• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN PERILAKU WANITA PRO LINGKUNGAN: KASUS KABUT ASAP

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 165-174)

Rancangan Pengajian Gender, FSSS, University of Malaya

Email:rizkitakriyanti@yahoo.co.id

Abstrak

Isu pokok dalam penyelidikan ini adalah menganalisis bagaimana tingkahlaku wanita terhadap lingkungan dapat mewujudkan gerakan sosial di sebuah Kota. Penyelidikan ini adalah penyelidikan kualitatif dan metodenya kes studi feminis. Teknik pengumpulan data dilakukan temubual mendalam dan pengamatan terlibat. Hasil penyelidikan menyimpulkan tiga perkara yakni hal-hal yang mendorong dan menjadi gerak kuasa (catalyst) praktis lingkungan tingkahlaku wanita adalah pengetahuan, motif dan sikap. Kedua tingkahlaku pro lingkungan wanita untuk mengatasi kabut asap, mereka menghemat pemakaian Bahan bakar Minyak (BBM) dan elektrik, menanam pohon, memilih rumah yang terdekat dengan kantot. Ketiga usaha yang dilakukan wanita untuk lingkungan yang berkelanjutan adalah mengubah cara pandang tentang memperlakukan lingkungan dan wanita sebagai objek yang tidak menganggu relasi dan peran laki-laki, wanita dan lingkungan, supaya tidak ada lagi kerusakan lingkungan dan ketidakberdayaan wanita sehingga dari tingkah laku yang pro lingkungan akan menjadi sebuah gerakan sosial.Penyelidikan menyarankan agar semua pihak khususnya pemerintah perlu mengkaji kembali paradigma pembangunan yang demokratis dan transparansi berperspektif lingkungan sehingga memungkinkan kontrol penduduk dalam era otonomi ini sepatutnyalah ada ruang untuk kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan.

Keywords: Gerakan, Sosial, Perilaku, Wanita, Lingkungan.

Abstract

Central issue in this research is to analyze how the womans behaviour towards the environment can realize a social movement in a city.This research is a qualitative investigation and case study methode feminimst. Data collection techniques and observation dept interview involeent. The results of the investigation concluded three cases of pushing and being practical power of the environmental movement behaviour of women is knowledge, motiver and attitudes.The second pro environmental behaviour of women to overcome the haze, to save onfuel oil and electrical, plant a tree, choose a house that is closet to office. The three efforts made by the woman for the environments and women as objects no longer interfere with relationship and roles of men, women and the environment. Hopefully no more damage to the environment and powerlessness of women. This study suggests that all parties, especially the government needs ro review the paradigm of development, of a the democratic and transparent royal perspective enabling environmental control society especially in the era of autonomy supposed to be a space for local knowledge in environmental management.

Keywords: Social Movement, Behaviour, Women, Environmental

1.PENDAHULUAN

Peran manusia terhadap pelestarian alam sekitar menjadi sangat strategik, karena selain manusia menjadi pengguna utama (main user), juga manusia sering di claim sebagai pihak yang paling tidak bertanggung jawab pada pelestarian lingkungan. Sebenarnya

lingkungan merupakan jantung kehidupan, kerana tanpa lingkungan sebenarnya manusia tidak boleh berbuat banyak; lebih tragis lagi manusia tidak bisa hidup. Lalu kenapa manusia

menyalahgunakan peranan dan manfaat lingkungan tersebut? Hal ini terjadi kerana lingkungan dianggap sebagai sesuatu fenomena dan spektrum yang berjalan secara pelestarian, padahal banyak akibat yang sudah menjadi realiti sosial dan edukatif yang semestinya telah menjadi pelajaran bermakna bagi manusia dalam memaknai lingkungan sebagai ”keperluan hidup” manusia.

Oleh karenanya perkara alam sekitar merupakan hal yang penting sejak beberapa dekade yang lampau. Pemanasan global dan perubahan iklim karena efek rumah kaca (green house effect), kerusakan tanaman, hutan, dan kepunahan species, berkurangnya sumberdaya ikan, lahan pertanian, polusi udara dan persediaan air adalah bencana utama bagi lingkungan di bumi (Oskamp, 2000).

Awalnya permasalahan lingkungan disadari sebagai perkara teknis dan ekonomi. Sementara pada dekade terakhir dimensi sosial dan permasalahan lingkungan seperti perhatian publik dan sikap masyarakat terhadap lingkungan menjadi satu dari ranah sosiologi lingkungan dan psikologi lingkungan. Dalam hal ini tingkah laku lingkungan masyarakat dan tingkah laku ekologi dan akibat-akibat lingkungan telah diselidiki di negara maju dan negara berkembang selama beberapa dekade terakhir (Kalantari, Fami, Asadi, & Mohammad, 2007).

Menurut Herbert Grossman dan Suzanne H.Grossman (1994) ketika generalisasi tentang perbedaan gender dapat menjadi misleading, adalah penting untuk mengenali bahawa beberapa perbedaan gender cut across kelas, etnis dan geografis terbatas, serta deskripsi kelas sosio-ekonomi atau kumpulan etnis cenderung menerapkan majoriti ahli mereka. Gender tidak muncul seketika, akan tetapi gender berkembang secara beraturan, masing-masing tahapan mempengaruhi pengembangan secara bertahap untuk membantu menghasilkan perbedaan gender yang kita lihat sebagai orang dewasa.

Wanita merupakan salah satu major group kumpulan sumber manusia di masyarakat, yang mempunyai potensi besar sebagai kumpulan mandiri penunjang pembangunan. Kelompok wanita telah disepakati memiliki posisi yang sangat strategik dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio Jeneiro, Brasil tahun 1992 yang menyepakati untuk melaksanakan agenda 21 sebagai dokumen yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kemudian ditindaklanjuti pada KTT Wanita di

Beijing Tahun 1995 yang menghasilkan Deklarasi Beijing berisikan 12 CriticalAreas, diantaranya tindak penglibatan wanita dalam pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, masyarakat dunia menyepakati posisi penting dalam mencapai

pola produksi dan konsumsi yang berwawasan lingkungan serta pendekatannya pada pengelolaan pelestarian Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan.

Kesepakatan terhadap posisi strategik wanita pada berbagai forum Internasional dalam membuka peluang bagi penyelesaian masalah yang terkait antar wanita dan pembangunan berkelanjutan khususnya masalah lingkungan. Pembagian peranan wanita dalam kehidupan sosial seringkali menempatkan intensiti wanita lebih sering dengan lingkungan; yang menyebabkan wanita lebih peka dalam mengelola lingkungannya. Kemampuan organisasi wanita memungkinkan terbentuknya sesuatu "gerakan" yang

mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah yang kurang sesuai. Karena itu, wanita mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya mengenai keterkaitan wanita dan lingkungan, sehingga peran, akses, dan pengawasan serta manfaat yang diterima kaum wanita dapat lebih maksimal (Bidang Pengembangan Kapasitas BAPEDAL Propinsi Jawa Timur, 2007).

Gerakan sosial wanita pro lingkungan adalah suatu proses tanpa akhir untuk mendukung dan mengembangkan mental, moral, etika, fisik, sikap dan tingkah laku agar menghasilkan insan yang mampu melestarikan fungsi lingkungan guna keberlangsungan hidup manusia dan mahkluk hidup lain yang ada di dalamnya. Menurut Lutfi Pratomo (http://beritahabitat.net/2008) wanita yang selama ini dilupakan oleh kaum lelaki dalam peran lingkungan sangat memprihatinkan. Sistem patriarkis selalu mendominasi dalam pergerakan dan kepedulian wanita terhadap lingkungan. Kebebasan wanita terbatas oleh kebijakan patriakis yang memberikan dampak kerusakan lingkungan yang fital. Ada kekeliruan dalam pendidikan yang selama ini di tanamkan oleh kebudayan di dunia.

Otoriti lelaki sangat kuat memberikan impak terhadap wanita lebih tidak percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya karena merasa takut bila diremehkan dan tidak didengarkan ideanya. Wanita lebih memilih diam karena takut akan represif yang di dominasi kaum lelaki. Mitos dan dogma memberikan punishmentbahwa wanita adalah makhluk yang lemah dan dididik menjadi makhluk emosi daripada rasio yang selama ini dikuasai oleh otoriti laki-laki. Sudah saatnya kita merubah paradigma yang sudah melekat bahawa wanita juga sudah boleh berdaya dan tidak lagi di bawah otoriti laki-laki dalam menyelamatkan lingkungan.

Kerusakan lingkungan sa’at ini disebabkan tidak adanya rasa penghormatan terhadap ciptaan khususnya terhadap kaum wanita. Peradaban dunia menciptakan kekuasaan laki- laki dalam kehidupan yang sukar sekali menerima kritik. Rasionalitas dan biologis cenderung dibesar-besarkan menjadi peranan yang sangat dominan.

Selain itu, rasionaliti lelaki membawa pengurangan rasa hormat terhadap bentuk sesuatu ciptaan. Kebudayaan tersebut semestinya kita tinggalkan bahwa pelestarian lingkungan seperti halnya wanita sebagai sesesuatu yang boleh dikawal dan dikuasai oleh otoriti lelaki.

Menurut Henry Giroux (1992) gerakan yang lebih luas dalam teori feminis, post- strukturalisme, post-modernisme, studi kebudayaan, teori kesusasteraan (literary), dan dibidang seni adalah dialamatkan kepada isu pedagogi dalam politik perbedaan kebudayaan yang menawarkan harapan baru bagi sejumlah bidang yang mengalami kemunduran (for a deteriorating field).

Dalam dunia tradisi religious dan kebudayaan, wanita sering dipikirkan dekat dengan pelestarian lingkungan, pelestarian lingkungan dilihat sebagai feminism, maka dunia pelestarian lingkungan disimbolkan sebagai wanitaIbu. Selain itu pelestarian lingkungan sebagai wanita bijak yang mengatur segalanya. Akhirnya persepsi tentang pelestarian lingkungan mengalami perubahan sejarah. Pelestarian lingkungan lambat laun sudah tidak lagi dalam pemuliaan dan melampaui kebudayaan manusia. Pelestarian lingkungan lebih mudah boleh dikawal dan dieksploitasi tanpa batas seperti halnya otoriti lelaki yang mendominasi kaum wanita. Rasionaliti menciptakan hukumnya sendiri terbentuklah teknologi yang menguasai pelestarian lingkungan. Transendensi laki-laki didefenisikan sebagai lari dari pelestarian lingkungan dan perang terhadap realiti keibuan, realiti tubuh dan pelestarian lingkungan, semua yang membatasi dan menahan lebih dari yang dikawal laki-laki. Dengan cara inilah, melalui ilmu pengetahuan, pemikiran laki-laki memaksakan transendensinya atas pelestarian lingkungan.

Pelestarian lingkungan tidak lagi menjadi tubuh yang organik namun menjadi mesin yang dibentuk dan dijalankan dengan alasan yang suci. Hal inilah yang menyebabkan kerakusan ada ditangan lelaki. Apa yang kita alami sebagai makhluk yang semestinya menghormati ciptaanNya kini di batasi oleh alasan rasionaliti dan dogma agama yang selama ini kita hanya taken for granted. Diskriminasi terhadap wanita yang dilakukan laki-laki hanya membentuk sesuatu kebudayaan kekuasaan rasionaliti tanpa batas memberikan impak terhadap krisis lingkungan yang terjadi sa’at ini.

Ilmu pengetahuan dan feminisme menurut Ruth Hubbard, Mary Sue Henefin, dan Barbara Fried adalah, “Sebuah konstruksi manusia muncul kerana sebuah kondisi

sejarah tertentu ketika dominasi laki-laki atas pelestarian lingungan masih terlihat sebagai sesuatu yang baik dan perlu di perjuangkan. Wanita sudah sering menyedari, lebih daripada laki-laki, bahawa kita adalah bahagian dari alam dan nasibnya ada ditangan manusia yang sering tidak peduli”.

Hanne Strong mengatakan bahawa kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli dan tradisional. Karena itu, masyarakat ini berbincang dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Sementara itu, perjuangan wanita Jambi melalui wakil rakyat, perjuangan anti pornografi, pelecehan seksual, ilegal logging, dan sejumlah kasus lainnya, merupakan sebahagian kecil perjuangan wanita di Kota Jambi. Perjuangan ini terasakan masih sangat kecil bila dibandingkan dengan perjuangan wanita masa dahulu.

Alternatif penggantinya perjuangan ini dirasakan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan peranan wanita di kampung-kampung yang langsung bersentuhan dengan hutan. Wanita Jambi yang bertempat tinggal di wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) dan Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi sejak dahulu hingga kini menjadi pilar utama dalam menjaga kelestarian hutan. Mereka sangat menyadari lingkungan (hutan) menjadi sumber kehidupan, baik dari aspek sosio budaya religius maupun aspek ekonomi.

Dahulu bangsa Indonesia punya Kartini sebagai wanita yang memperjuangkan dunia pendidikan. Kini ada Butet Saur Marlina (Warung Informasi Konservasi Jambi),

Emmy Hafild (Wahana Lingkungan Hidup) dan masih banyak lagi kaum wanita yang semakin peduli dengan lingkungan. Semua ini merupakan cerminan wahana representasi kemunculan wanita di masanya untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungannya dengan penekanan yang berbeda terhadap lingkungannya.

Sekarang kita semakin sadar bahawa kerusakan lingkungan adalah akibat dari kerakusan yang hampir semua didominasi lelaki yang tidak memperdulikan kebebasan wanita untuk berucap dan berekpresi terhadap bumi dan makhluk hidup lainnya. Seperti yang diungkapkan Dale SpenderKetika kedua jenis kelamin menggambarkan pengalaman-

pengalaman mereka sendiri dan ketika kedua versi itu dapat hidup bersama tanpa terbagi menjadi lebih unggul dan kalah, benar atau salah, aturan atau pelanggar, maka sebahagian dari mekanisme penindasan terhadap wanita telah dibuang”. Atau seperti yang disampaikan oleh Mahatma GandhiDunia ini cukup untuk menghidupi semua

orang yang ada di dalamnya, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir orang”.

Perkaranya, kenyataan menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara langsung berimpak terhadap wanita. Revolusi Hijau misalnya, pertama kali, meminggirkan wanita. Revolusi Hijau memaksa penggunaan bibit varieti unggul, sehingga pekerjaan perawatan dan pemilihan bibit yang tadinya dikuasai oleh wanita, kini tersingkir. Dan pemaksaan jenis tanaman tertentu dalam sektor pertanian, secara drastis telah menggusur wanita dari proses produksi pertanian, karena pengetahuan wanita atas keanekaan jenis tanaman tidak lagi dihargai. Ditambah mekanisasi secara intensif di sektor pertanian, mengabaikan eksistensi petani wanita, kerana tidak diperkirakan kapasitas, kemampuan dan struktur tubuh wanita. Penggunaan mesin huller, menyingkirkan penggunaan ani-ani

(finger knife)yang biasa digunakan wanita,tergantikan oleh sabit yang lebih berat sehingga wanita kehilangan atau bertambah beban pekerjaannya. Wanita pedesaan tersingkir dari pertanian ketika peralatan moden diperkenalkan dan diasosiasikan dengan peran laki-laki. Sementara akses wanita pada pengambilan keputusan di sektor pertanian tetap tidak ada.

Ancaman lain adalah pekerjaan yang bersentuhan dengan pestisida, dimana wanita, yang paling lama terpapar pestisida karena beban kerjanya di lapangan pertanian, maupun ketika mereka bekerja di lingkungan rumah tangga, seperti membersih, karena beberapa jenis pestisida menetap dalam air. Ibu mengandung beserta janinnya paling rentan terhadap kimia beracun seperti DDT, endrin, dsb, yang mengakibatkan resiko penyakit kanker, terganggunya perkembangan janin, metabolisme, maupun jaringan otak. Tentu saja impak ini tidak terlihat secara langsung dalam hitungan hari atau bulan, melainkan boleh dalam hitungan tahun. Siapakah yang akan bertanggung jawab terhadap resiko-resiko ini? Perkawinan usia dini sebagai ciri kebudayaan masyarakat agraris, mendorong angka kematian ibu yang tinggi, rendahnya pengetahuan reproduksi dan seksualitas wanita pedesaan, mengukuhkan peran wanita sebagai ‘pelayan seksual’ dan ‘penanggungjawab pemberi keturunan’ saat melakukan hubungan seksual, pelecehan seksual yang dialami buruh tani wanita, stigma ‘mandul’ bagi wanita yang belum mengandung, kekerasan dan ‘beban’ alat kontrasepsi terhadap wanita, gagal KB, aborsi, dan lain sebagainya (Sri Hadipranoto, Heru Santoso:2001). Kondisi ini kini semakin diperberat dengan berkurangnya subsidi pemerintah pada sektor kesihatan.

Guna bertahan hidup, kebanyakan wanita pedesaan kemudian menjadi buruh tani dengan beban kerja berlebih, upah minimum, dan resiko kerja tinggi. Jika di desa tidak tersedia lagi pekerjaan, wanita terdesak mencari alternatif penghasilan dalam sektor-sektor yang tidak terlindungi dan eksploitatif, dengan bermigrasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kantung-kantung kemiskinan di daerah agraria juga menjadi kantung-kantung daerah asal buruh migran, pekerja seks, dan pekerja sektor informal kota. Ini menjadi katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negara, seringkali melalui saluran yang tidak resmi. Jumlah wanita yang bermigrasi untuk mencari pekerjaan meningkat tajam dalam dekade terakhir (feminisasi migrasi). Wanita pedesaan umumnya terjerembab menjadi korban perdagangan wanita dan anak (women and children trafficking). Selain itu, dalam berbagai konflik tanah dimana rakyat berhadap-hadapan dengan pengusaha (TNCs/MNCs) dan pemerintah, wanita dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, seperti penggerayangan dan penelanjangan tubuh wanita, seperti yang terjadi di Bulukumba-Sulawesi-Indonesia baru-baru ini. Peristiwa Bulukumba, hingga kini masih meninggalkan trauma para wanita dan ibu-ibu masyarakat adat Kajang, atas kekerasan yang menimpa mereka.

Hilangnya lingkungan hutan menyebabkan musnahnya tradisi lokal, di mana wanita umumnya mempunyai kepakaran khusus. Untuk wanita Dayak di Kalimantan- Indonesia juga bagi wanita adat (indigenous women) di belahan Indonesia lainnya-mereka mempunyai pengetahuan untuk mengenal plasma nutfah dan tahu bagaimana menjaga dan memeliharanya. Pertanian adalah daerah kekuatan dan kearifan wanita adat. Di Jambi misalnya kaum wanita dari kelompok “orang rimba” bukan hanya sekedar sebagai penerus keturunan saja, tetapi merupakan simbol kekuatan adat rimba yang sangat berperan dalam menjaga keharmonian alam sebagai tempat hidup mereka. Wanita suku Dani di Papua misalnya dapat mengenalkan 70 jenis ubi-ubian, dan wanita Moi di Sulawesi Tengah mampu mengenal 40 jenis tanaman obat, dan bagaimana cara menggunakannya untuk pengobatan. Jika komuniti lokal kehilangan teritori adatnya, pengetahuan dari kaum wanita di atas menjadi tidak bererti. Pengetahuan wanita di bidang pertanian kenyataannya mempengaruhi kualitas makanan dan ketersediaan pangan. Namun, kepakaran ini sama sekali tidak dihargai. Kebudayaan, tradisi dan model pembangunan yang tidak sensitif gender telah membentuk banyak wanita menjadi pribadi yang pasif, ”nrimo”, pantang bersuara dan tidak percaya diri. Jika kondisi ini terus dipertahankan (status quo) maka akan terjadi bencana kemanusiaan yang lebih buruk dari kondisi sa’at ini.

Pembangunan industri berbasis sumber daya alam semula jadi seperti industri perkayuan dan pertambangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, mengakibatkan hilangnya area lahan bagi masyarakat adat. Wanita adat kehilangan sumber penghidupannya, perlindungannya dan kepercayaan diri dalam skala masif. Mereka dipaksa untuk menerima pekerjaan apapun untuk kelangsungan hidup mereka. Di Jambi misalnya, wanita ”orang rimba” yang ratusan tahun hidup di dalam rimba dan terproteksi dari dunia luar, sa’at ini terpaksa harus keluar dari dalam rimba agar dapat mendapatkan sumber makanan dari orang kampung. Bagi wanita ”orang rimba” berada di luar hutan adalah ancaman bagi keberlangsungan generasinya, karena tidak memiliki kapasitas untuk dapat cepat beradaptasi dengan dunia luar.

Maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan HPH di Jambi telah memarginalisasi wanita terhadap hutan. Lebih parah lagi telah merusak peradaban dan kearifan wanita terhadap kelestarian lingkungan kerana mereka harus bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit dan HPH yang sangat ekspolitatif terhadap lingkungan. Hal yang sama juga terjadi di kawasan lain seperti di Kalimantan banyak wanita Dayak terjejaskan dalam ‘kawin kontrak’ di mana mereka ‘menikah’ dengan para pekerja di industri perkayuan dan diterlantarkan segera setelah kontrak pekerja itu selesai dengan perusahaan. Anak-anak yang dilahirkan dari kawin-kontrak ini sering disebut sebagai

anak Asean’ di kampung mereka, menandakan para pekerja yang menjadi bapaknya

berasal dari berbagai daerah di Asean, terutama Filipina dan Malaysia.

1. 1. Tempat Kajian

Kawasan pengambilan data dalam penyelidikan ini adalah di Kota Jambi. Kota Jambi terletak di bahagian Barat cekungan Sumatera Selatan negara Republik Indonesia yang disebut Sub Cekungan Jambi yang merupakan dataran rendah di Sumatera Timur, kerana itu topografinya bercirikan dataran.

Rajah 1: Peta Bandar Jambi Sumber:DDA Bandar Jambi, 2009

Visi pemerintah Jambi dalam pengendalian impak lingkungan di Kota Jambi dan harapan yang akan diwujudkan pada masa depan adalah ”terwujudnya Kota Jambi yang teduh dengan pembangunan lingkungan yang serasi, selaras, seimbang

Tentunya makna yang terkandung dalam visi tersebut iaitu mewujudkan pelestarian lingkungan dalam suatu penataan wilayah yang serasi, selaras dan seimbang melalui aktivitas pengawasan, pengendalian, pemantauan dan pemulihan lingkungan dengan melibatkan peranserta masyarakat baik laki-laki maupun wanita yang berkeadilan dan berkesinambungan.

Kesepakatan nasional tentang pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) pada 21hb Januari 2004 di

Yogyakarta telah ditetapkan 3 (tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan yang saling terkait dan saling menunjang iaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan.

Menurut “World Bank Country Study” ancaman yang paling besar di kawasan perkotaan di Indonesia termasuk Kota Jambi adalah:

a. Air yang tidak bersih untuk diminum langsung sebagai salah satu sumber utama penyakit,

b. Pembuangan limbah yang belum memenuhi baku mutu ke media atau ke badan- badan air,

c. Pengelolaan sampah yang kurang memadai (penumpukan secara tidak terkendali, pembuangan ke dalam sungai dan pembakaran),

d. Pelepasan zat-zat pencemar udara oleh kendaraan bermotor karena gas kendaraan bermotor mengandung debu/jelaga dan timah hitam (timbal) (Pemerintah Kota Jambi, 2008).

1. 2. Isu lingkungan Kota Jambi

Isu-isu lingkungan yang ada dan berkembang di Kota Jambi sa’at ini adalah:

1. 2. 1. Banjir/takungan air

Pada beberapa tahun terakhir ini, salah satu permasalahan utama lingkungan di Kota Jambi adalah terjadinya genangan air maupun banjir di beberapa kawasan. Hal ini timbul kerana:

- Merupakan Kota yang berada di dataran rendah dan dialiri Sungai Batanghari dan 9 (sembilan) sungai-sungai kecil serta 13 (tiga belas) anak sungai,

- Pengaruh debit air sungai yang meningkat akibat hujan di daerah hulu/hilir sungai,

- Perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai,

- Pendangkalan sungai akibat sedimentasi dan pembuangan sampah yang tidak tertib,

- Topografi struktur tanah dan vegetasi yang kurang baik, - Drainase yang kurang dan belum berfungsi secara baik.

Isu yang tidak kalah pentingnya yang sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan pembangunan Kota Jambi serta jumlah penduduk yang semakin bertambah, yang juga menjadi masalah di kota-kota lainnya adalah pencemaran dan kerusakan alam

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 165-174)