• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 195-200)

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI PROVINSI SULAWESI UTARA

3.HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman akan perempuan dalam proses kerja dan interaksi sosial dewasa ini lebih dikenal dengan istilah gender. Gender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki- laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki - laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa (Brett, 1991). Gender adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Faqih, 1996). Pembedaan Gender berdampak terhadap pembedaan dalam distribusi kekuasaan antara laki- laki dan perempuan, hal ini selanjutnya berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam akses dan kontrol terhadap pendapatan.

Sejarah pembedaan Gender antara laki- laki dan perempuan terbentuk melalui proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat dan dilembagakan baik secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan dan bahkan melalui peraturan-peraturan negara. Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan Gender tersebut merupakan ketentuan yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya. Pembedaan secara gender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan persoalan-persoalan. Namun yang menjadi masalah ternyata pembedaan Gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki- laki dan (terutama) bagi kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut antara lain berupa subordinasi,

diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, pelebelan negatif serta beban kerja yang berat sebelah (Faqih, 1996). Manifestasi dari ketidakadilan gender tersebut membawa akibat terhadap timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan.

Persoalan Gender adalah persoalan hubungan laki- laki dan perempuan, suatu hubungan dimana dalam banyak kasus perempuan secara sistematis disubordinasikan. Gender menjadi persoalan ketika nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan gender tersebut menghambat seseorang untuk mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya dan hasil-hasilnya. Dominasi ekonomi laki- laki yang merupakan terjemahan dari ‘kekuasaan laki- laki', telah menggiring perempuan ke dalam kedudukannya sebagai orang kedua yang kurang begitu penting dibandingkan dengan laki- laki. Dalam sebagian besar masyarakat anggapan laki-laki sebagai pencari nafkah utama atau laki-laki sebagai pekerja produktif sangat dominan meskipun kenyataannya tidak demikian. Laki- laki senantiasa beranggapan bahwa dalam keluarga mereka memegang peran sebagai penghasil pendapatan utama dan penentu segala keputusan. Hal ini tetap berlangsung meskipun dalam keadaan dimana pengangguran laki- laki tinggi dan kerja produktif perempuan sesungguhnya memberikan penghasilan utama. Subordinasi terhadap perempuan sering menempatkan perempuan pada situasi yang tidak menguntungkan, seperti perempuan tidak mempunyai posisi untuk mengambil keputusan.

Sementara itu berkaitan dengan kepemimpinan secara harfiah kepemimpinan dipahami bahwa kepemimpinan diadopsi dari bahasa inggris yaitu leadership. Leadership

berasal dari akar kata to lead yaitu berupa kata kerja yang berarti memimpin, Lebih lanjut kepemimpinan tersebut dapat dipahami sebagai to show the way to by going in advance.

Bertolak dari pengertian secara harfiah tersebut diatas maka dengan demikian memimpin merupakan suatu pekerjaan seseorang tentang bagaimana cara untuk mengarahkan (direct)

orang lain (Sulistiyani, 2008:9). Adapun pemaknaan secara terperinci artinya kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan, yang disebut dengan istilah leader (pemimpin), yaitu orang yang melakukan aktivitas atau kegiatan untuk memimpin. Pemimpin merupakan orang yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person who leader other a long way guidence.(Sulistiyani, 2008:10).

Dari pengertian ini jelaslah bahwa pemimpin adalah orang yang memimpin orang lain, dengan cara memberikan petunjuk, atau dengan dimaknai secara lebih formal bahwa dalam menjalankan kepemimpinan seseorang tersebut memberikan perintah-perintah. Dengan pengertian ini maka kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pemimpin sebagai subyek yang menjalankan peran untuk memimpin tersebut sangat penting. Muara dari pemahaman kepemimpinan ini terletak pada “proses”. Proses tersebut menunjukan interaksi antara pemimpin dengan anak buah dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Berdasarkan pada pemaknaan secara harafiah tersebut, maka dalam memahami kepemimpinan sebaiknya juga melihat bahwa konsep kepemimpinan dipahami sebagai kemampuan atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang, sehingga orang tersebut dapat menjalankan fungsi kepemimpinan secara memadai.

Banyak konsep kepemimpinan dari para ahli administrasi dan manajemen. Salah satunya adalah konsep kepemimpinan menurut Joseph C.Rost, (2004:3) yang berpendapat bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama. Sementara itu Nawawi (2016:18) yang didasarkan pada pendapat Churchil mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan mnegarahkan, merupakan factor (aktivitas) penting dalam efektivitas manajer/pemimpin.

Dalam perkembangannya, kepemimpinan dapat dilihat dari teori Great Man dan teori Big Bang, teori sifat/kepribadian, teori perilaku maupun teori kontingensi, serta tipe

otoriter, demokratis, bebas dan gaya kepemimpinan ahli/ekspert, kharismatik, paternalistic dan transformasional (Nawawi, 2016 : 72). Pesatnya perkembangan kepemimpinan dalam kajian ilmiah menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan kegiatan sentral di dalam sebuah kelompok (organisasi) dengan seorang pemimpin puncak sebagai figure sentral yang memiliki wewenang dan tanggungjawab dalam mengefektifkan organisasi dalam mencapai tujuannya.

Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji dari perspektif gender banyak menggambarkan penerapan teori kontingensi situasional. Yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard adalah yang memberikan penekanan pada pengikut-pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin harus menilai secara benar atau secara intitutif mengetahui tingkat kematangan pengikut-pengikutnya dan kemudian menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut. Penerapan kepemimpinan situasional ini menjadikan kepemimpinan yang efektif yang diwujudkan melalui kemampuan memilih perilaku atau gaya kepemimpinan yang tepat berdasarkan tingkat kesiapan dan kematangan anggota organisasi atau bawahan.

Pembentukan pemerintahan daerah bertujuan untuk mencapai kesejahtraan rakyat melalui efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan maka daerah diberi kepercayaan untuk mengatur dan mengurus daerahnya secara luas, nyata dan bertanggungjawab. Dalam hubungannya antara pemerintah dengan warga negara makna pemerintah yang diberi istilah governance (tata pemerintahan) sebagai pendamping kata government telah mengubah secara mendalam praktek – praktek penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup dimensi struktur, fungsional dan kurtural.

Perubahan struktur berkaitan dengan struktur hubungan pemerintah ousan dan pemerintah daerah, struktur hubungan antara eksekutif dengan legislatif maupun struktur hubungan pemerintah dengan masyaraka. Perubahan fungsional berkaitan dengan perubahan fungsi – fungsi yang dijalankan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat, dan perubahan kultur berkaitan dengan perubahan pada tata nilai dan budaya yang mendasari hubungan kerja intraorganiasi, antarorganisasi maupun ekstraorganisasi termasuk didalamnya pada peran perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pada penyelenggaraan pemerintahannya, para perempuan yang memimpin satuan kerja perangkat daerah selalu mempertimbangkan kemampuan dari para bahawannya, sehingga dari data lapangan ditemukan bahwa upaya untuk menjadikan bawahan memiliki kemampuan yang baik dalam menjalankan tugas yang dipercayakan dan menjadikan kepemimpinannya berjalan dengan baik banyak memperkuat bawahan dengan mengikutsertakan pada berbagai pendidikan dan pelatihan (memperkuat pengembangan sumberdaya aparatur).

Akan tetapi sekalipun cenderung menggambarkan teori kontingensi situasional namun juga menerapkan gaya perilaku kepemimpinan birokrasi yang mengutamakan pada prosedur, peraturan dan mekanisme kerja menjadi salah satu hal yang selalu dijadikan pijakan dalam mengawasi proses kerja para bawahannya, dengan tidak melupakan pengembangan hubungan informal dalam rangka mengimbangi hubungan formal yang terjadi pada pelaksanaan pekerjaan setiap hari.

Mencermati penerapan teori dan gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh perempuan pada penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya dengan pendapat Huntington dan Nelson (1990: 16) menunjukkan bahwa Partisipasi merupakan suatu tindakan sukarela untuk mempengaruhi berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Partisipasi politik yang dilakukan setiap orang baik itu

partisipasi yang bersifat legal atau ilegal, tetap memiliki nilai pendidikan politik bagi setiap individu. Karena dengan setiap orang terlibat dalam berbagai kegiatan politik secara sadar atau tidak sadar, hal tersebut dapat memberikan penambahan nilai tentang arti dan makna dari politik. Untuk mengetahui bagaimana tingkat partisipasi politik dapat dilihat dari bagan berikut ini. Partisipasi politik dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penguasa (pemerintah) dan sisi warganegara. Dari sisi pemerintah hakikat partisipasi politik mengandung makna sebagai pengakuan dan penghargaan kepada masyarakat (warga negara, rakyat) dalam bentuk memberi kesempatan untuk berperan serta memikirkan masalah kehidupan negara melalui kegiatan pemilihan (dipilih) individu-individu yang akan duduk dalam lembaga-lembaga kekuasaan. Masyarakat dapat menentukan pilihannya (dipilih) sesuai kepercayaan yang mereka yakini terhadap pilihan tersebut.

Keberhasilan perempuan dalam pentas pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara melalui kepemimpinan yang dijalankan mengubah pola pikir tentang budaya patriarki yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki. Keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa kendala struktural dan kultural yang dahulunya yang mengakibatkan marjinalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi, maupun program pembangunan dapat terbantahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara. Sekalipun memang secara formal, sebenarnya tidak ada satu aturan pun yang mendiskriminasikan perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan maupun dalam kehidupan publik lainnya.

Oleh karenannya melalui penelitian ini menjadi semakin nyata bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan kedudukan hukum perempuan dalam bidang politik pemerintahan di tingkat kebijakan yang sudah dilakukan sejak lama oleh pemerintah. Misalnya saja dengan mertifikasi Konvensi PBB tentang hak politik perempuan (1953), malalui UU No.68 Tahun 1956 serta konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No.7 Tahun 1984 dan UU Pemilu No.12 Tahun 2003 yang menjamin quota 30 persen keterwakilan perempuan telah juga dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara.

Sebuah tantangan dalam lebih mengembangkan kepemimpinan perempuan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah selain perlu diperhatkan faktor nilai-nilai sosial budaya yaitu nilai-nilai, citra-baku/stereotype, pandangan dalam masyarakat yang dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki yang ”menempatkan” laki-laki di posisi pemimpin, penentu, dan pengambil keputusan dengan kedudukan superio dan pada akhirnya menyebabkan perempuan menjadi warga negara kelas dua, didiskriminasikan dan dimarjinalkan (isu gender), juga faktor manusia. Perempuan sendiri yang selama ini belum terkondisikan untuk terjun dan berperan di arena politik dan kehidupan publik/pemerintahan , karena sejak kecil lebih dibiasakan atau ''ditempatkan'' dalam lingkup kehidupan rumahtangga dan keluarga, yang selalu dinilai lebih rendah daripada yang dikerjakan oleh laki-laki di lingkup kehidupan publik. Karena itu, kedudukan (status) perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.

Menyikapai hal tersebut, maka diperlukannya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dalam pengembangan kemampuan individu maupun dalam kelompok. Nawawi (2006 : 229) mengungkapkan bahwa selama jangka waktu yang panjang, teori – teori kepemimpinan pada umumnya mendukung pendapat bahwa keberhasilan dalam mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuan sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seoraang pemimpin.

Kecerdasan intelektual dibutuhkan oleh pemimpin dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh organsiasi yang dipimpinnya serta dalam membantu anggota organisasi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pokok masing – masing. Demikian pula halnya dalam upaya mempengaruhi orang lain dan

membantu bawahan menyelesaikan permasalahan yang ada maka pemimpin memerlukan kecerdasan emosional. Berbagai perilaku dan sikap yang ditunjukkan oleh pemimpin berupa kesediaannya menerima kritik, saran, pendapat dari pihak luar dalam memecahkan masalah sebagai bentuk kecerdasan emosional dalam kepemimpinan.

Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional menjadi penting bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, sebab pola orientasi kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin termasuk para perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah setidaknya berorientasi pada pelaksanaan tugas pekerjaan secara tepat dan benar, memperhatikan anggota organisasi atau berorientasi pada manusia yang disesuaikan dengan situasi/kondisi anggota organisasi sebagai manusia yang unik dan kompleks, juga berorientasi kepada hubungan dan mementingkan hasil kerja sesuai denganstandar yang berlaku sebagai pedoman kerja sebagaimana kebijakan yang ada.

4.KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan maka ditemukan bahwa kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji dari perpektif gender banyak mengdeskripsikan penerapan teori kontingensi situasional dan menerapkan gaya perilaku kepemimpinan birokrasi yang mengutamakan pada prosedur, peraturan dan mekanisme kerja dengan tidak melupakan pengembangan hubungan informal dalam rangka mengimbangi hubungan formal yang terjadi pada pelaksanaan pekerjaan setiap hari. Kepemimpinan perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan bagian dari partisipasi politik yang terwujud dalam bentuk perilaku kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Keberhasilan perempuan dalam pentas pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara melalui kepemimpinan yang dijalankan mengubah pola pikir tentang budaya patriarki yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki. Keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa kendala struktural dan kultural yang dahulunya yang mengakibatkan marjinalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi, maupun program pembangunan dapat terbantahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara.

Oleh karenanya, menjadi tantangan dalam lebih mengembangkan kepemimpinan perempuan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah selain perlu diperhatikan faktor nilai-nilai sosial budaya yaitu nilai-nilai, citra-baku/stereotype, pandangan dalam masyarakat yang dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki juga faktor manusia. Menyikapi hal tersebut, maka diperlukannya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dalam pengembangan kemampuan individu maupun dalam kelompok dalam kepemimpinan. Sebab teori – teori kepemimpinan yang berkembang sampai saat ini mendukung bahwa keberhasilan dalam mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuan sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seorang pemimpin.

5.DAFTAR PUSTAKA

Brett, A., 1991, Why Gender is A Development?, dalam Buku Changing Perceptions: Writing on Gender and Development, Tina Wallace (ed.), London.

Creswell, John W. 1994. Qualitative Inquiry and Reasearch Disign. California: Sage. Faqih, M., 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar:

Huntington., S.P dan Joan, Nelson. J. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta: Jakarta.

Nawawi. Handari. 2016. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Ndraha, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta.

Rost. Joseph C. 2004. Kepemimpinan. Terjemahan Triantoro Safaria. Graha Ilmu: Jakarta Sulistiyani. Ambar Teguh dan Rosidah. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi

Kedua, Cetakan Pertama. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Wasistiono. Sadu. 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqa Print, Bandung.

MOBILISASI SUMBER DAYA DAN IDENTITAS KELOMPOK DALAM

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 195-200)