah perekonomian di Hindia Belanda selalu menempatkan bangsa-bangsa barat sebagai aktor utama, namun lewat Meilink bangsa-bangsa-bangsa-bangsa Asia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perdagangan sebelum kedatangan bangsa barat.34 Meilink ingin memperlihatkan bahwa perdagangan di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Asia dengan kehadiran mereka di Hindia Belanda. Dua kekuatan Asia yakni Tiongkok dan Jepang yang sedang berperang berdampak pada aktivitas perdagangan mereka di Hindia Belanda. Ini

33 M. A. P. Meilink-Roelofsz. 2016. Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630. Yogyakarta: Ombak, hlm. xi.

34

menunjukkan bahwa aksi boikot Jepang merupakan tanda kehadiran bangsa Asia turut dalam dinamika perdagangan di Hindia Belanda.

Aksi boikot Jepang merupakan bentuk dari solidaritas komunitas Tionghoa kepada warga negara Tiongkok yang menderita akibat perang Tiongkok-Jepang. Ikatan darah sebagai warga negara Tiongkok membentuk identitas nasionalisme mereka meskipun mereka jauh dari Tiongkok daratan bahkan tidak mengalami langsung perang Tiongkok-Jepang.

Kelahiran nasionalisme jarak jauh juga tidak dapat dilepaskan dari peranan surat kabar dalam menyampaikan propaganda atau paham nasionalisme secara luas. Tumbuhnya kapitalisme cetak pada abad XX membuat orang Tionghoa memiliki surat kabarnya sendiri menjadi faktor utama identitas nasionalisme berkembang. Keberadaan kapitalisme cetak dapat menyebarkan gagasan mengenai nasionalisme melalui bahasa yang dapat dimengerti.35

Imigran Tionghoa menggunakan surat kabar untuk mengetahui jalannya perang Tiongkok-Jepang sehingga mereka mengetahui keadaan keluarga mereka di Tiongkok daratan. Perasaan yang dibangun lewat tulisan-tulisan di surat kabar yang mengabarkan jalannya perang setiap harinya membuat imigran Tionghoa menaruh sikap benci pada Jepang. Secara imajinasi hal ini memperlihatkan adanya kedekatan antara keluarga di Tiongkok dengan imigran Tionghoa. Hal inilah yang kemudian membentuk identitas nasionalisme jarak jauh imigran Tionghoa yang kemudian berkembang pada aksi boikot.

35

Penelitian ini menggunakan perpektif sejarah pergerakan Tionghoa di Hindia Belanda. Paham nasionalisme yang lahir karena sikap solidaritas mereka kepada saudara dan keluarga di kampung halaman melahirkan sebuah pergerakan dan sikap anti terhadap Jepang. Aksi boikot inilah yang kemudian menjadi bentuk pergerakan komunitas Tionghoa di Surabaya sebagai bentuk penekanan terhadap Jepang yang menduduki Tiongkok.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kaidah-kaidah keilmuan dalam metode penelitian sejarah. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah memilih topik yang diangkat dalam penelitian ini. Tahapan selanjutnya adalah pencarian sumber-sumber utama dalam penelitian ini yakni berasal dari Politiek-Politioneele

Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel III 1931-1934 penerbit Foris

Publications dan Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië: Deel

VI 1935-1941 penerbit Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Kedua buku yang dieditori oleh Harry A. Poeze ini merupakan catatan kepolisian Hindia Belanda tentang gerakan-gerakan politik. Selain itu juga digunakan surat kabar Tionghoa-Melayu yang terbit di Surabaya yakni Pewarta Soerabaia yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini lebih banyak menggunakan surat kabar Pewarta Soerabaia karena merupakan surat kabar perdagangan yang banyak diminati oleh Tionghoa Surabaya. Meskipun begitu surat kabar Pewarta Soerabaia yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tidak begitu lengkap. Surat kabar Pewarta Soerabaia tahun

1933-1936 tidak diketahui keberadaannya. Selain surat kabar Tionghoa-Melayu juga digunakan surat kabar milik nasionalis Soeara Oemoem dan surat kabar milik Belanda yakni Soerabaiasch Handelsblad untuk melihat respon terhadap aksi boikot.

Selain sumber-sumber tersebut, penelitian ini juga menggunakan data statistik dan laporan-laporan yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sumber-sumber tersebut adalah Volkstelling 1930: Deel VII Chineezen en Andere

Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie dan Verslag van de Toestand der Staadsgemeente Soerabaja yang terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia.

Selain itu juga digunakan sumber dari Statistische berichten der Gemeente

Soerabaja Jaarnummer 1931, Indisch Verslag 1932 Vol. 1, dan Indisch Verslag 1935 yang terdapat di Arsip Daerah Provinsi Jawa Timur. Hal ini digunakan

untuk memperoleh data penduduk, aktivitas komunitas Tionghoa, dan aktivitas perdagangan di Surabaya.

Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan sumber dari Ten Years of

Japanese Burrowing in The Netherlands East Indies: Official Report of The Netherlands East Indies Governement on Japanese Subversive Activities in The Archipelago During The Last Decade. Sumber ini diterbitkan oleh Biro Informasi

Belanda pada tahun 1942 yang mencatat pola-pola propaganda yang dilakukan oleh Jepang dalam melakukan ekspansinya ke Hindia Belanda. Sumber ini dapat diakses secara bebas.

Sumber-sumber sejarah seperti buku-buku, surat kabar, hingga terbitan resmi pemerintah Hindia Belanda didapatkan dari penelusuran di perpustakaan

dan arsip yang berada di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Perpustakaan Medayu Agung, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, dan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma.

Tahapan selanjutnya adalah verifikasi sumber dan kritik sumber dengan mengecek keabsahan sumber yang digunakan. Selanjutnya adalah intepretasi data, yakni menggabungkan fakta-fakta sejarah dan sebab akibatnya. Hal ini akan memunculkan intepretasi yang baru berdasarkan penelitian. Tahapan terakhir adalah penulisan atau historiografi berdasarkan intepretasi yang penulis bangun.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang membahas mengenai gambaran umum penelitian ini. Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mengetahui proses pembahasan tiap babnya.

Bab II membahas tentang Kota Surabaya dan komunitas Tionghoa pada awal abad XX. Kota kolonial Surabaya berkembang menjadi kota otonom atau

gemeente pada awal abad XX memberikan dampak pada perkembangan ekonomi

industri. Hal ini berakibat pada terjadinya gelombang kedatangan imigran Tionghoa yang cukup besar pada 1930-an di Surabaya membawa perubahan sosial dalam komunitas Tionghoa. Dalam bab ini dibahas bagaimana aktivitas

masyarakat Tionghoa baik totok maupun peranakan baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan surat kabar. Pada bab ini juga dibahas mengenai kebangkitan Jepang dan Pan Asianisme yang berkembang pada awal abad XX yang memicu nasionalisme.

Bab III membahas tentang Jepang pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an. Pada masa inilah terjadi krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh wilayah di dunia bahkan hingga sampai ke Hindia Belanda. Pada masa krisis inilah kemudian Jepang melakukan banyak ekspansi ke wilayah di Asia Timur bahkan melakukan ekspansi barang-barang murah ke Hindia Belanda. Inilah fase awal di mana Jepang melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di Asia. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai konflik Jepang-Tiongkok berdasarkan pada surat kabar Tionghoa-Melayu di Hindia Belanda. Konflik inilah yang akan memicu rasa nasionalisme Tiongkok pada kelompok Tionghoa di Hindia Belanda yang kemudian memicu terjadinya aksi boikot.

Bab IV membahas tentang aksi boikot barang-barang Jepang oleh komunitas Tionghoa. Mulai aksi propaganda yang dilancarkan oleh kelompok organisasi Tionghoa dan dalam bentuk surat kabar Pewarta Soerabaia untuk mendorong terjadinya aksi boikot hingga bagaimana aksi tersebut berjalan. Aksi propaganda ini melahirkan sikap solidaritas Tionghoa perantauan terhadap perang Tiongkok-Jepang untuk menyerukan aksi anti Jepang. Bab ini juga membahas mengenai respon bumiputera dan pemerintah Hindia Belanda dalam hubungan dagang dengan Jepang. Pada bab ini membahas juga mengenai aktivitas

propaganda melalui aksi-aksi spionase sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Bab V membahas tentang kesimpulan yang didapat dari pembahasan di Bab II hingga Bab IV. Dalam bab ini akan disampaikan jawaban atas rumusan masalah yang menjadi dasar dari penulisan penelitian ini dan temuan-temuan yang didapat dari hasil penelitian yang berguna bagi perkembangan penelitian sejarah.

23

BAB II

KOTA SURABAYA DAN KOMUNITAS TIONGHOA

DI AWAL ABAD XX

A. Kota Kolonial Surabaya

Abad XX menjadi awal babak yang baru dalam perkembangan kolonialisme Hindia Belanda. Pada abad inilah diberlakukanlah Politik Etis atau politik balas budi atas desakan kaum liberal di Belanda. Hal ini berujung pada melonjaknya kedatangan orang Eropa ke kota-kota besar untuk membuka perusahaan-perusahaan swasta yang tidak terikat dengan pemerintah pusat. Akibatnya banyak penduduk Eropa memilih kota-kota besar dan penting untuk menjalankan perekonomiannya dan menuntut dibentuknya sistem pemerintahan yang otonom (gemeente).1

Tujuan dari sistem pemerintahan yang otonom ini adalah agar penduduk Eropa yang tinggal di kota-kota besar dapat menjalankan perusahaannya secara bebas tanpa ada suatu ikatan dengan pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari kaum liberal yang kemudian menguasai lahan-lahan pertanian dan perkebunan di pedalaman Jawa. Dari pedalaman Jawa mereka tinggal langsung

1

Purnawan Basundoro. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri., hlm. 8. Menurut William F. Frederick. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia(Surabaya 1926-1946). Jakarta: PT Gramedia, hlm. 3. Gemeente secara harafiah berarti “kota komunitas”, namun dalam bahasa awam berarti “kota praja”. Meskipun gemeente merupakan sistem dari pemerintahan yang desentralisasi, namun dalam pembentukannya hanya ditujukan kepada orang Eropa sedangkan bumiputera hanya sebagai bawahanya.

mengangkutnya menuju pusat-pusat industri sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Melalui sistem pemerintahan kota yang otonom inilah para pelaku bisnis Eropa dapat dengan bebas menjalankan sistem pemerintahan dan sistem perekonomian tanpa harus terhubung dengan Batavia.

Dalam pemerintahan yang otonom atau gemeente dibentuklah sebuah komposisi perangkat pemerintahan yang terdiri dari wali kota yang diangkat oleh gubernur jenderal dan dewan kota atau gemeenteraad2 yang mewakili tiap kelompok etnis.3 Meskipun begitu komposisi dewan kota lebih banyak kaum Eropa sehingga tidak seimbang antara bumiputera dan timur asing. Dalam menjalankan pemerintahannya wali kota membentuk beberapa departemen yang akan membantu wali kota dalam menjalankan pemerintahannya.

Surabaya yang sudah dikenal sebagai kota perdagangan yang penting bagi pemerintah kolonial kemudian ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1906 mengacu pada Staadblad Nomor 149 Tahun 1906. Penetapan ini sesuai dengan