• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Industrialisasi dan Kawasan Industri

2.2.2 Perkembangan Kawasan Industri

Kawasan industri di beberapa negara telah memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan industri di negara tersebut. Beberapa aspek yang perlu ditinjau sebagai bahan perbandingan dalam upaya pengembangan kawasan industri di Indonesia adalah dari segi pengembang dan dari segi kebijakan pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono, 2004).

Di sebagian besar Negara Asia (Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Thailand) kecuali Filipina dan Indonesia, pihak pemerintah termasuk pemerintah pusat memainkan peranan utama dalam pengembangan kawasan industri. Walaupun pada akhir-akhir ini beberapa negara mengundang peran swasta untuk membangun kawasan industri, namun peran utama tetap didominasi oleh pemerintah. Pengembang kawasan industri di beberapa negara disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan kawasan industri di beberapa negara

Negara Pemerintah Swasta

Malaysia, 285 kawasan industri 78% (pusat dan lokal) 22%

Jepang 85% 15%

Korea - 300 kawasan industri 70% pusat, 20% lokal 10%

Taiwan 90% 10%

Singapura 85% 15%

Thailand - 27 kawasan industri 48% 52% kerjasama pemerintah dan swasta Filipina - 20 kawasan industri 30% (pusat dan lokal) 70%

Indonesia - 203 kawasan industri 6% (pusat dan lokal) 94% Sumber: ULI (1975)

ULI (1975) menyatakan bahwa pengembangan kawasan industri di luar negeri memiliki beberapa alasan, yakni: (1) Kawasan Industri dijadikan sebagai alat untuk pemerataan pembangunan (over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa investasi di kawasan industri sebagai suatu investasi fasilitas umum dibandingkan suatu real estate, dan (3) Dunia swasta lebih berorientasi profit (real estate) dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum. Pemerintah sudah seharusnya lebih berperan, minimal bekerja sama dengan pihak swasta, namun tidak bisa menyerahkan kepada mekanisme pasar.

Beberapa strategi yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan dan optimalisasi kawasan industri:

a. Untuk menghindari spekulasi tanah pemerintah membatasi tingkat keuntungan developer. Korea Selatan memberikan batasan keuntungan hanya 10% dari biaya pengembangan. Secara umum di mancanegara harga jual dibatasi 1,1 sampai 1,3 dari biaya pengembangan. Bila dibandingkan harga jual kawasan industri di Indonesia yang mencapai 4-6 x harga pokok, maka terlihat orientasi pengembangan kawasan industri lebih bersifat real estate (profit).

b. Digalangnya kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah lokal dan sektor swasta dalam pembangunan kawasan industri.

c. Disamping memberikan pelayanan utilitas (air bersih, air kotor, listrik), keamanan dan administratif (one stop service), juga memberikan perlakuan-perlakuan insentif khusus untuk lebih menarik investor.

Menurut Sagala (2003) pengembangan kawasan industri (industrial estate) di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, merangsang tumbuhnya iklim industri, terutama bagi daeah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang seperti Cilacap, Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi sarana bagi pengaturan ruang, terutama untuk menghindari timbulnya kasus-kasus polusi lingkungan yang akan berakibat terhadap tuntutan biaya sosial yang tinggi, khususnya di daerah-daerah yang iklim industri dan investasinya tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, Rungkut di Surabaya dan KIM di Medan.

Berdasarkan Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999 dan PP 25/2000 bahwa perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha. Dari segi kewenangan, perkembangan kawasan industri dibedakan atas:

1. Pra Otonomi Daerah

Sesuai Keppres 53/1989 yang dicabut dan kemudian diganti dengan (Keppres 41/1996): Pemerintah pusat cq. Menperindag menerbitkan izin usaha kawasan industri (persetujuan prinsip dan izin usaha tetap) bagi nonfasilitas dan ketua BKPM bagi fasilitas PMA/PMDN. Gubernur menerbitkan izin lokasi dan pembebasan lahan, sedangkan Bupati/walikota mengesahkan site plan letak kawasan industri.

2. Pasca Otonomi Daerah

Sesuai Undang-undang Nomor 22/1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2000: Pasal 2 (4) butir j: kewenangan pemerintah (pusat) dalam membuat standar pemberian izin oleh daerah dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman. Pemerintah provinsi dibentuk untuk tugas koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas kabupaten/ kota. Sesuai dengan PP Nomor 84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah: Pasal 4 (3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin.

Dari segi pelaku usaha, perkembangan kawasan industri dibedakan sebagai berikut:

1. Pra Keppres Nomor 53/1989. Sudah dimulai sejak awal 1970-an. Karena khawatir spekulasi lahan, maka: (1) pembangunan kawasan industri dimonopoli oleh pemerintah; (2) kerja sama pusat, provinsi, kabupaten/kota

dengan perbandingan 60 : 30: 10; dan (3) bentuk BUMN/BUMD. Kemampuan dana pemerintah terbatas: (1) dalam mengembangkan kawasan industri dari pembebasan sampai dengan operasi butuh waktu 6-8 tahun; (2) land demand sangat lebih besar daripada suplai lahan KI; dan (3) 19 tahun hanya mampu membangun di tujuh provinsi (delapan kawasan industri, luas 2.896 ha).

Tabel 2. Kawasan industri yang didirikan sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989

No. Nama Perusahaan Kawasan Industri Lokasi Luas Lahan (Ha)

1. FT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (FT JIEP)

DKI Jakarta 570 2. PT Surabaya Industrial Estate Rungkut

(PT SIER) Surabaya 332

3. PT Kawasan Industri Cilacap Cilacap 143

4. PT Kawasan Industri Medan (PT K1M) Medan 200 5. PT Kawasan Berikat Nusantara DKI Jakarta 593 6. PT Kawasan Industri Makasar (PT KIMA) Makassar 208 7. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT

KIEC)

Cilegon 550 8. Proyek Kawasan Industri Lampung Bandar Lampung 300

Jumlah 2.896

Sumber: Sagala (2003)

2. Pasca Keppres 53/1989. Memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri maupun asing mengembangkan kawasan industri. Terjadi "rush" dalam pengembangan kawasan industri: 203 kawasan industri dengan luas 66.771 ha di 20 provinsi dengan pola sebaran didominasi di Pulau Jawa ± 66,5%. Tingkat keseriusan dalam pengembangannya dibagi empat klasifikasi yakni Kelas I (pengembangan kawasan industri sesuai kemampuan), yaitu Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara. Kelas II (keseriusan pengembangan cukup baik ) diantaranya adalah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kelas III (keseriusan pengembangan sedang diperluas, yakni Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelas IV (hanya merupakan euforia dan latah) yakni Aceh, Sumatera Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan selatan, Kalimantan Timur, Suawesi Utara, Maluku dan Papua.

Kondisi tersebut terjadi karena: (1) Belum ada keharusan setiap industri berlokasi di kawasan industri: Ada SK MPP Nomor 171/1993 tentang Jenis Industri Wajib di Kawasan Industri. SE BPN Nomor 462-3040 Tahun

1996 tentang Penertiban Lokasi Industri; Kedua peraturan tersebut tidak pernah disosialisasikan (tidak efektif); (2) Harga jual kavling di kawasan industri relatif tinggi (mahal): harga jual rata-rata 4 - 6 x harga pokok; dan (3) Perlakuan industri di dalam dan di luar kawasan industri relatif sama. Hal ini mempengaruhi harga tanah kawasan industri untuk diminati oleh pengguna.

Menurut Sagala (2003) bahwa pengembangan kawasan industri dilakukan oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang dibiayai anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Selanjutnya, proyek-proyek tersebut berubah status menjadi badan usaha milik negara (BUMN). Sejak tahun 1970 sampai 1989 telah terealisasi delapan kawasan industri dengan luas areal kurang lebih 2.896 Ha yang tersebar di tujuh provinsi.

Pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan kawasan industri melalui Keppres 53/1989 yang intinya memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri maupun asing untuk berinvestasi. Sejak dikeluarkannya Keppres tersebut hingga tahun 1995 yang merupakan masa booming permintaan lahan pengembangan industri, secara nasional tercatat 165 perusahaan kawasan industri dengan luas areal 53.449 Ha, dengan status mulai dari persetujuan prinsip, izin lokasi, maupun izin tetap atau sudah beroperasi secara komersial. Perkembangan tersebut berlanjut sampai tahun 2000, meningkat menjadi 203 perusahaan dengan luas areal rencana pengembangan sebesar 66.771 Ha. Secara lebih rinci, sebaran perusahaan-perusahaan kawasan industri itu diuraikan dalam Tabel 3. Data dalam Tabel 3, jika diperhatikan dan dibandingkan dengan realita yang terjadi pada tahun 2001, maka untuk daerah-daerah tertentu tampak bahwa permintaan yang terjadi sampai tahun 1995 masih merupakan euforia dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri. Implementasi dari permintaan yang ada dalam tabel tersebut kemungkinan besar belum mencapai 30%-nya. Sebagai ilustrasi, untuk Provinsi Sumatera Utara, 11 perusahaan yang benar-benar merealisasikan rencananya hanya mengembangkan luas lahan sekitar 600 ha, padahal permintaannya seluas 2.578 Ha (Deperindag, 2001).

Tabel 3. Jumlah perusahaan dan luas kawasan industri di setiap provinsi (sampai dengan Desember 2000)

Luas (Ha)

No. Nama Provinsi Jumlah

KI* Rencana Terkuasai Dimatangkan

2 11 1 19 1 1 4 103 14 1 33 1 2 2 2 2 1 1 1 1 470 2.578 150 14.517 1.442 300 1.149 32.985 3.186 50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200 0 1.262 108 1.236,50 0 126,80 1.009,30 12.681,63 955,78 0 1.933,51 0 0 0 230 0 76 265,50 0 0 0 980 108 281,50 0 126,80 1.009,30 7.522,39 619,78 0 1.233 0 0 0 51,50 0 76 203 0 0 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya 203 66.771 19.885,02 12.741,28

*KI: kawasan industri

Sumber: Deperindag (2001)

Di Jawa Barat yang permintaan lahannya terbesar berada di Kabupaten Bekasi, realisasi dalam perhitungan kasar baru 2000 - 3000 Ha saja. Sebagian lahan yang dalam ijin lokasinya disebutkan untuk kawasan industri, ternyata diubah menjadi perumahan. Misalnya, perusahaan kawasan industri Jababeka dengan rencana pengembangan 5.000 Ha, realisasi kawasan industrinya hanya 1000 Ha. Pengembangan yang lebih intensif justru berupa perumahan, lengkap dengan lapangan golf (Deperindag, 2001).

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa perkiraan untuk kebutuhan nyata pengembangan kawasan industri, terutama dengan pelaksanaan otonomi daerah, tidak akan melebihi jumlah yang dinyatakan dalam Tabel 3. Lebih lanjut, luasan kawasan industri yang mampu dikembangkan oleh satu perusahaan kawasan industri, juga tidak terlalu besar dengan kemungkinan luasan maksimal 500 Ha (Deperindag, 2001).

Sektor industri memiliki kemampuan yang tinggi dalam berproduksi dan menciptakan nilai tambah secara luas. Itu sebabnya sektor industri menjadi primadona investasi bagi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman

modal dalam negeri (PMDN). Berdasarkan jumlah dan nilai investasi, dapat dikatakan bahwa minat para pemilik modal untuk berinvestasi di sektor ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996, total investasi sektor industri oleh PMDN sebesar 5.271,7 miliar rupiah dan meningkat menjadi 83.059,5 miliar rupiah pada tahun 2000. Akan tetapi, nilai PMA menurun dari 16.072,1 juta dollar AS pada tahun 1996 menjadi sebesar 10.702,7 juta dollar AS pada tahun 2000. Hal ini disebabkan Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter yang mulai terjadi pada pertengahan tahun 1997 (Sagala, 2003).

Negara penanam modal (PMA) terbesar di Indonesia, antara lain terdiri atas Jepang, Inggris, Singapura dan Thailand. Negara-negara tersebut pada tahun 1996 telah disetujui investasinya dengan nilai investasi masing-masing adalah: (1) Jepang: 7.655,3 juta dollar AS; (2) Inggris: 3.390,6 juta dollar AS; (3) Singapura: 3.131,0 juta dollar AS; dan (4) Thailand: 1.610,6 juta dollar AS (Sagala, 2003).

Meskipun pada tahun 2000 nilai investasi PMA mengalami penurunan cukup signifikan akibat krisis ekonomi dan moneter, namun negara-negara tersebut tetap menjadi negara yang paling tinggi nilai investasinya di Indonesia. Dari segi daerah tujuan investasi, pulau Jawa menjadi daerah tujuan utama investasi industri di Indonesia, baik PMA maupun PMDN. DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, merupakan provinsi utama yang dituju para investor. Di luar Pulau Jawa terdapat pula provinsi-provinsi yang juga menjadi tujuan utama para investor sektor industri, antara lain Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Nilai rata-rata investasi yang tertanam pada tahun 19% di atas 2.000,0 juta dollar AS dari PMA dan di atas 3.000,0 miliar rupiah dari PMDN (Sagala, 2003).

Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) telah melampaui kontribusi sektor pertanian sejak tahun 1990. Meskipun demikian, pemerintah tetap berupaya meningkatkan sektor sekunder dan tersier tanpa mengabaikan sektor pertanian. Sekarang, pemerintah telah menetapkan kembali sektor pertanian sebagai sektor yang diutamakan dalam hal pertumbuhan ekonomi negara meskipun sektor industri tetap dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan industri secara nasional (Sagala, 2003).

Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia memang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan jumlah perusahaan industri besar dan sedang. Menurut data statistik, selama periode tahun 1997 dan 1998 jumlah

perusahaan industri besar dan menengah masing-masing turun sebesar 2,7% dan 4,3% dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 1996 jumlah perusahaan industri besar dan menengah hampir mencapai 23.000 perusahaan, maka pada tahun 1997 tinggal sekitar 22.386 perusahaan, bahkan pada tahun 1998 jumlahnya terus turun hingga 21.423 perusahaan. Namun, data statistik terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 1999 jumlah industri besar dan menengah mulai meningkat kembali menjadi 22.070 perusahaan meskipun jumlah ini masih jauh di bawah jumlah perusahaan tahun 1996 (BPS, 2006).

Pengaruh krisis ekonomi dan moneter terhadap industri kecil dan industri rumah tangga tidak diketahui secara pasti karena belum ada pendataan yang akurat tentang keberadaan industri kecil dan rumah tangga tersebut. Namun, banyak pengamat dan analis ekonomi menyimpulkan bahwa sektor industri kecil dan rumah tangga tidak terlalu terpengaruh oleh krisis yang terjadi, karena sektor ini tidak banyak menggantungkan bahan baku dari luar (impor). Sektor industri kecil kerajinan (handycraft), barang seni, interior dan beberapa industri daur ulang yang memasarkan produknya ke luar negeri (ekspor), justru sangat diuntungkan pada kondisi krisis ini, akibat operasi nilai tukar rupiah yang lemah terhadap mata uang dollar AS (Sagala, 2003).

Berdasarkan skala usahanya, sebagian besar industri di Indonesia merupakan industri berskala menengah karena tiap tahunnya terjadi pertambahan industri untuk industri skala menegah 70% dan 30% sisanya untuk industri berskala besar. Demikian pula dengan pertumbuhan jumlah industri. Sebelum krisis ekonomi, industri skala menengah mampu tumbuh sebesar 8% pertahun sedangkan industri besar hanya mampu tumbuh sebesar 2% pertahun. Pada saat krisis jumlah industri besar dan menengah ini turun sebesar 4,1% dan 1,88%. Dari data tersebut tampak bahwa industri skala besar sangat rentan terhadap krisis ekonomi dibanding industri menengah (Dirdjojuwono, 2004).

Ditinjau dari skala outputnya, jumlah perusahaan yang memiliki output 1 miliar atau lebih, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1996 hanya sekitar 37% perusahaan industri pengolahan yang memiliki output 1 miliar rupiah atau lebih, maka pada tahun 1999 dapat mencapai 48%. Dari sembilan subsektor industri, hanya tiga subsektor yang lebih dari 50% perusahaannya memiliki output 1 miliar atau lebih, yaitu subsektor industri kimia dan barang dari kimia, logam dasar, dan barang dari logam. Jadi, masih terdapat enam subsektor lain yang perusahaannya memiliki output di bawah 1 miliar

rupiah. Bahkan pada subsektor galian non logam sekitar 83% perusahaan memiliki output di bawah 1 miliar. Data tersebut menunjukkan bahwa subsektor industri kimia dan logam merupakan subsektor yang mampu menghasilkan output industri yang lebih besar dibandingkan dengan subsektor industri yang lain (Dirdjojuwono, 2004).

Berdasarkan tinjauan komposisinya, industri makanan dan minuman, industri tembakau, serta industri tekstil dan pakaian jadi mendominasi jumlah perusahaan industri. Setiap tahun 50% dari industri besar dan menengah didominasi oleh ketiga subsektor ini, sedangkan jumlah perusahaan industri logam dasar merupakan subsektor terkecil yaitu hanya 1% dari keseluruhan industri besar dan menengah. Dalam kurun waktu empat tahun dari tahun 1996 sampai tahun 1999 terjadi perubahan komposisi nilai tambah tiap subsektor industri. Jika pada tahun 1996 dan 1997 penyumbang terbesar nilai tambah industri berasal dari subsektor barang dari logam dan mesin, maka pada tahun 1998 dan 1999 nilai tambah terbesar bergeser pada subsektor makanan dan minuman serta subsektor tembakau, yaitu masing-masing sebesar Rp 35,6 triliun (22,3%) dari subsektor makanan dan minuman, serta Rp 47,2 triliun (33%) dari subsektor industri tembakau. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USA dollar telah meningkatkan pendapatan subsektor ini, sedangkan subsektor tekstil dan pakaian jadi menempati urutan kedua dalam nilai tambah industri (Dirdjojuwono, 2004).

Sayangnya, hingga saat ini penyebaran unit usaha industri masih terasa sangat timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang mempunyai jumlah unit usaha industri cukup besar adalah Sumatera Utara sebesar hampir 6% dari total unit usaha industri di Indonesia. Provinsi di KTI yang mempunyai jumlah unit usaha industri cukup besar adalah Sulawesi Selatan (Dirdjojuwono, 2004).

Menurut data statistik, penyerapan tenaga kerja oleh kegiatan sektor industri mengalami kenaikan pada periode 1995-1996, dari 4.174.141 orang menjadi 4.214.967 orang. Namun, ketika krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997, terjadi penurunan yang cukup signifikan menjadi 4.123.612 orang. Hal ini merupakan akibat dari kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan industri. Namun, sejalan dengan keberhasilan upaya

pemulihan ekonomi dan semakin kondusifnya kondisi sosial-politik dalam negeri, sektor industri mulai bangkit kembali. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor ini kembali mengalami peningkatan cukup tinggi, yakni menjadi 4.234.408 orang pada tahun 1999 (BPS, 2000).

Dilihat dari segi produktivitasnya, tenaga kerja pada subsektor padat modal lebih tinggi daripada subsektor padat karya. Contohnya, produktivitas tenaga kerja pada subsektor logam dasar dan subsektor barang dari logam, yang merupakan industri padat modal, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan subsektor lainnya. Produktivitas rata-rata tenaga kerja pada subsektor logam dasar adalah sebesar 139,4 juta rupiah per orang per tahun, sedangkan pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi yang merupakan industri padat karya rata-rata hanya 18,5 juta rupiah per orang per tahun. Namun demikian, subsektor industri padat karya memiliki kemampuan sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja dibandingkan dengan subsektor padat modal yang banyak mengganti tenaga manusia dengan mesin-mesin pabrik .