• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis

Dalam dokumen prosiding jilid1 bkl2016 (Halaman 42-46)

MAKALAH UTAMA

V. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN 5.1 Redefinisi pertanian

5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis

Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg (1957) dan disempurnakan oleh Davis (1968) dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian dalam era tahun 1960’an hingga tahun 1990’an atau bahkan hingga awal dekade 2000’an, termasuk di Indonesia sejak akhir decade 1980’an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaan-perusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perushaan-perusahaan lain, serta iklim usaha (agribusiness enabling environment) yang menentukan aturan main atau koordinasi diantara para pelaku usaha (regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur bisnis). Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang terdiri dari lima subsistem (Gambar 3): Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), Subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), Subsistem usaha penunjang agribisnis (agribusiness-supporting enterprises), dan Subsistem lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Kiranya dicatat bahwa Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator dalalam konsep Goldberg (1968) dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg (1957) dan Saragih (2010).

Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir. Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian (agricultural value chain) pada dekade 1990’an hingga 2000’an. Paradigma agribisnis maupun rantai nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan.

26

Gambar 3. Sistem Agribisnis (Diolah dari Davis, 1968)

Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian (on farm). Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal (pupuk kimia, air) dalam jumlah yang terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan.

Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby (2011) mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati (bioscience) atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi (2006) mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal (termasuk pemeliharaan kesehatan, farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll), agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang terkait (bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll). Pada definisi ini, biobisnis berkenaan dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau dituntun oleh ilmu hayati.

Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk (European Commission, 2012). Dengan definisi ini, biobisnis mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) yang memproduksi (agro)biomassa, (bio)industri yang mengolah (mengonversi atau mentransformasi) biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk.

Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian (agrobiomassa). Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa (biomassa hasil pertanian) dan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,

27

komersialisasi atau diseminasi, dan penyuluhan ilmu pengetahuan dan innovasi yang dipergunakan dalam rantai nilai agrobiomassa.

Paradigma agrobiobisnis disusun dengan lima pilar pemikiran (Simatupang, . Pertama, agrobiobisnis berorientasi untuk memaksimalkan nilai tambah (laba) ekonomi, manfaat sosil-politik, dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang berdasarkan prinsip bisnis berkelanjutan. Konsep ini berbeda dengan paradigma agribisnis konvenvensional yang hanya berientasi pada perolehan laba ekonomi sebesar-besarnya. Orientasi manfaat sosil-politik dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang dengan laba ekonomi merupakan salah satu pembeda utama paradigm agobiobisnis dari paradigm agribisnis.Paradigma agrobiobisnis berpandangan bahwa nilai tambah sosial-politik dan jasa lingkungan tidak saja secara intrinsik bernilai kebajikan dari perspektif publik bagi masyarakat umum, tetapi juga bernilai instrumental finansial dari perspektif privat bagi perusahaan sendiri. Jasa lingkungan juga bernilai finansial bagi perusahaan karena tiga alasan berikut. Pertama, usaha jasa lingkungan itu sendiri merupakan bidang usaha komersial. Sebagai contoh, pertanian landsekap yang mencipatkan udara sehat serta panorma nyaman dan indah dapat dijadikan sebagai bisnis pariwisata. Usaha jasa pengolahan limbah dan reklamasi lingkungan juga dapat menjadi usaha komersial yang menguntungkan. Kedua, perusahaan dapat memperoleh insentif atau imbalan finansial atas kontribusnya dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian sumbar daya alam dan lingkungan hidup, seperti carbon credit, carbon trade, dll. Ketiga, kapitalisasi reputasi perusahaan di mata konsumen yang tercermin dalam harga atau permintaan produk yang lebih tinggi.

Landasan pemikiran kedua paradigma agrobiobisnis ialah bahwapertanian adalah rekayasa agroekosistem untuk menghasilkan biomassa dan jasa ekosistem. Perspektif agrobiobisnis berpandangan bahwa pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem pertanian ekologis atau sistem agroekologi (Gambar 2). Dalam perspektif praksis, agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam.

Ketiga, seluruh agrobiomassa yang dihasilkan dikonversi dan transformasi menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, oleh fasilitas pengolahan terpadu berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Fasilitas pengolahan demikian secara agregat disebut agrobioindustri dan secara mikro perusahaan disebut kilang agrobioindustri (agrobiorefinery). Agrobioindustri tidak sama dengan agroindustri. Dari segi cakupan bahan baku atau feedstock, bioindustri lebih luas dari agroindustri. Agroindustri hanya menggunakan sebagian hasil pertanian sebagai bahan bakunya, sementara agrobioindustri menggunakan segala jenis biomassa hasil pertanian, termasuk sisa dan limbah. Dari segi tujuan, agrobioindustri berorientasi pada nilai tambah sebesar-besarnya dengan menghasilkan beragam produk bernilai tinggi dari feedstock biomassa yang digunakan dan dengan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Kilang agrobioindustri paling sesuai dengan konsep industri berkelanjutan. Pertama, perdefinisi kilang agrobioindustri mengintegrasikan beberapa alur proses (platform) pengolahan biomassa untuk menghasilkan beragam produk, sehingga lebih banyak jenis biomassa yang diolah dan menghemat penggunaan input, termasuk feedstock, energi dan input lainnya. Kedua, biokilang dapat mencakup proses pengolahan kembali atau menggunakan kembali sisa dan limbah dari proses pengolahan lainnya. Sebagai contoh, onggok sisa pengolahan ubikayu segar menjadi pati dapat diolah menjadi bahan pakan atau biogas. Ketiga, biokilang dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan feedstock. Sebagai contoh, sisa dan limbah proses pengolahan olahan ubikayu menjadi pati, termasuk produk ikutan biodigester, dapat diolah menjadi pupuk yang digunakan sebagai input pada usahatani ubikayu (Gambar 4). Kesatuan sistem pertanian (Gambar 2) dan agrobiobioindustri (Gambar 4) ekologis dalam suatu sistem tertutup disebut sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan (Simatupang, 2014) atau Sistem Pertanian Bio-Siklus (Agus, 2014).

Keempat, sistem pertanian intensif ekologis dan agrobioindustri ekologis akan berhasil ditumbuh-kembangkan bila dilaksanakan dengan pendekatan atau paradigma sistem agrobiobisnis. Komponen sistem agrobiobisnis terdiri dari lima blok, yaitu blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis (Agrobiobusiness Knowledge and Innovation System), Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobioproduk, Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis, Sektor Masyarakat

28

Konsumen, dan Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis). Kelima blok tersebut saling berhubungan secara sirkuler dalam mengalirkan produk dagangan (input-ouput), informasi dan aturan main (Gambar 4).

Gambar 4. Sketsa arsitektur agrobioindustri ekologis

Blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis berfungsi untuk menyediakan teknologi dan pengetahuan yang diperlukan oleh keempat blok lainnya. Di dalam blok ini termasuk lembaga pendidikan, penelitian, serta pengembangan, komersialisasi dan penyuluhan teknologi. Blok Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa berfungsi untuk meghasilkan agrobiomassa (pertanian, on-farm), mengonversi dan mentransformasi agrobiomassa (agrobioindustri) menjadi beragam bahan pangan, pakan, dan bioproduk bernilai tinggi (agrobioindustri), serta menghantarkannya (agrobiologistik dan pemasaran) kepada konsumen. Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis adalah sektor usaha swasta yang memberi dukungan untuk kelancaran usaha Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis dan Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa. Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis adalah elemen-elemen pembentuk konteks lingkungan strategis bagi keempat blok lainnya. Termasuk dalam blok ini ialah standar, regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, organisasai konsumen, dan organisasi masyarakat sipil.

Kelima, pembangunan inklusif berkelanjutan. Pembangunan agrobiobisnis adalah pilar utama pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata untuk sepanjang waktu. Kesejahteraan rakyat itu bersifat multi-dimensi, meliputi kesejahteraan ekonomi, sosial-politik, dan lingkungan alam. Kesejahteraan ekonomi tercermin dari tingkat pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesejahteraan sosial politik tercermin terutama dari partisipasi dalam pembangunan, sosial dan politik, pemerataan pembagian manfaat pembangunan, kebebasan dalam aktualisasi diri. Kesejahteraan terkait lingkungan hidup termasu antara lain kesehatan, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup serta kepastian akan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sepanjang masa. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan berlandaskan pada tiga pilar: Manfaat Ekonomi (Profit), Kemanusiaan dan Keadilan Sosial (People), dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Planet).

29

Gambar 5. Sketsa Sistem Agrobiobisnis

Dengan demikian, pembangunan agrobiobisnis diarahkan untuk peningkatan nilai tambah dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), dengan partisipasi sosial-politik yang adil dan merata antar individu, golongan dan wilayah (inclusive, pro-equity), dan memelihara atau bahkan meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (pro environment). Kiranya dicatat bahwa satu-satunya sektor yang secara alamiah dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup ialah pertanian (dalam arti luas, termasuk kehutanan dan perikanan). Oleh karena itu, tidak boleh tidak agrobiobisnis haruslah dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) atau ekonomi hijau (Green Economy) yang menjadi arus utama arah pembangunan saat ini hingga mesa mendatang.

PENUTUP

Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Selain mengantisipasi perubahan lingkungan strategis, pembangunan pertanian hendaklah ditempatkan pada fungsinya yang bersifat ganda. Pertanian tidaklah semata-mata untuk mewujudkan swasembada pangan dan stabilisasai harga komoditas pangan volatile determinan inflasi. Pembangan pertanian hendaklah ditempatkan sebagai poros dan mesin penggerak transformasi pembangunan nasional menuju negara maju berpendapatan tingggi. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan yang telah disusun oleh Kementerian Pertanian dapat dijadikan sebagai referensi utama dalam penjabaran lebih lanjut konsep tersebut.

Dalam dokumen prosiding jilid1 bkl2016 (Halaman 42-46)