• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ngerorot Kemeleq Seang (Ngerorot ingin bercerai)

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 143-148)

TRADISI PERCERAIAN: KETIDAKADILAN GENDER DAN PERLAWANAN PEREMPUAN DI SUKU SASAK LOMBOK

2) Ngerorot Kemeleq Seang (Ngerorot ingin bercerai)

Pola ngerorotkemeleq seangbersifat permanen.Hubungan duan (dyad) pada tingkat mikro suami-isteri engalami krisi yang luar biasa yang ditandai oleh terjadinya pertentangan atau konflik di antara suami dengan isteri. Apa yang dilakukan oleh perempuan (isteri-isteri) memberikan indikasi bahwa seorang isteri melakukan penghindaran diri pulang ke rumah orang tua secara sembunyi-sembunyi menggunakan kendaraan pranata ngerorot misalnya, dapat merupakan instrumen atau alat guna mencapai tujuan-tujuan tertentu, walaupun oleh si isteri belum atau tidak dinyatakan secara nyata dan terusterang dihadapan orang lain (suami atau keluarga). Artinya ngerorot yang dilakukan oleh seorang isteri di mana ngerorotnya sendiri bukan menjadi tujuan, tetapi sebagai batu loncatan untuk meraih tujuan yang lebih fungsional yang merupakan dambaan dari subyek penelitian itu sendiri, misalnya si isteri tidak tahan lagi dengan perlakuan suami, ingin bebas, ingin bercerai, atau bisa jadi dia ingin kawin lagi dengan laki-laki lain yang lebih baik dan bertanggungjawab.

Pada pola ini isteri melakukan ngerorot dapat dianggap sebagai tindakan simbolis bahwa seorang isteri tidak bisa lagi mempertahankan bahtera rumah tangganya dan secara tidak langsung ia menginginkan perceraian dari suaminya. Ngerorot ini dilakukan karena secara emosional seorang isteri tidak tahan lagi dengan tindakan dan situasi lingkungan suami. Cara ini dilakukan karena dengan meninggalkan suami dan pulang ke rumah orang tua, si suami dengan sesegera mungkin dapat menceraikannya. Artinya pertentangan yang terjadi sudah akan mengarah pada terjadinya pembubaran perkawinan sebagai sebuah institusi keluarga.

Pola ngerorot yang kedua ini biasanya si isteri tidak mau kembali lagi pulang ke rumah suami, walaupun pada akhirnya nanti si isteri menerima resiko yang akan

mengakibatkan pada terajadinya family disorganization, yaitu suami akan menceraikan (talak) isterinya. Pertentangan dan terjadinya ngerorot pada pola ini (ngerorot kemeleq seang), di mana pihak-pihak (suami-isteri) kelihatannya tidak ada lagi kesamaan yang dapat dipertemukan sehingga sebuah kompromi tidak dapat dicapai, dan masing-masing dari mereka ( suami isteri) akan mencari jalan sendiri-sendiri sehingga perpisahan dan pembubaran perkawinan tidak dapat terelakkan lagi (cerai). Ngerorot kemeleq seang

(ngerorot ingin bercerai) dipahami sebagai suatu tindakan simbolik dari seorang isteri yaitu meninggalkan arena konflik (rumah suami) ke rumah orang tuanya, baik secara fisik maupun psikogis untuk selama-lamanya (permanently). Tindakan ini berfungsi untuk meminta cerai kepada suaminya karena dengan meninggalkan arena konflik si suami dengan cepat dan mudah mengeluarkan kata-kata cerai yang sudah lama diharapkan oleh seorang isteri.

Tradisi perceraian dalam konteks sosial budaya masyarakat suku Sasak, bahwa suatu perceraian baru bisa terjadi kalau si suami sudah mengatakan kata-kata cerai (Sasak.

Seang), karena menurut pemahaman masyarakat sahnya suatu perceraian kalau si suami sebagai laki-laki sudah mengikrarkan dengan lafal kata-kata cerai (sasak.seang). Kondisi sosial masyarakat yang demikian menandai bahwa suatu perceraian berada di tangan laki- laki sebagai suami. Pemahaman ini muncul dari adanya penafsiran tekstual yang biasa terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh laki-laki (patriarki).Mereka mengatakan kalau si suami belum mau melaflkan kata-kata cerai, sementara ngerorot si isteri sudah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka perceraian atau talak tidak bisa dilakukan dan belum dianggap sah oleh masyarakat.

Pada tataran ini, dan akibat kesalahan di dalam menafsirkan ajaran-ajaran yang dianut, maka ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama pada kaum perempuan. Padahal secara konseptual dan implementatif diakui oleh para intelektual muslim, bahwa terputusnya tali ikatan perkawinan tidak semata-mata hak laki-laki (suami), tetapi juga menjadi hak perempuan (isteri), baik dalam bentuk thalak al-tafwid, khulu’, dan fashak

(Jawad, 2002, Engineer, 2000).Dua pola perceraian tradisional suku sasak (ngerorot nenangin diriq dan ngerorot kemeleq seang), terlihat suatu keberanian moral dari seorang isteri untuk melakukan perlawanant. Hal ini dapat memberikan isyarat kepada kita bahwa konflik atau pertentangan yang terjadi dalam hubungan intim di antara suami dengan isteri telah memasuki nilai-nilai inti dari tujuan perkawinan itu sendiri. Meminjam istilah Coser, hal ini dapat disebut dengan konflik fungsional negatif, yaitu suatu konflik yang sudah memasuki wilayah atau ruang dan menyerang nilai-nilai dasar dari hubungan. Perkawinan dengan tingkat keakraban dan keintiman dari mereka telah dirusak oleh adanya pengingkaran dari nilai-nilai inti perkawinan seperti; suami berani pacaran dengan perempuan lain, suami ingin kawin lagi, suami telah melakukan kekerasan terhadap isteri. Problem ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap komitmen perkawinan sebagai institusi sosial di mana satu sama lain untuk dapat berbagi suka dan duka. Pada pemahaman ini melahirkan proposisi “bahwa pertikaian yang ditimbulkan oleh adanya pengingkaran nilai-nilai inti kesepakatan bersama dari hubungan perkawinan, maka pertikaian itu akan menjadi keras sulit untuk terjadinya akomodasi”

2. Perlawanan Perempuan

Penelitian ini menemukan bahwa terjadinya perlawanan perempuandimasyarakat suku sasak disebabkan oleh faktor: (a) adanya biadaban moral atau otoritas moral, (b) adanya keharusan struktural atau Otoritas Struktural.

Sebuah keluarga didirikan untuk menjadi alat manusia mencapai kesejahteraan, kecintaan dan keadilan antara peran laki-laki (suami) dan apa yang diperankan oleh perempuan (isteri). Namun pada kenyataannya justru berlawanan dengan keadaan sebenarnya yang diinginkan oleh manusia. Keluarga sebagai institusi sosial menjadi sebuah kekuatan yang besar dan kejam yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas rasa keadilan. Bila demikian yang terjadi, yang perlu dipertanyakan masih adakah kesetiaan dan kepatuhan pada lembaga ini (keluarga) yang bisa dipertahankan. Kesetiaan yang diberikan oleh perempuan (isteri) kepada keluarga terutama laki-laki (suami) dalam kondisi yang demikian, yang pada ujung-ujungnya akan memupuk rasa kekecewaan dan putus asa, dan kemungkinan yang tersisa dalam jiwa perempuan hanyalah sebuah hasrat untuk melawan dan melakukan pemberontokan, walaupun hal itu masih terbungkus rapi dalam kesetiaan yang semu, pada akhirnya mereka bisa melakukan perlawanan terbuka.

Fenomena ngerorot padaperceraian tradisional yang dilakukan perempuan Sasak yang menggunakan institusi tradisional adalah lubang kecil yang paling bisa dipahami (understandable), yaitu cara di mana perempuan (isteri) dapat mengurangi tekanan dari institusi keluarga dibawa cengkeraman laki-laki (suami). Pada konteks ini terjadi kolonisasi yang telah melakukan rasionalisasi dunia kehidupan dengan melakukan pencerahan moral di bawah payung ijtihat legitimasi religius yang missogenis (membenci perempuan) dan androsentris (memihak laki-laki), sehingga seakan-akan terjadi pemaksaan sosial (social consraint) yang mendepersonalisasi manusia lain yaitu kaum perempuan (Casado da Rocha A.L, 2002, Ritzer G dan Douglas J. G, 2004, Jawad A, 2002).

Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan di dalam keluarga yang semuanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, hukum dan politik,disamping oleh kekuatan-kekuatan psikologi dan biologis yang mendorong terbentuknya keluarga, kaum perempuan secara rutin merupakan bawahan dalam institusi keluarga dan kemudian merupakan bawahan dalam dunia publik. Sekalipun kaum perempuan tidak dapat mematuhi keinginan dari laki-laki (suami) tanpak pasif, sungkan, dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang mereka tidak sukai, melalui cara penghindaran diri (evoidensi relationship), atau tidak mengindahkan segala apa yang disuruh oleh suami-suami mereka. Bentuk penolakan dan ketidakpatuhan secara diam atau terselubung dari eksploitasi kaum laki-laki (suami) adalah lebih umum dilakukan dari pada secara terang-terangan. Walaupun kadang-kadang para perempuan akan bersedia menanggung resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak dapat lagi memenuhi aspek psikologis, kultural, dan moral.

Apa yang dilakukan oleh perempuan Sasak dengan ngerorotdan perlawanan dapat dikatakan sebagai suatu penemuan sosial yang harus diakui dan dihargai karena dengan melakukan perceraian dianggap sebagai bentuk pengamanan bagi ketegangan dan konflik yang ditimbulkan oleh perkawinan itu sendiri dan juga menjadi simbol budaya penolakan perempuan terhadap dominasi idiologi yang bias, yang hanya menampilkanperempuan sebagai isteri, ibu rumah tangga yang patuh dan penurut serta menerima apa adanya dari suami, yang di masyarakat kita fenomena ini cukup dikenal dengan konsep ibuisme atau hausewifizatio28.

Dalam studi ini ditemukan beberapa indikator otoritas moral perlawanan perempuan (isteri) yang mendorong terjadinya perceraiandengan mengambil ruang

28Konsep ini telah digunakan oleh negara pada jaman orde baru dibawah payung program pemerintah seperti PKK, Darma wanita dan Isteri sebagai pendamping suami, wanita sebagai tiang negara, sehngga seakan-akan melokalisasi peran dan status perempuan di seputur kegiatan-kegiatan domestik sehingga membatasi peren dan status perempuan pada sektor lain.

konfrontasi yang terbuka, hal ini dilakukan karena: (1) hilangnya kewibawa kepala keluarga (suami), suami tidak lagi memenuhi dan melakukan kewajiban-kewajiban moral yang mendasar terhadap keluarga, seperti suami lari dari tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan material dan isteri dibiarkan untuk menanggung bebannya sendiri tanpa ada sokongan dari suami. (2) Isteri tidak lagi memperoleh atau gagal memenuhi kebutuhan akan penghargaan dari suami, seperti tidak diperhatikan dan tidakadanya kasih sayang. (3) tidakadanya distribusi sumber daya yang adil, sehingga isteri gagal memenuhi kebutuhan akan rasa keadilan, karena suami tidak bisa menempatkan secara proporsional antara keluarga (orang tua dan lain-lain) sebagai suatu relasi yang agak terpisah dengan kehidupan isteri sebagai teman, kolega, dan tempat saling tukar menukar pengalaman suka dan duka di dalam mengarungi bahtera kehidupan.

b) Otoritas Struktural Perlawanan

Otoritas struktural memandang bahwa ketidakpatuhan dalam masyarakat karena adanya keharusan struktural yang akan menentukan semua tindakan, dan perilaku individu. Dalam pengertian yang luas bahwa ada faktor ekternal yang dapar menimbulkan terjadinya ketidakpatuhan seperti institusi-institusi sosial dan perangkat hukum yang ada di dalam masyarakat. Oleh Smith bahwa apa yang terjadi pada berbagai jenis kehidupan sehari-hari manusia dibentuk oleh struktur makro dan struktur makro ini dibentuk oleh sejarah, kebutuhan ekomoni dan kebudayaan ( Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003).

Pada tataran empirik struktur sosial biasanya selalu memainkan perannya sebagai

a regulatory agency, semacam badan yang mengatur perilaku manusia dengan menyiapkan prosedur yang memberi pola bagi perilaku manusia, dipaksakan untuk berjalan di dalam alur- alur yang dianggap patut oleh masyarakat ( Berger, 1990).

Maka tidak mengherankan di dalam struktus sosial yang patriarkhi, bahwa terjadinya ketidakadilan gender yang ditandai adanya relasi kuasa laki-laki yang dominan terhadap perempuan, hubungan laki-laki dengan perempuan di dalam masyarakat adalah hubungan politik, yaitu suatu hubungan yang didasarkan pada struktur kekuasaan, suatu sistem masyarakat dimana satu kelompok manusia dikendalikan kelompok manusia lain dan lembaga yang utama dari sistem patriarki adalah keluarga. Dalam keluarga seorang laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga, di dalam keluarga juga ia mengontrol seksualitas, kerja atau produksi, reproduksi dan gerak perempuan. Terdapat hirarkhi laki- laki lebih tinggi dan berkuasa, perempuan lebih rendah dan dikuasai. Maka dengan demikian akan memunculkan hirarki, subordinasi, dan diskriminasi.

Walaupun para perempuan melakukan usaha pengakuan tandingan (counter- recognition) tetapi karena struktur sosial sudah menjadi baku dan terinternalisasi atau tertanam begitu lama, dan kuat, maka martabat manusia seperti kaum perempuan sangat tergantung dari adanya suatu perijinan sosial dalam struktur makro yaitu masyarakat atau oleh Berger (1994) disebut sebagai a matter of social permission. Sehingga pandangan tentang dunia mereka sangat ditentukan secara sosial (word taken for granted ) bukan oleh kehendak individu atau pribadi .

Pada studi ini bahwa hegemoni laki-laki (suami) terhadap perempuan (isteri) pada masyarakat Sasak Lombok banyak menggunakan legitimasi religious29 dan adat untuk melakukan pembenaran terhadap perbuatan mereka. Di dalam masyarakat misalnya berkembang pemahaman yang diperoleh dari para tokoh agama, bahwa isteri maupun suami tidak boleh mengatakan “seang” (cerai) pada pasangannya karena pada saat itu pula

29Istilah legitmasi adalah semacam pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial. Walaupun dalam pelegetimasian ini terjadi krisis toelogi, sehingga terjadi paradok keterasingan religius yang seakan-akan justru terjadi proses dehumansisasi dan depersonafikasi dunia sosiokultural. Dapat diperdalam dalam bukunya Berger “Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, hal, 34 dan 121, tahun, 1991.

talak sudah dijatuhkan. Kata ”seang” (cerai) seakan-akan memiliki nilai sakral dan tabu, artinya kata ini tidak boleh diucapkan pada sebarang tempat, situasi dan kondisi, baik serius maupun hanya sekedar main-main yang mengarah pada isteri-suami karena Tuhan akan marah. Dan akan menjadi tabu karena kalau diucapkan akan berakibat dari terjadinya perceraian.

Demikian juga halnya, di dalam masyarakat banyak yang menganggap bahwa urusan keluarga adalah urusan suami yang walaupun dipukul tidak perlu dilaporkan pada orang lain, karena suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah hak milik suami, sementara di dalam ajaran-ajaran agama kalau si isteri melakukan nusyud (tidak patuh dan membangkang) dibenarkan seorang suami untuk memberikan peringatan walaupun dengan cara memukul. Perempuan (isteri) tidak berhak untuk menolak terhadap kata-kata cerai dari suami, karena menurut mereka perceraian adalah hak suami dan perceraian bisa terjadi kalau suami sudah menjatuhkan kata-kata cerai dan Tuhan akan meridoiNya. Banyak dari mereka yang melakukan perkawinan dan perceraian syah hanya menurut agama walaupun tidak dicatat secara formal dalam agenda negara.

Pada tataran ini di dalam masyarakat terjadi semacam mysthical norm, yaitu dengan memistifikasi norma-norma dan mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi (Berger, 1985b). Dengan suatu harapan agar terjadinya culture expectation, yaitu harapan budaya agar suatu kebudayaan yang ada di dalam masyarakat dimana kepada seluruh anggota komunitas untuk bertingkah laku sesuai adat istiadat yang berlaku.

Menguaknya fenomena ngerorot pada institusi perkawinan di masyarakat Sasak Lombok dapat dikatakan sebagai bentuk protes terbuka yang merupakan jawaban dari tejadinya kebiadaban moral, problem ini muncul karena adanya ketidakadilan dan penyimpangan dari komitmen kehidupan perkawinan. Institusi perkawinan tidak bisa lagi menopang kewajiban-kewajiban moral, seperti suami berani pacaran (sasak. Midang), dan melakukan perkawinan lagi. Struktu sosial yang tidak memberikan kebebasan perempuan (isteri) untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak, dan tidak memihak kepada perempuan, kuatnya kungkungan adat, tradisi serta tidak adanya proteksi sosial yang dapat menjamin keberlangsungan hidup keluarga.

Kegagalan pada dua dimensi ini (otoritas moral dan otoritas struktural) akan dapat menimbulkan kekecewaan-kekecewaan dan terjadinya keberangan moral (tidakpatuh dan protes terbuka) dengan mengambil ruang “avoidensi relationship

(penghindaran diri), atau melakukan ngerorot/seang. Walaupun pada posisi ini perempuan akan mendapatkan konsekuensi yaitu terjadinya divorce (perceraian) dari suami-suami mereka. Untuk sementara posisi ini kemungkinan dapat memberikan keuntungkan perempuan (istri) dari subyek pelaku (rejim moral), karena mereka dapat keluar dari lilitan perkawinan yang penuh dengan kebohongan dan kecurangan. Dan ketika mereka keluar dan berhadapan dengan institusi masyarakat, di sana mereka telah ditunggu oleh status dan stigma sosial yang hanya memandang mereka secara one side issue (satu sisi) entitas atau keberadaan mereka.

Status janda dengan bebagai anekdot dan pelabelan di dalam masyarakat yang lebih banyak memposisikan mereka secara negatif dan terpinggirkan (marginalisasi) seperti; janda Malaysia (jamal), dan janda Arab (jarab), janda lokal (jalok), bahkan ada yang mengatakan sebagai penggoda suami-suami orang30.

30Istilah yang diberi singkatan Jamal ( janda Malaysia) atau Jarab ( janda Arab) merupakan istilah yang sering kali menjadi bahan tertawaan bagi kebayakan laki-laki ataupun perempuan yang tidak atau merasa terusik pada kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat Konsep ini menandai bahwa menjadi atau kehidupan janda-janda sering merupakan korban yang selalu dipersalahkan (blaming the victim), sebagai korban, mereka selalu dikonotasikan sebagai perempuan “genit” dan “binal”, sehingga dianggap sebagai salah satu warga masyarakat yang harus dikontrol, serta peran dan status mereka selalu berada pada posisi yang dimarginalkan di antara kelompok-kelompok perempuan lain, dan segala aktivitas

Kondisi peremuan (isteri) seperti ini dapat diibaratkan hanya mereka bermain di dalam lingkaran setan kehidupan yang tiada berakhir. Karena mereka (laki-laki) telah menggunakan struktur sosial (budaya, adat dan kemungkinan juga agama) setempat untuk melakukan pembenaran sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan dominasi kepada para perempuan (isteri), yang walaupun mereka tetap penolak yaitu dengan melakukan ngerorot, sebagai bentuk resistensi terhadap transkrip publik atau formal31 meskipun apa yang dilakukan oleh kaum perempuan (isteri) di dalam masyarakat suku Sasak masih bersifat lokal, spontan, dan sporadis.

5.KESIMPULAN

Hasil studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.

Tradisi Perceraian

Studi ini menyimpulkan bahwa tradisi perceraian pada masyarakat suku

Dalam dokumen Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed (Halaman 143-148)