• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Basah kultur (g)

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2014 (Halaman 171-175)

betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS)

HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Basah kultur (g)

Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi EMS dan waktu perendaman memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap berat basah kultur. Sedangkan konsentrasi EMS memberikan berpengaruh nyata bagi pertambahan berat basah kultur, begitu juga dengan lama perendaman memberikan hasil yang sangat berbeda nyata. Pertambahan berat basah kultur ditampilkan pada Tabel 3.1.1

Tabel 1. Rata-rata Penambahan Berat Basah Kalus (g) Pada Perlakuan Konsentrasi dan Lama Perendaman EMS

Konsentrasi Lama Perendaman Rataan T1 T2 T3 C0 1,07 0,98 0,85 0,97 a C1 1,05 0,80 0,33 0,73 b C2 0,70 0,70 0,25 0,55 c C3 1,10 0,50 0,42 0,67 d Rataan 0,98 aA 0,75 bB 0,46 cC

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menrut uji Duncan. C0

(0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Pada Tabel 1 kalus yang memiliki berat basah kultur yang tertinggi adalah pada perlakuan C3T1

yaitu 1,10 gram sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan C2T3 sebesar 0,25 gram. Respon

rata-rata persentase kultur berkalus terhadap lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1(a). Sedangkan Respon pertumbuhan berat basah kalus terhadap konsentrasi EMS ditampilkan pada Gambar 1 (b).

Gambar 1. a.Pengaruh lama perendaman EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda; b. Pengaruh konsentrasi EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda

Lama perendaman selama 30 menit (T1) memberikan rata-rata berat basah kalus yang lebih

tinggi dibanding dengan perendaman 60 (T2) dan 90 (T3) menit (Gambar 3.1.1a). Hal ini dikarenakan

pada menit ke-30 jumlah kandungan EMS dalam jaringan belum menyebabkan toksik sehingga EMS tersebut dapat memacu sel-sel pada eksplan untuk membelah sehingga dapat meningkatkan berat basah kalus. Sedangkan bila lama perendamannya ditingkatkan akumulasi EMS dalam kalus menjadi lebih banyak, sehingga menghambat kalus untuk berproliferasi secara maksimal, bahkan bisa bersifat toksik bagi kalus. Sedangkan Gambar 3.1.1 (b) dapat dilihat bahwa EMS dapat menghambat pertumbuhan kalus, hal ini terlihat dari berat basah kalus yang semakin rendah bila konsentrasi EMS ditingkatkan. Ini berarti bahwa konsentrasi EMS berbanding terbalik dengan berat basah kalus pada konsentrasi 0,1%. Sedangkan bila konsentrasi dinaikkan hal sebaliknya terjadi, berat basah kalus kembali meningkat.

Hal ini kemungkinan karena pada konsentrasi tersebut EMS dapat memberikan rangsangan yang positif terhadap hormon endogen dalam kalus Terung Belanda, sehingga sel-sel kalus dapat membelah dan meningkatkan berat basah kalus. Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa penggunaan mutagen dengan konsentrasi tertentu dapat memacu fitohormon dalam tumbuhan misalnya auksin yang dapat mendorong pembelahan sel pada tanaman.

Warna Kalus

Pada umumnya warna kalus setiap eksplan tanaman berbeda satu dengan yang lainnya. Pada penelitian ini warna kalus digunakan sebagai parameter guna mengetahui ada tidaknya pengaruh dari EMS terhadap kalus biji Terung Belanda. Dari hasil pengamatan warna kalus Terung Belanda bervariasi yaitu putih, putih kecoklatan, dan coklat (Gambar 3.2.1).

Warna kalus putih berpotensi untuk tumbuh membentuk planlet karena kalus terlihat segar, kompak, dan bernodul. Sedangkan warna kalus yang berpotensi untuk mati adalah kalus yang berwarna coklat dan warna kalus putih kecoklatan kemungkinan dapat berubah warna lagi menjadi coklat dan mati seiring lamanya inkubasi.

(c)

Gambar 2. Warna kalus setelah perlakuan EMS: (a) putih; (b) putih kecoklatan; (c) coklat

Kalus yang bewarna coklat apabila tidak disubkultur kembali maka akan mengalami penuaan dan dapat mengeluarkan senyawa fenolat pada kultur. Untuk menghindari oksidasi dari senyawa fenolat tersebut maka sebelum kalus mengalami penuaan harus segera mungkin disubkulturkan ke medium baru. Waktu subkultur dipengaruhi oleh siklus hidup dari kalus, bila kalus mempunyai siklus hidup yang panjang maka waktu subkultur lebih lama, tapi sebaliknya bila siklus hidup kalus pendek maka waktu subkultur akan lebih cepat.

Pada beberapa kalus pencoklatan terjadi seiring lamanya waktu pengkalusan. Hal ini diduga akibat kalus mengalami penuaan sehingga pertumbuhan kalus terhenti dan akhirnya akan mati. Kalus yang mengalami penuaan akan berubah warna menjadi coklat, pertumbuhan terhenti dan akhirnya terjadi pengeringan akibat nutrisi habis. Sehingga difusi nutrien terhambat karena penguapan air yang mengakibatkan naiknya konsentrasi nutrien tertentu dalam media, serta penimbunan metabolit yang bersifat racun bagi kalus.

Persentase Kultur Yang Hidup (%)

b

pengamatan didapat bahwa jumlah kultur yang hidup sebanyak 64 botol atau 88,88%. Jumlah ini sudah dapat mewakili untuk menjelaskan pengaruh pemberian EMS dan lama perendaman terhadap pertumbuhan kalus terung belanda secara in vitro. Kultur yang hidup dapat diamati dengan ciri kalus segar, bernodul, terlihat kompak dan tidak bewarna coklat.

Penentuan Akivitas Enzim Peroksidase (PO)

Nilai aktivitas enzim ditandai dengan banyaknya pyrogallol yang terurai menjadi purpurogallin. Pengujian aktivitas peroksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1976) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm yang aktivitasnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.1. Tabel 2. Aktivitas Peroksidase Pada Kalus Terung Belanda yang diinduksi dengan EMS pada

konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda.

Perlakuan Nilai aktivitas peroksidase (µmol/menit)

Nilai aktivitas spesifik (unit/µg protein) C0T1 0,254 aAb 0,012 C0T2 0,196 bB 0,009 C0T3 0,267 aA 0,012 C1T1 0,210 bB 0,009 C1T2 0,169 cC 0,007 C1T3 0,156 cC 0,007 C2T1 0,217 bB 0,011 C2T2 0,230 aAb 0,010 C2T3 0,271 aA 0,014 C3T1 0,363 aA 0,016 C3T2 0,295 aA 0,014 C3T3 0,321 aA 0,015

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan. C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Dari Tabel 4.4.1 dapat dilihat bahwa nilai aktivitas enzim tertinggi terdapat pada perlakuan C3T1, begitu juga untuk nilai aktivitas spesifiknya. Sedangkan kontrol menunjukkan aktivitas enzim

dan aktivitas spesifik yang lebih tinggi bila dibanding dengan perlakuan induksi EMS 0,05% dan lebih rendah dari perlakuan induksi EMS 0,1% dan 0,15%. Hal ini mungkin dikarenakan aktivitas peroksidase pada kontrol tanpa induksi EMS merupakan aktivitas yang konstitutif dan akan meningkat apabila diinduksi. Menurut Herison et al. (2007); Catesson et al. (186); Bashan et al. (1987) bahwa peroksidase merupakan salah satu enzim yang sifatnya konstitutif pada tanaman dan akan meningkat apabila terinduksi oleh suatu hal.

Selain dengan penginduksian tanaman yang mengalami cekaman fisik ataupun fisiologis juga menampakkan peningkatan aktivitas peroksidase yang signifikan (Artlip and Funkhouser, 1995; Gaspar et al., 1985; Lewak et al., 1986). Herison et al. (2007) juga mengemukakan bahwa peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah respon umum tanaman terhadap cekaman lingkungan.

Hasil penelitian aktivitas enzim akibat adanya induksi EMS ini sesuai dengan penelitian yang terdahulu, yakni dengan penginduksian EMS dianggap dapat memberikan cekaman secara fisiologis dari kalus terung belanda sehingga dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase tersebut. Hal ini didukung oleh Herison et al. (2007) bahwa tanaman yang resisten memperlihatkan aktivitas peroksidase yang tinggi.

Peroksidase merupakan enzim yang secara alami ada dalam tanaman dan dapat meningkat aktivitasnya bila diinduksi dengan hal-hal tertentu misalkan dengan pemberian mutagen seperti EMS. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari EMS maka meningkat pula aktivitas dari peroksidase kalus Terung Belanda. Menurut Herison et al. (2007) bahwa aktivitas peroksidase meningkat dengan adanya induksi tertentu seperti pemberian senyawa kimia ataupun dengan penginfeksian patogen pada tumbuhan tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman EMS menyebabkan penurunan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase

2. Perlakuan terbaik untuk berat basah kalus yaitu C3T1 (1,10 gram), sedangkan untuk aktivitas

peroksidase yaitu C3T1 (0,363 (µmol/menit))

Saran

Perlu dilakukan analisis DNA terhadap kalus terung belanda yang telah dimutasi dengan EMS yang berguna untuk mempertajam varian yang dihasilkan telah mengalami perubahan secara genetik.

DAFTAR PUSTAKA

Arora, Y.K and D.S. Wagle. 1985. Interrelationship Between Peroxidase, Poliphenol Oxidase Activities And Phenolic Content of Wheat For Resistance To Loose Smut. Plant Physiol 180:75-78

Artlip, T.S and E.A. Funkhouser. 1995. Protein Synthetic Responses To Environmental Stresses. New York. Marcel Dekker, Inc. page: 627-64.

Arumingtyas, E.L dan S. Indriani. 2005. Induksi Variabilitas Genetik Percabangan Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Dengan Mutagen Kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Natural Jurnal 8(2): 24-28

Bashan, Y., Y. Akon, and Y. Henis. 1987. Peroxidase, Polifenol Oxidase And Phenols In Relation To Resistance Against Pseudomonas syringae pv. Tomato In Tomato Plants. Bothanical 65:366- 372.

Bradford, M. M. 1976. A Rapid And Sensitive Methode For The Quantitation of Microgram quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein – Dye Binding. Anal. Biochem 72:248- 254

Catesson, A. M., A. Imberty, R. Goldberg, and Y. Czaninski. 1986. Nature, Localization And Specificity of Peroksidases Involved In Lignification Process. In: Molecular and Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. hlm: 189-198

Departemen Pertanian, 2003. Kultur Jaringan. http//www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 17 September 2007.

Faucon, P. 1998. Tree Tomato, Tamarillo. http//www.deserttropical.com. diakses pada tanggal 10 Maret 2008

Gaspar, Th., C. Penel, F.J. Castillo, H. Greppin. 1985. A Two-Step Control of Basic And Acidic Peroxidases And Its Significance for Growth And Development. Physiol Plant 64:418-423 Herison, C., Rustikawati, dan Sudarsono. 2007. Aktivitas Peroksidase, Skor ELISA dan Respon

Ketahanan 29 Genotipe Cabai Merah Terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV). Jurnal Akta Agrosia 10(1):1-13

Lewak, S. 1986. Peroxidases And Germination. In: Molecular And Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. page: 367-374

Kar, M., and D. Mishra. 1976. Catalase, Peroksidase, And Polyphenoloxidase Activities During Rice Leaf Senescence. Plant Physol 57:315-319

Kumalaningsih, S. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Surabaya. Trubus Agrisarana. hlm: 1-2

Maehly, A.C and B. Chance. 1954. The assay of catalases and peroxidase. In: Methods of Biochemical Analysis. Ed. David, G. Interscience Publishers, Inc. New York. NY. Pp. 357-445. Priyono dan Agung, W. S. 2002. Respon Regenerasi In Vitro Eksplan Sisik Mikro Kerk Lily (Lilium

longiflorum) Terhadap Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Jurnal Ilmu Dasar 3(2):74-79

Sastrosupadi, A. 2004. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius. hlm: 53 & 57

PENGGUNAAN PUPUK DAUN (GrowMore) DAN AIR KELAPA TERHADAP

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2014 (Halaman 171-175)

Garis besar

Dokumen terkait