• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN DAN AKSI KOLEKTIF PEREMPUAN Ida Ruwaida

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 59-72)

Staf Pengajar Departemen Sosiologi Universitas Indonesia

e-mail: idar.noor@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini menfokuskan perhatian pada pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program penanggulangan kemiskinan dalam kaitannya dengan aksi kolektif perempuan. Berdasar kajian terefleksi bahwa kebijakan maupun program penanggulangan kemiskinan masih belum menstimuli kapasitas dan kesadaran kritis perempuan baik secara individual maupun kolektif. Artinya, perempuan masih diposisikan dengan peran instrumentalnya, bukan peran substantif/transformatifnya. Menariknya, ada kecenderungan program- program yang ada justru menfragmentasi perempuan. Hal ini dimungkinkan ketika kebutuhan dan kesadaran perempuan untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan kepentingan bersama masih lemah. Pada sejumlah kasus, aksi kolektif perempuan sangat

diwarnai oleh ada tidaknya figur sebagai “tokoh” yang memiliki kapasitas individual

sebagai agen perubahan, yang mampu melakukannya apa yang disebut oleh Naila Kabier sebagai transformasi institusional, meski berhadapan dengan tantangan struktural dan kultural. Secara sosiologis, menarik mengungkap strategi agen perubahan dalam menyikapi tantangan-tantangan institusional yang ada.

Abstarct

This paper focuses attention on women's economic empowerment through poverty alleviation programs in relation to the collective action of women. Based on the study reflected that the policies and programs of poverty reduction is still not stimulate the capacity and critical awareness of women both individually and collectively. That is, women are still positioned with its instrumental role, not a substantive role / transformative. Interestingly, there is a tendency of existing programs instead menfragmentasi women. This is possible when the need and awareness of women to organize themselves and promote common interests, is still weak. In some cases, the collective action of women strongly colored by the presence or absence of the figure as a "leader" who has the individual capacity as an agent of change, is capable of doing what is called by Naila Kabier as institutional transformation, although faced with structural and cultural challenges. Sociologically, reveal interesting strategy change agents in addressing the institutional challenges that exist.

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia, sejalan dengan tujuan pembangunan milenium (MDGs), yang kini dikembangkan menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), menempatkan kemiskinan sebagai salah satu masalah utama yang harus ditanggulangi. Data BPS, per September 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,51 juta jiwa (11,13 persen). Persentase penduduk miskin di desa jauh lebih besar (14,09 persen) dibandingkan kota (8.2%). Adapun gini ratio mencapai 0.41, yang mana kota lebih besar (0,43) dibanding

desa (0,33). Jika dilihat berbasis gender, maka data menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan secara ekonomi, lebih miskin. Berbagai faktor yang melatari tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai yang diberlakukan di masyarakat pada perempuan, yang kemudian mengkondisikan kelompok ini berpendidikan lebih rendah, nikah lebih muda, bergantung secara ekonomi pada laki-laki/keluarga, dll.

Selama dua dekade terakhir, berbagai kebijakan dan program telah diluncurkan oleh pemerintah, yang pada dasarnya bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan (antara 9 hingga 10 persen) dan juga menurunkan angka gini ratio atau ketimpangan pendapatan (target 0,39). Strategi yang dikembangkan bersifat terpadu baik menyasar pada rumahtangga maupun komunitas, bahkan pada perempuannya sendiri.3 Berkenaan dengan kondisi nyata bahwa kemiskinan lebih berwajah perempuan, berbagai program telah diluncurkan baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Salah satu yang terkini adalah program terpadu dan terintegrasi yang diinisiasi Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia adalah program “MAMPU” (maju perempuan Indonesia untuk penaggulangan kemiskinan), yang melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan (organisasi penggiat perempuan/gender).

Menariknya, sebagian besar program, termasuk MAMPU (2012-2020), berpijak dari asumsi dasar bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat meningkatkan pendapatan dan mengatasi kemiskinan. Hasil kajian International Poverty Centre memang menunjukkan bahwa apabila perempuan tidak mengalami hambatan apapun dalam memasuki pasar tenaga kerja, maka kemiskinan akan berkurang setidaknya 25 persen di Argentina dan Brazil, sementara di Chili mencapai 40 persen. Sementara studi lain menegaskan bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat meningkatkan pemberdayaan SDM bagi anak perempuan, serta ditundanya usia pernikahan dan melahirkan bagi perempuan (www.mampu.co.id).

Berbasis dari berbagai kajian tersebut, pertanyaannya adalah apakah asumsi-asumsi diatas tercermin di Indonesia? Dengan kata lain, apakah program-program penanggulangan kemiskinan yang menyasar pada perempuan secara langsung maupun tidak langsung (misalnya: kelompok usaha bersama/KUBE, Simpan Pinjam Perempuan/SPP-PNPM, juga yang terkini MAMPU, serta program lainnya baik di level lokal/nasional/regional) akan memampukan atau memberdayakan perempuan baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik.4 Artinya, seberapa besar kontribusi program seperti: pada peningkatan keberdayaan perempuan tidak hanya pada level individual, namun juga kolektif? Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi perempuan bukan hanya pada komunitas/masyarakat, bahkan pada tataran rumahtangga.

3 Setidaknya 3 program penanggulan kemiskinan, yakni: program bantuan khusus pada rumahtangga sangat miskin ((RTSM) maupun miskin(RTM); pemberdayaan komunitas (PNPM, SPP, dll); dan penguatan ekonomi (KUBE, dll). Pada level rumahtangga, sejumlah program bantuan khusus antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT atau BLSM); Kartu Keluarga Sejahtera (KKS/KPS sebagai syarat mendapat BLSM, PKH, dll)); Kartu Indonesia Pintar (pemberian beasiswa semacam BSM, Bidik Misi, dll), Kartu

Indonesia Sehat (sebelumnya Jamkesmas), dan berbagai program sektoral.

4 Mayoux (2006) mengembangkan kerangka analisis yang menunjukkan bagimana program semacam micro-finance mempunyai dampak signifikan pada pemberdayaan perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan lebih jauh dikatakannya bahwa akses terhadap tabungan dan pinjaman secara perlahan akan dapat mendorong atau memperkuat keterkaitan ketiga aspek pemberdayaan.

Penanggulangan kemiskinan dan transformasi struktural

Upaya mengatasi kemiskinan perempuan dan mewujudkan kesetaraan gender perlu diarahkan pada akar persoalannya yakni struktur, kondisi social, dan kultur masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Chafetz, perlu dilakukan penghapusan sistem normatif dan ideologis yang mendasari stratifikasi gender (jenis kelamin). Untuk itu perempuan selayaknya tidak berjarak dengan isu-isu kekuasaan dan politik sebagai arena strategis. Tujuannya untuk melakukan transformasi struktural penguasaan sumberdaya dari struktur ber-ketidakadilan ke struktur berkeadilan (Chafetz, 1988: 70-72; Lengermann dan Niebrugge, 2003: 410-411). Transformasi struktural, pada dasarnya, hanya dimungkinkan jika ada keberpihakan dan komitmen atas realitas yang dianggap tidak adil pada perempuan. Keberpihakan dan komitmen ini, menurut Seidman (1998:62), memungkinkan feminis bekerja sebagai pejuang perempuan yang melakukan aksi politik karena dilandasi pemahaman dan kesadaran bahwa perempuan mengalami ketimpangan karena adanya blok secara ideologis maupun sosial. Strategi pembebasan dari ketimpangan kekuasaan inilah yang kemudian dikenal sebagai pendekatan pemberdayaan.

Menurut Kabeer (2005), pemberdayaan merupakan sebuah arena ‘kekuasaan’, yang membutuhkan kemampuan (the power within) dalam melakukan aksi nyata (power struggle) untuk mengakses, memanfaatkan, mengkontrol, dan bertanggungjawab atas sumberdaya demi perubahan yang diharapkan. Oleh sebab itu, melakukan upaya pemberdayaan tidaklah mudah karena berpilar pada pola relasi yang setara. Terlebih, idealnya pemberdayaan dilakukan pada empat level, yakni: individu, kelompok, organisasi dan komunitas. Dunst dkk (1990) juga menegaskan bahwa kinerja pemberdayaan juga dilihat dari kemampuan membangun jaringan sebagai sumber daya (Cannan and Warren, 1997:109-110).

Dengan demikian, pemberdayaan sebagai aksi nyata bisa bergerak dari level individu ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah informal ke ranah formal. Sebab itu, proses dan parameter pemberdayaan menjadi isu signifikan bagi sebagian kalangan. Secara konseptual, jika Chafetz mengemukakan pemberdayaan merupakan transformasi struktural, maka Kabeer (2005) menawarkan transformasi institusional, yakni proses transformasi yang mensyaratkan adanya gerakan atau perjuangan di berbagai arena ‘kekuasaan’, yakni: dari individu ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah informal ke ranah formal. Berkenaan dengan strategi pemberdayaan dan dinamika power struggle di masyarakat, Mohanty (2005) menekankan perlunya keberadaan institusi yang fungsional dan krusial dalam proses demokrasi. Pertanyaannya: bagaimanakah merancang prosedur institusional yang berkontribusi positif pada substansi kekuasaan yang eksesif? Gagasan Kabeer (2005: 13-14) bisa diajukan sebagai alternatif jawaban, yakni pemberdayaan sebagai upaya transformasi insitusional perlu memperhatikan tiga aspek/dimensi yang saling terkait, yakni: agency, resources dan achievement.

Jika pemberdayaan sebagaimana dijelaskan oleh Mohanty (1995) merupakan upaya pemampuan masyarakat sipil, termasuk keberadaan organisasi masyarakat sipil yang representatif sebagai wadah partipasi, maka yang dipertanyakan adalah bagaimana membangun komitmen warga/anggota komunitas untuk melakukan tindakan kolektif secara terorganisir?. Artinya, dalam konteks melawan kemiskinan, bagaimana perempuan mengorganisir diri dan membangun aksi kolektif?.

Agensi perempuan dan aksi kolektif

Merujuk pada gagasan Kabeer tentang transformasi insitusional, maka persoalan pertama dan utama adalah menyangkut agensi. Pada dasarnya agensi merupakan konsep sentral pemberdayaan, yang merepresentasikan melalui mana power atau kemampuan melakukan pilihan dan mempertimbangkan konsekuensinya. Sedangkan sumberdaya adalah medium melalui mana agensi bekerja, adapun capaian adalah keluaran agensi. Konteks pemberdayaan sangat terkait dengan kerja agensi dalam kaitannya dengan struktur dan relasi kekuasaan. Ada dua alternatif yang dimungkinkan bagi agensi yakni ‘power to’ (bermakna positif, memilih berbeda) atau ‘power over’ (bermakna negatif, menguasai/cenderung koersif). Diakui Kabeer bahwa agensi berhadapan dengan norma ideologis dan kultural yang memungkinkan adanya bias. Implikasinya pilihan tindakan agensi bisa dalam bentuk: (1) agensi yang pasif (aksi dengan pilihan terbatas); (2) agensi yang aktif (bertujuan jelas); (3) agensi efektif (bertindak merujuk pada peran dan tanggungjawabnya); dan (4) agensi transformatif (mampu menantang batasan peran dan tanggungjawab).

Merujuk pada konsepsi Dunst (1994), kemampuan perempuan sebagai agensi merupakan indikator kinerja (performance), sekaligus indikator proses pemberdayaan. Menurut Whitmore (1998), pemberdayaan sebagai proses merupakan aktivitas reflektif dari kelompok yang diberdayakan, untuk mampu menentukan nasib/kondisinya sendiri (self determination). Sementara, Young (1993:158) menegaskan bahwa perempuan menjadi terberdayakan melalui proses refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif. Paramaternya adalah membangun citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, dan melakukan aksi nyata. Dalam proses pemberdayaan, pihak-pihak yang berelasi perlu mengedepankan rasa saling menghargai, dan senantiasa melakukan refleksi kritis atas proses dan relasi yang terjalin. (Cohran dan Henderson, 1990 dalam Warren, 1997).

Aksi kolektif merupakan bagian yang melekat dalam proses pemberdayaan. Secara konkrit, aksi kolektif perlu melalui tahapan: (1) membangun rasa ingin tahu/ketanggapan, (2) melakukan identifikasi atas berbagai kondisi perempuan,

(3) berkembangnya kesadaran, bahkan rasa “marah” pada situasi dan kondisi yang dialami perempuan, (4) melakukan konsolidasi internal maupun ke pihak-pihak lain, (5) terbangun identitas kolektif, yang sekaligus mencerminkan kekuatan atau keberdayaan perempuan baik sebagai individu maupun kelompok kepentingan. Tahapan ini setidaknya merefleksikan bahwa kesadaran kolektif tidak bisa dipisahkan dengan berkembangnya kesadaran personal.

Peran agensi tidak bisa dilepaskan dengan struktur sosial dan politik, termasuk interaksi antar aktor lokal. Untuk itu, Schneider dan Libercier (1995:12) menekankan pentingnya

upaya membangun rasa percaya diri diantara aktor yang beragam latar belakang, melalui: dialog dan sikap tanggap, juga membangun kesiapan/kemampuan untuk membagi kekuasaan dan mengkombinasikan sumberdaya/potensi lokal dengan prosedur dan sumberdaya administratif. Mengingat pemberdayaan merupakan reflextive activity dari kelompok yang powerless sehingga mampu memperjuangkan kepentingannya, maka kelompok/aktor lainnya diharapkan mampu berkolaborasi dalam menciptakan iklim

(climate), relasi (relations), sumberdaya (resources), dan prosedur (procedure) yang bisa mengkondisikan terbangun rasa percaya diri kelompok yang marginal, rentan. Lebih dari itu, mereka juga mampu membagi kekuasaannya. Inilah yang oleh Himmelman (1994) disebut sebagai strategi pemberdayaan kolaboratif, yang bisa berbentuk: (1) mengorganisir masyarakat berdasar tujuan/kepentingan yang ditetapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, (2) menfasilitasi proses yang ‘menyatukan’ pihak -pihak luar dalam mendukung tujuan masyarakat yang difasilitasi (Sardjono, 2004: 172-173).

Strategi kolaboratif menghantarkan pada pemahaman pentingnya sinergi atau koproduksi antar aktor dalam melakukan pemberdayaan sebagai upaya transformasi sosial. Sinergi ini -- meminjam gagasan pemikiran Durkheim -- hanya bisa dilakukan jika ada pembagian kerja yang bukan semata bertumpu pada fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan moral. Adanya moral solidaritas ini sekaligus memperkukuh asumsi bahwa demokratisasi ekonomi terlekat dengan persoalan keadilan sosial, keadilan gender, bahkan keadilan diantara perempuan sendiri. Karenanya, bagi Durkheim upaya perubahan atau reformasi bersumber dari kekuatan masyarakat. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat legislasi, tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ yang paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah,

‘asosiasi perempuan’ signifikan dipersoalkan, termasuk keterikatan sosial didalamnya.

Modal sosial perempuan dan aksi kolektif

Dalam konteks keberdayaan perempuan secara kolektif inilah modal sosial perempuan menjadi elemen penting. Modal sosial yang dimaksudkan Putnam (1992) adalah seperangkat hubungan horisontal antar individu atau networks ofcivic engangement, yang diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitassuatu kelompok masyarakat atau komunitas. Jaringan ini terbangun dari interaksi antar perempuan, bahkan antar kelompok perempuan, dan mungkin antar kelompok perempuan dengan kelompok lainnya di komunitas, bahkan dengan kelompok ‘penindas perempuan’, sebagaimana yang distrategikan oleh feminis

Sosialis.

Dalam kaitan berelasi dengan ‘kelompok penindas’, Durkheim memang berbeda posisi dengan Karl Marx, karena Marx masih tetap melihat adanya perbedaan kepentingan mendasar antar kelompok dan sulit dicari titik temunya. Bagi Durkheim, meskipun ada perbedaan kepentingan, namun masih dimungkinkan dipertemukan melalui apa yang disebutnya sebagai ‘common morality’. Moralitas ini akan menjadi pendorong reformasi sosial (Durkheim,1938/1977 dalam Ritzer dan Goodman, 2004; Ritzer, 1996). Sementara Seidman (1998: 62) juga masih melihat peluang membangun ikatan sosial, bahkan mensyaratkan adanya spesialisasi dan interdependensi peran-peran sosial. Ikatan sosial inilah yang menjadi landasan terbangunnya kerjasama untuk pencapaian tujuan atau kepentingan bersama (Purdue, 1986:73-76).

Berkenaan dengan modal sosial perempuan, gagasan Durkheim juga menjadi bagian signifikan, khususnya tentang solidaritas sosial yang menjadi basis semangat kolektif (collective conscience) bahkan berkembangnya ‘collective representation’. Representasi kolektif mengkondisikan perempuan beragam latarbelakang melebur menjadi “kelompok tunggal’ (single group) (Ritzer,1966). Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda utama feminis. Meski diakui feminis gelombang ketiga menyadari adanya perbedaan di kalangan perempuan berdasar etnis, agama, status ekonomi, dan lainnya. Perempuan bukanlah kelompok yang homogen, karenanya membangun kesadaran kolektif, apalagi representasi kolektif bukanlah hal mudah.

Oleh sebab itu, menurut Cornwal (2000), pembangunan yang partisipatif selayaknya mempertimbangkan diversitas perempuan dan implikasinya pada partisipasi maupun representasinya. Karenanya, Cornwal menegaskan pentingnya memberikan kerangka kembali kepada pembangunan partisipatif, khususnya terfokus pada 2 (dua) hal, yakni: kewarganegaraan (citizenship) dan hak berpartisipasi. Menurutnya, esensi partisipasi yakni memberikan suara dan pilihan, serta mengembangkan kapasitas manusia berikut organisasi dan manajemennya dalam memecahkan masalah guna memperbaiki kondisi atau situasi secara berkelanjutan. Konsekuensinya, partisipasi tidak dijabarkan berdasar derajat atau tingkatannya, melainkan pada bentuk/tipe partisipasi: nominal, instrumental, representatif dan transformatif.

Realitas empiris program kemiskinan dan refleksi kritis

Berlandaskan pemahaman bahwa pemberdayaan merupakan proses sekaligus kinerja, tentu menarik diungkap bagaimana wujudnya dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pada dasarnya pemberdayaan bertujuan membantu kelompok sasaran atau dampingan untuk mampu atau memiliki kekuatan dalam menentukan tindakan dan mengambil keputusan berkaitan dengan kehidupan mereka, dengan: (1) mengurangi dampak dari hambatan sosial atau pribadi dalam menerapkan kekuasaan, (2) meningkatkan kapasitas dan percaya diri untuk menggunakan kekuatan, dan (3) memindahkan kekuatan dari lingkungan kepada kelompok itu sendiri (Malcolm Payne, 1997: 266).

Temuan menunjukkan bahwa tindakan kolektif perempuan umumnya masih lemah, yang ditandai dengan masih bertumpunya anggota pada figur penggerak. Selain itu, cenderung elitis/eksklusif. Kondisi ini menunjukkan belum terbangunnya kohesi sosial diantara mereka, apalagi membangun kesadaran kritis untuk memperjuangkan hak ekonomi secara kolektif. Padahal merujuk Young (1993:158), perempuan terberdayakan jika melalui refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif. Paramaternya adalah: membangun citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, serta melakukan aksi nyata.

Dalam konteks ini, bisa dikatakan belum terbangun modal sosial perempuan, yakni seperangkat hubungan horisontal antar individu atau jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau komunitas. Berbagai kajian menunjukkan bahwa ditengah diversitas perempuan, sudah terjadi kontak fisik diantara mereka,bahkan terbangun perhatian dan kesadaran bersama. Namun, ikatan emosional bisa dikatakan masih lemah, khususnya antar anggota kelompok. Hal ini dilatari bukan semata adanya perbedaan latar belakang, namun lebih karena

subyektifitas anggota sudah terbatasi oleh persoalan ekonomi, sehingga relasi sosial yang terbangunpun lebih bersifat transaksional. Inilah yang mendasari tidak terbangunnya representasi simbolik. Meski kelompok bersifat sukarela, namun partisipasi perempuan didalamnya lebih bersifat nominal dan instrumental, bahkan fungsional. Apalagi seringkali ketua dianggap sebagai representasi simbolik organisasi, padahal ketua kelompok bisa jadi belum merepresentasikan kepentingan anggota.

Menurut Putnam, hanya melalui interaksi-lah terbangun asosiasi horisontal (kelompok keanggotaan), yang merupakan sumber trust dan ikatan sosial sekaligus emosional. Asosiasi ini ditandai dengan pembiasan para anggota dan pengurus dalam bekerjasama, sehingga mampu mengembangkan solidaritas dan semangat publik (Robert Putnam, Robert Leonardi, Rafaella Nanetti, 1996, 36). Dalam kondisi demikian, upaya pengembangan/pemberdayaan ekonomi perempuan, tampaknya lebih berbasis perspektif komunitarian. Perspektif ini menfokuskan perhatian pada bentuk organisasi sosial yang potensial bagi perempuan dalam membangun komitmen antar perempuan. Padahal menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008: 425-429), hal terpokok dalam upaya pemberdayaan ekonomi lokal adalah pengembangan ekonomi alternatif berbasis masyarakat atau institusi ekonomi lokal, misalnya Lembaga Keuangan Mikro/LKM, Koperasi, Credit Union, dan lain -lain. Namun demikian, pengembangan dan penguatan institusi ekonomi lokal bukanlah hal yang mudah, salah satu tantangannya adalah pengorganisasian sosial di tingkat lokal, termasuk pelembagaannya (institusionalisasi- nya).

Keberhasilan pengorganisasian sosial, tampaknya lebih berpilar pada isu yang nyata dan dasar di masyarakat yakni: ekonomi. Artinya, program yang ada menawarkan upaya pemenuhan kebutuhan praktis kepada masyarakat, termasuk perempuan. Kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan dasar yang menentukan eksistensi dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya, isu ekonomi (juga pendidikan, kesehatan) merupakan pintu masuk untuk menumbuhkan kepedulian perempuan dan masyarakat. Kedekatan isu pemberdayaan dengan kebutuhan masyarakat, akan menumbuhkan minat dan keinginan individu untuk kemudian berkelompok atas dasar kepentingan yang sama. Meski temuan menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih ‘mengelola usaha sendiri meski modal kecil’, namun isu ekonomi menjadi daya ikat. Daya ikat inilah yang mengarahkan perempuan berminat masuk kelompok dengan harapan mendapat bantuan ‘modal usaha’. Menurut Durkheim perlu ada pembagian kerja yang bukan semata fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan moral. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat legislasi/aturan, tetapi harus dimunculkan oleh

‘tubuh’ yang paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah, melalui ‘asosiasi’ diharapkan terbangun keterikatan sosial

(Ritzer, 1996).

Keterikatan sosial yang terbangun, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan karakteristik individu-individu di dalamnya. Kecenderungannya pembentukan kelompok lebih berbasis pada kekerabatan dan pertemanan, tanpa melakukan identifikasi yang cukup memadai tentang berbagai situasi dan kondisi yang dialami perempuan. Pada beberapa kasus, pembentukan kelompok berhasil dilalui dengan baik, dan sudah berjalan. Konsekuensinya, daya ikat atau keterikatan sosial antar anggota sudah terbangun, demikian pula aturan main dalam kelompok. Meskipun demikian, perbedaan latar belakang bahkan ‘kelas sosial’ menjadi tantangan tersendiri. Artinya, diversitas sosial pengelola dan

penerima program, bahkan kondisi keluarga dan masyarakat mewarnai dinamika komunitas sekaligus organisasi/asosiasi.

Dalam konteks ini, adanya kontak bersama dan fokus/kepentingan bersama, sebagaimana disebutkan Collins, belum cukup menjamin terbangunnya asosiasi horisontal. Menurutnya, perlu ada kesamaan kondisi emosi diantara pihak-pihak yang ada, serta representasi simbolik bersama. Dua hal terakhir tidak mudah diwujudkan dalam komunitas dengan ciri: (1) ada ketimpangan sumberdaya diantar pelaku interaksi, (2) densitas sosial relatif tinggi, (3) derajat diversitas sosial cukup tinggi. Dalam upaya mengatasi ini, Barus berupaya menjembataninya dengan membangun kegiatan ‘pengajian rutin’ dua bulan sekali. Hal ini cukup berhasil, karena organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh agama merupakan hal sentral dalam masyarakat Sasak. Keaktifan masyarakat ini menunjukkan semangat kolektif (collective concience), dan sebaliknya semangat kolektif mencerminkan besaran ruang partisipasi masyarakat. Pada dasarnya, tahap ‘pembentukan kelompok’ merupakan pondasi dalam membangun asosiasi horisontal (kelompok keanggotaan), mengingat asosiasi merupakan sumber trust dan ikatan sosial, melalui mana anggota membiasakan diri bekerjasama, mengembangkan solidaritas dan semangat publik (Putnam, Leonardi dan Nanetti, 1996:36).

Dalam konteks aksi kolektif, tampaknya figur ketua juga menjadi inisiator sekaligus motor penggerak. Latarbelakang ketua ikut berpengaruh. Pertanyaannya, apakah figur ketua merepresentasikan kelompok/asosiasinya? Atau sebaliknya kelompok/asosiasi direpresentasikan melalui figur ketuanya? Berkenaan dengan ini, gagasan Durkheim menjadi bagian signifikan, apakah semangat kolektif (collective conscience) menjadi basis berkembangnya ‘collective representation’, yang mengkondisikan perempuan beragam latar belakang melebur menjadi “kelompok tunggal’ (single group) (Ritzer,1996). Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda utama gerakan feminis/perempuan. Menurut Bambang Iswanto (2000), pada dasarnya kelangsungan dan kemandirian kelompok swadaya masyarakat (KSM), dapat dibangun melalui lima tahap, yakni:

(1) penggalian motivasi dan proses penyadaran, (2) pembentukan organisasi, (3) tahap konsolidasi dan stabilisasi organisasi, (4) pengembangan usaha produksi dan pemasaran, serta (5) tahap kemandirian. Berkenaan dengan tahapan tersebut, jika merefleksikan pada sejumlah program keuangan mikro (KUBE, PEKKA, SPP-PNPM, dll) tampaknya keterbatasan proses rekrutmen anggota, ditemukan sejak tahap ke-1, karena motivasi anggota kelompok hanya pada bantuan modal usaha. Dalam kelompok pun tidak dilakukan upaya yang sistimatis dan berkelanjutan untuk membangun kesadaran dan tanggungjawab, sekaligus kedisiplinan, serta kemandirian. Konsekuensinya derajat konsolidasi dan stabilisasi organisasi relatif rentan, kecuali ditopang oleh figur yang kuat.

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 59-72)