• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN BANJARNEGARA

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 100-112)

1Dra. Tri Rini Widyastuti, M.Si, 2 Dr. Riris Ardhanariswari, SH, MH.

1Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed,

Email:rini_sukrisno@yahoo.co.id

2 Fakultas Hukum Unsoed

Email:ririsardhana@gmail.com

Abstrak

Nasib para perajin batik tulis tidak seindah kain yang dihasilkannya. Hubungan kerja antara perajin dan juragan yang bercorak putting-out system cenderung merugikan perajin yang umumnya perempuan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang mereka lakukan untuk tetap bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup dari tradisi tersebut. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik penentuan informan menggunakan purposive sampling, dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi para perajin membatik bukan sekadar bekerja mencari penghidupan. Lebih dari itu, membatik adalah menjaga tradisi turun temurun. Mereka menghadapi banyak persoalan terkait hubungan kerja dengan juragan yang timpang. Selain menerima upah yang rendah, mereka juga harus menanggung hampir semua risiko kerja. Di sisi lain, ketergantungan mereka kepada juragan sangat tinggi, terutama terkait pengadaan bahan baku dan pemasaran. Selain itu, serbuan batik cap dan tawaran upah yang lebih tinggi dari industri bulu mata turut menjadi ancaman. Bertolak dari kondisi tersebut, para perajin sepakat membentuk kelompok sebagai rintisan koperasi. Melalui kelompok ini, mereka berharap tetap dapat menghidupi tradisi dan hidup dari tradisi. Kata Kunci: Tradisi, Batik, Perajin, Juragan, Perempuan

Abstrac

The fate of the batik tulis crafters is not as beautiful as their works. The working relationship between the artisans and the skipper is patterned putting-out system which generally tends to disadvantage women artisans. The purpose of this study is to identify the problems faced by thebatik tulis artisans in Banjarnegara District and their efforts to revive

batik tulis tradition, and getting prosperous life from this tradition. The study used a qualitative approach. Informants selected using purposive sampling technique and data collected by interviews, documentary studies, and observations. The results showed that for the batik artisans,making batik is not only to make a living. Moreover, making batik is about keeping the tradition. They face a lot of problems related to disadvantage working relationships with skipper. Besides, receiving low wages, they also have to bear almost all occupational risks. On the other hand, their dependence on the skipper is very high, especially related to raw material procurement and marketing. In addition, the invasion of

batik cap and offer higher wages from the fake lashes industry also become a threat. Starting from these conditions, the artisans have agreed to start up groups to establish a cooperative. Through this group, they hope they can still keep the traditions and make a living from it.

Keywords: Tradition, Batik, Artisans, Skipper, Female 1.PENDAHULUAN

Sebagai warisan budaya Indonesia yang sangat berharga, batik kembali menjadi sorotan setelah pada tanggal 2 Oktober 2009 UNESCOmenetapkan batik sebagai “warisan budaya tak benda” milik Indonesia.Tanggal tersebut kemudian ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Hari Batik Nasional.Momentum tersebut menjadi menjadi salah satu pemicu geliat industri batik di Tanah Air.

Industri batik berkembang di berbagai kota di Pulau Jawa, terutama di Solo, Jogjakarta, dan Pekalongan, dengan beragam motif dan corak sesuai karakteristik daerah masing-masing. Misalnya, batik banyumasan menggambarkan kehidupan agraris dan karakter masyarakat Banyumas yang suka cablaka, juga berisi nasihat-nasihat (Rochmawati, 2010). Di luar ketiga daerah tersebut, batik juga menyebar di berbagai daerah dan kota, seperti Sumatera, Madura, Cirebon, Lasem, dan Banyumas. Industri batik juga berkembang di Kabupaten Banjarnegara.

Industri batik di Kabupaten Banjarnegara, yang merupakan varian batik banyumasan, terpusat di Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon yang secara administratif termasuk Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Kedua desa tersebut letaknya berdampingan,karena pada zaman dulu desa tersebut merupakan wilayah Kademangan Gumelem di bawah Kerajaan Mataram pada era 1573 M. Kerajinan batik yang dimiliki oleh masyarakat Gumelem ditularkan oleh keluarga kademangan. Saat ini Desa Gumelem Wetan memiliki 170 perajin batik dan 2 juragan batik, sedangkan Desa Gumelem Kulon memiliki 50 perajin batik dan 3 juragan batik (Ardhanariswari, 2014).

Sebagai industri yang berbasis pada tradisi yang mengakar, industri batik selayaknya menjadi social-economic capital yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namunterbatasnya pemasaran dan adanya ancaman batik printing

membuat perkembangan industri batik gumelem kurang optimal. Selain kedua masalah tersebut, industri batik gumelem juga belum diikuti oleh kesejahteraan para perajinnya. Hubungan kerja yang bercorak putting-out system membuat posisi perajin batik sangat terpinggirkan. Tulisan ini akan fokus mengidentifikasi persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang mereka lakukan untuk tetap bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup dari tradisi tersebut

2.TINJAUAN PUSTAKA

Perempuan Perajin Batik Tulis dalam Putting-out System

Hubungan buruh dan majikan dalam industri batik telah lama diwarnai hubungan kerja yang bercorakputting-out system(Chotim, 1994).Putting-out system merupakan cara kerja produksi barang dengan pelaksanaan produksi di rumahpekerjanya, sementara bahan kerja dan alat produksi dicukupi oleh pemilik usaha. Pemilik usaha melakukan kontrol kualitas, membayar upah produksi, tetapi tidak menanggung risiko pekerjaan, termasuk kesehatan dan jaminan sosial lainnya bagi pekerjanya (Syaifudian dan Chotim, 1994). Sementara Suratiyah (1997) mendefinisikan putting-out system sebagai sistem untuk mengatur, mengendalikan, dan memobilisasi proses produksi dan hubungan produksi dari bahan mentah menjadi barang jadi yang dilakukan di luar perusahaan. Pekerjaan dari perusahaan dibawa dan dikerjakan oleh pekerja ditempat yang dipilih sendiri, biasanya di rumah atau disekitar rumah pekerja. Pekerja dalam hal ini dikategorikan dalam pekerja rumahan, yaitu tenaga kerja yang menerima pekerjaan dari pengusaha tanpa ikatan kerja formal, membawa dan menerima kerja, menanggung sendiri risiko produksi serta menerima upah kerja berdasarkan satuan output (borongan) menurut ukuran sang pengusaha.

Menurut Mas’oed (2006), sistem kerja putting-out system lebih banyak memberi keuntungan bagi majikan karena majikan tidak perlu menyediakan tempat kerja. Para majikan lepas dari keharusan menjamin keselamatan kerja dan berbagai perlindungan lain

yang seharusnya diterima oleh buruh. Selain itu, mereka bisa memperoleh hasil dari pekerjaan buruh ekstra, yang sebenarnya tidak terlibat kontrak, misalnya anggota keluarga di rumah.Sebaliknya, bagi tenaga kerja sistem putting-out system lebih banyak merugikan dikarenakanmeniadakan perlindungan bagi buruh, misalnya keselamatan kerja maupun jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja. Selain itu, dapat terjadi pelanggaran hak asasi anak karena pengerjaan dirumah memungkinkan keterlibatan buruh anak.

Dalam putting-out system, pekerjaan dari majikan dikerjakan oleh pekerja di rumah sendiri sehingga dapat dikategorikan sebagai pekerjaan rumahan.Ciri pekerjaan rumahan(home based production)antara lain: (1)tidak memerlukan skill yang tinggi; (2) bisa dikerjakan di rumah tanpa harus meninggalkan tugas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga;(3)bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat (harian-mingguan); (4).modal tidak besar dan; (5) umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Sistem kerja dengan membawa pekerjaan kerumah dengan model putting-out system biasanya berlaku di daerah-daerah yang mempunyai potensi tenaga kerja terutama perempuan kurang mampu dan tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Kondisi tekanan ekonomi mengharuskan mereka melakukan kerja sambilan, yaitu melakukan pekerjaan reproduktif sekaligus produktif. Pekerja rumah masuk dalam sektor informal, yaitu pekerja yang bekerja dengan cara tidak tetap; sistem pengupahan borongan; merupakan pekerjaan- pekerjaan pinggiran, sehingga kebanyakan dilakukan oleh perempuan (Hart, 1989).

Hubungan kerja pada industri batik di Kabupaten Banjarnegara juga bercorak

putting-out system (Ardhanariswari, 2014) di mana posisi pemilik usaha (juragan) sangat dominan. Juraganmenentukan harga bahan baku dan upah produksi. Mereka juga menetapkan standar kualitas sehingga dapat menolak hasil produksi perajin yang tidak sesuai standar baku mutu. Juragan dapat memutus hubungan kerja secara sepihak apabila volume pekerjaan turun tanpa harus memberikan kompensasi kepada perajinnya. Sebaliknya, posisi perajin sangat lemah. Selain upah ditetapkan secara sepihak oleh juragan, para perajin harus menanggung risiko jika produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan juragan. Perajin tidak memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan kerja. Mereka harus menerima risiko kesehatan, seperti terkena ISPA atau tertuang malam panas, selain risiko tidak adanya jaminan kepastian kerja.

Putting-out system sekilas tampak menguntungkan pekerja -terutama bagi ibu rumah tangga yang harus mengurus keluarga - karena relatif fleksibel. Jam kerja ditentukan oleh pekerja sendiri, pekerja tidak harus kehilangan waktu dan ongkos untuk berangkat ke dan pulang dari tempat kerja, sementara sambil bekerja mereka tetap dapat melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun jika dicermati, sistem ini justru sangat menguntungkan pemilik modal karena selain (hampir) tidak menanggung risiko, mereka juga tidak perlu menyediakan tempat dan fasilitas pendukung seperti listrik dan alat produksi lainnya. Meskipun putting out system tidak menguntungkan bagi perempuan perajin batik tetapi kemiskinan dan kultur patriarkhi menyebabkan mereka menerima pekerjaan membatik dengan upah yang rendah.

Memberdayakan Perempuan Perajin Batik Tulis

Menurut Abdullah (1997), peran perempuan yang dalam struktur ekonomi menunjuk pada kecenderungan “pejajahan” laki-laki atas perempuan. Kecenderungan ini mengarah pada dua implikasi. Pertama, pergeseran struktur ekonomi makro secara langsung menggeser kaum perempuan. Ketikakesempatan kerja kaum laki-laki berkurang, mereka mengambil alih dan melakukan ekspansi ke sektor yang semula dikuasai perempuan. Disini perempuan dikalahkan dan/atau bahkan mengalah. Kedua, perubahan struktur ekonomi secara langsung membatasi keterlibatan perempuan dalam berbagai kegiatan ekonomi karena segmentasi pasar yang semakin rumit. Jika ada peluang maka

laki-laki adalah prioritas, jika peluang terbatas mereka mendesak dan melakukan marginalisasi terhadap perempuan. Kalau pun perempuan dipekerjakan, biasanya lebih didasari kebutuhan “tangan perempuan” dengan alasan memaksimalkan keuntungan, karena mempekerjakan perempuan sama dengan mendapatkan tenaga berupah murah.

Fakih (1997) menegaskan, proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki.

Kondisi yang dialami oleh perempuan perajin batik di Kabupaten Banjarnegara secara tidak langsung dipengaruhi kultur patriarkhi. Mereka meyakini bahwa pekerjaan membatik yang selama berpuluh tahun mereka lakukan hanyalah pekerjaan sampingan. Mereka menganggap pekerjaan utama perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga. Pemahaman ini tentu saja berpengaruh terhadap penghargaan perempuan perajin batik terhadap pekerjaannya. Menganggap membatik sebagai pekerjaan sampingan membuat mereka merasa “layak” diupah murah. Pemberdayaan perlu dilakukan agar para perempuan, khususnya perajin batik, mau dan mampu memberikan penghargaan terhadap karya yang mereka hasilkan.

Penelitian ini memaknai pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan penekan di sektor-sektor kehidupan. Pemberdayaan juga merupakan proses memfasilitasi warga masyarakat pada sebuah kepentingan untuk mengidentifikasi persoalan bersama, mengumpulkan sumberdaya, dan membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas. Masyarakat bawah dalam hal ini perempuan perajin batik.

Untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang berdaya dapat dimodifikasi dari strategi pemberdayaan lapisan masyarakat bawah dari Tjokrowinoto (1987) sebagai berikut :

a. Masyarakat bawah telah mampu menekan perasaan ketidakberdayaan bila berhadapan dengan struktur sosial-politis.

b. Setelah kesadaran kritis muncul, masyarakat dapat melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.

c. Masyarakat telah memiliki rasa kesetaraan dan meyakini bahwa kemiskian sebagai penjelmaan konstruksi sosial, bukan takdir.

d. Masyarakat telah memiliki keberanian untuk melibatkan dirinya dalam proses perumusan kebijakan pembangunan.

e. Masyarakat dapat menyerap perubahan nilai positif seperti perencanaan hidup, optimisme, pola hidup, produktivitas dan kualitas kerja.

3.METODE PENELITIAN

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif sesuai pengalaman penelitian dan sifat permasalahan (Strauss dan Corbin, 1990). Pendekatan kualitatif dipilih karena memiliki kelebihan dalam mengkonstruksi realitas sosial dan makna budaya, serta memiliki fokus pada proses interaktif dan peristiwa (Newman, 1994). Pemilihan informan menggunakanteknikpurposive samplingdengan kriteria informan sesuai kebutuhan studi iniatau bersifat unik dari sesuatu yang akan diteliti(Harrison, 2007).Sasaran utama penelitian adalah para perempuan perajin batik tulis. Peneliti juga mewawancarai para

juragan, pihak pemerintah desa dan pemerintah kabupaten untuk validasi data. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi wawancara mendalam, studi dokumen, dan observasi (Punch, 2006). Analisis data menggunakan model analisis interaktif seperti yang dikembangkan Miles dan Huberman (1992). Analisis dilakukan melalui tahap-tahap berikut. Data yang terkumpul direduksi menjadi pokok-pokok temuan penelitian dan disajikan secara naratif untuk kemudian diinterpretasikan secara logis. Reduksi dan penyajian data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan.

4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN

1.1. Sekilas Tentang Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon

Desa Gumelem Wetan berada di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Desa Gumelem Wetan seluas 805,278 ha.Sebagian besar wilayahnya berbukit- bukit, beberapa bagian di antaranya rawan erosi, terutama di wilayah dusun IV dan dusun III.Penduduk Desa Gumelem Wetan sebesar 10.733 jiwa, terdiri dari 5.374 penduduk laki- laki (50,07 persen) dan 5.359 penduduk perempuan (49,93 persen) dengan jumlah kepala keluarga 2.711 KK. Hampir semua penduduk Desa Gumelem Wetan beragama Islam. Fasilitas peribadatan yang ada meliputi enam buah masjid dan 46 mushola. Namun seperti umumnya masyarakat petani yang masih lekat dengan berbagai ritus yang berkaitan dengan siklus tanam, masyarakat desa ini masih kental memegang tradisi jawa, salah satunya tradisi sadran gedhe yang diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadhan. Sebagian besar penduduknya masih bermata pencaharian di sektor pertanian dan peternakan, baik sebagai petani (729 orang atau 27,16 persen), buruh tani (293 orang atau 10,92 persen). Menariknya, banyak penduduk Desa Gumelem Wetan yang bekerja sebagai perajin, seperti perajin perajin pande besi, perajin ciri batu, dan batik tulis, bahkan batik gumelem sudah menjadi salah satu ikon budaya sekaligus ikon wisata Kabupaten Banjarnegara. Selain memiliki kreativitas tinggi dan dinamis, masyarakat Desa Gumelem Wetan juga dianugerahi bentang alam nan permai. Desa ini berada di lereng Gunung Wuluh dan Bukit Girilarangan, dialiri dua buah sungai dengan 16 mata air yang menghidupi warga desa, bahkan terdapat curug (air terjun) dan mata air panas. Di desa ini juga terdapat cagar budaya dan situs sejarah, yakni sebuah masjid kuno, makam keluarga demang, Makam Ki Ageng Giring, dan Makam Gumelem. Selain tradisi sadran gedhe, masyarakat desa ini memiliki kesenian tradisional ujungan.

Desa Gumelem Kulon terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Banyumas, tepatnya di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Luas wilayah Desa Gumelem Kulon sebesar 812,2 ha, sebagian besar merupakan dataran tinggi/pegunungan dan sisanya merupakan dataran rendah dan areal persawahan. Seperti halnya penduduk Desa Gumelem Wetan, hampir seluruh penduduk Desa Gumelem Kulon beragama Islam, namun demikian nilai-nilai tradisi Jawa masih cukup dominan. Umumnya masyarakat pedesaan, masyarakat Desa Gumelem Kulon banyak yang bekerja di sektor pertanian, sebagai petani atau buruh tani sawah. Desa ini juga dikenal sebagai sentra penghasil gula kelapa. Sayangnya, manisnya gula tidak semanis nasib petaninya. Harga gula yang fluktuatif, pohon kelapa yang sudah tua sehingga produktivitasnya menurun, banyaknya penderes yang terbelit sistem panjar (ijon) dari para tengkulak, serta banyaknya jalan yang rusak sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi, merupakan kendala yang harus dihadapi petani kelapa.

Batik gumelem sebagaimana disebutkan dalam buku Profil Batik Gumelem

(2008), diyakini sudah ada sejak berdirinya Kademangan Gumelem. Saat itu, miniatur kehidupan istana seperti pranata, trapsila, busana, dan tata praja secara baik dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat di Kademangan Gumelem. Sebagai wilayah

perdikan, Kademangan Gumelem mengatur rumah tangganya sendiri. Demang memiliki pembantu para sentana dalem yang mengurus kelancaran pemerintahan. Di samping itu, terdapat satuan-satuan kerja teknis pendukung dan penjaga kewibawaan kademangan, salah satunya adalah para tukang batik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan busana keluarga, kerabat, dan sentana dalem kademangan.

Sejarah perkembangan batik gumelem tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kademangan Gumelem. Masa keemasan batik gumelem mengalami penurunan sejalan dengan berubahnya status kademangan yang awalnya merupakan tanah perdikan (bebas pajak) di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta menjadi desa praja. Wilayah kademangan pun kemudian dibagi dua menjadi Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Status dan wilayah kademangan berubah karena Surakarta dilanda krisis politik dan pemerintahan.

Runtuhnya Kademangan Gumelem menjadi pukulan berat bagi perkembangan batik gumelem. Batik sebagai kebudayaan kalangan istana yang selama ini bertahan karena perlindungan kalangan kademangan runtuh perlahan akibat berkurangnya kebutuhan batik karena berkurangnya jumlah sentana dalem, serta acara pemerintahan dan ritual adat yang biasa dilakukan.Surutnya masa keemasan batik gumelem juga disebabkan lunturnya nilai- nilai sakral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Batik semakin kehilangan mitos dan filosofi yang terkandung di dalamnya, tinggal menjadi semacam ragam hias yang mengandalkan unsur keindahan belaka. Di sisi lain, batik mulai dianggap sekadar bagian dari industri sandang.

Sejak runtuhnya kademangan, batik gumelem pun mengalami kelesuan panjang. Kain batik hanya digunakan oleh perempuan tua sebagai pakaian tradisional sehari-hari (jarit/jarik), selendang penggendong bayi, atau kain penutup jenazah. Kain pun hanya diproduksi ulang melalui teknik cetak (printing) agar harga terjangkau. Para pembatik tulis pun semakin jarang ditemukan dan nyaris punah.

Tahun 2003 dapat disebut sebagai tahun kebangkitan batik gumelem, ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Banjarnegara agar setiap hari Sabtu, PNS se- Kabupaten Banjarnegara menggunakan batik gumelem saat melaksanakan tugas. Surat edaran ini ternyata cukup jitu untuk menggairahkan kembali industri batik gumelem yang mati suri. Industri tersebar di empat desa, yaitu Desa Gumelem Wetan, Gumelem Kulon, Panerusan Wetan, dan Susukan. Selain menerbitkan surat edaran, melalui Dekranasda, Pemkab Banjarnegara melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai upaya, seperti pelatihan melalui sistem magang, pemberian bantuan peralatan pembuatan batik tulis dan batik cap, pelatihan pewarnaan, teknik pembuatan batik cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana batik gumelem setiap dua tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian pinjaman modal dengan bunga rendah/subsidi bunga.

Perhatian Pemerintah Kabupaten Banjarnegara semakin meningkat setelah adanya pengakuan UNESCO bahwa batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. Sehari setelah pengakuan UNESCO tersebut - yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional - keluarlah surat edaran yang mewajibkan seluruh PNS se-Kabupaten Banjarnegara selama seminggu penuh mulai tanggal 5-10 Oktober 2009 menggunakan batik selama jam kerja.Tak berapa lama kemudian turun Keputusan Bupati Nomor: 025/ 591 Tahun 2009 tentang Penggunaan Pakaian Dinas PNS di Lingkungan Pemkab Banjarnegara. Salah satu poin pentingnya adalah penggunaan pakaian batik diperpanjang dari semula hanya hari Sabtu, menjadi tiga hari, yaitu hari Kamis, Jumat, dan

Sabtu. Sejalan dengan waktu, kini aturan pemakaian batik diperpanjang lagi menjadi empat hari dalam seminggu, mulai hari Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.

1.3. Kendala yang Dihadapi Para Perempuan Perajin Batik Tulis

Hasil penelitian berhasil mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi para perempuan perajin batik gumelem sebagai berikut.

a. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.Hubungan antara pekerja dengan juragan adalah kepercayaan karena tidak ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Dalam model hubungan kerja bercorak putting-out system yang terjadi antara

juragan dan perajin batik gumelem tidak ditemukan adanya perjajian kerja secara tertulis,bahkan “kesepakatan kerja” sepenuhnya ditentukan juragan.Tidak adanya perjanjian kerja yang tertulis mengakibatkan kedudukan antara pekerja, dalam hal ini perempuan perajin batik, dengan pengusaha/juragan tidak seimbang, dimana juragan dalam posisi dominan.Meskipun merupakan pekerja rumahan, perempuan perajin batik seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan UU Ketenagakerjaaan, selain mendapatkan hak-haknya sebagaimana layaknya seorang pekerja/buruh.

b. Sistem pengupahan ditentukan secara sepihak oleh juragan.Perempuan perajin batik mempunyai bargaining power yang lemah terutama berkaitan dengan upah yang diperolehnya. Besaran upah ditentukan “kemurahan hati” juragan. Upah dihitung per lembar kain, yakni antara Rp 20.000 – Rp 50.000 per lembar yang dapat diselesaikan 2-3 hari, bahkan lebih, tergantung kerumitan motif. Jika dirata- rata, upah pekerja antara Rp 7.500 – Rp 20.000 per hari, sementara UMK Banjarnegara tahun 2015 sebesar Rp 1.112.500 per bulan. Artinya, upah buruh batik tulis jauh di bawah upah minimumyang ditetapkan pemerintah, padahal UMK Banjarnegara termasuk yang terendah di Provinsi Jawa Tengah..

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 100-112)