• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola PT KBN yang dikuatkan dengan dokumen-dokumen yang terdapat di PT KBN (data tahun 2007) terlihat bahwa jumlah air buangan dari proses produksi mencapai 16.314 m3/bulan dan

71.702 m3/bulan dari aktivitas domestik. Mengingat air buangan tersebut merupakan limbah cair yang dibuang ke dalam badan air (ekosistem sungai), maka di dalam limbah tersebut akan terdapat berbagai bahan pencemar, baik pencemar yang masuk pada kategori limbah organik, maupun bahan pencemar yang termasuk limbah anorganik atau bahkan masuk pada kategori limbah B3.

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air badan air pada Kanal Utara (I, II, III, IV) dan Kanal Selatan (I, II, III, IV) pada 2 priode waktu yang berbeda (Juli 2007 dan Desember 2007) oleh Balai TKLPPM (2007), dapat diketahui bahwa sebagian besar parameter kualitas badan air yakni temperatur, residu terlarut (TDS), residu tersuspensi (TSS), pH, total fosfat, nitrat NO3-), arsen (As), selenium (Se), kadmium (Cd), krom (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), air raksa (Hg) dan H2S masih di bawah baku mutu. Namun BOD dan COD, amonia (NH3), besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), khlorida (Cl), nitrit (NO3-), sulfat, minyak dan lemak, deterjen serta fenol yang terdapat pada kedua kanal melebihi baku mutu (Tabel 13).

Tingginya BOD, COD serta minyak dan lemak serta rendahnya khlorida pada Kanal Utara 1 disebabkan air yang mengalir pada Kanal Utara 1 lebih didominasi oleh air limbah yang berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan PT KBN yang membuang limbah domestiknya ke dalam Kanal Utara 1, yang mengakibatkan dominannya limbah domestik seperti yang tercantum pada Kepmen LH Nomor 112 tahun 2003 bahwa limbah domestik dicirikan oleh tingginya BOD serta minyak dan lemak. Tingginya COD pada air Kanal Utara 1 juga diduga berasal dari limbah domestik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sitepu (2008) pada limbah domestik cair yang mengatakan bahwa kandungan COD pada limbah domestik baik di perumahan sederhana maupun perumahan mewah cukup tinggi dengan nilai masing-masing ≥ 500 mg/l dan ≥ 1000 mg/l.

Kondisi perairan yang terdapat di Kanal Utara yang berada pada titik 2 KU II), 3 (KU III) dan 4 (KU IV) serta di Kanal Selatan 1 (KS I), 2 (KS II) dan 3 (KS III) (Tabel 13) menunjukkan kondisi yang sebenarnya terjadi di dalam Kawasan PT KBN. Hal ini disebabkan titik-titik tersebut berada dalam lingkungan Kawasan PT KBN, sehingga hanya menerima limbah yang berasal dari PT KBN. Hal ini terlihat dari kandungan klorida yang cukup tinggi pada semua titik pengamatan yang menunjukkan bahwa limbah yang masuk ke dalam perairan tersebut didominasi oleh limbah industri. Kondisi perairan di Kanal Selatan 4 (KS IV) memperlihatkan kondisi yang sedikit berbeda dibanding titik lainnya (Tabel

13). Hal ini terjadi karena titik Kanal Selatan 4 berada di luar lingkungan Kawasan Berikat Nusantara, yakni ada di Kali Gendong yang merupakan daerah muara sungai.

Tabel 13. Kualitas air badan air di Kanal PT KBN UUK Cakung tahun 2007

Hasil pengujian No Parameter Satuan Baku Mutu PP 82/01 Baku Mutu SK Gub 582/95

KU. I KU. II KU. III KU. IV KS. I KS II KS III KS IV

FISIKA 1 Temperatur o C ± 5 31/29 31/29 31/29 33/30 31/28 31/29 31/29 31/29 2 Residu Terlarut mg/L 2.000 2.000 1.686,0 602,0 686,0 1.228,0 654,0 1.390,0 842,0 726,0 3 Residu Tersuspensi mg/L 400 200 11,0 11,5 36,0 9,0 35,0 38,0 14,5 7,0 KIMIA 1 Ph * mg/L 5-9 6-8,5 7,20 7,10 7,00 7,60 7,00 7,40 7,50 7,20 2 BOD5 * mg/L 12 20 625,0 8,55 6,55 6,15 32,5 21,0 17,0 25,5 3 COD * mg/L 100 30 1.654,4 60,16 60,16 30,08 90,24 75,72 75,72 90,24 4 DO mg/L 0,0 3,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 Total fosfat sbg P mg/L 5 0,5 2,5 1,7 1,9 1,9 2,2 1,7 2,4 1,6 6 NO3sbg N mg/L 20 (-) 3,41 3,52 3,52 3,50 4,21 4,39 4,47 4,51 7 NH3N mg/L (-) (-) 0,02 0,03 0,03 0,12 0,02 0,08 0,09 Tt 8 Kadmium * mg/L 0,01 0,01 tt tt tt tt tt 0,015 Tt 9 Besi * mg/L (-) (-) 0,062 0,156 0,077 0,058 0,056 0,124 0,213 0,064 10 Timbal * mg/L 1 0,1 0,002 0,009 11 Mangan mg/L (-) 0,1 0,37 0,011 0,151 0,256 0,242 0,369 0,21 0,07 12 Seng mg/L 2 1 1,269 1,072 1,062 1,172 1,098 1,162 1,107 2,008 13 Khlorida mg/L (-) (-) 20,99 529,84 229,93 529,84 279,91 599,81 279,91 259,92 14 Fluorida mg/L (-) (-) 0,25 0,2 0,15 0,3 0,25 0,009 0,25 0,15 15 Nitrit sbg N mg/L (-) (-) 0,7248 0,7478 0,0896 0,1411 0,0147 0,2 0,0309 0,3346 16 Sulfat mg/L (-) (-) 131,486 66,786 140,878 203,491 73,048 0,2537 161,749 121,051 KIMIA ORGANIK

1 Minyak dan Lemak Ug/L (-) Nihil 202,0 89,0 123,0 64,0 126,0 104,0 94,0 0,069 2 Detergen sebagai MBAS Ug/L (-) 500 3,27 3,88 3,39 3,46 5,29 6,21 6,20 6,30 3 Senyawa fenol sebagai fenol mg/L (-) (-) 0,447 0,693 0,400 0,454 0,185 0,529 0,428 0,190 Sumber: Balai BTKL (2007)

Temperatur air kanal utara dan selatan adalah 28-33ºC (Tabel 13) Hal ini memperlihatkan bahwa temperatur air pada setiap titik pengamatan tinggi, bahkan pada kanal utara di titik 4 sangat tinggi (33ºC). Suhu air yang tinggi ini akan menjadi faktor ekologis yang akan mempengaruhi proses-proses fisiologis, susunan jenis dan penyebaran organisme perairan (Odum, 1971). Temperatur

air yang tinggi ini dapat membahayakan kehidupan yang ada di dalamnya, apalagi jika pada kanal tersebut terjadi perubahan secara mendadak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pescod (1973) yang mengatakan bahwa jika ada limbah bersuhu tinggi dibuang ke dalam ekosistem perairan mengalir maka perubahan suhunya tidak boleh lebih dari 2,8°C, sedangkan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1,7°C.

Padatan tersuspensi yang ada di lokasi penelitian memperlihatkan nilai yang cukup rendah (Tabel 13). Hal ini diduga karena aliran air yang terdapat di kanal utara dan selatan sangat lamban bahkan nyaris stagnan, sehingga memungkinkan padatan tersuspensi yang ada di dalamnya mengendap ke dasar perairan, akibatnya padatan tersuspensi yang terdapat dalam perairan baik di kanal utara maupun di kanal selatan menjadi rendah. Berdasarkan kandungan TSS yang rendah, menurut Alabaster dan Lloyd (1980) dapat dikatakan bahwa perairan kanal utara dan kanal selatan kualitasnya baik.

Padatan terlarut pada lokasi pengambilan sampel, baik di kanal utara maupun kanal selatan cukup tinggi, terutama di kanal utara titik 1 dan titik 4 serta di kanal selatan titik 2 (Tabel 13). Kondisi ini cukup membahayakan mengingat padatan terlarut merupakan senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut dalam air, yang berukuran lebih kecil dari 10-3μm (Alabaster dan Lloyd, 1980). Seperti larutan garam dan molekul organis yang digunakan pada proses produksi kegiatan industri.

Pada Tabel 13 terlihat bahwa BOD yang terdapat pada KU I adalah 625 mg/kg atau berada jauh di luar ambang batas yang ditentukan; sedangkan pada titik KU II III dan IV nilainya dibawah ambang batas. Hal ini diduga karena pada titik tersebut kepadatan industri yang cukup rendah. Sedangkan di titik KS I, II dan III cukup tinggi dan berada di luar ambang batas yang ditentukan yakni berturut-turut 32,5; 21,0; dan 17 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa PT KBN menghasilkan limbah organik yang cukup tinggi, sehingga nilainya berada di luar baku mutu yang sudah ditetapkan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena menurut Canter dan Hill (1979) pada perairan sungai yang berarus lambat, nilai BOD sebesar 5 mg/L sudah cukup menggambarkan bahwa lingkungan perairan tersebut buruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller dan Lygre (1994), yang mengatakn bahwa nilai BOD lebih dari 5,0 ppm memperlihatkan bahwa perairan tersebut sudah tercemar bahan organik. Untuk itu maka Mahida (1984) menganjurkan agar perairan aman, maka nilai BOD tidak boleh lebih dari 4 ppm.

Seperti halnya dengan BOD, kebutuhan oksigen kimiawi (COD) pada semua titik pengamatan juga memperlihatkan nilai yang berada di luar batas ambang yang ditentukan, yakni antara 30,08 – 1654,4 ppm. Dalam hal ini nilai COD tertinggi terjadi di titik pengamatan KU I yang didominasi oleh limbah domestik, sedangkan di dalam kawasan PT KBN nilainya 30,08 – 90,24 mg/l. Kondisi ini memperlihatkan bahwa nilai tersebut sudah berada di luar batas ambang yang ditentukan oleh SK Gubernur DKI Jakarta No. 582 tahun 1995 yang batas maksimumnya 30 mg/l. Hal ini disebabkan pada nilai COD lebih dari 10 mg/l akan mengganggu kehidupan biota yang hidup di dalamnya (Allaert, 1987).

Kandungan oksigen terlarut yang terdapat pada semua titik sampling memperlihatkan nilai yang sangat ekstrim yakni 0 (Tabel 13). Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi air yang terdapat pada badan air sangat ekstrim dan tidak memungkinkan terdapat kehidupan di dalamnya, kecuali untuk biota yang dapat mengambil udara bebas secara langsung dari udara. Menurut Odum (1971) kondisi ini menunjukkan bahwa badan air tersebut tidak mempunyai lagi satuan dasar ekosistem berupa oksigen terlarut, sehingga walaupun badan air tersebut secara harfiah disebut sebagai ekosistem sungai namun secara fungsional tidak dapat dikatakan sebagai suatu ekosistem. Hal ini sesuai dengan pendapat Bobbi (1998) yang mengatakan bahwa oksigen terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan di ekosistem perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya kelarutan oksigen ini juga memberi dampak penting terhadap jenis hewan air yang hidup di perairan, oleh karenanya jika oksigen terlarut pada sungai tidak ada maka dapat dikatakan bahwa sungai tersebut bukan ekosistem yang fungsional. Menurut Pescod (1973) perairan dengan kandungan oksigen terlarut kurang dari 2 ppm dapat diklasifikasikan sebagai sungai dengan kualitas perairan yang sangat buruk.

Adapun penyebab tidak adanya oksigen terlarut dalam perairan disebabkan sangat kecilnya aliran air di sungai (kanal) tersebut, sehingga tidak ada agitasi air di dalam sungai yang menyebabnya mudah melarutnya oksigen ke dalam air terutama yang berasal dari difusi oksigen dari atmosfir (Pescod, 1973). Selain hal tersebut, tidak adanya oksigen terlarut dalam air juga diduga karena bahan organik yang terdapat pada limbah di kawasan PT KBN sangat tinggi, namun karena aliran airnya sangat kecil (hampir stagnan) maka bahan-bahan organik tersebut akan mengendap ke dasar perairan, sehingga

kandungannya dalam air cukup rendah, sehingga nilai COD dan BOD yang ada di dalam air tidak memperlihatkan nilai yang ekstrim.

Pada Tabel 13 terlihat bahwa kandungan fosfat di dalam setiap titik pengamatan memperlihatkan nilai yang berada di bawah baku mutu yang tercantum pada SK Gubernur DKI Jakarta No. 582 tahun 1995 yang batas maksimumnya 5 mg/l. Namun jika dibandingkan dengan konsentrasi nitrat memperlihatkan bahwa perbandingan nitrat dan fosfat adalah mendekati perbandingan 2 nitrat berbanding 1 fosfat, walau konsentrasi fosfat dan nitrat berada di bawah ambang batas (Tabel 13) perbandingan tersebut sangat mengkhawatirkan karena menurut Odum (1971) dapat mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton. Hal ini sejalan dengan pendapat Alaerts dan Santika (1987) yang mengatakan bahwa fosfat juga akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan tanaman dan ganggang serta algae (fitoplankton) secara tidak terkendali, sehingga dapat menghabiskan oksigen dalam air pada malam hari. Kondisi ini akan mengakibatkan banyaknya biota air yang mengalami kematian (Alaert, 1983).

Konsentrasi amonia pada seluruh titik pengamatan berada di luar batas ambang yang ditentukan. Konsentrasi amonia yang tinggi di semua titik pengamatan ini diduga berasal limbah dari kawasan PT KBN yang di dalamnya mengandung nitrogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bobbi (1998) yang mengatakan bahwa amonia merupakan dihasilkan dari prombakan senyawa yang di dalamnya mengandung unsur nitrogen, seperti protein dalam kondisi minim atau tidak ada oksigen. Hal ini diperkuat oleh kandungan oksigen terlarut dalam air yang konsentrasinya nol (0) di semua titik pengamatan, sehingga sangat memungkinkan dihasilkan amonia dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

Tingginya konsentrasi amonia dalam perairan ini memperkuat kenyataan bahwa kanal penampung limbah dari kawasan PT KBN tercemar oleh limbah yang berasal dari PT KBN. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaert et al. (1983) yang mengatakan bahwa konsentrasi amoniak yang tinggi pada air sungai merupakan suatu petunjuk bahwa pada sungai tersebut terjadi pencemaran.

Kandungan klorida pada perairan kanal utara dan kanal selatan cukup tinggi (Tabel 13), kecuali di kanal utara titik 1. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa air yang berada di kanal utara titik 1 didominasi oleh limbah domestik. Kandungan klorida selain di titik 1 kanal utara sangat tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa baik di kanal utara maupun kanal selatan, selain di titik 1

kanal utara didominasi oleh limbah industri dari PT KBN, karena kandungan klor ini diduga berasal bahan-bahan kimia yang mengandung klor serta dari desinfektan yang mengandung klor (Jorgensen dan Johnsen, 1989) yang cukup banyak dipergunakan pada proses industri. Namun demikian toksisitas klorida ini tidak sama pada setiap senyawa tergantung dari gugus senyawanya. Sebagai contoh NaCl sangat tidak beracun, namun jika klor terikat dengan senyawa organik dan membentuk halogen hidrokarbon, maka bahan tersebut menjadi sangat berbahaya, karena bersifat karsinogenik (Klaasen, Doul dan Amdur, 1980).

Pada semua titik pengamatan didapatkan adanya fluorida dalam jumlah yang cukup rendah, yakni 0,009 – 0,25 mg/l. Namun kondisi ini cukup membahayakan mengingat fluorida adalah senyawa halogen yang sangat reaktif yang umumnya digunakan untuk pencegahan caries dentis serta dimanfaatkan pada industri. Kecilnya konsentrasi fluorida ini bukan berarti bahwa fluorida dapat diabaikan begitu saja mengingat fluorida dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tubuh dan tulang (termasuk fluorosis gigi) dan gangguan pencernaan, dapat mengakibatkan terjadinya cacat tulang, lumpuh bahkan berakibat pada terjadinya kematian (Klaasen, Doul dan Amdur, 1980).

Pada setiap lokasi pengambilan sample juga didapatkan adanya nitrit dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Tingginya nitrit di semua lokasi pengambilan sample disebabkan adanya proses denitrifikasi yakni melalui reduksi nitrat ke nitrit yang dilakukan oleh bakteri, sebagai akibat terjadinya kondisi anaerob (tidak ada oksigen) (Tabel 13). Hal ini sesuai dengan pendapat Alaert et al. (1983) yang mengatakan bahwa nitrit adalah nitrogen yang teroksidasi dengan tingkat oksidasi +3 dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara ammonia dan nitrat yang dapat terjadi pada pengolahan air buangan, dalam air sungai dan sistem drainase. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya nitrit bersumber dari limbah industri dan limbah domestik.

pH air di semua titik pengamatan bersifat netral cenderung basa (Tabel 13) netralnya derajat keasaman (pH) pada semua titik pengamatan baik di kanal utara maupun kanal selatan diduga karena adanya bahan-bahan yang masuk ke dalam perairan tersebut seperti detergen yang bersifat basa. Derajat keasaman yang bersifat netral cenderung basa ini menurut NTAC (1968) masuk ke dalam kategori perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan akuatik (pH berkisar antara 6,5 – 8,5).

Konsentrasi ion sulfat pada semua titik pengamatan pada umumnya tinggi (Tabel 13). Kondisi ini sangat membahayakan karena ion sulfat merupakan bentuk utama dari sulfur anorganik yang salah satu bentuknya di dalam perairan berupa sulfida, dan sulfida ini dapat terbentuk dari hasil reduksi sulfat dalam keadaan anaerob. Menurut Klaasen et al. (1980) dalam jumlah tertentu sulfat sangat dibutuhkan oleh organisme untuk membentuk asam amino dan berbagai vitamin, namun dalam jumlah yang berlebih jika sulfat bercampur dengan magnesium atau natrium malah menjadi masalah, karena akan bersifat iritan dalam saluran pencernaan.

Pada semua titik pengamatan didapatkan adanya minyak dan lemak pada konsentrasi yang cukup tinggi, terutama di kanal utara titik 1 (Tabel 13). Hal ini makim memperkuat dugaan bahwa air yang ada pada kanal utara titik 1 didominasi oleh limbah domestik yang berasal dari rumah tangga di sekitar kawasan PT KBN. Hal ini sesuai dengan pendapat Saeni (1989) yang mengatakan bahwa minyak dan lemak selalu terdapat pada limbah domestik, karena minyak dan lemak merupakan komponen ketiga terpenting dalam bahan makanan dan salah satu sumbernya berasal dari limbah dapur serta dari pengurain bahan organik. Keberadaan minyak dan lemak pada perairan ini akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam perairan, sehingga dapat menurunkan difusi oksigen dari atmosfir ke dalam air, yang memperkuat terjadinya kondisi anaerob.

Kandungan detergen pada semua titik perlakuan memperlihatkan nilai yang jauh di atas ambang batas yang ditentukan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang hanya memperbolehkan detergen 0,2 mg/l. Hal ini memperlihatkan bahwa penggunaan detergen di kawasan PT KBN cukup tinggi. Tingginya kandungan detergen yang paling dominan diduga berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang mencuci (washing). Kondisi ini cukup membahayakan mengingat detergen terdiri atas bahan-bahan kimia seperti sodium tripoliphospat (Jaji et al., 2007) yang akan memberikan sumbangan terhadap kandungan total phospat pada perairan.

Pada setiap titik pengamatan didapatkan kandungan phenol yang cukup tinggi dengan nilai yang berada jauh di atas ambang batas yang ditentukan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 yang hanya memperbolehkan phenol 0,001 mg/l. Padahal phenol bersifat sangat beracun (Klaasen et al.,

1980), sehingga seharusnya tidak diperbolehkan ada pada limbah yang akan dibuang (dimasukkan) ke dalam ekosistem perairan penerimanya.

Selain hal tersebut di atas, ekosistem perairan juga tidak boleh mengandung bahan-bahan atau senyawa-senyawa yang bersifat racun (toksik), seperti logam berat. Dalam hal ini berdasarkan hasil pengamatan pada setiap titik pengamatan didapatkan logam berat (Tabel 13). Sebenarnya sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem peredaran darah dan untuk pembentukan enzim pada biota (Klaasen et al., 1980). Akan tetapi bila jumlah dari logam berat masuk ke dalam tubuh dengan jumlah berlebih, maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi mahluk hidup (Klaasen et al., 1980 dan Palar, 2004). Sebagai contoh adalah raksa (Hg), kadmium (Cd) dan timah hitam (Pb). Oleh karenanya, maka WHO (World Health Organization) menentukan kadar maksimum logam-logam yang bersifat toksik yang diperbolehkan ada pada perairan yang diperuntukan air minum dan kehidupan organisme air seperti yang tercantum pada Tabel 14.

Tabel 14. Kadar maksimum logam-logam yang bersifat toksik dalam air bagi kepentingan air minum dan organisme air menurut WHO

Logam Kadar Maksimum (mg/l)

Timah hitam (Pb) 0,05 Arsen (As) 0,05 Selenium (Se) 0,01 Krom heksavalen (Cr) 0,05 Kadmium (Cd) 0,01 Barium (Ba) 1,00 Tembaga (Cn) 1,50 Besi (Fe) 1,00 Seng (Zn) 15,00

Menurut Bryan (1976) ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan masalah pencemaran air yakni aluminium, antimon, arsen, kadmium, krom, kobalt, tembaga, besi, timbal, mangan, merkuri, molibdenum, nikel, selenium, perak, timah putih, vanadium dan seng. Namun demikian beberapa di antara unsur-unsur logam tersebut merupakan unsur yang esensial bagi kehidupan organisme. Sebagai contoh Cu yang merupakan unsur-unsur esensial bagi kehidupan organisme, dalam jumlah berlebih akan bersifat racun dan biasanya akan menghambat kerja enzim karena logam tersebut akan berikatan dengan kelompok sulfhidril yang bertanggung jawab pada aktivitas katalitik (Vallee dan Wacker, 1970).

Hasil pengamatan terhadap kadmium (Cd) di kawasan PT KBN memperlihatkan bahwa Cd hanya terdeteksi pada titik pengamatan kanal selatan titik 2 dengan konsentrasi 0,015 mg/l. Walaupun kadmium hanya terdeteksi di satu titik pengamatan, namun konsentrasi tersebut berada diatas ambang yang ditentukan (Tabel 13). Cd ini selanjutnya akan bersenyawa dengan belerang (S) yang sudah terdapat pada perairan di kawasan PT KBN menjadi greennocckite (CdS) (Palar, 2004), untuk selanjutnya akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan, 1976). Adanya kadmium di kawasan PT KBN ini diduga karena ada penggunaan logam Cd sebagai penyeimbang (stabiliser) dan pewarna pada plastik, pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia (Darmono, 1995). Keberadaan Cd ini walau hanya terdeteksi di satu titik, namun perlu diwaspadai mengingat logam Cd akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia), dan akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam rantai makanan, sehingga biota yang tropik levelnya paling tinggi akan mengalami akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut dan menimbulkan kematian. Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang (Palar, 2004).

Adapun penyebab rendahnya kandungan logam Cd pada hampir semua titik pengamatan diduga ada kaitannya dengan ketiadaan oksigen pada setiap titik pengamatan. Pada kondisi tersebut daya larut logam berat Cd menjadi lebih rendah dan mudah mengendap, sehingga Cd akan mengendap ke dasar perairan, akibatnya maka kandungan Cd dalam air menjadi sangat kecil, sehingga tidak terdeteksi keberadaannya dalam air (Palar, 2004).

Seperti halnya logam Cd, logam Pb juga hanya terdapat pada dua titik pengamatan yakni di kanal selatan titik 2 dan titik 3, berturut-turut 0,002 dan 0,009 mg/l, sedangkan di titik pengamatan lainnya tidak terdeteksi (Tabel 13). Terdapatnya logam Pb pada kedua titik tersebut di atas diduga berasal dari dampak dari aktifitas industri yang dilakukan di PT KBN. Dalam hal ini timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri untuk keperluan sebagai zat tambahan pigmen timbal dalam cat rambut (Palar, 2004). Walaupun konsentrasi Pb masih di bawah ambang batas yang ditentukan, namun tetap perlu diwaspadai karena Pb bersifat akumulatif dalam tubuh mahluk hidup dan akan

mengalami peristiwa biomagnifikasi (Palar, 2004). Adapun penyebab dari hanya dua titik yang terdeteksi logam Pb-nya diduga ada kaitannya dengan kondisi pada titik pengamatan yang oksigen terlarutnya tidak terdeteksi pada semua titik pengamatan. Seperti halnya dengan logam Cd, maka pada kondisi anoksik tersebut, logam Pb daya larutnya menjadi lebih rendah, dan akan lebih mudah mengalami pengendapan ke dasar perairan (Palar, 2004).

Berbeda dengan Pb dan Cd yang hanya terdeteksi pada dua dan satu titik pengamatan, zat besi (Fe) terdeteksi pada semua titik pengamatan dalam jumlah sedikit (Tabel 13), sehingga masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan (Tabel 14). Keberadaan zat besi dalam jumlah yang sedikit di setiap titik pengamatan diduga tidak terlalu mengkhawatirkan untuk kehidupan biota yang ada di dalamnya, mengingat zat besi merupakan unsur esensial yang diperlukan oleh mahluk hidup, terutama hewan tingkat tinggi untuk pembentukan sel darah merah (Ganong, 1995). Namun mengingat kandungan oksigen pada setiap titik pengamatan tidak terdeteksi keberadaannya (Tabel 13), maka logam Fe akan mudah larut dalam air (Palar, 2004).

Selain logam tersebut di atas, pada semua titik pengamatan juga terdeteksi adanya logam mangan (Tabel 13). Pada dasarnya mangan merupakan mineral essensial yang diperlukan oleh mahluk hidup (Ganong, 1995). Dalam kehidupan sehari-hari mangan digunakan sebagai campuran logam lain serta digunakan sebagai anti letup pada bahan bakar (Jorgensen dan johnsen, 1989). Terdapatnya mangan di kawasan PT KBN karena pada semua titik pengamatan terjadi kondisi anaerob (kekurangan oksigen), sehingga logam Mn cenderung mudah larut dalam air yang mengakibatkan mangan terdeteksi pada semua titik pengambilan sampel air.

Konsentrasi mangan di semua titik pengambilan sampel berada di bawah