135 Jumlah Cabang Kedelai
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik RMU di Bone Bolango
Penggilingan padi di Bone Bolango didominasi oleh penggilingan padi tipe dua fase, dimana pengupas dan penyosohnya berada dalam kondisi terpisah. Tipe ini dapat dilihat pada peresentase karakteristik RMU Tabel 1. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa gilingan padi dua fase memberikan hasil rendemen sebesar 65%, dibanding dengan gilingan padi satu fase adalah sebesar 63,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian Jumali dan Wardana (2012) bahwa gilingan padi dua fase lebih unggul dari tipe satu fase karena konfigurasi mesinnya. Selain itu menurut Listyawati (2007) rendemen beras dengan persentase yang tinggi dipengaruhi oleh kadar air gabah sebelum penggilingan, dimana kadar air yang optimal adalah 14%, karena apabila kadar air gabah lebih tinggi atau kurang akan menyebabkan penurunan mutu. Kekerasan butiran gabah akan berbeda-beda jika pada kondisi kadar air demikian. Jika dihubungkan dengan kadar air pada kedua tipe penggilingan masing-masing dengan kadar air gabah sebelum penggilingan sangat rendah. Hal ini dapat dibuktikan
143
dengan ketebalan gabah selama pengeringan yakni sebesar 1 – 1,5 cm. Ketebalan pengeringan tersebut di duga yang menjadi penyebab rendahnya kadar air, sehingga gabah menjadi sangat kering. Menurut Wibowo et al (2009), ketebalan penjemuran (<3 cm) akan mempercepat pengeringan dan mengakibatkan butir rusak.
Tabel 1. Karakteristik RMU di Bone Bolango
Karakteristik RMU Tipe RMU
Satu Fase Dua Fase
Jumlah (%) 28,5 71
kadar air (%) 10,4 – 11 10,2 – 12,5 Varietas yang di Giling Ciherang, Mekongga, Pandan
wangi
Ciherang, IR64, Mekongga, Inpari 30
Ketebalan Pengeringan (cm) 1,9 2,3
Lama Beroperasi (Tahun) 12,8 16,6
Pengalaman Teknisi (Tahun) 4,6 4,7
Rendemen (%) 63,6 65,0
Kapasitas Lantai Jemur (Ton) 10,5 9,7 Tenaga Kerja Penjemuran (Orang) 2,2 2,3 Tenaga Kerja Penggilingan (Orang) 5,6 6,2 Sumber : Data Primer (2015)
Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya rendemen adalah pengaruh operasional mesin hingga mencapai 12 – 16 tahun, dan disertai teknisi yang kurang terlatih hanya mengandalkan pengalaman, tanpa adanya pengalaman pelatihan. Sehingga untuk menentukan kadar air giling hanya dengan perkiraan tanpa menggunakan alat tertentu atau pengukur kadar air, kondisi ini sama halnya dengan menyetel konfigurasi mesin. Menurut Kobarsih et al (2012), peralatan yang memadai dan teknisi yang terlatih akan memberikan dampak baik terhadap mutu beras, hal ini menghasilkan beras kepala yang tinggi sebesar 72,95%, dibanding dengan peralatan yang tidak terawat dan teknisi kurang terlatih memberikan hasil beras kepala sebesar 38,86% - 67,93%.
Penampilan Mutu Fisik Beras
Hasil uji mutu fisik beras dari berbagai varietas pada 28 RMU di Bone Bolango, didapatkan bahwa mutu fisik beras yang dihasilkan utamanya beras kepala berada pada kelas mutu V sebesar 67,7% sesuai SNI 6128-2008 pada tipe penggilingan dua fase (Tabel 2). Rendahnya persentase beras kepala diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : a). kadar air terlalu rendah seiring dengan lamanya pengeringan, b) konfigurasi mesin, 3) proses budidaya dan varietas. Menurut Hasbullah (2007) rendahnya mutu beras dipengaruhi oleh tipe konfigurasi mesin, dimana tipe single phase dapat menghasilkan beras kepala yang lebih tinggi dibanding dengan tipe double phase. Hal ini sesuai dengan hasil kajian bahwa tipe penggilingan padi dua fase lebih memperlihatkan keunggulan mutu fisik beras daripada penggilingan padi satu fase. Sementara Ahmad et al (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggilingan padi yang lebih instens dapat mempengaruhi kualitas beras yakni rendahnya beras kepala, dan tingginya produk beras pecah atau patah.
Selain beras kepala, mutu fisik beras patah yang dihasilkan adalah sebesar 13,2 – 14,9%, ini artinya beras tersebut berada pada kelas mutu III (Lampiran 1), hal yang sama pada mutu fisik beras kuning yaitu sebesar 0,2 – 0,24%. Beras patah secara eksisting masih sesuai dengan kelas mutu III sesuai SNI dengan persentase yang rendah. Rendahnya persentase beras patah diduga disebabkan bentuk beras. Mutu beras patah dipengaruhi oleh bentuk beras dengan ukuran bulat dan liat adalah beras yang pecah atau sulit patah, sedangkan untuk beras yang panjang dan ramping dapat mudah patah (Iswari, 2012; Dong et al, 2010). Hal ini sesuai dengan beras yang digiling secara eksisting didominasi oleh beras Ciherang, IR64, Mekongga, dan Inpari 30, beras tersebut memiliki ukuran dengan butiran yang panjang dan ramping. Namun secara spesifik bahwa keempat varietas tersebut yang menunjukkan mutu fisik yang baik diatas rata-rata adalah varietas mekongga pada penggilingan padi tipe dua fase (Tabel 3).
144
Tabel 2. Mutu beras eksisting pada beberapa tipe RMU di Bone Bolango
Komponen Mutu Tingkat Mutu
Satu Fase Dua Fase Mutu IV
SNI Mutu V SNI Beras Kepala (%,min) 62,2 67,7 73 60
Beras Patah (%,max) 14,9 13,2 25 35
Menir (%,min) 17,8 14,3 2 5
Kotoran (%,max) 0,01 0,0 0,05 0,2
Beras Rusak (%,min) 1,91 1,1 3 5
Butir Kapur (%,min) 3,28 3,6 3 5
Butir Merah (%,min) 0,15 0,0 3 3
Butir Kuning (%,min) 0,24 0,2 3 5
Sumber : Data Primer (2015)
Tabel 3. Mutu fisik beras pada beberapa varietas eksisting
Komponen Mutu
Mutu Fisik Beras Eksisting
Ciherang Mekongga IR64 Inpari 30 Satu Fase Dua Fase Satu Fase Dua Fase Satu Fase
Dua Fase Satu Fase Dua Fase Beras Kepala 61,8 67,5 67,5 76,0 57,5 65,0 46,1 61,7 Beras Patah 16,5 14,1 10,3 5,0 13,4 10,0 16,7 13,7 Menir 16,6 13,5 16,9 17,5 23,7 15,0 34,5 18,8 Kotoran 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Beras Rusak 2,5 1,2 0,6 1,7 1,6 0,8 0,1 0,6 Butir Kapur 2,8 3,6 3,4 4,6 3,8 3,9 3,5 5,1 Butir Hijau 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Butir Merah 0,1 0,2 0,0 0,1 0,1 0,0 0,5 0,0 Butir Kuning 0,2 0,2 0,0 0,0 1,6 0,1 0,1 0,0 Sumber : Data Primer (2015)
Menurut Jumali dan Wardana (2011), beras patah dipengaruhi oleh konfigurasi mesin, karena adanya konfigurasi mesin satu fase. Namun mutu eksisting pada kajian ini kelas mutunya berbeda dengan beras kepala yang ada pada SNI (6128-2008), dimana beras kepala lebih berkorelasi dengan perolehan beras menir. Nilai beras menir melewati kelas mutu yaitu sebesar 14,3 - 17,8% (Tabel 2). Besarnya nilai mutu beras menir disebabkan oleh kadar air yang sangat rendah. Menurut Setyono (2008), semakin rendah kadar air maka persentase beras menir semakin tinggi, hal ini disebabkan oleh gabah yang terlalu kering sehingga ketika masuk dalam penggilingan akan mudah retak ujung setiap gabah. Keretakan butiran gabah disebabkan oleh gabah bersifat higroskopis yang dapat menyerap air dari udara bila dipindahkan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya yang berbeda suhu dan kelembabannya. Menurut Jun et al (2016), seiring dengan peningkatan suhu pengeringan, maka bentuk gabah baik panjang dan lebarnya dapat mempengaruhi penurunan difusivitas kelembaban yang mengakibatkan fisura atau keretakan. Oleh karena itu fenomena tersebut dapat dipercepat oleh pengkondisian gabah setelah pengeringan selesai. Sehingga perlu untuk mengkondisikan gabah setelah dikeringkan pada kondisi suhu ruangan sampai 35oC yang memadai yang disebut dengan tempering.
Nilai mutu lainnya seperti beras berkapur, dan beras kotor, kuning dan merah masih rendah, akan tetapi untuk beras berkapur dapat dikatakan tinggi yakni sebesar 3,28 – 3,6% pada kelas mutu V (Tabel 2). Tingginya kapur pada beras diduga disebabkan oleh proses budidaya dan kesalahan pascapanen. Menurut Wibowo et al (2007), tinggi rendahnya butir mengapur disebabkan oleh kualitas gabah saat pemrosesan, yaitu gabah dipanen belum masak optimum dan terfermentasinya gabah akibat penundaan pengeringan.