• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KOTA SURABAYA & KOMUNITAS TIONGHOA PADA AWAL

C. Aktivitas Komunitas Tionghoa

2. Pendidikan

Gelombang migrasi orang Tionghoa totok ke Surabaya juga memberikan pengaruh pada sikap nasionalisme terhadap negeri Tiongkok. Pada awal abad XX negeri Tiongkok sedang bergejolak nasionalisme dan gerakan Pan-Asianisme. Apalagi dengan keberadaan peranakan yang sudah tidak lagi menggunakan kebudayaan Tionghoa, malahan mereka lebih menggunakan kebudayaan bumiputera membuat beberapa orang totok menyerukan untuk menanamkan kembali kebudayaan asli Tionghoa. Hal ini memicu Phoa Keng Hek58 mendirikan sebuah organisasi untuk mengajarkan kembali kebudayaan Tionghoa:

Dari sebab keringat, yang di antara kita, orang-orang Cina di sini, ada banyak sekali yang belum mengenal pada Khong Hoe Tjoe (Konghucu) punya pengajaran atau petuah yang amat baik dan berfaedah besar, maka kita, dua puluh orang, sudah mufakat sama-sama dan mendirikan di sini satu perkumpulan yang bernama “Tiong Hoa Hwee Koan”.59

Ide pendirian Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) ini berawal dari ajaran Konfusianisme atau Konghucu yang merupakan dasar ajaran utama dari kebudayaan Tionghoa yang ingin ditanamkan pada orang-orang peranakan.60

57

Williams. Op. cit., hlm. 101.

58

Phoa Keng Hek merupakan presiden pertama THHK pada tahun 1900 hingga 1923.

59

Phoa Keng Hek. “Surat Kiriman Kepada Sekalian Bangsa Cina (1900)”, dalam Leo Suryadinata (ed.). 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES, hlm. 23.

60

Faktor orang peranakan yang sudah meninggalkan kebudayaan Tionghoa dan beralih ke kebudayaan lokal di mana mereka tinggal membuat orang Tionghoa makin sirna dari tempat migrasi mereka. Faktor Pan-Asianisme yang berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga turut menyumbang apalagi keberadaan Jepang yang saat itu berhasil dengan Restorasi Meijinya.

Pendirian THHK ini sendiri memiliki tujuan untuk mempromosikan Konfusianisme dan budaya Tionghoa dengan mendirikan sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar Tionghoa dan sebagai sebuah kekuatan untuk memupuk nasionalisme Tionghoa.61 Maka tidak mengherankan bahwa THHK yang didukung Kuo Min Tang juga mengajarkan tentang perpolitikan Tionghoa.62 Perkumpulan THHK di Surabaya berdiri pada tahun 1902 dan diresmikan pada 12 Mei 1904 dengan nama Ho Tjiong Hak Kwan atau Ho Tjiong Hak Tong.63 Anggaran dasarnya adalah mengumpulkan dana guna mendirikan sekolah-sekolah yang mendidik orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Sekolah THHK pertama dibangun di Batavia pada 17 Maret 1901 kemudian berkembang ke beberapa tempat di seluruh Hindia Belanda baik di Jawa maupun di luar Jawa.64 Sekolah THHK di Surabaya sendiri berdiri pada 5 November 1903 di Keputran yang diprakarsai oleh Liem Sioe Tien, Phoa Lian

61

Leo Suryadinata. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, hlm. 7; Lihat Juga Lim Boen King. “Apa Tanda Kita Bangsa Tionghoa”, Pewarta Soerabaia pada Senin, 28 Desember 1931, hlm. 1.

62

Harry A. Poeze (ed.). 1988. Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indië Deel III 1931-1934. Dordrecht: Foris Publications, hlm. 14.

63

Shinta. Op. cit., hlm. 223.

64

Tjing, Kwee Lian Phik, dan Go Khing Liang, Pek Kie Goe, Njoo Bian Tjhiang, Han Siek Khwan, Kwee Lian Tik, Kwee Lian Sie, Oei Swan Tie, Tan Kiem Liem, Tan Tjhwan Sioe, Tio Sik Giok, Tio Tjee An, Yap Liang Seng, dan Tan Ping An di daerah Keputran dengan nama Ho Tjiong Hak Kwan.65 Kemudian 3 Februari 1904 dibuka satu cabang di Tepekong Straat bernama Tiong Hoa Hak Tong (THHT).66 Perkembangan sekolah THHT di Surabaya kebanyakan berasal dari Hokkian dan orang-orang totok karena kebanyakan suku inilah yang tinggal di Surabaya.

Model pendidikan THHT meniru model pendidikan di Jepang yang dianggap berhasil dalam Restorasi Meiji pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Hal ini disebabkan karena Tiongkok saat itu ingin gencar-gencarnya ingin meniru Jepang yang lebih membuka diri pada ilmu pengetahuan barat. Maka THHT dalam pengajarannya lebih menekankan pada kebudayaan Tionghoa sebagai identitas mereka karena semua berakar pada ajaran Konfusianisme dan diajarkan secara modern.67 Bagi mereka dalam menanamkan kebudayaan Tionghoa cukup penting karena perhatian ini sudah lama hilang dan digantikan oleh kebudayaan barat sehingga sangat jarang sekali orang Tionghoa berbicara menggunakan

65

Ong Hing Aan. 1953. Buku Peringatan Hari Ulang Tahun ke-50 THHK Surabaya 1903-1953. Surabaya: THHK, hlm. 12; Bagus Johansyah. 2013. “Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) Surabaya 1903-1942”, dalan Avatara, Vol. 1 No. 1, hlm. 119; Handinoto. 2015. Komunitas Cina dan Perkembangan Surabaya (Abad XVII Sampai Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Ombak, hlm. 122-123; Claudine Salmon. 2009. Op. cit. hlm. 50-51.

66

Shinta. Op. cit., hlm. 227-228.

67

Mona Lohanda. 2002. Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java 1890-1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka., hlm. 52.

bahasa Mandarin.68 Ketika K‟ang Yu Wei salah satu pemimpin reformis Tiongkok datang ke Surabaya memicu orang Tionghoa untuk memasukkan anak-anaknya ke THHT.69

Orang Tionghoa terutama dari kelompok peranakan yang lebih dulu tinggal di Hindia Belanda sudah jarang bahkan sudah tidak lagi menggunakan bahasa Tionghoa atau Mandarin, mereka lebih menggunakan bahasa bumiputera untuk berkomunikasi.70 Hal ini membuat sekolah-sekolah THHT lebih menekankan pada bahasa pengantar Mandarin karena ini menjadi identitas atau bahasa nasional Tiongkok.71 Bahkan apabila sekolah-sekolah Hindia Belanda yang dimasuki oleh anak-anak opsir Tionghoa pun mereka tidak diajarkan bahasa Mandarin melainkan bahasa Belanda. Sedangkan THHT menolak bahasa Belanda diajarkan di sekolah-sekolah mereka sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintah Belanda.

Hal ini cukup menarik bahwa sekolah-sekolah THHT meskipun tidak mengajarkan bahasa Belanda pada kurikulumnya, namun mereka mengajarkan anak-anak Tionghoa menggunakan bahasa Inggris sebagai salah satu kebudayaan barat. Bagi orang Tionghoa mempelajari bahasa Inggris merupakan hal yang utama karena bahasa tersebut digunakan secara internasional sehingga dapat

68

“Chinese Studies”, Pewarta Soerabaia pada Selasa, 12 Mei 1931, hlm. 1.

69

Shinta. Op. cit., hlm. 229.

70

Nio Joe Lan. 1960. Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Jakarta: Keng Po, hlm. 15.

71

membantu orang Tionghoa dalam perdagangan internasional.72 Seorang yang bernama Lim Boen King presiden dari Universitas Amoy menulis dalam surat kabar Pewarta Soerabai:

Sebagi orang Tionghoa djika kita beladjar Inggris di hadepan orang Inggris, tida membikin orang Inggris djadi indahken kita, hanja sebaliknja jalah khwa-emkhi (pandeng seblah mata)! Sebagi seorang Tionghoa djika kita bitjara Blanda di hadepan orang Blanda, djoega tida membikin itoe orang Blanda djadi indahken kita, hanja sebaliknja jalah tertawa dalem hatinja sambil kitjerken matanja seblah! Biar bagaimana bertreak setinggi langit aken angkat deradjat kebangsaan kita, apabila lebih doeloe soeda boeang bahasanja sendiri, tida hargaken bahasanja sendiri achirnja poen tida bedah dengen maoe tangkep ikan di atas poehoen!73

Bahkan alasan THHT tidak mempelajari bahasa Belanda juga disebabkan karena mereka kecewa dengan posisi politik orang Tionghoa di Hindia Belanda yang selalu direndahkan.74

Keberadaan THHT ini makin lama makin membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan semangat nasionalismenya dapat membakar semangat bumiputera. Maka pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah pula khusus bagi orang-orang Tionghoa yang bernama Hollandsche Chineesche School (HCS) pada 1908.75 Pendirian HCS ini menjadi saingan dari sekolah THHT karena sekolah ini mengajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan tidak mengajarkan bahasa Mandarin. Maka pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan HCS di berbagai tempat di Hindia Belanda untuk mencegah berkembangnya paham nasionalisme Tionghoa.

72

Mona. Op. cit., hlm. 53.

73

Lim Boen King. “Apa Tanda Kita Bangsa Tionghoa”, Pewarta Soerabaia pada Senin, 28 Desember 1931, hlm. 1.

74

Williams. Op. cit., hlm. 71.

75

HCS di Surabaya didirikan pada 1 Juli 1908 didirikan di Jalan Genteng cukup jauh dari perkampungan Tionghoa. Pendirian HCS ini cukup mempengaruhi keberadaan THHT karena faktor kurikulum yang diajarkannya berbeda. Orang-orang peranakan menganggap sekolah-sekolah THHT tidak relevan bagi anak-anak Tionghoa karena mereka menganggap bahwa pelajaran bahasa Mandarin dan bahasa Inggris tidak akan pernah dipakai di Hindia Belanda. Permasalahan kurikulum antara THHT dengan HCS ini menimbulkan perdebatan antara totok dan peranakan seperti yang tercantum dalam surat kabar Pewarta

Soerabaia ini:

Sabenernja kaloe diliat dengen seklebatan, bahasa Blanda boeat ini waktoe memang ada lebih berfaedah dari bahasa Inggris dalem bebrapa soeal jang mengenaken pengidoepan di sini, tapi kita poen tida bisa poengkir, bahasa Inggris soeda djadi satoe bahasa doenia, ia ada mempoenjai kapentingan besar. Begitoepoen, boeat tjari pengataoean-pengataoean jang lebih loeas, perloe orang mempoenjai pengetaoean bahasa Inggris, biarpoen berhoeboeng dengen oeroesan economie atawa apa sadja.76

Perdebatan inilah yang kemudian memicu persaingan pendidikan antara THHT dengan HCS diantara komunitas Tionghoa. Satu sisi THHT menginginkan kembalinya kebudayaan Tionghoa dengan ajaran Konfusianisme ditanamkan kembali pada kelompok peranakan, namun pada sisi yang lain kelompok peranakan lebih menginginkan pendidikan seperti di HCS dengan bahasa Belanda supaya disejajarkan golongannya. Maka dalam studi Leo Suryadinata yang menggunakan survei Tiansheng Ribao menunjukkan bahwa kelompok totok lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di THHT yang menggunakan bahasa

76

pengantar Tionghoa, sedangkan kelompok peranakan lebih memilih HCS yang menggunakan bahasa pengantar Belanda.77