• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Dinamika Kehidupan Orang Sakai di Jembatan II Serta Hubungan

4.3 Hubungan Orang Sakai dengan Alam Setelah Berubahnya

yang dikelilingi hutan lebat, kayu alam yang berukuran sangat kecil hingga yang besar, dan hewan melata hingga hewan buas masih mudah dijumpai. Sungai Jurong Jembatan II yang membelah perkampungan mereka pun menyimpan aneka ragam ikan dengan jumlah yang melimpah. Namun kini pemandangan tersebut sudah tidak terlihat lagi.

Wilayah Kecamatan Mandau termasuk wilayah Jembatan II Desa Petani yang dijadikan sebagai pusat kegiatan eksplorasi minyak, perkebunan kelapa sawit, usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) membuat wilayah-wilayah hutan di

wilayah ini dibuka secara bertahap dan terus-menerus. Selain itu hutan negara juga semakin memepertegas kuasanya. Keadaan ini membuat tidak ada lagi tanah ulayat masyarakat. PT yang terdapat di dekat pemukiman Orang Sakai Jembatan II antara lain PT Chevron Pacific Indonesia yang bergerak dibidang perminyakan, dan PT Tumpuan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit.

Gambar 43: lahan yang akan dijadikan kebun kelapa sawit si samping pemukiman Orang Sakai di Jembatan II

Orang Sakai di Jembatan II merasakan semakin sempitnya ruang gerak mereka untuk mengumpulkan hasil hutan. Mereka merasa hutan-hutan yang dikelola oleh perusahaan itu tidak membawa keuntungan bagi Orang Sakai sendiri, bahkan mereka tidak bisa memasuki wilayah hutan tanaman industri yang dikelola perusahaan. Selain itu mereka juga tidak dapat mengharapkan hasil sungai. Menurut mereka setiap harinya jumlah tangkapan ikan dari sungai semakin tak bisa dipastikan. Dahulu mereka bisa mendapatkan 10 kg ikan setiap harinya. Tetapi sekarang setiap harinya mereka hanya mendapat maksimal 3 kg ikan. Tangkapan ikan tersebut tentulah hanya bisa untuk makan saja. Mereka tidak mengetahui mengapa jumlah ikan semakin sedikit di sungai Jurong tersebut.

Keadaan ini membuat Orang Sakai harus beradaptasi terhadap ekologi mereka yang berubah.

Vayda (2009:111) menjelaskan bahwa kelangsungan hidup yang mapan sesuai sistem ladang dari semua daerah hutan tropis salah satunya tergantung pada karakteristik tidak hanya adanya perusahaan seperti penebangan, pengeboran minyak, pertambangan, dan penggembalaan skala besar atau penanaman tanaman keras oleh perusahaan non-pribumi, tetapi juga kesempatan bagi masyarakat adat sendiri untuk terlibat dalam perusahaan, baik secara langsung maupun melalui kontrak dengan orang lain. Dengan demikian penjelasan Vayda ini tidak sesuai dengan keadaan Orang Sakai di jembatan II. Orang Sakai sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan perusahaan minyak yakni PT Chevron Pacific Indonesia dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yakni PT Tumpuan tidak terlibat dalam perusahaan. Oleh karena itu keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak membuat kehidupan Orang Sakai semakin mapan.

Hubungan antara Orang Sakai di Jembatan II dengan alam lama-kelamaan semakin berubah. Hubungan yang tercipta menjadi berdasarkan pada pemuasan kebutuhan mereka. Kemajuan teknologi ikut mempengaruhi kehidupan Orang Sakai khususnya dalam mencari dan mengolah kayu. Kayu yang terdapat di hutan yang bernilai ekonomis maka akan ditebang. Penebangan tersebut tanpa memikirkan apapun, sebab yang terpenting adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya kayu untuk mendapatkan uang.

Perubahan hubungan Orang Sakai dengan alam akibat keberadaan perusahaan-perusahaan sama seperti yang dialamai Oleh masyarakat Tanah Toa

Kajang. Seperti yang dijelaskan oleh Adhan (2010), terdapat keterikatan batin antara masyarakat Tanah Toa dengan lingkungannya. Hutan, binatang, dan tanaman dalam kosmologi mereka adalah bagian dari manusia. Dan karenanya masyarakat Tanah Toa menghormati, menyayangi dan memperlakukan layaknya makhluk hidup. Sehingga yang terjadi bukan penaklukan, eksploitasi dari manusia ke yang lain, tetapi bagaimana manusia membangun hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya, Hal ini lah yang menyebabkan pengolahan tanah bagi orang Tanah Toa hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun. Akan tetapi, kini semua hal itu tidak bisa lagi dilakukan. Pada tahun 2007 tanah dan sumber daya alam masyarakat Tanah Toa dieksploitasi oleh Perusaaan perkebunan PT LONSUM. Masyarakat tidak bisa lagi bertahan hanya menggarap sawah atau tanah sekali dalam setahun. Saat ini mereka mulai menggarap sawah atau lahan-lahan mereka sampai dua kali bahkan tiga kali setahun. Mereka mulai mengeksploitasi tanah-tanah mereka, sebab ketersediaan tanah semakin berkurang.

Mulai tahun 1990-an Orang Sakai mengenal toke-toke kayu dan mesin pemotong kayu untuk menebang pohon. Harga mesin pemotong kayu yang mahal sekitar Rp 3.000.000-Rp 4.000.000 membuat mereka iuran untuk membelinya. Dengan adanya mesin pemotong kayu ini membuat kegiatan eksploitasi hutan semakin tidak terkendali. Hal ini dapat dikaitkan dengan penjelasan Alfian (1983:58) mengenai manusia yang berhasil mengembangkan rasio dan penalarannya mempunyai kemampuan untuk mengolah alam sekitarnya guna memenuhi kepuasan materinya. Melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dikatakan telah berhasil mengeksploitasi bumi buat

kepentingan dirinya. Keserakahan manusia, tentunya mereka yang mampu menghimpun kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sering menyebabkannya lupa tentang keterbatasan-keterbatasan alam itu sendiri sehingga pengeksploitasiannya secara berlebihan bukan lagi membawa kebahagiaan materi, melainkan berbalik mendatangkan malapetaka yang menyengsarakan.

Orang Sakai merasakan bahwa mencari kayu merupakan sumber penghasilan yang paling besar. Permintaan masyarakat luar akan kayu sangat tinggi dan tidak pernah sepi, harga kayu hutan yang makin tinggi dan janji-janji toke-toke membuat kegiatan ini menjanjikan kehidupan yang lumayan bagi mereka. Oleh karena itu Orang Sakai menjadikan kegiatan ini sebagai mata pencaharian utama mereka. Sedangkan menangkap ikan di sungai serta memburu dan menjerat hewan di hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka.

Kayu yang memiliki nilai ekonomi yang akhir-akhir ini banyak dieksploitasi secara besar-besaran adalah: kayu gaharu (kayu bosi), kayu meranti, kayu medang, kayu giam, kayu kulim, kayu kamper, kayu balam, kayu punak, kayu mentangur, kayu jelutung, kayu durian hutan, dan berbagai jenis kayu-kayuan lainnya.

Pada tahun 2001 hampir seluruh Orang Sakai di Jembatan II mencari kayu Chips. Kayu Chips adalah kayu alam yang berdiameter sekitar 20 cm. Orang Sakai bekerja bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan. Mulai dari memilih pohon, menebang hingga memundak kayu. Kayu Chips yang diambil kemudian dilangsir melalui sungai ke darat. Cara melangsir adalah dengan

menyusun kayu diatas rangkaian jerigen-jerigen dan tali. Kayu Chips akan ditampung oleh 2 orang toke kayu yang siap mengambil ke Jembatan II.

Pada Tahun 2007 kayu Chips tidak boleh diambil lagi dari hutan. Sehingga kayu Chips tidak laku lagi dijual ke toke kayu. Tidak adanya surat izin untuk mengambil kayu Chips membuat toke kayu tidak mau menampung kayu Chips dari Orang Sakai di Jembatan II lagi.

Pada saat kayu Chips dilarang untuk diambil dari hutan, kehidupan Orang Sakai mulai goyang. Orang Sakai yang pada mulanya menjadikan kayu Chips sebagai sumber utama penghasilan mereka kini terhenti. Secara otomatis ekonomi Orang Sakai di Jembatan II terganggu. Mereka hanya dapat mengandalkan hasil tangkapan ikan di sungai.

Sekitar tahun 2008 Orang Sakai di Jembatan II membuka kilang kayu. Pembukaan kilang kayu ini berawal dari adanya tawaran mesin-mesin untuk mengolah kayu dari toke yang ditukar dengan kayu. Orang Sakai di Jembatan II yang pertama membuka kilang adalah keluarga Bapak Bahtiar bersama bapak Juntak (menantu bapak Bahtiar), dan ibu Erni (adik ipar Bapak Bahtiar). Kilang kayu ini didirikan di tengah perkampungan dekat dengan masjid.

Vayda (2009:113) menjelaskan bahwa kegigihan lingkungan hutan yang dihuni oleh petani pribumi dan pengumpul, bukan merupakan bukti yang jelas bahwa orang-orang konservasionis dijiwai dengan etika konservasi, sering mungkin ditafsirkan hasil dari mereka tidak memiliki angka, kemampuan teknologi, dan insentif pasar untuk menghancurkan hutan mereka. Penjelasan Vayda tersebut bertolak belakang dengan keadaan hutan dan Orang Sakai di

Jembatan II. Hutan di Jembatan II telah mengalamai kerusakan karena Orang sakai di Jembatan II bukanlah termasuk orang-orang konservasionis yang memiliki etika konversi. Selian itu Orang Sakai di Jembatan II memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksploitasi hutan. Orang Sakai juga memiliki intensif pasar melalui toke-toke kayu.

Pada mulanya Orang Sakai mencari kayu dekat dengan pemukiman yang hanya berjarak sekitar 3-5 km. Tetapi lama kelamaan bisa mencapai puluhan kilometer. Hal ini dikarenakan lama-kelamaan kayu yang disekitar pemukiman mereka telah habis yang digantikan dengan perkebunan kelapa sawit. Sehingga mereka harus mencari kayu ketempat yang masih terdapat pohon-pohon untuk ditebang. Apabila mereka pergi mandah menggunakan sampan pukul 12.00 WIB, maka mereka akan sampai di tempat tujuan pada pukul 15.00 WIB. Biasanya mereka mencari kayu ke arah hilir sungai.

Kemudian Orang Sakai di Jembatan berbondong-bondong ikut membuka kilang hingga jumlahnya mencapai 9 kilang. Bapak Bahtiar sudah melarang masyarakat untuk tidak membuka kilang lagi cukup kilang besar itu saja jika tujuannya untuk masyarakat. Menurut Bapak Bahtiar, Orang Sakai memiliki sifat yang iri melihat keberhasilan tetangganya. Oleh karena itu mereka ikut membuka kilang kayu. Keadaan ini dapat kita disebut sesuai dengan penjelasan Susilo (2003:21) bahwa sikap hidup yang sepenuhnya berorientasi pada materialisme akan membuat manusia bersifat serakah. Seolah-olah sepenuhnya harus dimiliki. Misalnya, hutan dieksploitasi kepemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi an sich tanpa mempertimbangkan keperluan generasi mendatang dalam konteks

yang membuat kompetisi semakin digiatkan, dan ironisnya hal itu harus mengorbankan keselamatan alam itu sendiri.

Gambar 44: Area bekas berdirinya kilang kayu

Setelah kilang berdiri dan berjalan Orang Sakai di Jembatan II mulai merasakan kehidupan yang lebih baik. Bisa dikatakan pada saat itu Orang Sakai di Jembatan II berada pada kejayaannya. Mereka mampu membeli peralatan elektronik seperti radio, televisi beserta parabolanya, VCD, telepon gemgam, dan sebagainya. Selain itu mereka juga bisa membeli sepeda motor dan emas. Dengan demikian keadaan ini dapat dikatakan sesuai dengan penjelasan Hafner (1990) bahwa perubahan ekonomi adalah suatu proses moral dan sekaligus material. Dampaknya terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi, dan otoritas.

Perubahan gaya hidup karena perubahan bentuk ekonomi yang dialami oleh Orang Sakai di Jembatan II juga dialami oleh masyarakat Tengger di Jawa Timur. Seperti yang dijelaskan oleh Hafner (1999:1-5) bahwa masyarakat

Tengger mengalami perubahan besar ketika masa Orde Baru mengambil alih kekuasaan. Barang konsumsi mewah melanda pasar-pasar di daerah pedalaman membuat terlihatnya yang kaya dan yang miskin. Orang Dataran Tinggi Tengger yang tidak tertarik menggunakan pakaian bagus dan makan makanan tertentu; pada musim panen semua orang bekerja sama-sama, hampir tidak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah, hubungan patron-klien; tidak mengenal stratifikasi; dan bergantung pada tanahnya sendiri, bukan jaminan subsisten dari patron. Kini Orang Dataran Tinggi persis seperti Orang Dataran Rendah. Orang yang berkelebihan sifatnya memerintah, orang yang berkelebihan musim panen tidak memanen sendiri hasil panennya, mereka mengingat-ingat apa saja yang pernah mereka berikan pada orang lain dan apa saja yang mereka terima, segala sesuatu diperhitungkan dan dimiliki.

Selama kilang kayu berdiri di Jembatan II, kegiatan menangkap ikan tetap dilakukan oleh Orang Sakai. Mereka memasang lukah, memasang taju, dan memancing. Lukah yang digunakan pun telah menggunakan lukah yang terbuat dari tali. Mereka tidak membuat lukah dari rotan sendiri lagi. Hal ini dikarenakan sudah sulit mendapatkan rotan di hutan. Lukah yang terbuat dari tali ini mereka beli dari orang lain. Tetapi kegiatan memancing banyak dilakukan oleh anak-anak dan perempuan, karena para laki-laki bekerja di kilang. Selain itu Orang Sakai di Jembatan II sebelum tahun 2010 menggunanakan tuba untuk menangkap ikan. Akan tetapi sudah 3 tahun terakhir ini mereka tidak menggunakan tuba lagi karena sudah dilarang. Orang Sakai pun dapat menerima aturan tersebut dengan tidak menggunakan tuba lagi.

Orang Sakai di Jembatan II juga masih berburu hewan di hutan pada saat kilang kayu berdiri. Namun kegiatan berburu hewan ini hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Biasanya orang yang memang hobi berburu yang melakukannya. Hal ini dikarenakan hewan-hewan yang biasa mereka buru sudah jarang ditemukan dihutan tersebut. Apabila mereka memasang jerat, mereka lebih sering tidak mendapatkan hewan yang terjerat. Menurut mereka keadaan hutan yang telah berubah membuat hewan-hewan tersebut menghilang.

Pergeseran mata pencaharian akibat perubahan ekologi yang dialami oleh Orang Sakai di Jembatan II juga dialami oleh masyarakat Pulau Rote dan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Seperti yang dijelaskan oleh Fox (1996:79), Masyarakat Rote dan Sawu mula-mula adalah petani ladang. Pertanian yang semakin memburuk telah menimbulkan tumbuhnya sabana palem seperti lontar dan gewang. Mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru ketika usaha perladangan mulai gagal. Masyarakat Pulau Rote dan Sawu akhirnya dalam kehidupannya sangat tergantung pada pohon lontar dan gewang. Dari batang, buah, tangkai dan daun, serta nira berguna bagi kehidupan masyarakat. Namun terdapat perbedaan antara Orang Sakai di Jembatan II dengan Masyarakat Rote dan Sawu dalam pergeseran mata pencaharian akibat perubahan ekologi. Masyarakat Rote dan Sawu dapat beralih kepemanfaatan lontar dan gewang yang tidak mengeksploitasi alam, sedangkan Orang Sakai di Jembatan II semakin mengeksploitasi alam karena dorongan teknologi dan pasar.

Kemudian pada tahun 2010 kejayaan Orang Sakai di Jembatan II terhenti ketika kilang kayu di razia oleh polisi. Semua kilang yang berdiri di Jembatan II

dibongkar, semua kayu dan mobil untuk mengangkut disita oleh polisi. Semua pekerja ditangkap untuk diperiksa. Pada akhirnya ada 8 Orang Sakai di Jembatan II yang ditetapkan sebagai tersangka, terdiri dari 7 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka dijatuhi hukuman penjara selama 9 bulan.

Gambar 45: Mobil dan kayu yang disita polisi

Pada saat pembelaan di Pengadilan, Orang Sakai yang ditetapkan sebagai tersangka mengatakan bahwa hutan yang mereka tebang merupakan milik masyarakat. Sehingga mereka boleh mengambil pohon-pohon yang terdapat di hutan. Selain itu, mereka juga mengaku menebang pohon yang ada di hutan dengan memilih-milih. Tidak semua pohon ditebang oleh mereka. Mereka hanya menebang pohon-pohon yang berdiameter besar dan kayu cerocok. Sedangkan pohon yang masih kecil-kecil tidak mereka tebas dan tidak dirusak. Pohon-pohon yang masih kecil itu mereka biarkan agar dapat tumbuh besar.