• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERAS DAN GERAKAN SOLIDARITAS SOSIAL PEREMPUAN DALAM TRADISI NYAMBUNG DITENGAH MONETISASI PEDESAAN

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 151-165)

Dr. Soetji Lestari, M.Si.¹; Dr. Ign. Suksmadi Sutoyo, M.Si.²; Drs. Jarot Santoso, M.S.³; Drs. Tri Sugiarto, M.Si. ; Dr. Joko Santoso, M.Si. ; Drs. Nalfaridas Baharudin, M.Hum. ;

Dra. Rin Rostikawati, M.Si.

¹Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto

Email: soetji_lestari@yahoo.co.id,

²Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UniversitasJenderal Soedirman –

Purwokerto,

Email:ignsuks.pwt@gmail.com

³Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto

Email:masjarots@yahoo.com

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto

Email: trisugiarto12@gmail.com

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto

Email: mas_joko@ymail.com

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto

Email: das.bahar2014@gmail.com,

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –

Purwokerto,

Email: rinrostikawati@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai sosial ekonomi dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas sosial perempuan dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan.Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial perempuan desa. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi di pedesaan Jawa di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras masih menjadi bahan sumbangan yang utama bagi perempuan desa. Bagi perempuan desa, beras lebih memiliki nilai guna dan nilai tukar dibanding uang. Solidaritas sosial yang ditunjukkan melalui beras dalam tradisi nyumbang lebih merepresentasikan bagaimana prinsip-prinsip resiprositas harus ditegakkan mengingat ada mekanisme kontrolnya. Sebagai nilai guna, beras lebih bermakna daripada uang. Hal ini karena beras langsung berguna sebagai jamuan pokok tamu hajatan maupun untuk membayar jasa tenaga yang membantu acara hajatan. Sementara beras sebagai nilai tukar (ekonomi) lebih memiliki nilai kepastiandan memiliki nilai equivalensi yang ”tepat”

sebagai alat resiprositassumbang-menyumbang; serta memiliki nilai jual kembali yang tinggi dan cepat dibanding komoditas pangan untuk sumbangan yang lain. Fenomena ini memperlihatkan bahwa gerakan solidaritas sosial perempuan desamemiliki rasionalitas

sosial dan ekonomi secara bersamaan. Pertimbangan untung rugi secara sosial dan ekonomi sebagai dasar tindakan.

Kata Kunci: Perempuan, Pedesaan, Solidaritas Sosial, Beras, Tradisi Nyumbang

Abstract

This study aims to identify and map the socio-economic values in rice; and the

persistence of rice as a medium for women’s social solidarity movement in the tradition of

gift giving amidst the intensification of rural monetization. From the results of this study are expected for mapping roots social solidarity movements among village women. The research method used a qualitative approach, took place in rural Java in Banyumas regency, Central Java province. The result showed that rice is still the main ingredient for donation by rural women. Rural women consider that the rice has a used value and exchange value than money. Social solidarity shown by the rice in a tradition representing how the principles of reciprocity must be upheld based on control mechanism. Rice is more meaningful than money because the rice use for dish of food offered the quests or to pay for services that help for celebration event. The rice has a precise and equivalence value for donation as social exchange tradition. The rise has high resale value and faster than donation of food commodities for others donation. This phenomenon shows that the rural

women’s social solidarity movement based on both which social and economic rationality.

Benefit considerations are socially and economically as a basis for action. Keywords:Women, Rural, Social Solidarity, Rice, Tradition Of Gift Giving

1.PENDAHULUAN

Nyumbang (gift giving) dalam tradisi hajatan merupakan pranata sosial sekaligus simbol ikatan sosial masyarakat desa yang penting, yang memiliki fungsi resiprositas dengan cara saling memberi dan saling tolong menolong sekaligus menggambarkan dinamika interaksi komunitas warga desa.Nyumbang adalah konsep lokal Jawa yang merupakan konsep pemberian atau gift giving.Pada prinsipnya pemberian adalah konsep yang bersifat universal dalam berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia, sejak jaman kuno hingga jaman modern sekarang ini. Letak perbedaan ada pada objek pemberian yang bervariasi antar budaya dan antar waktu. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang diciptakan masyarakat yang menjadi media untuk saling memberi, saling menerima, dan saling membalas sehingga terjalin ikatan dan interaksi sosial antar warga masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Durkheim, bahwa faham tentang pertukaran yang sepadan untuk saling memberi, menerima dan membalas ini merupakan satu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan (Scott 1981).

Dalam budaya Barat misalnya, dikenal dengan hadiah yang diberikan pada saat pernikahan, kelahiran, pemakaman, pesta ulang tahun, hari Natal,Santa Claus, Hari Valentine, Hari Ibu dan Hari Ayah, ujian, promosi jabatan, pindah rumah, menyambut atau pesta perpisahan. Orang juga memberikan sesuatu ketika diundang untuk makan dengan orang lain, atau ketika mengunjungi seorang teman yang sakit, memberi kepadapengemis, ke gereja, juga untuk amal (Komter 2007). Menurut Belshaw (1981) bahwa kesempatan untuk pemberian hadiah semakin meluas dan masih akan meluas lagi, seperti misalnya acara thanksgiving day (hari Selasa terakhir bulan November), Tahun Baru, Valentine Day

(14 Februari), serta diperkirakan Halloween (31 Oktober)juga menjadi peristiwa sejenis. Sementara pada masyarakat kuno seperti di Samoa misalnya, sistem dari pemberian- pemberian hadiah tidak hanya terbatas dalam hal perkawinan, tetapi juga muncul pada

peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak pubertas, upacara penguburan orang mati, dan perdagangan (Mauss 1992).

Di Indonesia, peristiwa-peristiwa yang muncul dalam tradisi memberi hadiah (tradisi nyumbang) juga tidak jauh berbeda, hajatan yang bersifat suka (seperti perkawinan, khitanan, kelahiran, ulang tahun, dan lain sebagainya) dan peristiwa yang bersifat duka (kematian dan segala ritual yang mengiringi, sakit, dan musibah-musibah lainnya (Kutanegara, 2002; Lestari, 2010; Lestari, 2014). Peristiwa-peristiwa tersebut sangat bervariasi antar budaya dalam pelaksanaan tradisinya. Namun istilah tradisi nyumbang

umumnya diidentikkan dengan kegiatan hajatan besar (perkawinan dan khitanan) yang melibatkan masyarakat (undangan/tamu) yang banyak dan istilah tersebut berkonotasi untuk masyarakat pedesaan. Di Madura, istilah tradisi nyumbang dikenal dengan nama de’-

nyande’, sementara di sebagian wilayah Jawa Timur ada istilah mbecek atau buwuh,

jagongadalah istilah lain untuk tradisi nyumbang di Jawa Tengah, dan gantangan adalah istilah untuk tradisi nyumbang di Subang Jawa Barat (Prasetyo, 2012).

Di masa lalu, nyumbang dalam sejarah masyarakat pedesaan yang masih didominasi oleh sistem ekonomi subsisten ditandai dengan hasil-hasil produk pertanian dan produk rumah tangga, termasuk juga hasil ternak seperti telor, daging ayam maupun daging sapi ataupun daging kambing, maupun hasil sayuran-sayuran dalam pekarangan rumah. Sementara produksi (industri) rumah tangga, khususnya yang dikerjakan oleh perempuan, adalah seperti jenang, jadah, criping pisang, dan lain sebagainya hampir semua bahan dasarnya sebagian besar merupakan produksi dari hasil pertanian sendiri. Banyak makanan-makanan khas buatan masyarakat desa yang dijumpai dalam tradisi nyumbang di pedesaan.

Menurut Kutanegara (2002) tradisi nyumbang di pedesaan Jawa pada saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perubahan sosial ekonomi pedesaan telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk dan jenis benda yang disumbangkan. Pada saat perekonomian pedesaan didominasi oleh sistem ekonomi subsisten, yang diperkirakan terjadi sampai empat puluh tahun yang lalu (tahun 1970an), jenis-jenis barang yang disumbangkan untuk acara pernikahan atau supitan adalah bahan-bahan kebutuhan seperti beras, tiwul, kelapa, tempe, teh, gula dan sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi pasar, pengeluaran yang harus ditanggung rumah tangga desa ini semakin berat. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk pertanian, namun sekarang lebih banyak menggunakan uang tunai. Dengan demikian setiap warga desa membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar konsumsi harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi sosial (Husken dan White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011). Sistem ekonomi pasar (uang) yang ada juga ikut berpengaruh terhadap pranata-pranata sosial di pedesaan, termasuk dalam hal tradisi nyumbang. Pada saat ini masyarakat sudah terbiasa menyumbang uang untuk hajatan termasuk di wilayah-wilayah pedesaan.

Namun di tengah monetisasi yang sangat intensif berlangsung di pedesaan, hasil penelitian yang dilakukan Lestari (1999; 2010, 2014, dan 2015) menunjukkan bahwa perempuan di wilayah pedesaan Kabupaten Banyumas masih bertahan dengan beras sebagai bentuk sumbangan utama pada kegiatan hajatan. Bukan hanya bertahan dalam bentuk berasnya, namun juga dalam hal besarannya yakni sekitar 2,5 kg beras. Solidaritas sosial yang ditunjukkan perempuan desa melalui sumbangan beras ini perlu dipahami dalam konteks perubahan sosial yang terjadi di pedesaan, terutama dari sistem ekonomi subsisten menuju sistem ekonomi pasar. Berbagai studi tentang tradisi nyumbang di pedesaan yang dilakukan oleh Hefner (1983), Djawahir (1999), Kutanegara (2002), Prasetiyo (2003), Lestari (2010; 2014), Prasetyo (2012), dan Sutoyo (2015) memperlihatkan bahwa beras merupakan media resiprositas yang penting dalam pranata

sosial tradisi nyumbang di pedesaan. Bentuk gotong royong dan solidaritas sosial dalam tradisi nyumbang ditunjukkan melalui sumbangan beras. Beras menjadi alat tukar sosial yang penting dalam transaksi sosial ekonomi pedesaan. Namun demikian studi-studi tersebut umumnya tidak memberikan porsi secara khusus bagaimana hubungan beras dan gender dalam tradisi nyumbang.

Dalam tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai sosial ekonomi dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas sosial perempuan dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial perempuan desa.

2.TINJAUAN PUSTAKA

Altruism, giving, pro-social conduct, and reciprocity are the basis of the existence and performance of societies, through their various occurrences: in families; among the diverse motives of the political and public sectors; as the general respect and moral conduct which permit life in society and exchanges; for

remedying “failures” of markets and organizations (which they sometimes also

create); and in charity and specific organizations (Kolm, 2006)

1. Tradisi Nyumbang dalam Teori Pertukaran Sosial

Salah satu dasar hubungan sosial kerjasama adalah gift giving ataupun saling tukar hadiahyang dipelihara melalui nilai-nilaialtruism, giving, pro-social conduct dan

reciprocity. Molm (2010) mengidenfikasi pentingnya resiprositas antara lain dari: Hobhouse (1906) yang menyebut sistem resiprositas merupakan prinsip-prinsip yang penting dalam masyarakat, sementara menurut Simmel (1950) bahwa keseimbangan dan kohesi sosial tidak bisa ada tanpa ada sistem resiprositas, sedangkan menurut Becker manusia adalah spesies “homo reciprocus”. Menurut Belshaw (1981), untuk memahami sistem ekonomi suatu masyarakat yang mengkaitkan dengan analisa budaya dan sosial, maka tidak ada jalan lebih baik daripada memulainya dengan kelembagaan tukar-menukar. Sebagai lembaga tersendiri, tukar menukar telah menerobos seluruh bangunan sosial dan dapat dipandang sebagai tali pengikat masyarakat. Dari sini akan terlihat bagaimana sekelompok masyarakat saling tolong menolong, bergotong royong, saling memberi dan memanfaatkan berbagai jasa yang ada. Tradisi tukar menukar hadiah adalah tradisi yang bersifat universal, lintas bangsa, lintas etnis, juga lintas kelas. Tradisi tukar hadiah juga tumbuh subur di tengah masyarakat desa yang miskin sekalipun.

Sudah sejak dalam masyarakat primitif kuno, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain melalui sistem tukar menukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat secara keseluruhan. Proses saling memberi mengandung pengertian yang mengharuskan si penerima untuk melakukan pengembalian pemberian yang lebih dari apa yang diterimanya. Selain itu tradisi tukar menukar hadiah juga mencerminkan adanya persaingan dan kedudukan dan kehormatan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ini karena dalam pemberian juga ada motif-motif kompetisi, persaingan, pamer, dan keinginan untuk menjadi agung dan kaya. Solidaritas sosial dapat tercapai melalui proses-proses dinamik ini (Belshaw 1981; Mauss 1992; Komter 2005; Molm 2010). Dengan demikian sistem tukar-menukar hadiah ini merupakan penggerak terwujudnya dinamika dalam masyarakat karena dilandasi oleh prinsip persaingan dalam solidaritas yang menyeluruh (Mauss 1992), atau sebagaimana yang dikatakan oleh Kolm (2006) sistem tukar menukar merupakan basis keberadaan masyarakat.

Teori hadiah adalah teori solidaritas sosial dengan fokus utamanya adalah bagaimana cara ikatan sosial tetap bertahan dan terpelihara (Komter 2007; Molm 2010) yang juga menjadi ranah dari ketertiban sosial (istilah Parsons). Karena itu teori ini banyak menjadi ranah studi Antropologi dan Sosiologi. Tradisi pemikiran antropologi dan sosiologi mengenai hadiah dan resiprositas telah dilakukan oleh Mauss, Malinowski, Simmel, Sahlins, Gouldner dan Strauss (Komter 2005) maupun oleh Belshaw (1981). Sementara di satu sisi, tradisi sosiologi dalam mengembangkan teori solidaritas dan social order merupakan bagian kerja dari Durkheim, Weber dan Parsons. Namun demikian sebagaimana yang dikatakan oleh Belshaw (1981) pikiran-pikiran ekonomi, antropologi dan sosiologi merupakan disiplin ilmu yang berada dalam satu sistem, termasuk oleh pemikir yang lebih awal, Durkheim, menurut Collins (1994) tidak memisahkan antara sosiologi dan antropologi. Selanjutnya bagaimana kemudian konsep pemberian ini dipahami dalam perspektif dalam sosiologi. Di sini yang perlu dipahami adalah bahwa warisan intelektual yang berpuncak pada teori-teori pertukaran modern sangat beragam. Teori pertukaran sosial selama ini ada dalam ranah keragaman disiplin ilmu. Warisan apa yang menggolongkan keragaman ini seringkali memiliki kaitan yang tidak jelas antara para ahli teori pertukaran kontemporer dengan para pendahulu mereka. Lagi pula, teori-teori pertukaran saat ini tampaknya merupakan percampuran yang tidak spesifik antara ekonomi utilitarian, antropologi fungsional, sosiologi, dan psikologi perilaku. Sebagai hasilnya, mengusut akar dari teori pertukaran, menurut Turner (1998), adalah suatu usaha yang berwawasan luas dan tidak pasti.

Konsep resiprositas merupakan konsep sentral bagi teori pertukaran sosial, terutama sebagaimana yang dikembangkan oleh Homans dan Gouldner (Poloma 2000). Menurut Poloma yang perlu diingat adalah bahwa tidak ada suatu teori tunggal tentang pertukaran sosial, melainkan ada beberapa teori berdasarkan fenomena-fenomena pengharapan timbal balik yang masing-masing berakar sangat dalam pada pada asumsi- asumsi yang sedikit berbeda tentang hakikat manusia, masyarakat dan ilmu-ilmu sosial. Walaupun terdapat perbedaan dasar dalam pandangan, tetapi teori-teori pertukaran sosial juga memiliki beberapa asumsi yang sama mengenai hakekat interaksi sosial, yang utama dan paling sederhana adalah bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi: orang menyediakan atau memberikan barang atau jasa dan sebagai imbalannya juga berharap memperoleh barang atau jasa. Pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, dalam berbagai transaksi sosial yang dipertukarkan adalah hal-hal yang nyata dan tidak nyata.

Meskipun ada beragam teori pertukaran sosial, namun mengingat konsep tradisi

nyumbang dalam penelitian ini banyak mengacu pada konsep pemberian (gift-giving) dari teori pertukaran sosial Mauss, maka mendasarkan pada pemetaan tradisi sosiologi dari Collins (1994), tradisi nyumbang merupakan tradisi Durkheimian. Apalagi selama ini tradisi nyumbang banyak dikaji dari sisi sosiologi dan antropologi sosial. Dalam pandangan Durkheim, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara sosiologi dan antropologi sosial. Dalam hal ini terdapat dua sayap dari tradisi Durkheimian, yakni pandangan makro dan pandangan mikro (macroemphasis dan microemphasis). Yang dianggap sebagai ahli sosiologi makro adalah Montesqueiu, Comte dan Spencer. Sementara yang berada pada sayap mikro antara lain adalah keponakannya sendiri yaitu Mauss. Sayap yang berpandangan mikro yang lebih dekat dengan antropologi sosial, yang memberikan tekanan pada mekanisme ritual-ritual sosial kelompok yang menghasilkan solidaritas. Durkheim sendiri selain berada pada sayap mikro ketika mengemukakan teori ritual, juga berada pada sayap makro ketika mengemukakan teori pembagian kerja dan struktur sosial. Durkheim juga mencoba untuk merajut level makro dan mikro secara bersamaan melalui teori pertukaran dan mengembangkannya bersama Mauss dan Strauss. Dengan kata lain

teori jaringan pertukaran ritual adalah merupakan keterkaitan antara level makro dan mikro.

Basis awal pertukaran sosial adalah konsep resiprositas yang muncul jauh sebelum masyarakat mengenal pasar uang, sehingga resiprositas juga ada berbagai tipe sejalan dengan perkembangan beragam karakter masyarakat. Menurut Sahlins (1972) terdapat tiga tipe relasi resiprokal yang terdapat dalam masyarakat. Yang pertama adalah generalized reciprocity (resiprositas umum) atau pertukaran yang dikenal sebagai pemberian secara umum tanpa harapan untuk mendapatkan balasan. Transaksi yang berlangsung dalam tipe ini dikenal berlandaskan semangat altruisme. Karenanya, dalam kategori pertukaran ini dapat dimasukkan berbagai relasi pertukaran seperti ‘pure gift’ (pemberian hadiah], 'sharing' (berbagi perasaan maupun material], 'hospitality' (keramah-tamahan seseorang kepada orang lain). Kategori atau tipe pertukaran kedua adalah balanced reciprocity

(resiprositas sebanding) yang menunjuk pada kegiatan pertukaran secara langsung. Kategori pertukaran langsung tersebut setipe dengan mutual-reciprocal dalam konseptualisasi Levi-Strauss. Terjadi pertukaran yang seimbang antara dua pihak yang bertransaksi (tanpa delay) sebagaimana tampak pada 'paymet’' (pembayaran), 'buying and selling' (jual beli), ‘gift-exchange’ (tukar-menukar kado). Tipe pertukaran yang ketiga disebut sebagai negative reciprocitv (resiprositas negatif) yaitu sebuah upaya mengambil sesuatu (manfaat atau keuntungan) oleh pihak pertama yang (kemudian) menyisakan kerugian di pihak kedua yang telah memberikan sesuatu kepada pihak pertama. Dalam kategori pertukaran yang timpang ini adalah berbagai bentuk perampokan, perampasan (appropriation, fraud, stealing). Selain itu juga perjudian dan korupsi termasuk dalam kategori ini. Tipe pertukaran ekonomi yang terakhir ini seringkali bertanggung jawab atas apa yang disebut sebagai 'criminal economy' (Dharmawan 2007).

Analisis Kutanegara (2002) mengenai pola sumbang-menyumbang di perdesaan Jawa menunjukkan adanya pergeseran dari generalized reciprocity menuju direct reciprocity yang sedang berlangsung secara intensif di masyarakat ini. Perubahan bentuk sumbangan dan cakupan wilayah sumbangan yang semakin menyempit menunjukkan bahwa proses transformasi sosial telah terjadi di perdesaan Jawa. Proses ini memang seiring dengan proses transformasi ekonomi yang terjadi sejak awal Orde Baru. Sebenamya trend

penurunan intensitas timbal-balik sudah kelihatan cukup lama. Kartodirdjo (1987) menyatakan bahwa berbagai kegiatan resiprositas yang berkembang di perdesaan Jawa telah mengalami perubahan. Hal itu tampak dari semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan praktik gotong-royong dan berkurangnya jenis-jenis gotong- royong dalam masyarakat. Penyebab berkurangnya praktik gotong-royong adalah semakin besarnya pengaruh ekonomi uang ke perdesaan. Ketergantungan masyarakat dengan uang untuk memenuhi kebutuhan harian menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang. Gotong-royong yang masih hidup di desa adalah gotong-royong di luar kegiatan ekonomi, misalnya peristiwa penyelenggaraan pesta perkawinan, sunatan, dan upacara kematian.

Sementara itu Molm (2010) memberikan perhatian bagaimana struktur dalam resiprositas. Walaupun Blau (1964) dan Simmel (1950) memberikan perhatian pada faktor struktur untuk teori-teori pertukaran, tetapi menurut Molm (2010) adalah Emerson (1972b) yang benar-benar merubah pendekatan teori pertukaran dari studi aktor beralih mempelajari bagaimana struktur mengatur pertukaran. Melalui studi struktur jaringan pertukaran, Emerson melakukan analisis dari level mikro ke makro. Dua dimensi dalam teori struktur jaringan Emerson adalah “kekuasaan” dan “ketergantungan” Emerson mendefinisikan “kekuasaan”sebagai “ongkos potensial yang ditujukan seorang aktor agar ‘diterima dan dibayar’ orang lain”, sedangkan “ketergantungan” adalah “ongkos potensial yang akan diterima dan dibayar seorang aktor dalam suatu hubungan” (Ritzer 2008).

Sementara menurut Molm (2010), struktur jaringan menggambarkan bagaimana aktor dan relasi-relasi pertukaran langsung terhubung satu sama lain. Struktur resiprositas menggambarkan bagaimana perilaku pertukaran aktor dan pertukaran manfaat terhubung satu sama lain. Ada dua kuncidimensi struktur yang mendasari dan membedakanberbagai bentuk pertukaran: pertama, apakahmanfaat dapat mengalir hanya secara sepihak atau bilateralantar aktor; kedua, apakah manfaat yang dibalas secara langsung atau tidak langsung. Keduanya dapat dibedakan antara tiga dimensi utamabentuk pertukaran sosial: pertukaran langsung yang dinegosiasi, pertukaran timbal balik langsung, dan tidak langsungatau pertukaran umum.

Pemetaan yang dilakukan oleh Molm tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dipetakan oleh Sahlins (1972) sebagaimana sudah disinggung di atas. Mengingat dalam direct reciprocity, barang atau jasa yang dipertukarkan sebanding, nilai pertukarannya cenderung bersifat kelompok-kelompok terikat oleh solidaritas sosial yang kuat sehingga merupakan satu unit yang utuh, karena itu nilai pertukarannya banyak bersifat simbolik (Molm 2007). Nilai-nilai ekspresif bisa dalam bentuk solidaritas sosial, kepercayaan, ikatan afektif yang semuanya bermanfaat dalam mengembangkan modal sosial.

2. Gender dan Pertukaran Sosial

Dalam studi-studi antropologi klasik mengenai pemberian, perempuan digambarkan sebagai obyek pertukaran hadiah, bukan sebagai subjek atau aktor, sebagaimana yang digambarkan Strauss (Komter 2005). Ketidakjelasan perempuan sebagai aktor otonom dalam pertukaran hadiah sebagai tandahirarki dominasi pria atas perempuan. Menurut pendapat Marilyn Strathern (1988 ) dalam The Gender dan The Gift, bagaimanapun, interpretasi ini bias oleh prasangka Barat. Di Melanesia tidak ada hubungan permanen dominasi ada di antara pria dan perempuan. Sebaliknya, perempuandan laki-laki merupakan alternatif subjek atau objek untuk satu sama lain dalam upaya mereka untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dengan cara pertukaran hadiah.

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 151-165)