• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2014"

Copied!
453
0
0

Teks penuh

(1)

Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang)

Prof. Dr. Manihar Situmorang, MSc., PhD. (Univ. Negeri, Medan) Prof. Dr. Ramadanil Pitopang, MSi. (Univ. Tadulako, Palu) Dr. Hesti Wahyuningsih, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang)

(2)

Prosiding

SEMINAR NASIONAL

BIOLOGI

Medan, 15 Februari 2014

“Optimalisasi Riset Biologi

Dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan,

Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran”

Editor :

Dr. Hesti Wahyuningsih, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan)

Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang)

Prof. Dr. Manihar Situmorang, MSc., PhD. (Univ. Negeri, Medan)

Prof. Dr. Ramadanil Pitopang, MSi. (Univ. Tadulako, Palu)

Departemen Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

(3)

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU

Jl. Universitas No. 9

Medan 20155, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

usupress.usu.ac.id

© USU Press 2014

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian

atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari

penerbit.

ISBN 979 458 744 3

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prosiding Seminar Nasional Biologi; Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian,

Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran / Editor: Hesti

Wahyuningsih...[et.al.] – Medan: Usu Press, 2014

x, 441 p.: ilus.; 29 cm

ISBN: 979-458-744-3

(4)

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL

BIOLOGI 2014

Yang saya hormati …..

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, atau yang mewakili.

Bapak/Ibu para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, atau yang mewakili

Bapak Dekan FMIPA, Para Dekan Undangan, Ketua Lembaga dan Unit Kerja, Para Pembatu Dekan, Ketua dan Sekretaris Departemen, Pembicara Kunci,

Bapak dan Ibu para peserta seminar, undangan, teman sejawat, adik-adik mahasiswa, dan hadirin sekalian yang saya muliakan.

Bintang jauh di atas bumi, Indahnya terlihat sampai langit yang ke tujuh. Sambutlah salam dari kami, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya pagi ini kita dapat mengikuti acara Seminar Nasional Biologi tahun 2014. Kami seluruh panitia mengucapkan "SELAMAT DATANG" dan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi Bapak, Ibu dan adik-adik mahasiswa sekalian.

Pada kesempatan ini kami ingin melaporkan pelaksanaan Seminar Nasional Biologi 2014 yang bertema "Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi, dan Kedokteran”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan pentingnya pengembangan dan penerapan Ilmu Biologi dalam bidang Ilmu lain baik dasar maupun terapan demi kemajuan bangsa Indonesia.

Seminar akan berlangsung selama satu hari dengan jumlah peserta sebanyak 250 orang, yang terdiri dari 110 peserta pemakalah, 60 peserta umum dan mahasiswa pascasarjana dan 80 peserta mahasiswa S1. Para peserta seminar datang dari berbagai wilayah tanah air seperti Aceh, Padang, Pekanbaru, Jakarta, dari berbagai daerah sekitar Medan dan Sumatera Utara, dari lingkungan USU.

Tujuan dari Seminar ini adalah sebagai ajang komunikasi ilmiah antara peneliti, pemerhati, peminat Biologi; sekaligus untuk membangun jejaring dan kerjasama penelitian antar perguruan tinggi, peneliti, dan berbagai pihak yang berkaitan dengan Ilmu Biologi baik langsung atau tidak langsung.

(5)

SAMBUTAN DEKAN FMIPA-USU

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT, kita dapat berkumpul dalam rangka Seminar Nasional Biologi tahun 2014 dalam ruangan yang sederhana ini.

Pesatnya riset Biologi dalam kurun waktu akhir-akhir ini, membuat para ahli menjadi terspesialisasi ke dalam topik-topik yang semakin spesifik. Hal ini menjadi suatu tantang tersendiri dalam mendapatkan suatu kebaruan ilmu Biologi itu sendiri. Bagi para peneliti dan dosen, fokus dalam keahlian rumpun ilmu adalah hal yang mutlak tetapi tentu tidak bisa begitu saja meninggalkan rumpun ilmu lain yang menjadi partner dalam aplikasi di mayarakat nantinya. Inilah yang menjadi dasar dari seminar nasional ini, karena dengan perb au ran ilmu y an g b erag am a k an me mb u at nilai tambah dala m pen gemban gan serta aplikasi ilmu biologi di masy arak at.

Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh panitia yang telah b e k e r j a k e r a s d a l a m m e n s u k s e s k a n Seminar Nasional Biologi dengan tema “Optimalisasi Riset Biologi Dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran”. Harapan kami, kepada seluruh peserta seminar untuk terus giat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian serta aktif dalam publikasi ilmiah nasional dan internasional.

Akhirul kalam, izinkan saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta seminar n a s i o n a l B i o l o g i i n i , yang telah sudi meluangkan waktunya untuk mengikuti dari awal hingga berakhirnya acara ini.

Semoga acara Seminar Nasional Biologi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Dekan FMIPA USU

(6)

DAFTAR ISI

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2014 ... iii SAMBUTAN DEKAN FMIPA-USU ... iv DAFTAR ISI ... v

MAKALAH UTAMA

RISET GENETIKA MOLEKULAR TERNAK TERKINI DI INDONESIA Prof Dr Muladno MSA., Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Ternak

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ... 3

POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN DARATAN DI SUMATERA UTARA

DAN PENGELOLAANNYA (STUDI KASUS : DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN) Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, Guru Besar Limnologi Fakultas MIPA

Universitas Sumatera Utara Medan ... 12

BIOFARMAKA DAN BIOMEDIS

UJI TOKSISITAS AKUT FRAKSI N-HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL DAUN PUGUN TANO (Curanga fel-terrae Merr.) PADA MENCIT

Aminah Dalimunthe, Urip Harahap, Rosidah, M.Pandapotan Nasution ... 19

BAKTERI ENDOFITIK DARI SIRIH MERAH PENGHASILANTIBIOTIKA

Anthoni Agustien, Suci Fauzana dan Akmal Djamaan ... 25

PENGGUNAAN SALEP SERBUK BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR

Djendakita Purba dan Dorce Boang Manalu ... 30

EFEK EKSTRAK RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp) SEBAGAI ANTIMIELOSUPRESI

Edy Suwarso, Suryadi Achmad, Rasmadin Muchtar, Meliza Sari Hutabarat ... 35

DAYA HAMBAT EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Escherichia coli

Hafnati Rahmatan, Iswadi, Melly Hafizha ... 40

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI AIR PERASAN DAUN SEREH WANGI, DAUN JERUK PURUT DAN DAUN RUKU-RUKU SERTA CAMPURAN DARI AIR PERASAN MASING-MASING DAUN

Siti Nurbaya, Erly Sitompul, Suryanto ... 47

PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK METANOL BIJI PARE

(Momordica charantia) DAN PROGESTERON TERHADAP MORFOMETRI SEL LEYDIG TIKUS (Rattus sp.)

(7)

BIOLOGI FUNGSI DAN STRUKTUR HEWAN

PENGARUH EKSTRAK ETANOL BANGUNBANGUN (Coleus ambonicus L) TERHADAP TITER ANTIBODI HUMORAL DAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

Melva Silitonga, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean, Herbert Sipahutar, Eriana Situmorang ... 59

CATATAN TERHADAP STADIA PRADEWASA KUPU-KUPU Acraea violae Fabricius (LEPIDOPTERA: NYMPHALDAE)

Dahelmi, Siti Salmah dan Tristia Andrianti ... 64

HIBRID RESIPROK NILA GIFT Oreochromis niloticus x Mujair Oreochromis mossambicus DAN NILA GIFT X Nila Merah Oreochromis sp

Efrizal, Efrida, dan Akmal Rafandi ... 68

MADU HUTAN POHON SIALANG DAN PENINGKATAN MUTU DENGAN TEKNOLOGI EVAPORATOR VAKUM

Hapsoh, Gusmawartati, Nazaruddin ... 77

DUGAAN MEKANISME CROSS-INFECTION VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA BURUNG-BURUNG AIR LIAR DI CAGAR ALAM PULAU DUA

Dewi Elfidasari, Riris Lindiawati Puspitasari ... 79

KAJIAN RESPON IMUNITAS HUMORAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.)

DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK ETANOL DAUN BUAS BUAS (Premna pubescens Blume)

Martina Restuati, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean, Herbert Sipahutar. ... 83

EFEKTIVITAS PEMAKAIAN BIOPESTISIDA PADA DAUN MURBEI (Morus cathayana) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) Masitta Tanjung, Nursal dan Agustina Rahmadhani ... 88

FISIOLOGI RESPIRASI IKAN ASANG (Osteochilus hasseltii, C.V)

SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN DANAU SINGKARAK SUMATERA BARAT Muhammad Syukri Fadil ... 93

KANDUNGAN SENYAWA KIMIA EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DAN PENGARUH SUB LETALNYA TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK Aedes aegypti L.

Nursal ... 98

PENGARUH WAKTU PEMBUNGKUSAN TERHADAP JUMLAH LARVA LALAT BUAH (Bactrocera spp.) PADA BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola)

Puji Prastowo, Putri Syahyana Siregar ... 104

PENURUNAN KADAR KOLAGEN UTERUS PADA TIKUS OVARIEKTOMI SEBAGAI HEWAN MODEL PENUAAN

Safrida ... 111

ISOLASI ASPERGILLUS FLAVUS PENGHASIL AFLATOKSIN KACANG TANAH PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN DAN TOKSISITASNYA TERHADAP HISTOPATOLOGI SEL HATI MENCIT

(8)

PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Carica papaya) DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR PADA PUYUH (Cortunix-cortunix japonica)

Sri Setyaningrum dan Dini Julia Sari Siregar ... 123

GAMBARAN KUALITAS DAN KUANTITAS SPERMA TIKUS (Rattus sp.) SETELAH PEMBERIAN PLUMBUM ASETAT

Thomson P.Nadapdap, Delfi Lutan, Arsyad, Syafruddin Ilyas ... 128

HUBUNGAN INTENSITAS BISING TERHADAP PEMERIKSAAN OAE DAN PEMERIKSAAN SEM DI JARINGAN KOKLEA RATTUS NORVEGICUS

H.R Yusa Herwanto Jenny Bashiruddin,Syafruddin Ilyas, NajibDahlan Lubis ... 132

BIOLOGI FUNGSI DAN STRUKTUR TUMBUHAN

PEMANFAATAN INTERCROPPING SORGUM DI AREAL GAWANGAN

DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET

Cici Indriani Dalimunthe, Yan Riska Venata Sembiring dan Radite Tistama ... 143

RESPON BEBERAPA VARIETAS KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN

Diana Sofia Hanafiah, Alida Lubis, Asmalaili Sahar ... 149

AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS)

Elimasni, Dwi Suryanto, Rosmayati, Luthfi A.M.Siregar, Suria Wulandari Purnama ... 157

PENGGUNAAN PUPUK DAUN (GrowMore) DAN AIR KELAPA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SECARA IN VITRO Fauziyah Harahap, Muhammad Hamzah Solim ... 164

STRUKTUR DAN KOMPOSISI EPIFIT VASKULAR DI KEBUN KELAPA SAWIT AEK PANCUR-PPKS, TANJUNG MORAWA, SUMATERA UTARA

Fitra Suzanti, Retno Widhyastuti, Suci Rahayu, Agus Susanto ... 170

PERANAN SENYAWA ANTIOKSIDAN EKSTRAK UMBI BENGKOANG (Pachyrrhizus erozus L.) DALAM MEREDAM AKTIVITAS 2,2-DIPHENYL-2-PICRYLHIDRAZIL (DPPH)

Herla Rusmarilin, Elisa Julianti, Mimi Nurminah ... 177

SIFAT FISIOLOGI LATEKS DAN KARET TANAMAN SPESIES HEVEA

M. Rizqi Darojat, Arief Rachmawan, Radite Tistama ... 184

INDUKSI KALUS TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DARI JENIS EKSPLAN YANG BERBEDA DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2,4-D SECARA IN VITRO

Muhammad Hamzah Solim, Fauziyah Harahap ... 190

BUDIDAYA PADI (Oryza sativa L.) BERBASIS SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

Samse Pandiangan, Mangonar Lumbantoruan, Pohan Juno Panjaitan ... 196

PENGARUH PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLE ACETIC ACID (IAA) DAN BENZYL AMINO PURIN (BAP) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET NANAS (Ananas comosus l.) SIPAHUTAR SECARA IN VITRO

(9)

KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DARI BEBERAPA KLON KARET HASIL INTRODUKSI PADA AGROKLIMAT KERING DAN BASAH DI WILAYAH SUMATERA UTARA

Sayurandi ... 210

KARAKTER MORFOLOGI BUNGA DAN PERSENTASE BUAH JADI HASIL KOMBINASI PESILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN KARET

Sayurandi dan Syarifah Aini Pasaribu ... 215

HUBUNGAN ANTARA KARAKTER AGRONOMI KARET DENGAN HASIL LATEKS DAN KAYU DARI PROGENI HP 2001/2003

Syarifah Aini Pasaribu dan Sayurandi ... 221

POTENSI Rhizobium sp UNTUK MENINGKATKAN KANDUNGAN HARA TANAH MELALUI INTERCROPPING KEDELE PADA GAWANGAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis) Yan Riska V Sembiring, Cici Indriani Dalimunthe, Radite Tistama ... 225

BIOLOGI LINGKUNGAN

DESKRIPSI PERILAKU KERA EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) MENCARI TEMPAT TIDUR (SLEEPING SITE) DI KAWASAN HUTAN TERGANGGU KABUPATEN ACEH BESAR Abdullah dan Muzdalifah ... 233

POPULASI PECUK HITAM (Phalacrocorax sulcirostris) DI PERCUT SEI TUAN DELISERDANG SUMATERA UTARA

Erni Jumilawaty ... 241

PROFIL SEEDLING KAYU SEPANG (Hymenocardia punctata);SPESIES SURVIVAL DI BATAS RAWA LEBAK TANJUNG PUTUS, INDRALAYA, SUMATERA SELATAN

Hanifa Marisa, Salni dan Nina Tanzerina ... 245

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI NAGARI GASAN GADANG KABUPATEN PADANG PARIAMAN

Jabang Nurdin, Chairul, Yulizah, Tiara, Riani Ferina, Rizky Paramita Mukhti, Ratna Jalisar,

Zulhilmi, dan Ade Adriadi ... 250

PERTUMBUHAN Rhizophora mucronata dan KUALITAS LAHAN DI KAWASAN REHABILITASI MANGROVE ACEH BESAR DAN BANDA ACEH

Mai Suriani, Irma Dewiyanti ... 255

KORELASI MORFOMETRI BADAN TERHADAP KUALITAS PRODUK RANGGAH MUDA RUSA TIMORENSIS

Mufti Sudibyo, Yanto Santosa, Burhanuddin Masy’ud, Toto Toharmat ... 263

PENDUGAAN CADANGAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA

Muhdi, Iwan Risnasari, Eva Sartini Bayu ... 269

NILAI PENTING LANSKAP HUTAN PADA BEBERAPA KOMUNITAS LOKAL

Riswan S Siregar, Surya Ramadan S, Sri Rahmi Tanjung ... 276

POPULASI BURUNG RANGKONG PAPAN (Buceros bicornis) DI KAWASAN HUTAN LAMBIRAH KECAMATAN SUKAMAKMUR KABUPATEN ACEH BESAR

(10)

KEANEKARAGAMAN

JENIS-JENIS LICHENES YANG BERKEMBANG PADA TEGAKAN POHON MAHONI (Swietenia macrophylla)

Ashar Hasairin, Nursahara Pasaribu, Lisdar I. Sudirman, Retno Widhiastuti ... 291

STUDI KEANEKARAGAMAN LICHENES DI HUTAN LINDUNG AEK NAULI PARAPAT KAB.SIMALUNGUN BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT DAN SUBSTRAT

TUMBUHNYA

Aulia Juanda Djaingsastro, Tri Harsono ... 297

KEANEKARAGAMAN SERANGGA WERENG (AUCHENORRHYNCHA: HEMIPTERA) PADA TANAMAN PADI DI KABUPATEN TAPANULI UTARA-SUMATERA UTARA

Binari Manurung, Puji Prastowo dan Erika Rosdiana ... 303

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TUMBUHAN DI KAWASAN EKOSISTEM ESTUARIA DI GAMPONG JAWA KECAMATAN KUTA RAJA BANDA ACEH

Evi Apriana, Muyasir ... 309

KONDISI, SPESIES KARANG DAN IKAN KARANG DI TERUMBU KARANG PULAU BABI, KABUPATEN PESISIR SELATAN, SUMATERA BARAT

Indra Junaidi Zakaria ... 315

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS PADA SUBTRAT BERLUMPUR EKOSISTEM MANGROVE GAMPONG JAWA BANDA ACEH

Lili Kasmini ... 322

MORFOLOGI KARAPAK ALBUNEA PADA ZONA LITTORAL SAMUDERA HINDIA KAWASAN PESISIR LEPUNG KABUPATEN ACEH BESAR

M. Ali Sarong ... 329

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN

Mayang Sari Yeanny ... 333

JENIS - JENIS TUMBUHAN PAKU YANG BERKHASIAT OBAT DARI GUNUNG TANDIKEK DI SUMATERA BARAT

Mildawati, Ardinis Arbain, HariFitrah ... 339

JENIS-JENIS VEGETASI RIPARIAN SUNGAI RANOYAPO, MINAHASA SELATAN

Ratna Siahaan, Nio Song Ai ... 345

KEANEKARAGAMAN PIPERACEAE DAN RUBIACEAE DI HUTAN AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROVINSI SUMATERA UTARA

Retno Widhiastuti, Budi Utomo, dan Rahmayani ... 348

JENIS TUMBUHAN OBAT PENYAKIT KULIT DAN LUKA YANG TERDAPAT DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG SIMPO, ACEH

Rini Fitri, Rahmawati, Eka Arjulista ... 355

IDENTIFIKASI, KOMPOSISI DAN KERAPATAN JENIS TANAMAN DI BEBERAPA JALUR HIJAU KOTA MEDAN

(11)

PERSEBARAN MARGA BOUEA (ANACARDIACEAE) DI SUMATRA

Tri Harsono, Nursahara Pasaribu, Sobir, Fitmawati ... 371

KAJIAN JENIS-JENIS TUMBUHAN YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI OBAT OLEH MASYARAKAT DI KOTA SABANG

Zuriana, S. dan Irvianty ... 376

MIKROBIOLOGI DAN GENETIKA

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI GINJAL IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Cut Yulvizar ... 383

ISOLASI DAN EKSTRAKSI DNA BAKTERI ENDOSIMBION DARI ANGGREK PHALAENOPSISSP

Dewi Nur Anggraeni ... 390

JAMUR PADA PASIR SARANG DAN CANGKANG TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea L.) YANG GAGAL MENETAS DI KAWASAN KONSERVASI PENANGKARAN PENYU PARIAMAN SUMATERA BARAT

Fuji Astuti Febria,Nasril Nasir, Selfia Anwar ... 395

KLONING KANDIDAT FRAGMEN DNA BERMOTIF MIKROSATELIT PENANDA GENETIK Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE

Hasmiwati, Desy arysanti dan Eka Novita ... 400

BUDI DAYA JAMUR PADALI (Lentinus sp) UNTUK MENAMBAH JAMUR KOMERSIAL DI INDONESIA

Ikhsan Matondang dan Noverita ... 407

Cosmopolites sordidus GERMAR, SERANGGA VEKTOR PENYAKIT DARAH BAKTERI (Ralstonia solanacearum Phylotipe IV ) PADA TANAMAN PISANG DI SUMATERA BARAT Mairawita, Suswati, Habazar ... 413

PENGARUH FORMULASI BIOSTARTER EKSTRAK NENAS DAN LAMA PENYANGRAIAN TERHADAP MUTU BUBUK KOPI

Setyohadi, Terip Karo-Karo, Sentosa Ginting, Healthy Aldriany Prasetyo ... 419

ANALISIS DIVERSITAS GENETIK DAN STRUKTUR POPULASI TUMBUHAN LANGKA, EDELWEIS (Anaphalisjavanica) DENGAN PENANDA ISSR

Syamsuardi, Tesri Maideliza, Rizki Paramitha Mukhti dan Ahmad Taufiq ... 424

PENDUGAAN JUMLAH GEN PENGENDALI BENTUK BUNGA KEMBANG KERTAS (Zinnia elegans Jacq)

Tumiur Gultom, Aziz-Purwantoro, Endang Sulistyaningsih, Nasrullah, Samse Pandiangan ... 431

PENGENDALIAN BIOFILM Streptococcus agalactiae PADA PERMUKAAN SISIK IKAN DAN PLASTIK PVC DENGAN SENYAWA ANTIBAKTERI Lactobacillus plantarum PERAIRAN TAWAR

(12)
(13)
(14)

RISET GENETIKA MOLEKULAR TERNAK TERKINI DI INDONESIA

Prof. Dr. Muladno, MSA.

Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi seluler dan molekuler yang semakin canggih telah terbukti mempermudah kita untuk mengembangkan strategi terobosan dalam rangka meningkatkan kualitas ternak beserta produknya. Banyak artikel hasil penelitian tentang penggunaan berbagai teknik seluler dan molekuler mendominasi berbagai jurnal ilmiah nasional apalagi internasional. Hampir semua aspek ilmu pengetahuan mendasarkan penelitiannya dengan teknik tersebut karena teknologi molekuler ini sudah seperti komputer yang juga dapat digunakan untuk melakukan riset di hampir semua aspek. Oleh karena itu, prinsip menggunakan teknik molekuler juga sama halnya dengan prinsip menggunakan komputer. Yaitu, kita sebagai pengguna komputer tidak perlu harus menjadi ahli perancang dan perakit komputer tetapi hanya dapat menggunakan sebagian aplikasi yang disediakan dalam perangkat komputer. Demikian juga dengan teknologi molekuler, kita para pengguna teknik molekuler lebih banyak memanfaatkan aplikasi yang disediakan dari teknologi tersebut. Yang terpenting bagi kita adalah kemampuan menginterpretasi data yang dihasilkan dari penggunaan berbagai aplikasi dalam teknologi molekuler tersebut.

Dalam ilmu ternak, teknik molekuler ini paling banyak digunakan untuk aspek pemuliaan dan reproduksi walaupun tidak sebatas itu. Aspek nutrisi juga telah cukup lama memanfaatkan teknologi tersebut. Demikian juga aspek kesehatan hewan yang semakin banyak memerlukan pendekatan molekuler dalam menyusun strategi pencegahan penyakit turunan (genetic disease) secara efektif. Tentunya masih ada penggunaan teknologi canggih itu untuk keperluan praktis seperti diagnosa penyakit, penelusuran silsilah, uji kemurnian rumpun ternak, uji kemurnian produk olahan, sampai yang terumit dalam hal menciptakan ternak transgenik.

Untuk aspek pemuliaan, hampir semua penelitian diarahkan menuju marker assisted selection (MAS) karena seleksi merupakan salah satu pendekatan terpenting untuk meningkatkan kualitas genetik ternak. Kelompok pakar nutrisi lebih banyak menggunakan teknik ini untuk merekayasa mikroba yang terdapat dalam rumen, yang intinya meningkatkan daya ubahnya dari limbah pertanian menjadi bahan pangan sumber protein berkualitas. Untuk aspek kesehatan hewan, imunogenetik menjadi topik menarik untuk mempelajari berbagai gen yang terlibat dalam sifat ketahanan tubuh ternak terhadap serangan eksternal sel seperti bakteri, virus, atau lingkungan yang lebih luas seperti infeksi cacing atau bahkan cekaman.

Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan bioteknologi bila dilihat dari potensi keanekaragaman sumber daya hayatinya (biodiversity) terkait dengan sumber daya genetik beserta ekosistem pendukungnya. Keadaan Indonesia yang beriklim tropis, tersusun atas pulau-pulau, sejarah biogeografi yang kompleks, serta budaya kearifan lokal masyarakatnya telah menghasilkan beragam kondisi lingkungan lokal dan menciptakan keragaman spesies yang tinggi yang memiliki karakter khas menyesuaikan dengan lingkungannya (local species). Ini semua merupakan kekayaan yang harus dijadikan posisi tawar bangsa ketika bernegosiasi dengan mitra kita lain bangsa. Dalam lingkup yang lebih kecil, kekayaan tersebut harus menjadi “senjata” peneliti Indonesia untuk menuntut kesetaraan dalam menghasilkan kekayaan intelektual kepada mitra penelitinya dari negara yang lebih maju dalam penguasaan teknologinya.

PCR DAN DNA SEQUENCE : JANTUNGNYA RISET MOLEKULER

(15)

awalnya diperoleh melalui teknik rekombinan tersebut. Teknik PCR ini yang digunakan secara eksploitatif dalam riset berbagai macam aspek hingga saat ini. Ratusan ribu publikasi selalu menuliskan teknik PCR di bagian materi dan metode risetnya. Dalam perjalanannya, metode PCR berkembang pesat menjadi lebih efisien dan lebih produktif seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraannya. Untuk mendiagnosis suatu pathogen, metode nested PCR, multiplex PCR, dan realtime PCR dapat digunakan. Untuk membuat marka genetik, metode PCR-RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), PCR-AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), PCR-STR (Short Tandem Repeat), PCR-PIRA (Primer Introduced Restriction Analysis), dan PCR-SNP (Single Nucleotide Polymorphism) sering digunakan. Untuk mengamplifikasi sekuen berukuran panjang, metode PCR-genome walking sangat efektif.

Jika PCR hanya menghasilkan fragmen DNA sebagai produk akhirnya, tidak demikian dengan DNA sequencing. Teknik yang terakhir ini juga memanfaatkan teknik PCR. Salah satu yang paling efektif untuk merunut (menyekuens) rangkaian molekul DNA adalah cycle sequencing yang diperkenalkan oleh Sanger tahun 1980 sehingga teknik ini juga sering disebut Sanger’s method. Walaupun tampilan akhir yang tervisualisasi dalam proses elektrophoresis antara teknik PCR dan teknik sequencing adalah sama, yaitu berupa deretan garis-garis pita, makna setiap pita yang dihasilkan dari teknik PCR berbeda dengan yang dihasilkan dari teknik sequencing. Produk akhir dari proses sequencing adalah deretan nukleotida yang membentuk serangkaian molekul DNA yang disekuens. Artinya produk akhirnya bukan berupa fragmen DNA seperti pada teknik PCR, tetapi berupa nukleotida penyusun molekul DNA. Nukleotide ini merupakan unit terkecil makhluk hidup yang digunakan sebagai materi riset. Tidak ada lagi yang lebih kecil lagi daripada nukleotida. Perlu diingat juga bahwa adanya perubahan satu nukelotida saja dalam suatu gen tertentu dalam kromosom dapat mengubah fenotipe individu pemilik gen tersebut.

RISET MOLEKULER TERNAK DI INDONESIA

Sangat banyak hasil penelitian bidang peternakan yang dilakukan di luar negeri dan lebih khusus di negara-negara maju. Ratusan ribu artikel telah diterbitkan di ribuan jurnal dan jutaan mahasiswa melakukan penelitian di laboratorium di seluruh dunia. Saya tidak ingin menceritakan hasil riset di luar negeri tetapi hanya ingin menyajikan hasil penelitian yang telah dilakukan sejawat kita di Indonesia khususnya yang saya ketahui atau yang saya terlibat di dalamnya. Pada umumnya, riset molekuler di bidang peternakan secara teknis dapat diklasifikasikan menjadi (1) Variabilitas marker dalam populasi ternak dan pembentukan pohon filogenetik untuk menduga jarak genetik antar populasi dalam rumpun ternak; (2) Varian gen tertentu dan asosiasinya dengan fenotipe (sifat kuantitatif atau kualitatif); dan (3) Validasi kemurnian suatu ternak atau produk olahan. Berikut penjelasan dari masing-masing klasifikasi tersebut dan contoh riset yang telah dilakukan di Indonesia saja.

1. Variabilitas penciri DNA dalam populasi ternak dan pohon filogenetik

Semua fragmen DNA dapat digunakan sebagai penciri DNA sepanjang sekuens nukleotida penyusun fragmen tersebut antar individu ternak dalam satu populasi yang sama adalah berbeda walaupun hanya satu nukleotida saja perbedaannya. Fragmen seperti ini juga disebut bersifat polymorphic. Jika sekuens nuklotida penyusun fragmen tersebut adalah persis sama, maka fragmen DNA tersebut bersifat monomorfik. Fragmen monomorfik tidak memberikan informasi apapun dalam riset genetika populasi. Dengan kata lain, penciri DNA yang dipakai dalam riset semacam ini harus bersifat polimorfik. Semakin tinggi variasi runutan sekuens penciri DNA tersebut akan semakin efektif untuk digunakan dalam riset genetika populasi.

Cukup banyak fragmen DNA polimorfik yang digunakan untuk riset semacam itu, diantaranya yang paling populer adalah mikrosatelit. Fragmen ini memiliki runutan rangkaian ganda (double

helix) nukleotida berulang seperti ATG-ATG-ATG-ATG, biasa ditulis sebagai (ATG)4, dan diapit

oleh dua rangkaian tunggal nukleotide (single sequence) pendek yang masing-masing biasanya berukuran sekitar 20 nukleotida. Masing-masing sekuens tersebut sangat spesifik runutan nukleotidanya dan oleh karena itu digunakan sebagai primer (pemandu atau pemulai). Satu sekuens berfungsi sebagai pemulai penyusun nukleotida ke arah forward dan sekuens lainnya sebagai pemulai penyusun nukleotida ke arah reverse. Lokasi fragmen yang dalam contoh ini adalah (ATG)4 berada di

(16)

Gambar 1. Ilustrasi lokasi amplifikasi sekuen mikrosatelit dengan 4 repetisi ATG. nnn- adalah ruas sekuen nukleotida yang spesifik mengapit ruas berulang dan biasanya menjadi ujung 3’ dari sekuen primer.

Runutan berulang seperti (ATG)4 yang dicontohkan di atas jumlahnya sangat banyak di dalam

genom tetapi setiap fragmen yang mengandung runutan (ATG)4 diapit oleh dua rangkaian tunggal

nukloetida sangat spesifik yang dijadikan sebagai primer dalam teknik PCR tersebut. Keragaman sekuens berulang pada lokus tertentu (ATG-berulang) antar individu ternak dalam satu populasi tertentu ditunjukkan oleh jumlah ulangannya, misalnya individu 1 memiliki (ATG)3, individu 2

memiliki runutan (ATG)4, dan individu 3 memiliki runutan (ATG)8, dan seterusnya.

Mikrosatelit dapat digunakan untuk pemetaan genetik (genetic mapping), identifikasi genotipe, penciri molekuler, analisis keragaman genetik, paternitas, dan pemetaan fenotipe (Tautz 1989). Mikrosatelit dapat ditemukan di dalam runutan sekuens suatu gen fungsional, baik di exon maupun intron, atau di bagian lain dalam struktur gen tersebut. Variasi jumlah ulangan sekuens dalam gen tersebut terkadang dapat memberikan perubahan secara phenotipiknya. Artinya ada asosiasi antara varian runutan nukleotida dengan fenotipik ternak. Mikrosatelit juga banyak ditemukan di rangkaian molekul DNA bukan gen. Cara mendeteksi variabilitas runutan nukleotida mikrosatelit juga sangat sederhana, cepat, dan akurat. Dengan memiliki sampel DNA ternak spesies tertentu, sepasang DNA primer pengapit DNA mikrosatelit dan fasilitas elektrophoresis, data tentang variabilitas mikrosatelit dapat diperoleh dalam waktu maksimum 24 jam. Ini merupakan salah satu alasan makin maraknya penggunaan mikrosatelit sebagai penciri DNA yang dimulai pada sekitar awal tahun 1990. Sejak makin populernya penggunaan teknik PCR, berbagai pendekatan untuk menggunakan molekul DNA sebagai penciri terus dikembangkan.

Gambar 2. Dendogram dari filogenetik domba Indonesia menggunakan data 17 lokus mikrosatelit (Jakaria et al. 2012).

(17)

misalnya yang sangat populer adalah D-loop yang terletak setelah gen cytochrome b di hampir semua spesies. Satu contoh menarik yang telah dikerjakan di Indonesia khususnya pada ternak adalah pada ayam.

Dengan menggunakan D-loop DNA mitokondria, analisa dilakukan pada semua rumpun ayam di dunia untuk membuat pohon filogeni. Diketahui bahwa pada ayam terdapat tujuh (7) clade yaitu I, II, IIIa, IIIb, IIIc, IIId dan IV. Lima belas rumpun ayam lokal Indonesia yang digunakan dalam pohon filogeni tersebut menunjukkan bahwa enam puluh sembilan (69) haplotipe ayam lokal Indonesia teridentifikasi pada 54 situs polimorfik dengan polimorfisme antara nukleotida 167-397 yang variasinya berkontribusi sekitar 94,5 %. Ayam lokal Indonesia dengan frekuensi haplotipe 72,5% berada di clade II (Gambar 3). Artinya ayam lokal Indonesia adalah unik, mempunyai ciri khas tertentu yang sangat berbeda dengan ayam lokal dari negara lain. Hasil analisis sekuens DNA tersebut juga diketahui bahwa dari komposisi clade ayam di Asia, ada tiga wilayah besar yang mempunyai komposisi clade yang sangat khusus (dominan), yaitu daerah sekitar Lembah Hindus yang didominasi oleh populasi clade IV, di Sungai Kuning, Henan yang didominasi oleh populasi clade IIId dan wilayah Indonesia yang didominasi oleh clade II. Temuan penting ini memiliki makna bahwa ayam lokal Indonesia memiliki nilai sangat tinggi karena banyaknya gen unik yang dimilikinya.

Gambar 3. Median joining network yang menunjukkan bahwa ayam lokal Indonesia mempunyai keragaman genetik tinggi serta keunikan secara genetik diantara berbagai rumpun ayam di dunia (Sri Sulandari et al. 2008).

2. Asosiasi antara varian gen dan sifat kuantitatif

Para pemulia ternak sangat mengharapkan bahwa semua varian sekuens DNA berasosiasi dengan sifat kuantitatif yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka ingin mendapatkan Quantitative Trait Loci (QTL) yang memberikan dampak ekonomi secara sangat siginifikan melalui penciri DNA itu. Jika ada asosiasi antara penciri DNA dan sifat kuantitatif yang bernilai ekonomi tinggi, maka penciri DNA tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan seleksi ternak sesuai dengan keunggulan sifat kuantitatifnya sejak umur belia dalam suatu populasi. Ini yang dikenal sebagai Marker Assisted Selection (MAS). Penciri yang digunakan dapat berupa gen fungsional atau gen strukturnya saja. Riset tentang hal ini dicontohkan juga pada ayam yang dilakukan oleh Tike Sartika dan tim (2011) berikut ini.

Dalam penelitiannya menggunakan rumpun ayam kampung dan rumpun ayam lokal Indonesia lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara alamiah ayam lokal Indonesia memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan virus avian influenza. Artinya ayam tersebut memiliki gen resisten atau toleransi terhadap penyakit. Kemampuan untuk melawan serangan virus dikendalikan oleh gen anti viral yaitu gen Mx yang telah diketahui dapat mengendalikan kemampuan ayam menjadi resisten atau sensitif terhadap serangan AI.

Dengan menggunakan gen anti viral Mx sebagai penciri DNA, hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi alel resisten ayam lokal Indonesia terhadap serangan virus flu burung sekitar 60%

Clade I

Clade II

Clade IIIa

Clade IIIb

Clade IIIc

Clade IIId

(18)

dan membuktikan bahwa ayam yang hidup akibat serangan virus mempunyai daya resisten yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi ke pemerintah bahwa ayam yang terserang penyakit flu burung saja yang dibunuh, sedangkan ayam di sekitarnya yang sehat sebaiknya tidak dieliminasi. Temuan ini juga dapat menginspirasi pembentukan ayam ras tertentu yang tahan terhadap serangan penyakit AI sehingga dapat mengurangi mortalitas dan meningkatkan produktivitasnya.

Jauh sebelum teknik PCR ditemukan, teknik rekombinan DNA digunakan untuk mendeteksi polymorhism pada suatu gen berdasarkan perbedaan panjang fragmen setelah dipotong oleh enzym restriksi. Yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa tempat pemotongan molekul DNA tersebut merupakan situs pengenal (recognition site) dari enzim restriksi. Karena karakter dari polymorhism tersebut sangat tergantung pada panjang fragmen hasil pemotongan, maka penciri DNA tersebut disebut Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Sebelum tahun 1990-an, penentuan polimorfisme berdasarkan RFLP memerlukan waktu panjang, banyak tenaga, dan sangat boros finansialnya juga. Dengan adanya teknik PCR, teknik tersebut dikembangkan menjadi PCR-RFLP yang jauh lebih pendek waktunya lebih murah dan lebih efektif. Dalam menentukan polimorfisme pada suatu gen atau suatu segmen DNA, segmen DNA atau gen yang diamplifikasi harus memiliki recognition sites bagi enzym restriksi. Umumnya segmen yang diamplifikasi berupa salah satu exon pada gen tersebut. Ini memiliki keunggulan karena adanya perubahan sekuens pada suatu exon seringkali menghasilkan perubahan asam amino dan perubahan protein yang dihasilkan sehingga menimbulkan perbedaan pada sifat kuantitatif atau kualitatifnya.

Salah satu penciri DNA yang terpopuler saat ini adalah Single Nuclotide

Polymorphisms (SNPs) karena

keunggulannya untuk mendeteksi asosiasi antara variabilitas sekuens DNA dengan berbagai sifat kuantitatif pada ternak. Single

nucleotide polymorphisms merupakan

perbedaan pasangan nukleotida tunggal antar genome individu berbeda. Satu SNP mengindikasikan satu perbedaan nukleotida. Metode ini cukup mudah dan praktis namun memerlukan biaya yang mahal. Prinsip analisisnya adalah dengan melakukan analisis sekuen basa nukleotida pada 2 atau lebih sampel yang dibandingkan/disejajarkan dan mengamati adakah basa nukleotida yang berbeda antar sampel. Perbedaan basa nukleotida tersebut haruslah bersifat bi-allelic yang maksudnya dalam satu titik basa nukleotida yang dibandingkan hanya ada 2 jenis basa nukleotida sehingga akan membentuk

Association of TLR4 gene genotype and

resistance against Dalmonella enteritidis

natural infection in Kampung chicken

(Ulupi et al. 2013)

Abstract:

(19)

2 buah alel (Gambar 4). Bila dilihat pada kromatogram, sampel jamak yang di pooling untuk disekuen akan menghasilkan 2 pita kromatogram yang saling tumpang tindih (Gambar 5).

Gambar 4. Pada urutan basa k-8 terdapat 2 tipe basa yang berbeda (A/G).

Gambar 5. Puncak basa G berimpit dengan basa A menunjukkan adanya dua alel.

Saat ini pemetaan SNP sudah dilakukan pada manusia, bovine, ayam, burung, dan beberapa spesies potensial. SNP dapat digunakan sebagai penanda molekuler dan untuk melihat hubungan kekerabatan spesies maupun struktur populasi. Sebagai penanda molekuler, SNP telah digunakan sebagai marka untuk mengetahui gen yang berasosiasi dengan sifat unggul sebagai basis data untuk melakukan seleksi ternak melalui MAS (Beuzen et al. 2000).

Kelebihan SNP sebagai penanda molekuler adalah sifatnya umum ditemukan di seluruh genome dengan peluang 1 : 1000 basa (Kwok&Chen 2003) dengan produk PCR lebih kurang 100 bp. Dengan produk PCR yang berukuran pendek akan memungkinkan untuk mengamplifikasi sampel DNA yang rusak/terdegradasi. Selain itu, reaksinya bisa di multiplikasi (multiplex) hingga 1000 SNP per chip/reaksi. Jumlah alel yang dihasilkan hanya 2 sehingga mudah dianalisis namun perlu banyak SNP sehingga membentuk semacam haplotype untuk bisa bersifat informatif. Jadi untuk mendeteksi adanya asosiasi antara SNP dan sifat kuantitatif atau kualitatif, diperlukan puluhan ribu SNP dalam satu genom ternak.

Contoh peneltian yang berkaitan dengan SNP adalah peneltian yang saat ini sedang kami kerjakan. Pada penelitian kami yang didukung oleh IAEA dengan topik Genetic Variation on the Control of Resistance to Infectious Diseases in Indonesian local sheep for Improving Animal Productivity, kami menyediakan sumber daya dan IAEA sebagai sponsor sekaligus berperan memfasilitasi dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat marka genetik yang berkaitan dengan sifat resistensi terhadap infeksi cacing saluran pencernaan khususnya cacing Haemonchus contortus (Hc). Cacing Hc banyak dijumpai pada hewan ruminansia khususnya domba, menghisap darah, dan menyebabkan gejala haemonchosis dengan indikasi anemia, oedema, bahkan dapat menyebabkan kematian. efeknya adalah menurunkan produktifitas ternak.

(20)

anemia, dan nilai FAMACHA rendah. Domba yang rentan memiliki karakter tingkat infeksi rendah hingga tinggi dan mengalami gangguan pertumbuhan, anemia, dan nilai Famacha tinggi. Data Resisten-Rentan tersebut dianalisis dan dicari marka genetik berupa data SNP yang dapat membedakan kedua karakter tersebut. Dengan adanya marka genetik tersebut, selanjutnya dapat diaplikasikan dalam seleksi bibit domba (MAS) untuk membuat galur domba yang tahan infeksi cacing. Bila galur tesebut terwujud, maka petani kecil bisa tenang tidak khawatir dombanya cacingan/mati, tidak perlu keluar ongkos untuk beli obat, dan tidak ada residu kimia obat pada daging/susu yang meracuni manusia, tidak muncul varian cacing yang kebal obat akibat pemakaian obat cacing yang intensif dan salah, dan akhirnya produktifitas meningkat.

3. Kemurnian produk olahan

Satu teknik yang sangat relevan dan aplikatif digunakan Indonesia adalah pemanfaatan penciri DNA untuk mendeteksi kemurnian suatu bahan pangan, produk olahan, dan produk lainnya yang bahan bakunya mengandung molekul DNA. Seperti diketahui, cukup banyak kegiatan ilegal dalam memperdagangkan hewan atau bagian dari hewan dari Indonesia ke luar negeri. Apalagi jika bahan tersebut berasal dari hewan langka yang dicari-cari orang. Harganya sangat mahal sehingga menggoda orang untuk melakukan kejahatan dengan berbagai modus operandinya. Ada juga karena harga daging sapi mahal, maka dalam pembuatan produk olahan, bahan baku yang mahal tersebut diganti atau dicampur dengan daging murah seperti daging babi atau bahkan daging tikus atau mungkin daging hewan lainnya. Untuk mendeteksi dini terhadap kegiatan ilegal tersebut, beberapa penciri DNA dimanfaatkan untuk itu dan perkembangannya cukup signifikan.

Dengan marka molekuler yang telah diketahui saat ini, kandungan suatu produk asal hewan dapat diketahui. Pada gambar dibawah ditunjukkan hasil simulasi dimana berbagai macam daging dicampur jadi satu dalam bentuk bakso daging (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, tikus), kemudian diuji dengan marka molekuler. Hasilnya adalah kandungan ketujuh jenis bahan dapat dikenali yang divisualisasikan dalam bentuk pita dengan panjang yang berbeda-beda pada gel agarose.

(21)

Gambar 7. Analisis produk olahan dengan marker molekuler. Mix 1 dan 2 adalah produk yang terdapat campuran berbagai bahan. 1 = kambing murni , 2 = ayam murni, 3 = sapi murni, 4 = domba murni, 5 = babi murni, 6 = kuda murni, 7 = tikus murni.

KESIMPULAN

Sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia sangat melimpah dan banyak potensi yang belum digali dan dikembangkan. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dijadikan alasan untuk berhenti mengeksplorasi dan mengembangkan potensi sumber daya hayati tersebut. Keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan menjalin mitra dengan personal ataupun lembaga dari luar negeri yang memiliki dana dan teknologi, dengan sistem mutualisme. Sumber daya hayati yang kita miliki merupakan kunci dan senjata kita untuk bermitra yang saling menguntungkan. Ilmu dapat dipelajari, teknologi dapat dibeli/dibagi. Ada transfer Iptek dari mitra kepada kita dan ada sharing sumber daya dari kita dengan mitra. Berbagai perusahaan dalam dan luar negeri juga telah menawarkan jasa untuk analisis genetika molekuler sehingga kita tidak perlu harus membeli peralatan berteknologi tinggi dan berharga mahal seperti mesin sekuensing untuk memulai bekerja. Analisis fenotipik sederhana, seperti yang kami lakukan untuk menguji resistensi domba terhadap infeksi cacing, dapat menjadi modal awal dari sebuah riset molekuler karena karakter fenotipe akan dapat “membunyikan” suatu data genotipe yang kita miliki.

REFERENSI

Altschul SF, Gish W, Miller W, Myers EW & Lipman DJ. 1990.Basic local alignment search tool. J Mol Biol. 215, 403-410.

Batley J & Edwards D. 2009. Mining for SNPs and SSRs using SNPServer, dbSNP, and SSR Taxonomy tree dalam Bioinformatics for DNA Sequence Analysis. ed: David Posada. Humana Press, USA.

Neuzen ND, Stear MJ, and Chang KC. 2000. Molecular markers and their use in animal breeding. The Veterinary Journal. 160, 42–52.

Brooks LD. 2003. SNPs: why do we care dalam Single Nucleotide Polymorphisms: Methods and Protocols, ed. Pui-Yan Kwok. Humana Press, New Jersey.

Collins FS, Brooks LD & Chakravarti A. 1998. A DNA polymorphism discovery resource for research on human genetic variation. Genome Res. 8, 1229-1231.

2012. Breast cancer risk-associated SNPs modulate the affinity of chromatin for FOXA1 and alter gene expression. Nature Genetics. 44,1191–1198.

Grosse WM, Kappes SM, Laegrid WM, Keele JW, Chitko-McKown CG, and Heaton MP. 1999. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery and linkage mapping of bovine cytokine genes. Mamm. Genome. 10, 1062-1069.

(22)

Krawczak M. 1999. Informativity assessment for biallelic single nucleotide polymorphism. Electrophoresis. 20, 1676-1681.

Kruglyak L. 1997. The use of a genetic map of biallelic markers in linkage studies. Nat. Genet. 17, 21-24.

Kwok PY & Chen X. 2003. Detection of Single Nucleotide Polymorphisms. Curr. Issues Mol. Biol. 5: 43-60.

Landegren U, Nilsson M, and Kwok P-Y. 1998. Reading bits of genetic information: Methods for single nucleotide polymorphism analysis. Genome Res. 8769-776.

Lopez Herraez D. 2005. Genetical traceability of cattle and their products: optimization of a multiplex PCR mirosatellite analysis and comparison with single-nucleotide polymorphism markers. Doctoral Dissertation, Faculty of Life Sciences, Heidelberg University.

Marth GT et al. 1999. A general approach to single-nucleotide polymorphism discovery. Nature Genet. 23, 452-456.

Saiki R, Scharf S, Faloona F, Mullis K, Horn G, and Erlich H. 1985. Enzymatic amplification of beta-globin sequences and restriction site analysis for diagnosis of sickle cell anemia. Science. 230 : 1350

Sanger. 1981. Determination of nucleotide sequences in DNA. Science. vol 214, Issue 4526, pp. 1205-1210.

Sartika T, Sulandari S, Zein MSA. 2011. Selection of Mx gene genotype as genetic marker for Avian Influenza resistance in Indonesian native chicken. BMC Proceedings, 5 (Suppl 4):S37.

Sulandari S, Zein MSA, Sartika T. 2008. Molecular characterization of indonesian indigenous chickens based on mitochondrial dna displacement (d)-loop sequences. HAYATI Journal of Biosciences. Vol. 15, No. 4 :145-154.

Syvanen AC. 2001. Accessing genetic variation: genotyping single nucleotide polymorphisms. Nat. Rev. Genet. Vol 2.

Tautz D. 1989. Hypervariability of simple sequences as a general source for polymorphic DNA markers. Nucleic Acids Res.17, 6463–71.

Ulupi N, Muladno, Sumantri C, Wibawan IWT. 2013. Association of TLR4 Gene Genotype and Resistance Against Salmonella enteritidis Natural Infection in Kampung Chicken. International Journal of Poultry Science. 12 (8): 445-450.

Vignal A, Milan D, San Cristobal M, and Eggen A. 2002. A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet. Sel. Evol. 34, 275-305.

Grosse WM, Kappes SM, Laegrid WM, Keele JW, Chitko-McKown CG, and Heaton MP. 1999. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery and linkage mapping of bovine cytokine genes. Mamm. Genome 10, 1062-1069.

(23)

POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN DARATAN DI SUMATERA UTARA

DAN PENGELOLAANNYA

(STUDI KASUS : DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN)

Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus

Guru Besar Limnologi Fakultas MIPA,Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Ekosistem perairan daratan di Sumatera Utara mempunyai karakteristik yang spesifik terutama dengan keberadaan Danau Toba bersama dengan Sungai Asahan sebagai aliran keluar air dari Danau Toba. Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Potensi pemanfaatan Danau Toba dan Sungai Asahan meliputi fungsinya sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan serta sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara. Pemanfaatan air Danau Toba dan Sungai Asahan yang sangat beragam menyebabkan tekanan terhadap ekosistem Danau Toba dan Sungai Asahan semakin besar sehingga menurunkan kualitas lingkungannya. Untuk itu perlu upaya konservasi yang terencana dengan baik sehingga kualitas lingkungan dan kelestarian ekosistem Danau Toba dapat dipertahankan.

Kata kunci : Danau Toba, Sungai Asahan, Keanekaragaman Hayati, Pengelolaan.

PENDAHULUAN

Danau Toba yang mempunyai luas permukaan lebih kurang 1.100 kilometer persegi, dengan total volume air sekitar 1.258 kilometer kubik, dengan tinggi permukaan pada level 903 m dpl, merupakan danau yang paling luas di Indonesia.

Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan proses terbentuknya, danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik (gabungan vulkanik dengan tektonik), yaitu danau yang terbentuk akibat terjadinya letusan gunung berapi dan diikuti dengan amblasnya tanah secara tektonik. Ketika gunung berapi meletus, sebagian tanah dan batuan yang menutupi gunung patah dan merosot membentuk cekungan, yang selanjutnya cekungan tersebut terisi oleh air membentuk danau.

Selanjutnya massa air yang berasal dari Danau Toba membentuk aliran permukaan di Sungai Asahan sebagai output satu-satunya dari air danau. Sungai Asahan mengalir menuju dan bermuara di Selat Malaka dengan panjang aliran 147 km. Meskipun air dari Danau Toba merupakan reservoir utama yang membentuk aliran Sungai Asahan, tetapi di sepanjang alirannya massa air masih disuplai dari berbagai anak-anak sungai yang bermuara ke Sungai Asahan. Karena besarnya volume Sungai Asahan, maka potensi pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik tenaga air juga sangat besar.

KEANEKARAGAMAN HAYATI DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN

(24)

Danau Toba, dijumpai 14 spesies ikan. Informasi yang diperoleh dari nelayan setempat bahwa jenis ikan yang akhir-akhir ini sering didapatkan adalah ikan mujahir (Tilapia mossambica), ikan kepala timah (Aplocheilus panchax), ikan seribu (Lebistes reticulates), ikan gurami (Osphronemus goramy), ikan sepat (Trichogaster trichopterus), ikan gabus (Channa striata), ikan lele (Clarias batrachus), ikan mas (Cyprinus carpio), dan ikan nila.

Selain itu terdapat satu jenis ikan endemik yaitu ikan yang hanya terdapat di Danau Toba yang disebut sebagai ikan batak atau “ihan” (Neolissochillus thienemanni). Jenis ikan ini berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation of Nature) sudah diklasifikasikan sebagai terancam punah (endangered). Jenis ikan ini dahulu sering dihidangkan sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat, tetapi kini masyarakat yang tinggal di sekitar danau sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut.

Selanjutnya berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa terdapat sebanyak 22 spesies ikan yang hidup di Sungai Asahan (Barus dkk, 2012). Cyprinidae merupakan famili yang paling banyak dijumpai (Gambar 1). Adapun jenis-jenis ikan dominan diantaranya adalah Neolissochilus sumatranus, Tor soro, T. douronensis, dan T. tambroides. Neolissochilus sumatranus adalah ikan endemik di Sungai Asahan.

Gambar 1. Famili ikan yang terdapat di Sungai Asahan

POTENSI DAN PEMANFAATAN DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN Sebagai Sumber Energi Listrik

Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan dari Danau Toba dan Sungai Asahan adalah sebagai sumber energi listrik. Proyek Asahan adalah proyek yang mendayagunakan potensi hidrolistrik Sungai Asahan yang mengalir dari Danau Toba Sumatera Utara, guna mengembangkan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Tobasa dan Pabrik Peleburan Aluminium di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara. Dasar pengembangan Proyek Asahan adalah Master Agreement yang ditandatangani Pemerintah RI dengan Investor Jepang pada tanggal 7 Juli 1975, di Tokyo, Jepang. Potensi hidrolistrik ini diperkirakan lebih dari 1.000 MW, yang meliputi (Anonimus, 2010) :

• PLTA Asahan II (PLTA Siguragura dan PLTA Tangga): kapasitas terpasang 604 MW, dibangun dan di operasikan oleh PT Inalum untuk Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) di Kuala Tanjung, kapasitas terpasang 225.000 ton aluminium ingot per tahun.

• PLTA Asahan I : kapasitas terpasang 180 MW, diperuntukkan bagi masyarakat, sejak Juni 2010 sudah memasuki tahap operasi percobaan.

• PLTA Asahan III: kapasitas terpasang 174 MW, sedang persiapan pembangunan oleh PLN.

0 2 4 6 8 10 12 14

Balitoridae Clariidae Cyprinidae Gobiidae Mastacembelidae Siluridae Sisoridae

NUMBER OF SPECIES

FA

M

IL

(25)

• Dari hasil penelitian, diperkirakan masih dapat dikembangkan PLTA Asahan IV dan V dengan kapasitas sebesar 80 MW dan 18 MW.

Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung

Kegiatan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1986, namun perkembangan KJA dengan pesat terjadi sejak tahun 1998 melalui budi daya jaring apung intensif berkepadatan ikan yang tinggi (Rismawati, 2010). Pada tahun 2006 Jumlah KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba terdata sebanyak 5.233 unit. Kemudian survey yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, di dapatkan bahwa KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba sebanyak 7.012 unit, yang terdiri dari KJA milik PT. Aquafarm Nusantara sebanyak 1.780 unit dan KJA milik masyarakat sebanyak 5.232 unit.

Introduksi Ikan Bilih

Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker.) merupakan ikan endemik dan bernilai ekonomis penting di danau Singkarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al. 1993). Akibat penangkapan yang berlebihan serta terjadinya degradasi lingkungan menyebabkan populasi ikan bilih di habitat aslinya mengalami penurunan.

Untuk mengatasi masalah tersebut maka Pemerintah Daerah melakukan penebaran benih dan pengembangan program pemacuan stok (stock enhancement) ikan bilih di Danau Singkarak dan Danau Toba pada tahun 2003. Tujuan pemacuan stok adalah untuk meningkatkan produksi dan menyelamatkan populasi ikan bilih (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Pada 3 Januari 2003, ikan bilih diintroduksi ke daerah Parapat dan Ajbata, Danau Toba (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Karakteristik limnologis Danau Toba yang hampir sama dengan Danau Singkarak menjadikan Danau Toba sebagai habitat baru yang disukai ikan bilih, yaitu berair jernih, memiliki dasar perairan berpasir dan suhu air relatif dingin berkisar 25,0-27,5°C (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Distribusi ikan bilih meliputi seluruh perairan Danau Toba, bahkan ditemukan di daerah pelagis dan limnetik danau yang sangat sedikit sekali dihuni jenis ikan lain.

Setelah 2 tahun penebaran, ikan bilih tumbuh dan berkembang biak dengan baik, panjang total 4,0-15,8 cm dan berat antara 0,5-30,0 gram. Pada tahun 2008, ikan bilih mencapai panjang total 21,6 cm di tempat pendaratan ikan di Parapat. Boyd (2004) menyatakan bahwa dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya akan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi lebih kurang 30 %. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan diekskresikan kembali ke badan air sebagai faeses sekitar 25– 30 %. Hal ini berarti bahwa limbah organik dari pakan ikan KJA yang terbuang ke badan air secara kontiniu jumlahnya cukup besar.

Berdasarkan data yang diperoleh, setiap hari dipanen sebanyak 42 ton ikan bilih dari Danau Toba. Dengan asumsi bahwa setiap 1 kg ikan bilih mengandung 0,029 kg N (1 kg ikan = 0,18 kg protein = 0,029 kg Nitrogen), maka produksi harian ikan bilih akan menyebabkan berkurangnya kandungan nitrogen dari danau sebanyak 1.218 kg N. Dengan perhitungan lebih lanjut, diperoleh bahwa peranan ikan bilih dalam mengendalikan kadar nitrogen di Danau Toba adalah sekitar 36% (Bruijne, 2009). Oleh karena itu perlu penelitian yang lebih mendalam terkait dengan peranan ikan bilih sebagai instrumen alami dalam mengendalikan kadar nutrient di Danau Toba.

DAMPAK PEMANFAATAN DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN

Permasalahan utama yang dialami ekosistem Danau Toba terutama adalah penurunan kualitas air sebagai akibat dari berbagai limbah yang dibuang ke dalam danau sehingga menimbulkan pencemaran, seperti limbah domestik/perhotelan, limbah pertanian, limbah dari budidaya perikanan di dalam jaring apung serta limbah minyak yang berasal dari aktivitas transportasi air. Hal ini terutama dapat dilihat di kawasan sekitar Parapat, Haranggaol, Balige, dan Tongging. Selain itu terjadi perusakan kawasan hutan, berupa penebangan hutan untuk berbagai keperluan, di sekitar danau yang menyebabkan terjadinya fluktuasi aliran air yang masuk ke dalam danau serta terjadinya erosi dan peningkatan sedimentasi.

(26)

masal ikan mas pada bulan Oktober-November 2004, serta telah menimbulkan kerugian materiel yang tidak sedikit (Barus, 2005).

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh berbagai pihak, disimpulkan bahwa terjadinya kematian masal ikan di perairan Haranggaol Danau Toba disebabkan oleh serangan virus herpes koi (Panjaitan, 2005). Namun demikian kemungkinan faktor lain yang menyebabkan terjadinya kasus kematian masal ikan mas tersebut adalah penurunan kualitas air di perairan Haranggaol. Kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung yang sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun, telah menyebabkan terjadinya akumulasi berbagai senyawa kimia yang pada akhirnya menimbulkan kondisi yang toksik terhadap ikan-ikan budidaya.

Pemanfaatan air Danau Toba yang sangat beragam yaitu sebagai sumber air bersih bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat kegiatan penangkapan ikan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung, kegiatan transportasi air, pariwisata, sebagai sumber air untuk pembangkit listrik di daerah hilir, di satu sisi membutuhkan kualitas air danau yang baik serta memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Sebaliknya Danau Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian di sekitar kawasan Danau Toba, limbah domestik dari permukiman dan perhotelan, limbah nutrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang dibudidayakan, limbah dari pariwisata dan transportasi air. Apabila proses pencemaran terus berlanjut tanpa ada upaya-upaya untuk meminimalkan pencemaran yang terjadi maka beban ekosistem Danau Toba akan semakin berat dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak yang berkepentingan.

Secara kasat mata di beberapa kawasan Danau Toba kita sudah bisa melihat tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan air terutama jenis eceng gondok yang telah menutupi lapisan permukaan danau. Hal ini terjadi akibat proses eutrofikasi (pengayaharaan) yang merupakan suatu gejala peningkatan unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen di suatu ekosistem air. Unsur hara tersebut terutama berasal dari limbah cair yang dibuang ke suatu ekosistem air secara terus menerus sehingga terakumulasi dalam jumlah yang banyak. Peningkatan unsur hara tersebut akan meningkatkan proses pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan air yang sangat cepat sehingga terjadi ledakan populasi vegetasi yang sering disebut sebagai blooming. Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulkan kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut, proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau yang busuk.

Pemanfaatan Sungai Asahan sebagai sumber energi terbarukan yang bersifat ramah lingkungan (PLTA) tidak berarti tanpa dampak negatif sama sekali. Kegiatan konstruksi PLTA juga akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Dengan akan dibangunnya PLTA Asahan 3 misalnya, maka akan ada perubahan profil Sungai Asahan yang signifikan. Salah satunya adalah dengan dialihkannya aliran air sebanyak 95% dari debit yang tersedia menuju terowongan yang akan dimanfaatkan untuk memutar turbin, maka debit air yang mengalir pada segmen sungai sepanjang kira-kira 10 km akan berkurang secara drastis. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi ikan dan biota air lainnya.

KONSERVASI DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN

Untuk melaksanakan koordinasi dalam kegiatan pengelolaan lingkungan di ekosistem Danau Toba maka Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2002 telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (BKPEKDT). Selanjutnya atas prakarsa Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 telah dirumuskan dan disepakati suatu konsep pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba yang dituangkan dalam Lake Toba Ecosystem Management Plan (LTEMP). Pedoman ini memuat secara rinci tentang rencana dan tindakan pengelolaan yang harus dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan dan memelihara integritas fisik, biologis, dan kimia ekosistem kawasan Danau Toba. Fokus utama dalam konsep LTEMP adalah :

− Air di EKDT layak digunakan sebagai Air Minum.

(27)

− Lahan di EKDT mempunyai fungsi yang optimal.

− Ikan dan hasil pertanian layak di konsumsi (tidak terkontaminasi).

− Air Danau Toba Sumber Tenaga Listrik/Wisata.

− Terpeliharanya Keragaman Hayati EKDT.

− Udara di EKDT sehat.

Dalam kaitannya dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati ekosistem Danau Toba maka selain menjaga dan mengelola kualitas air, yang juga penting untuk dilakukan adalah pemantauan terhadap kualitas habitat yang dapat mendukung pertumbuhan populasi organisme air. Untuk itu perlu diidentifikasi zona perairan yang berfungsi sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis organisme air termasuk zona perairan sebagai tempat pemijahan ikan secara alami, untuk kemudian dilakukan upaya konservasi, sehingga organisme air dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berbagai kajian dan upaya pengelolaan ini dibutuhkan untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang daya dukung ekosistem Danau Toba, sehingga pemanfaatan ekosistem Danau Toba bagi berbagai kepentingan tidak menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekologi di danau tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2010. Paparan Ketua Otorita Asahan Pada Workshop Revitalisasi Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PUSLIT SDAL USU) di Gedung IMT-GT Biro Rektor USU, MEDAN, 19 Oktober 2010.

Barus, T.A. 2004. ”Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba”. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. XI, No. 2, Juli 2004, hal. 64-72.

Barus, T.A. 2005. ”Penggunaan Parameter Limnologi dalam Penentuan Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Ikan Sistem Jala Apung”. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Penanggulangan Kematian Masal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Univ. HKBP Nommensen, Medan.

Barus, T.A., Ch.P.H. Simanjuntak, T. Situmorang, 2012. ”Ichtiofauna Sungai Asahan”. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Biologi USU-Medan, 11 Mei 2012.

Boyd, E.C. 2004. An Environmental Assessment of Tilapia Cage Culture in Lake Toba, Northern Sumatra, Indonesia.

Bruijne, W. 2009. Pora-pora in Lake Toba. Oportunistic Species as Nutrient Management Tool. Internship Report. Wageningen University.

Kartamihardja, E.S., K. Purnomo. 2006. Keberhasilan Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) ke Habitatnya Yang Baru di Danau Toba, Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV. Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. 1-291+84 plates.

Panjaitan, P., 2005. “Kajian Timbulnya Wabah Virus Herpes Koi di Perairan Danau Toba dan Alternatif Pemecahannya”. Makalah, disampaikan pada seminar nasional Penanggulangan Kematian Massal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Medan: Univ. HKBP Nommensen.

(28)
(29)
(30)

UJI TOKSISITAS AKUT FRAKSI N-HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL

DAUN PUGUN TANO (Curanga fel-terrae Merr.) PADA MENCIT

Aminah Dalimunthe, Urip Harahap, Rosidah, M.Pandapotan Nasution

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Darma No. 5 Kampus USU Medan Email :

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang uji toksisitas akut fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun tano (Curanga fel-terrae Merr.) pada mencit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang gejala toksisitas yang timbul pada mencit setelah pemberian fraksi serta histopatologi. Mencit yang digunakan sebanyak 45 ekor, dibagi dalam 9 kelompok perlakuan. 1 kelompok diberi Na CMC sebagai kontrol untuk masing-masing fraksi dan 2 kelompok perlakuan diberi masing-masing fraksi dengan dosis 2000 mg/kg BB dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan efek toksik berdasarkan perubahan berat badan dan jumlah kematian yang diamati setiap hari selama 14 hari serta penentuan berat organ relatif dan gambaran histopatologi organ pada akhir pengamatan. Hasil pengamatan menunjukan tidak ada perubahan berat badan dan mencit yang mati selama masa perlakuan (P>0,05). Hasil makroskopis dan mikroskopis pada organ, tidak menunjukan adanya perubahan warna, konsistensi dan struktur organ. Ini menunjukan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun tano memiliki efek toksisitas akut yang rendah.

Kata kunci : toksisitas, daun pugun tano, mencit

PENDAHULUAN

Tumbuhan Pugun tano merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat untuk obat-obatan. Pugun tanoh adalah herba tahunan famili Scrophulariaceae. Di Maluku dan Filipina, cairan dekoksi dari tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik dan malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusan dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol digunakan sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan) (Anonima, 2011). Sedikitnya informasi ilmiah tentang khasiat dan keamanan daun pugun tano maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji toksisitas akut yang meliputi pemberian fraksi daun pugun tano pada hewan uji secara oral serta pengamatan histopatologi untuk mengetahui kerusakan organ akibat pengunaann fraksi ini.

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oral sonde, neraca analitis, alat gelas (beaker glass, cawan petri, batang pengaduk).Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pugun tanoh, etanol (tehnis), n-heksan (tehnis), etil asetat (tehnis), CMC Na.

Hewan percobaan

Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit dengan berat 20-25 gram yang diperoleh dari Balitbang Depkes RI. Hewan diaklimatisasi selama seminggu dengan siklus 12 jam gelap/terang pada suhu kamar, mencit diberi makanan pellet standart dan air ad libitum.

Pengumpulan Tumbuhan dan Penyiapan Simplisia Pugun Tano

(31)

Pembuatan Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Pugun Tano

Pembuatan fraksi daun pugun tanoh dilakukan dengan cara remaserasi menggunakan pelarut bertingkat yaitu n-heksan, etil asetat dan etanol 96% (Ditjen POM, 1979). Pengekstrasian dilakukan dengan cara sebagai berikut sebanyak 800 gram serbuk simplisia direndam dalam pelarut n-heksan selama 5 hari sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan residunya direndam kembali dengan n-haksan selama 2 hari. Residu dikeringkan dengan cara mengangin-anginkannya di udara terbuka hingga pelarut n-heksan menguap, lalu dimaserasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Perlakuan yang sama dilakukan mengunakan pelarut etanol. Hasil maserat diputar dengan evaporator pada suhu ± 40oC,lalu di keringkan pada suhu -20oC dan diperoleh fraksi yang sangat kental dan akhir proses diperoleh 3 fraksi, yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol.

Uji Toksisitas Akut Pada Mencit

Fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol diberikan secara oral terhadap mencit yang dibagi menjadi 9 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol untuk masing-masing fraksi dan 2 kelompok perlakuan untuk masing-masing fraksi dengan dosis fraksi 2000 mg/kg bb dan 5000 mg/kg bb. Sebelum perlakuan, mencit ditimbang berat badannya. Pengamatan toksisitas akut dilakukan setiap hari selama 14 hari dengan menimbang berat badan mencit dan dilihat jumlah kematian pada tiap kelompok. Pada hari ke-15, mencit dibedah untuk melihat efek toksik yang terjadi secara makroskopis pada organ dan dilakukan uji histopatologi untuk melihat ada tidaknya perubahan struktur organ setelah pemberian fraksi (OECD, 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian efek toksik fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun puguh tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.), dilakukan terhadap mencit jantan berdasarkan pada Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) guidelines for Testing of Chemicals number 423 dengan fixed dose method (OECD, 2001), menggunakan dosis fraksi 2000 dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan dilakukan selama 14 hari terhadap gejala toksik yang terjadi. secara kuantitatif. Hasil pengamatan uji kuantitatif selama 14 hari, berupa jumlah mencit yang mati ditunjukkan pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari hasil uji toksisitas yang dilakukan, tidak ada satu mencit pun yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh. Menurut Jenova (2009), jika dosis maksimal tidak menimbulkan kematian hewan coba, maka LD50

dinyatakan LD50 ‘semu’ yaitu dengan mengambil dosis maksimal, sehingga dalam penelitian ini LD50

diketahui sebagai LD50 semu, yaitu 5000 mg/kg BB. Dosis 5000 mg/kg BB merupakan konversi dosis

maksimal pada manusia ke mencit berdasarkan ratio luas permukaan tubuh. Berdasarkan kesepakatan para ahli, bila pada dosis maksimal tidak ada kematian pada hewan coba, maka jelas senyawa tersebut termasuk dalam kriteria “praktis tidak toksik” (Jenova, 2009; Iwuanyanwu, et al., 2012).

Tabel 1. Jumlah mencit yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh

Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati

K1a 5 0

K1b 5 0

K1c 5 0

K2a 5 0

K2b 5 0

K2c 5 0

K3a 5 0

K3b 5 0

K3c 5 0

(32)

Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi ekstrak (n-heksan, etanol dan etil asetat) daun puguh tanoh

Lama pengamatan

Rata-rata berat badan (g)

K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c

2 minggu 32,92 29,44 32,69 27,44 28,72 33,3 29,93 33,01 34.47

Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis 5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB; K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB.

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan berat badan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Untuk mengetahui toksisitas, ada tiga parameter yang merupakan indikator sensitif, yaitu tanda-tanda klinis, berat badan dan konsumsi makanan. Hewan uji diamati setiap hari untuk tanda-tanda klinis toksisitas. Hasil analisis statistik terhadap pengamatan perbandingan berat badan sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh antar kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai signifikansi 0,504 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan tidak adanya gejala toksik yang timbul. Hasil berat organ relatif yang didata pada akhir perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3.

Pada parameter rasio berat organ tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ hati, ginjal dan jantung antara kelompok kontrol dengan perlakuan dengan nilai signifikansi 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh tidak berpengaruh besar terhadap perbandingan berat organ dengan berat badan dan warna organ. Adanya perubahan warna organ menjadi salah satu parameter terjadinya suatu efek toksik pada organ (Lu, 1994).

Tabel 3. Nilai berat organ relatif per 100 g berat badan yang didata pada akhir perlakuan

Organ

Rata-rata berat organ per 100 g

K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c

Hati 1,942 1,6015 2,057 1,842 1,547 2,008 1,94 1,578 1,352 Jantung 0,207 0,158 0,181 0,2122 0,156 0,202 0,163 0,192 0,196

Ginjal

Kanan 0,224 0,204 0,192 0,214 0,189 0,188 0,207 0,248 0,234 Ginjal Kiri 0,217 0,207 0,188 0,206 0,191 0,235 0,195 0,236 0,22

Testis

Kanan 0,111 0,083 0,0604 0,114 0,106 0,116 0,082 0,092 0,098 Testis Kiri 0,104 0,102 0,043 0,108 0,105 0,114 0,089 0,088 0,1 Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis

5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB; K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB.

Gambar

Tabel 1. Jumlah mencit yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh  tanoh Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati
Gambar Histopatologi Organ Ginjal
Tabel 1. Rata-rata daerah hambat bakteri dari masing-masing isolat bakteri endofitik  No Kode Diameter zona hambat (mm)
Gambar 2 : Profilaktivitas antibiotika isolat PCT-12 terhadap bakteri uji Keterangan :
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ugyanis a lebukásról, az átverésről szóló történetek, ahogy a gyerekszáj-történetek is, értel- mezhetők olyan módon is, hogy azok a beégés műfajával rokon – azzal

pembelajaran dengan metode karyawisata pada siklus 1. Peningkatan tersebut antara lain terlihat pada siklus I, siswa menjadi lebih senang dan tertarik dalam mengikuti

Panitia Pengadaan Barang/ Jasa pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan

Alternatif pemecahan masalah ditetapkan dengan cara brain storming (curah pendapat) diantara anggota tim Kesehatan Lingkungan dengan mengacu pada prioritas penyebab

Satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan menyelenggarakan program pendidikan dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua

4.3.3 Banyaknya Jemaah Haji yang Diberangkatkan Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2015 182. Number of Moslem Pilgrims Departed

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan aliran fluida dalam heat exchanger sistem untai melalui simulasi ansys fluent dan menganalisa perpindahan kalor yang