• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Perceraian

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 137-142)

TRADISI PERCERAIAN: KETIDAKADILAN GENDER DAN PERLAWANAN PEREMPUAN DI SUKU SASAK LOMBOK

1. Perspektif Perceraian

Secara etimilogis cerai dalam bahasa Inggris disebutdivorce, sering kali dipakai untuk menafsirkan kata thalaq (arab) dan sebaliknya. Terjemahan ini oleh beberapa kalangan dianggap sebagai salah kaprah yang menyesatkan, karena kata divorce itu asal katanya berasal dari bahasa Latin dan memberikan arti pemisahan sebuah kesatuan (unit), pemisahan fisik yang permanen dari pasangan suami-isteri, sementara itu kata thalaq dalam bahasa Arab, diambil dari kata athlaqa-ihtlaq yang bermakna melepaskan, membebaskan atau meninggalkan. Oleh karena itu thalaq dalam konteks hubungan perkawinan bermakna mengakhiri ikatan yang dibuat oleh suatu akad nikah.Sehingga kata

dissolution (terputusnya) mungkin lebih tepat dipakai dari pada divorce (Jawad A, 2002,). Dalam agama tertentu yang memandang pernikahan sebagai sebuah sakramen, maka tidak dapat diputuskan, dan karenanya perceraian tidak dibenarkan. Yang menjadi masalah dalam masyarakat yang menganggap pernikahan sebagai suatu kontrak dan perceraian dibenarkan, maka perceraian seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih kuat, yaitu laki-laki dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Apabila hubungan antara suami dan isteri sangat genting sehingga tidak ada kemungkinan terjadinya rekonsiliasi (Ingineer, 2000).

Motif dan proses perceraian di dalam masyarakat dunia sangat beragam dan kompleks. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, tradisi budaya dan ajaran yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Di masyarakat Indonesia berdasarkan undang-undang perkawinan tahun 1974 mengatakan bahwa perceraian atau terputusnya hubungan dalam perkawinan dilakukan dengan cara; (1) cerai talak, yaitu cerai yang diikrarkan oleh suami dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan di tempat tinggal yang berisi pemberitahuan bahwa suami bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk menggelar proses perceraiannya. (2) cerai gugat, yaitu cerai atas gugatan isteri, perceraian ini dilakukan oleh putusan pengadilan agama disertai alasan-alasan kenapa si isteri berkeinginan untuk menceraikan suami (Rumulyo, 1999).

Perceraian dalam bentuk yang tidak formal dapat kita temukan diberbagai suku bangsa di dunia dan tindakan ini dianggap sebagai terputusnya suatu ikatan perkawinan (perceraian). Di masyarakat Zuni Meksiko, wanita setiap saat dapat menceraikan suaminya dengan cara menaruh barang-barang miliknya di luar pintu rumah untuk menunjukkan bahwa mereka tidak suka lagi pada suami (Haviland, 1985). Pada masyarakat Arab suku Baduin perceraian terjadi hanya sekedar merubah arah pintu rumah dan ketika pasangan tahu tentang hal itu maka dianggap perceraian sudah terjadi (Saadawi, 2001).

Goode (1991) misalnya menemukan, bahwa tingkat perceraian bisa disebabkan adanya perubahan sistem dalam keluarga, yaitu perubahan dari sistem keluarga luas menjadi sistem keluarga konjugal. Dalam keluarga konjugal ketergantungan pada kerabat yang sangat berkurang sehingga kewajiban terhadap yang tua menjadi tidak ada, akibatnya unit keluarga ini (conjugal) mudah pecah apabila terjadi konflik antara suami dan isteri

karena sedikitnya tekanan kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan mempertahankan perkawinan mereka. Dalam keluarga konjugal yang didukung oleh sistem kehidupan masyarakat yang sudah terspesialisasi kebutuhan baik suami maupun isteri di luar unit keluarga sudah banyak tersedia (seperti rumah makan, panti pijat, adanya pelayanan cuci dan jahit pakaian, diskotik, dan tempat minum dan sebagainya), memudahkan pasangan suami-isteri yang sedang mengalami konflik dan krisis perkawinan untuk bisa aktif dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa seseorang pendamping atau isteri (Karim, 1999).

Tipologi yang dibuat oleh Goode tentang keluarga konjugal yang identik dengan keluarga kota di mana tingkat perceraian sangat tinggi dan keluarga luas identik dengan keluarga pedesaan sangat jauh berbeda dengan hasil penelitian Nakamura yang menemukan kecenderungan perceraian banyak terjadi di kampung yang bersifat pedesaan (rural) dibandingkan dengan kampung yang bersifat perkotaan (urban) di mana tingkat frekuensi percereian berkurang (Nakamura, 1990).

Saxson (1985) juga menemukan bahwa perceraian di Amerika Serikat terindentifikasi oleh beberapa sebab seperti: latar belakang keluarga, umur pertama kawin, tingkat pendidikan, pendapatan, letak geografis, anak, dan masalah ras.

2. Perspekti Perlawanan

Menurut teori androgin bahwa manusia yang utuh adalah manusia yang memiliki dua unsur : andro (maskulin) dan gyne (feminim). Kedua unsur ini adalah dwi tunggal (dua dalam satu). Seorang laki-laki bisa mengekspresikan kelembutannya dan perempuan bisa mengekspresikan keberanian, bahkan agresivitas pada tingkat kelakuan tertentu, dan besar kemungkinan perempuan akan melakukan sesuatu tindakan deskruktif yang bisa membahayakan orang lain. Atau sekedar alat untuk mencapai tujuan tertentu yang dikenal dengan “perlawanan instrumental”25. Oleh Camara (2000) terkenal dengan teori “kekerasan memancing kekerasan”, ketidakadilan menimbulkan perlawanan dan pemberontakan oleh kaum yang tertindas dengan satu tujuan untuk memenangkan dunia yang lebih adil dan lebih manusiawi. Boleh jadi apa yang dilakukan oleh kaum perempuan seperti yang di sinyalemenkan oleh Simmel bahwa tuntutan kaum perempuan sebagai suatu kelompok yang ada dalam masyarakat hanya sekedar tuntutan untuk bebas dari dominasi laki-laki, dan apa yang dilakukan oleh mereka bukan hanya bertujuan untuk menuntut kebebasan individu, tetapi juga kebebasan bagi kelompok untuk menguasai para anggotanya, dan biasanya dominasi terhadap individu oleh kelompok kecil (keluarga) dalam masyarakat jauh lebih ketat daripada dominasi oleh negara (Simmel dalam Johnson, 1998).

Bagi Mernissi, hal ini terjadi karena secara ideologi keagamaan, bahwa perlawanan perempuan terhadap kaum laki-laki dianggap sebagai suatu hal yang menakutkan karena implikasinya sangat besar, mereka menolak tuntutan perempuan untuk mengubah kedudukannya. Kepatuhan perempuan pada laki-laki, bukan saja hanya sarana marjinal dalam masyarakat, tetapi merupakan unsur pokok dan utama bagi kehidupan sistem tersebut (Mernissi, 1999).

Untuk memahami pertanyaan penelitian tentang bagaimanakah perempuan yang patuh dan tunduk, kemudian mereka menanggalkan kepatuhan, dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki atau suami. Penelitian ini juga akan menelusurinya pemikiran Gramsci yang sangat terkenal dengan teori hegemoni dan kontra hegemoni. Teori ini akan dipergunakan bukan dalam artian untuk menguji teori, akan tetapi

25Semacam perlawanan yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan/diperlukan tanpa melakukan tindakan

destruktif. Erich Fromm. “Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia”(terj). Yogyakarta, Pustaka Pelajat, 2000, hal, 292

lebih dipandang sebagai suatu perspektif atau kacamata untuk melihat, mengkaji dan menelaah peristiwa perceraian sebagai suatu simbol penolakan dan perlawanan perempuan sebagai isteri terhadap kekuasaan laki-laki. Gramsci (dalam Budiman,1982) membagi dua jenis kekuasaan: (1) kekuasaan hegemoni atau kekuasaan yang diperoleh dengan persertujuan dari orang-orang yang dikuasai; (2) kekuasaan yang diperoleh melalui pemakaian kekuatan fisik. Kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan kekuasaan hegemoni dalam pengertian Gramsci, karena perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujui kekuasaan laki-laki sebagai suatu yang wajar. Laki-laki tidak perlu menggunakan kekuatan fisik untuk memaksa wanita tunduk kepada mereka.

Hegemoni selamanya bisa saja dominan akan tetapi tidak akan pernah total, karena selalu mendapatkan tantangan. Oleh karena itu, jika konsep patriarki dianggap sudah menghegemoni dalam masyarakat, maka hal ini tetap saja akan mendapat tantangan dan tidak akan pernah dianggap sebagai suatu sistem yang tetap, dan baku (Sushartami, 2002). Selanjutnya sangat perlu untuk menjajaki lebih lanjut tentang adanya sebuah hegemoni alternatif- hegemoni tandingan (counter-hegemony) yang muncul dari kelompok atau kelas yang dikuasai, yang merupakan kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah (tereksploitasi dan tersubordinat) yang dapat melakukan penyusunan dan perlawanan. Kelompok atau kelas yang dikuasai ternyata mampu menciptakan struktur-strukturnya sendiri serta menafsirkan realitas sosial menurut pengalamannya, sesuatu yang cenderung diabaikan. Selanjutnya perlu dipertimbangkan kembali konsep kekuasaan yang oleh kebanyakan orang dipahami dalam pengertian negatif. Kekuasaan juga bisa dikaji dalam kemampuan-kemampuan yang positif dan produktif. Hal ini akan memungkinkan memperluas pemahaman mengenai hegemoni dan kontra-hegemoni. Kontra-hegemoni dari kelas yang dikuasai juga bisa dipahami sebagai pernyataan atau dikursus perlawanan (counter-discourse), di mana perjuangan melawan praktek-praktek diskursif dan kekuatan pendisiplinan terjadi baik dalam produksi simbolis maupun dalam hubungan sosial (Simon, 2000, Hikam,1990, Budiman, 1982).

Pertanyaan yang akan muncul dan menggugah pemikiran penulis dalam kajian tentang perlawanan perempuan terhadap struktur sosial patriarki, mengapa perempuan membangkang pada kekuasaan laki-laki sebagai suami, dan mengapa pula mereka menanggalkan kepatuhan atau mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki.

Untuk menjawab pertanyaan ini sekurang-kurangnya ada dua konsep teoritis yang berusaha menjelaskannya. Pertama, berusaha menjelaskan fenomena perlawanan dari pandangan mengenai otoritas moral sebagai basis dari hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial.Kedua, mendasarkan penjelasannya pada adanya keharusan struktural sosial budaya yang menentukan tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku individu, termasuk perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki. Pada perspektif otoritas moral bahwa perlawanan dan pemberontakan dapat terjadi karena adanya kebiadaban moral dalam masyarakat. Sebaliknya, pada pendekatan kedua bahwa perlawanan dan pemberontakan terjadi karena didasarkan pada adanya rangsangan eksternal sebagai faktor utamanya (Hikam, 1990).

Selain dari kedua faktor di atas, untuk menjelaskan fenomena perlawanan, menurut Moore (Hikam, 1990) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu “moralitas alamiah“ yang sudah ada jauh sebelum adanya pengaruh sosial tetapi belum tentu mempunyai keunggulan untuk memecahkan masalah tersebut, moralitas alamiah ini tidak semata-mata merupakan konsekuensi dari kebiasaan dan kondisi sosial. Melalui moral semacam ini sebaliknya memberikan dorongan bagi terjadinya perkembangan aturan-aturan moral, kemarahan moral, dan persepsi-persepsi mengenai ketidakadilan di dalam setiap masyarakat.

Studi yang dilakukan oleh Uma Chakravarti pada masyarakat kasta India, seperti yang dikutip oleh Kamla Bhasin dalam bukunya “menggugat patriarki” (1996), menemukan bahwa dalam masyarakat kasta India kontrol terhadap perempuan dilakukan melalui tiga sarana yang berbeda dan berlangsung pada tingkatan yang berlainan. Pertama adalah ideologi, di mana ditanamkan ke dalam kepribadian perempuan sebagai pativrata

(kesetiaan ibu), dengan ideologi ini perempuan menerima dan menginginkan kesetian ibu sebagai ekspresi tertinggi dari kepribadian mereka, melalui mekanisme ini pula status rendah mereka dibuat tak terlihat dan sistem patriarki dengan kuat ditegakkan sebagai ideologi yang kelihatannya alamiah. Sarana kedua ialah hukum dan adat kebiasaan, hal ini sangat ditentukan oleh tata sosial Brahmanis untuk membuat perempuan yang menyimpang tetap berada di dalam kontrol patriarki. Sarana ketiga ialah negara, jika laki-laki yang diberikan hak untuk menggunakan kekuatan tidak berhasil mengendalikan seorang perempuan, maka negara kuno menegakkan berlakunya norma-norma patriarkal dengan menghukum perempuan karena melakukan pelanggaran batas-batas sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum laki-laki.

Moore seperti yang dikutip oleh Hikam (1990), misalnya melihat bahwa perlawanan terjadi di dalam suatu masyarakat karena adanya suatu kebiadaban moral. Kebiadaban moral terjadi diakibatkan adanya problem ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan sosial merupakan suatu penyimpangan (derivasi), pengertian dari keberangan moral yang dipengaruhi oleh tiga elemen dalam suatu sistem sosial: 1) Koordinasi sosial atau kekuasaan. Pada dimensi ini perlawanan dan pemberontakan terjadi jika seseorang atau perempuan (isteri) merasa bahwa kekuasaan laki-laki sebagai suami misalnya tidak lagi memenuhi kewajiban moral yang mendasar. 2) Kegagalan untuk menangani kesenjangan sosial yang mengakibatkan keberangan moral, dengan mengambil bentuk pengutukan atau protes secara terang-terangan maupun tersembunyi. Misalnya laki- laki (suami) gagal memenuhi kebutuhan akan penghargaan, tidak diperhatikan dan tidakadanya kasih sayang. 3) Distribusi sumber daya yang tidak adil,di sini bahwa persamaan memainkan peranan sebagai suatu bentuk jaminan sosial, karena setiap manusia selalu dihadapkan pada sumber-sumber yang terbatas. Suami tidak bisa secara tepat mengalokasikan sumber daya yang ada antara keluarga (orang tua, ingat dalam keluarga luas) dengan perempuan sebagai isteri. Kegagalan suami untuk memenuhi kewajiban ini akan mengakibatkan kekecewaan dan keberangan moral perempuan.

Berbeda dengan Milgram (dalam Hikam, 1990) mengatakan bahwa perlawanan dan pemberontakan dapat terjadi dikarenakan adanya suatu keharusan struktural yang akan menentukan tindakan-tindakan dan perilaku individu-individu. Termasuk perlawanan terhadap kekuasaan (dianut oleh kaum strukturalisme baik mazhab Marxis maupun yang non-Marxis), penolakan dan perlawanan terjadi didasarkan pada adanya rangsangan luar sebagai faktor utama yaitu perangkat hukum dan paksaan dari luar.

Untuk melaksanakan tindakan penolakan dan perlawanan oleh para kelompok perempuan yang termarginalisasi, tereksploitasi dan tersubordinasi. Mereka biasanya akan menggunakan dan memanfaatkan norma-norma dan sistem-sistem nilai tradisional yang ada di dalam masyarakat untuk melawan dominasi kelompok laki-laki, hal itu dilakukan karena pada diri mereka memiliki penafsiran-penafsiran tersendiri mengenai kewajiban- kewajiban moral yang berakar pada tradisi budaya yang meraka alami atau lihat di dalam masyarakat. Kemungkinan hal ini akan menjadi senjata bagi kaum perempuan untuk melakukan penolakkan atau ketidaksetujuannya terhadap perilaku laki-laki sebagai suami.

Peristiwa ini oleh Henrieatta L. Moore (1998), seperti yang ditulis dalam bukunya “ Feminisme and Antropology” (terj), ia menyebutnya sebagai “ bentuk hari-hari perlawanan wanita”. Menurutnya bahwa penolakan atau perlawanan perempuan (isteri) terhadap suami dapat dilakukan mulai dari penolakkan untuk memasak, penolakkan untuk

berhubungan seksual, meninggalkan pekerjaan rumah tangga, dan pertanian, serta menyebarkan gosip-gosip tentang pasangan-pasangan mereka.

Demikian pula studi yang cukup menarik dilakukan oleh Loan Lewis pada masyarakat muslim Somali di Timur laut Afrika yang besistem kekerabatan patrilineal. Seperti yang dikutip oleh Moore (1998), yaitu apa yang mereka disebutkan “kerasukan roh”, yaitu suatu kajian tentang bagaimana keterlibatan perempuan-perempuan yang sudah bersuami tentang “kerasukan roh”. Perlawanan perempuan dengan menggunakan kerasukan roh sebagai instrumen perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup dan memberi makan anak-anak dalam lingkungan yang keras karena diabaikan oleh suami yang sering tidak ada dan di mana mereka dirusak oleh ketegangan-ketegangan perkawinan poligini yang dilakuan oleh para suami, dan kerentanan akses kaum perempuan pada sumber daya di luar perkawinan. Menurut Lewis kerasukan roh dapat dikatakan sebagai suatu penghindaran yang terbatas untuk menentang penyiksaan dari adanya pengabaian dan penderitaan dalam hubungan konjugal yang sangat bias laki-laki. Perempuan terpaksa menggunakan kerasukan roh sebagai cara yang tidak langsung untuk mengutarakan keluhan-keluhan mereka kepada suami dan cara untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang, hadiah dan sebagainya.Oleh Simone De Beauvoir (1999) hal ini dilakukan oleh kaum perempuan dalam bentuk agitasi simbolis, karena kaum perempuan dalam melakukan protes dan penolakan terhadap kaum laki-laki kurang memiliki tujuan yang konkrit untuk mengorganisir diri menjadi sebuah unit yang dapat berhadap-hadapan dengan unit kolektifitas.

3.METODE PENELITIAN

Penelitianini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dengan pendekatan ini dapat menunjukkan tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan- pergerakan sosial, dan hubungan kekerabatan. Oleh Strauss dan Corbin (1997) digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena atau gejala yang ada. Untuk mempelajari secara mendalam peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat suku Sasak, yaitu perceraian penulis menggunakan metode penelitian etnografi (Spradley,1997).Dengan demikian etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan tujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Agar peneliti terhindar dari bias subyektif dalam melukiskan suatu peristiwa sosial budaya, maka peneliti menggunakan perspektif emik dan perspektif etik. Perspektif emik peneliti mendeskripsikan peristiwa sosial budaya dari sudut pandang orang “mata kepala” warga masyarakat setempat yang diteliti, sedangkan perspektif etik peneliti mendeskripsikan berdasarkan konsep dan pandangan orang luar (kacamata orang lain).

Dalam penelitian ini informan dan subyek26penelitian bersifat pilihan atau criterium based selection. Informan dan subyek penelitian tidak untuk mewakili populasi, tetapi mewakili informasi. Dalam hal ini peneliti memilih informan penelitian yang dipandang paling mengetahui dan memahami masalah yang dikaji, informasi yang diperoleh dari mereka (informan) sebagai salah satu sumber untuk mencari untuk keabsahan data melalui proses triangulasi yang tidak hanya mengandalkan informasi

26Pada penelitian ini tidak menggunakan konsep responden, karena tidak menguji hipotesis dan tidak membatalkan suatu hipotesis tertentu, dan juga tidak menggunakan konsep pelaku karena seorang pelaku adalah seseorang yang menjadi obyek pengamatan dalam suatu setting alam. Bekerja dengan Subyek dimulai dengan ide-ide yang ditetapkan sebelumnya; bekerja dengan informan dimulai dari ketidaktahuan. Subyek tidak mendefinikan hal-hal penting yang harus ditemukan oleh peneliti; informan mendefinikannya. Hal ini dapat dibaca dalam bukunya Spradley “Metode Etnografi” (terj), hal, 38-29, 1997.

tunggal dari subyek penelitian, tetapi perlu informasi yang jamak dari banyak sumber data, dan didayagunakan untuk melengkapi, cross-check dan memahami peristiwa perceraian dalam komunitas masyarakat sasak secara umum. Subyek penelitian adalah mereka- mereka yang mengalami secara langsung peristiwa Perseraian.Informan dan subyek penelitian, dipilih melalui dua tahap. Pertama, akan dicari informan “typical group” yang dianggap mengetahui dan memahami tentang peristiwa perceraian. Kelompok seperti ini adalah tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat. Pemilihan informan pada tahap ini dilakukan secara purposif sampling maupun snow ball.

Pengumpulan data yang paling utama dipergunakan adalah observasi dan wawancara. Observasi yang telah digunakan bersifat partisipasi moderat, dilakukan secara fleksibel, sesekali berpartisipasi secara tengahan dan waktu lain secara pasif. Wawancara dapat memungkinkan peneliti untuk dapat menggali apa-apa yang diketahui maupun yang dialami oleh seseorang subyek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri mereka (explicit knowledge maupun tacit knowledge). Kedua. dengan wawancara peneliti dapat menanyakan kepada subyek dan informan hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang dan juga masa mendatang. Ketika wawancara berlangsung, peneliti berusaha untuk memahami local knowledge, menggunakan sebanyak mungkin empathy, dan memahami sesuatu dengan cara pemahaman setempat.

Setelah data dikumpulkan maka tahap selanjutnya ialah pengolahan data sehingga dapat dilakukan analisis. Pengolahan data dimulai dengan melakukan klasifikasi data, dan merumuskan kategori-kategori (kelas-kelas) yang terdiri dari gejala yang sama atau dianggap sama. Dalam suatu klasifikasi peneliti membedakan antara masing-masing- masing kategori dan sub-kategori (Vredenbregt,1981). Atau oleh Muhadjir (1989) yaitu dimulai dengan melakukan penyatuan dalam unit-unit, dengan berpegang pada dua prinsip yaitu; heuristik dan dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan. Unit-unit terhimpun liwat catatan hasil (observasi, wawancara, dokumen, rekaman, komentar peneliti dan lainnya), dan kemudian kategorisasikan.

4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 137-142)