H.R Yusa Herwanto Jenny Bashiruddin,*Syafruddin Ilyas**, NajibDahlan Lubis***
Departemen THT-KL FK USU /RS Adam Malik Medan Departemen THT-KL FK /UI RSCM Jakarta*
Departemen Biologi MIPA USU Medan**
Departemen Patologi Anatomi FK USU /RS Adam Malik Medan***
PENDAHULUAN
Bising dalam kehidupan kita sehari-hari sering menganggu pendengaran, sehingga organ pendengaran khususnya koklea akan cepat mengalami degenerasi. Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) sering akibat bising sering dijumpai pada banyak pekerja industri. Gangguan pendengaran ini biasanya sering bilateral tetapi tidak jarang yang terjadi unilateral (Bashiruddin, 2010).
Di Indonesia sebagai negara industri umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural tipe koklea akibat bising > 85 dB dapat terjadi pada kedua telinga (Bashiruddin, 2010).
Menurut Occupational Safety & Health Administration (OSHA) 2010 batas aman pajanan bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian tergantung intensitas bising, frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan jenis bising (Kujawa, 2006; Ologe, 2008 ; Carmelo, 2010).
Sound Hearing 2010 pertama kali dicetuskan di Kolombo adalah program pecegahan dan pengendalian ketulian di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia, untuk mendukung program Sound Hearing 2010 ini dibentuklah Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) oleh Departemen Kesehatan RI. Komite PGPKT ini bertujuan untuk menurunkan angka ketulian sebesar 50% di tahun 2015 secara maksimal di tahun 2030 pada seluruh penduduk Indonesia (KNPGPKT, 2008).
Bising merupakan salah satu faktor stres yang paling sering dijumpai di lingkungan kota dan industri. Paparan bising yang teratur dan terus menerus akan mempengaruhi organ pendengaran perifer dan sentral, kerusakan perifer mulai dari organ terdepan mulai gendang telinga, tulang pendengaran dan diteruskan ke dalam koklea terutama terjadi kerusakan sel rambut luar serta jalur saraf auditori yang akan menyebabkan gangguan pendengaran permanen yang mengganggu proses komunikasi dan belajar (Niu et al., 2003).
Respon sistem auditori terhadap bising level tinggi dengan memicu reflek akustik telinga tengah dan mengaktivasi sistem olivari medial dan dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan pendengaran terhadap beberapa intensitas tertentu (Yoshida et al., 2002). Bentuk respon stres seluler ini bersifat fisiologis dan berfungsi untuk menjaga homoestasis kehidupan sel. Kehidupan sel ini mengatur pelepasan neurotransmitter, hormon, peptida dan faktor lain ke dalam sirkulasi dan atau ke dalam jaringan. Efek dari respon stress seluler ini dipengaruhi juga oleh intensitas dan lamanya paparan bising (Mc Ewen, et al., 2008).
Kebisingan pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi koklea pada beberapa jalur perdengaran normal dalam melawan tekanan dari bising level tinggi. Bising dengan keadaan intensitas tertentu seperti bising pada frekuensi 500 Hz dengan gelombang oktaf setiap 6 jam per hari selama 10 hari dan menyebabkan kerusakan sel rambut luar. Keadaan ini akan bertambah buruk bila bising ini terus belanjut selama 2 hari selama fase istirahat dengan durasi 4 jam sehari (Chinchilla et al., 2005). Paparan bising dengan frekuensi ttinggi( 2000-8000 Hz) dan durasi pendek, akan menjadi lesi fokal daerah apeks yang kecil dan melibatkan sel rambut luar, dan beberapa hari berikutnya akan meluas ke arah basal dengan kematian sel secara nekrosis dan apoptosis (Hu et al., 2002).
Patologi Koklea Akibat Karkteristik Akustik Dari Bising
Rangsangan bunyi terkuat dari senjata api, suara ledakan, suara jet merubah puncak dari 150
dB SPL atau lebih. Terpaparnya rangsangan bising menghasilkan suatu proliferasi ROS (Reactive Oksigen Stress) yang terus menerus (akibat konsentrasi pada basal sel rambut luar dan pleksus neural dibawah sel rambut dalam menjadi rusak). Peningkatan ROS dan beberapa radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan mitokondria, eksitotosisitas pada sel rambut luar dan serat saraf audiotori aferen serta efek iskemi/reperfusi pada suplai darah koklea. Kejadian ini menyebabkan peningkatan ROS. Pembentukan ROS dapat merusak DNA dan membran sel yang berfungsi sebagai apoptosis (Handerson, Bielefed, Haris & Hu 2006). ROS juga memegang peranan penting dalam neurogenerasi, mengeluarkan efek toksik langsung melalui reaksi kimia.
Terdapat dua teori yang terkait dengan mekanisme tuli akibat bising yang berasal dari paparan bising yang konstan merupakan akibat sekunder dari akumulasi mikrotrauma. Pada sisi lain TTS (Temporary Threshold Shift) mungkin disebabkan karena kelelahan metabolik yang menetap dan menyebabkan kematian sel. Konsep dari auditory fatigue ini dapat menjelaskan fakta bahwa bising yang terputus-putus lebih sedikit memicu gangguan pendengaran menetap daripada bising yang bersifat kontinu pada intensitas level yang sama.
Pergerakan daerah yang berlawanan akan menutup saluran serta menurunkan jumlah depolarisasi membran sel. Apabila depolarisasi mencapai titik kritis akan memacu peristiwa intra seluler. Bila masuknya Ca++ dan air masuk kedalam sel dan memperbesar volume sel, sel akan menjadi ruptur dan mengeluarkan komponennya ke daerah sekitar. Sisa elemen dari sel akan bereaksi dengan H2O2 dan membentuk OH
-
yang sangat reaktif dan toksik. Kekakuan silia berhubungan dengan tip links yang dapat meluas ke daerah basal melalui lapisan kutikuler sel rambut luar di telinga dalam (Liberman, 1987 & Dodds; 1987). Kerusakan sel koklea dapat memperlihatkan keadaan akut dan kronis akibat bising pada stimulasi yang lebih tinggi,dan dapat menyebabkan patahnya sel rambut luar pada daerah basal koklea dan hilangnya sensitivitas saraf audiotori. Paparan bising dengan intensitas rendah juga menyebabkan kerusakan minimal silia, tanpa ada fraktur daerah basal atau kerusakan mikrovaskular yang luas, dimana intensitas tinggi dapat menganggu pergerakan pada sel rambut luar dan perubahan-perubahan sel yang irreversibel pada frakturr daerah basal dan penyempitan aliran di serebro vaskular di otak (Hu et al, 2002 & Nicotera, 2003).
Gambar 2
Penampang outer hair sel potongan melintang yang rusak akibat bising (Leblane A, 2000)
Patogenesis Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising karena rusaknya membran timpani, tulang-tulang pendengaran, koklea, sistem saraf auditori atau terhentinya stimulus ke batang otak. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran. (Friedmann.,1997)
Kerusakan pada daerah retrokoklea yang disebabkan oleh trauma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pendengaran perifer dan sentral auditori bisa terjadi gangguan pendengaran permanen serta proses komunikasi.(Stanton et al,
Sel rambut luar
Sel rambut luar mulai
Kerusakan yang menyebabkan tuli sensorineural :
1. Adanya kerusakan permanen sel-sel rambut luar.
2. Terjadinya atrofi pada jenis sel koklea lainnya seperti ganglion spiralis dan juga stria vaskularis sel - sel epitel non sensorik organ korti, komponen pada jaringan penyokong, dan beberapa elemen koklea lainnya.
Pemeriksaan Oto Akustik Emisi (OAE)
Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 kemudian dikembangkan oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun menggunakan stimulus, yang disebabkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini adalah hasil mekanisme sel yang aktif, yang dapat terjadi baik secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar (Campbell ; 2006).
Hasil pemeriksaan diinterpresentasikan oleh beberapa frekeunsi yang ditampilkan dalam hasil pass atau refer. Pass: bila SNR > 6 pada 6 frekuensi ;1000 Hz; 2000Hz,3000 Hz, 4000 Hz,6000 Hz dan 8000 HZ .Refer ; bila SNR< 6 pada 6 frekeunsi ; 1000nHz, 2000 Hz,3000 Hz 4000 Hz,6000 Hz dan 8000 Hz.( Katz ,2011)
Hasil OAE (Dikutip dari Suwento 2007 UI)
PEMERIKSAAN MIKROSKOP ELEKTRON (SEM)
Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya.
Dikutip dari www. Electron microscope Jenis mikroskop elektron antara lain adalah: 1. Mikroskop Transmisi Elektron (TEM) 2. Mikroskop Pemindai Transmisi Elektron (STEM).
3. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)
Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) yang digunakan studi detil arsitektur permukaan sel ( atau struktur jasad renik lainnya), dan objek diamati secara tiga dimensi.
Cara kerja (SEM) adalah cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optik dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap terang pra layar monitor CRT ( chatode ray tube). Dilayar CRT inilah gambar struktur objek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga digunakan untuk melihat objek dari sudut pandang 3(tiga) dimensi. Preparasi sediaan adalah agar pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan dengan tahap sebagai berikut:
1. Melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati, fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida.
2. Dehidrasi, yang bertujuan untuk merendahkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak menggangu proses pengamatan.
3. Pelapisan/pewarnaan, beertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan ddapat menggunakan logam mulia seperti emas dan platina.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah suatu studi eksperimental murni in vivo. Besar sampel diambil dengan rumus Ferderer (1955) Jumah tikus percobaan uji perkelompok (ulangan) ditentukan dengan rumus (t-1) (n-
1) ≥15
t = jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 5 kelompok perlakuan) n = jumlah ulangan perkelompok.
Ulangan ditambahkan 5 ekor untuk menghindari kematian dalam perlakuan, sehingga didapatkan jumlah keseluruhan tikus jantan jenis Rattus Norvegicus yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 40 ekor terdiri dari 4 (empat) kelompok perlakuan :
a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa tidak diberi pajanan bising < 25 dB (kelompok kontrol).
b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 25 dB -50 dB selama 8 jam setiap hari.
c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 55 dB- 80 dB selama 8 jam setiap hari.
d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 85-110 dB selama 8 jam setiap hari.
Lokasi dan Waktu penelitian
Lokasi penelitian dilakukan laboratoium fakultas MIPA Biologi , kemudian sampel dilkirimkan untuk pemeriksaan imunohistokimia di Patologi Anatomi RSCM/FK UI Jakarta. Pemeriksaan jaringan koklea dengan SEM dilakukaan di Universitas Negeri Padang Penelitian ini dmulai bulan Agustus 2013. s/d Desember 2013
Alat dan BahanPenelitian.
Alat Penelitian (Kotak Perlakuan Sampel)
a) Kotak perlakuan sampel terbuat dari gabus dilapisi dengan busa serta triplek polywood kedap suara. Kemudian speaker menghadap ke bawah serta menempel pada atap penutup kotak, permukaan kotak diberi lubang untuk ventilasi dan mengukur intensitas bising. Intensitas diukur pada 2 titik yang berbeda dan tidak melebihi 1 dB
b) Multi player 3 dengan file yang berisi rekaman suara bising dengan frekuensi 1 s/d 110 kHz, Amplifier untuk mengeraskan / mengatur intensitas bising (dB) sesuai volume suara.
c) Sound level meter untuk mengukur intensitas bising pada kotak perlakuan. d) Timer untuk mengukur waktu perlakuan bising.
c. Automated OAE merek Grason-Stadler GSI 70 buatan USA
d. Mikroskop elektron (SEM).
Penelitian dilakukan 3 tahap yaitu ;
Penelitian tahap I : pemeriksaan DPOAE pada tikus
a) Penelitian bertujuan untuk mengukur kerusakan sel rambut luar pada koklea. b) Mendapatkan nilai DPOAE Refer atau Pass
c) Mendapatkan pengaruh beberapa intensitas bunyi mulai dari 25 dB sd110 dB. 2. Penelitian tahap II : pebutan dan pemeriksaan Haematokosilin Eosin (HE).
a) Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur nomal sel rambut luar koklea
b) Mendapatkan struktur sel rambut luar koklea setelah pajanan beberapa intensitas bunyi mulai dari 25 dB sd 110 dB.
3. Penelitian tahap III : pemeriksaan SEM (mikroskop pemindai elektron)
HASIL PENELITIAN