• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Logam berat

2.5 Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan telah diteliti oleh beberapa peneliti baik di kawasan industri maupun pada kawasan pesisir. Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan antara lain sebagai berikut.

Hasmanto (2001) meneliti tentang evaluasi keterkaitan pengembangan industri terhadap masalah kependudukan dan pencemaran lingkungan (studi kasus Kawasan Berikat Nusantara Cakung dan Marunda, Jakarta). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang terkait dengan perkembangan industri di dalam kawasan berikat nusantara (KBN) meliputi: (a) faktor industri, variabel jumlah industri akan mempengaruhi variabel laju perkembangan polusi industri dan variabel ketersediaan kesempatan bekerja; (b) faktor kependudukan, variabel jumlah penduduk mempengaruhi variabel laju perkembangan polusi domestik dan variabel permintaan akan kebutuhan perumahan; dan (c) faktor pencemaran, variabel tingkat polusi akan mempengaruhi variabel tingkat kesehatan lingkungan.

Selain itu tingkat pencemaran merupakan variabel kunci pada keterkaitan pengembangan industri terhadap masalah kependudukan dan pencemaran lingkungan. Dengan mempertimbangkan tingkat pencemaran dan baku mutu lingkungan, perkembangan industri di dalam kawasan berikat nusantara mencapai optimal pada tahun 2008, dengan jumlah industri sebesar 241 buah, jumlah penduduk sebesar 163.941 jiwa, dan jumlah rumah sebesar 23.772 rumah. Laju pencemaran industri di sekitar KBN Marunda mempunyai kecenderungan meningkat lebih besar dibandingkan dengan sekitar KBN Cakung. Dengan demikian tingkat pencemaran industri di KBN Marunda telah melebihi baku mutu pada tahun 2008. Sumbangan tingkat pencemaran industri lebih di dominasi oleh tingkat pencemaran limbah cair seperti BOD dan COD. Pencemaran domestik pada awalnya lebih didominasi oleh KBN Cakung, namun dari tahun ke tahun akan beralih ke sekitar KBN Marunda seiring dengan laju

perkembangan penduduk. Untuk menurunkan tingkat pencemaran industri, maka perlu lebih mempertegas pelaksanaan pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), bagi investor yang melakukan pembangunan industri yang menghasilkan limbah cair pada proses produksinya. Selain itu untuk mengantisipasi peningkatan pencemaran domestik diperlukan pengendalian arus migrasi masuk ke sekitar Kawasan Berikat Nusantara (Hasmanto, 2001).

Suwandi (2007) meneliti tentang analisis pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di masing-masing kawasan sejauh ini masih perlu dikoordinasikan secara terpadu, baik secara horizontal (yang menyangkut masyarakat sekitarnya) maupun vertikal (yang menyangkut pemerintah dan instansi lainnya), dengan tetap mewadahi aspirasi masyarakat lokal untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Daya tampung PPI/TPI Kamal Muara dapat ditingkatkan untuk menampung limpahan kapal dari PPI Muara Angke dan PPI Dadap. Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan yang sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik adalah kegiatan yang saling mendukung dan saling mengisi.

Sjaifuddin (2007) meneliti tentang pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan Laut Teluk Banten berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut menunjukkkan bahwa model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan Laut Teluk Banten yang dirancang dengan mengintegrasikan kebijakan yang tepat, melalui pengembangan industri ramah lingkungan, insentif investasi, perlindungan fisik habitat, pengelolaan sumber dampak dan pemberdayaan masyarakat, merupakan model yang implementatif dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengembangan industri dan insentif investasi berhasil menciptakan banyak peluang kerja (mencapai 189.282 jiwa). Perlindungan fisik habitat dan pengelolaan sumber dampak berhasil memberikan perlindungan fungsi ekosistem secara optimal (penutupan karang dan lamun dapat dipertahankan pada luasan 250 ha dan 370 ha; sedangkan penutupan mangrove dapat ditingkatkan hingga mencapai luasan 292 ha). Pemberdayaan masyarakat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pesisir untuk

meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Untuk mengetahui kinerja sistem secara lebih dalam, perlu dirancang model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan Laut Teluk Banten dalam konteks yang lebih mikro (melibatkan komponen sub model secara lebih terbatas tetapi dengan tinjauan yang lebih detail). Dengan model yang lebih mikro, alternatif kebijakan yang diimplementasikan bisa lebih spesifik.

Samawi (2007), meneliti tentang desain sistem pengendalian pencemaran perairan pantai kota (studi kasus perairan pantai Kota Makassar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban pencemaran terbesar yang masuk ke Pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang mengakibatkan terjadinya pencemaran pantai pada kategori ringan. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran perairan pantai Kota Makassar termasuk kategori tinggi. Kota Makassar mempunyai tiga tipologi aliran beban limbah. Strategi yang diterapkan untuk menekan beban limbah agar sesuai baku mutu lingkungan secara komprehensif adalah (1) Pembangunan instalasi pengolahan air limbah pada muara kanal dengan kapasitas minimal 168.000 ton per tahun (2) Pengontrolan limbah dari kawasan industri sesuai dengan baku mutu (3) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi pencemaran pantai melalui pola hidup bersih dengan menerapkan 4R (reduce, reuse, recycle, dan replant). Kepada Pemerintah, pelaksanaan pengendalian pencemaran perairan pantai perlu melibatkan berbagai stakeholders yang terkait agar lebih efektif.

Marganof (2007), meneliti tentang model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang dapat diterapkan untuk menekan beban limbah agar sesuai dengan baku mutu air yang diperuntukkan sebagai sumber air baku air minum berdasarkan prioritas adalah : 1) meningkatkan persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang dampak pencemaran perairan danau, 2) mengurangi laju pertumbuhan keramba jaring apung (KJA); dan 3) menekan laju pertumbuhan penduduk; dan 4) mengupayakan pembangunan instalasi pengolahan limbah rumah tangga (tengki septik) di sekitar danau. Pengendalian pencemaran Danau Maninjau dapat dilakukan dengan strategi optimistik, namun perlu didukung oleh beberapa kebijakan beriupa (1) dukungan pemerintah untuk membangun fasilitas pengolahan limbah cair penduduk dan pengadaan pakan yang rendah kandungan fosfornya serta infrastruktur penunjang lainnya,

(2) peningkatan kesadaran, kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan dan (3) menyusun rencana strategis daerah khusus bidang pengelolaan sumberdaya alam.

Hasil penelitian El-Fadel et al. (2001) menunjukkan bahwa industri-industri di negara berkembang seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 ton/tahun, limbah cair sebanyak 20.169.600 m3/tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 ton/tahun. Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan sosial ekonomi negara tersebut (17% dari produk domestik kasar), tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang. Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah dan penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum lingkungan dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah industri.

Najm et al. (2002) menyimpulkan bahwa perhatian yang terus meningkat terhadap lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat. Dalam konteks ini, Najm et al. (2002) telah memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang memperhitungkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Model ini memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi, pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai teknik pengelolaan limbah padat. Sementara untuk limbah cair, Al Yaqout (2003) menyarankan kolam evaporasi sebagai solusi bagi pembuangan limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering.

Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan. Pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang seperti India (Muthukumaran1and Ambujam, 2003).

Danau Chivero di Harare, India telah mengalami pencemaran serius akibat besarnya volume buangan dari industri pengolahan air limbah di Harare dan kota tetangganya (Chitungwiza). Danau ini juga menerima pencemaran dari

pertanian, limbah padat, dan industri. Hampir semua industri pengolahan limbah di kawasan danau mengalami kelebihan beban dan seringkali tidak berfungsi. Keadaan ini diperparah oleh kekeringan setiap tahun, mengakibatkan akumulasi nitrogen dan fosfor di danau tersebut. Dampak negatifnya terlihat pada kematian ikan secara periodik, blooming alga dan eceng gondok, serta penurunan keanekaragaman biologis. Masalah lain adalah kesulitan pengolahan air minum dan pipa irigasi yang mampet.

Nhapi (2004) menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun (khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau) di Danau Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi 3 tahapan untuk pengelolaan air limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1) pencegahan/penurunan pencemaran pada sumber, 2) treatment air penggunaan ulang, and 3) pembuangan dengan stimulasi kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus dilakukan berdasarkan kronologis.

Lebih lanjut Nhapi (2004) menjelaskan bahwa pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air danau secara disentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu, hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari 5 tahun, sehingga meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi (2004) menyimpulkan bahwa masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources.