• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya

3.6 Pola Perkawinan

Orang Sakai di Jembatan II mengenal bentuk perkawinan dalam kerabat sendiri atau perkawinan antar sepupu (cross cousin) maupun dengan orang luar atau dengan suku lain. Perkawinan yang sedarah (paralel cousin) secara adat dilarang. Perbedaan dalam hal suku bangsa, pendidikan, dan ekonomi tidak dijadikan kriteria dalam menentukan jodoh. Asal ada kecocokan dan disetujui oleh orang tua suatu perkawinan bisa dilangsungkan.

Orang Sakai yang hidup mengelompok di Jembatan II lebih dominan mendapatkan jodoh orang sedesa. Perkawinan yang sering terjadi di Jembatan II ini adalah perkawinan karena rumah mereka berdekatan atau bertetangga, atau karena orang tua mereka terlibat dalam kegiatan ekonomi yang sama sehingga mereka saling bertemu dan menyukai.

Usia memasuki perkawinan Orang Sakai pada masa dahulu dibandingkan dengan sekarang ini sedikit mengalami pergeseran. Dahulu mengenai boleh tidaknya seseorang untuk kawin yaitu sesuai dengan ajaran Islam. Bagi seorang anak laki-laki sudah boleh kawin apabila sudah mencapai akil baliq atau dewasa, biasanya pada usia kira-kira 15 tahun. Sedangkan bagi anak perempuan boleh kawin apabila sudah sampai menstruasi yakni kira-kira berusia 12-13 tahun. Sehingga dahulu usia perkawinan umumnya sekitar dibawah 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Masa sekarang Orang Sakai kawin umumnya usia 15 tahun keatas baik laki-laki maupun perempuan. Faktor pendidikan dan ekonomi dapat dikatakan salah satu yang menyebabkan perempuan dan laki-laki cepat menikah.

Anak yang putus sekolah cenderung untuk cepat berumah tangga. Pandangan Orang Sakai apabila seorang anak laki-laki atau perempuan sudah tidak sekolah lagi dengan segera harus dikawinkan. Orang tua mengambil tindakan demikian untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya anak-anak bergaul bebas dengan lawan jenisnya. Selain itu dapat meringankan beban ekonomi orang tua dengan berumah tangga sendiri.

Walaupun mereka kawin pada usia muda tidak berarti dijodohkan oleh orang tua, tetapi mereka berusaha mencari pasangan sendiri. Dalam perkembangannya yang terjadi masyarakat di daerah setempat sudah mulai berbaur dengan masyarakat lainnya. Hampir semua laki-laki dan perempuan kawin atas dasar keinginan atau pilihan sendiri. Artinya mereka sendiri yang memilih jodoh, bukan orang lain. Pihak orang tua dan keluarga lain hanya memberikan anjuran, nasehat dan persetujuan agar anaknya tidak salah pilih dan berbahagia dengan perkawinan. Pada kasus lain terdapat juga perkawinan yang didasarkan pada paksaan orang tua. Orang tua memaksa anakya untuk kawin dengan seorang laki-laki karena ia terlilit hutang dengan laki-laki tersebut. Dengan kata lain anaknya sebagai pelunasan hutang orang tua.

Anak laki-laki dipandang mampu untuk kawin apabila fisiknya sudah nampak kuat atau mampu mengerjakan pekerjaan yang berat, misalnya sudah mampu untuk mandah mencari kayu, menangkap ikan dan pandai memperbaiki sampan dan peralatan menangkap ikan lainnya. Dengan memiliki kemampuan tersebut dia memenuhi persyaratan untuk kawin. Dengan kata lain dia sudah dianggap sanggup mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan

demikian pada Orang Sakai, fisik seorang anak laki-laki sangat menentukan apabila ingin kawin atau berumah tangga.

Seorang anak laki-laki mengutarakan niatnya kepada orang tuanya untuk mempersunting gadis pilihannya, maka orang tua terlebih dahulu mengetahui siapa gadis itu dan siapa orang tuanya. Begitu juga dari pihak perempuan, bahwa orang tua perempuan berhak untuk mengetahui latar belakang calon suami anaknya dan latar belakang kehidupan orang tuanya.

Inisiatif pertama dalam perkawinan atau dalam hal meminang dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki terhadap keluarga pihak perempuan. Apabila terdapat kesepakatan sesuai dengan ketentuan adat istiadat yang harus diiukuti, selanjutnya diadakanlah pesta perkawinan yang umumnya pada masyarakat Sakai diadakan ditempat perempuan, sedangkan di tempat laki-laki biasanya tidak diadakan pesta. Pesta perkawinan tersebut disatukan ditempat perempuan.

Menurut ketua RT 02 di Jembatan II ini lebih banyak Orang Sakai yang menikah secara sirih (menikah secara agama). Menurut mereka biaya untuk menikah secara agama dan hukum mahal, sehingga mereka memilih untuk menikah secara agama saja. Setelah pesta perkawinan, untuk beberapa hari kedua pengantin akan tinggal di rumah pengantin perempuan dan beberapi hari berikutnya di rumah pengantin laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua pengantin mengenal dari dekat keluarga pihak suami maupun istrinya. Selesai semua itu, pengantin segera memisahkan diri dari rumah orang tua dengan membangun rumah sendiri ataupun menyewa rumah.

Masyarakat yang pada umumnya menikah secara sirih membuat mereka tidak memiliki buku nikah. Hal ini juga membuat anak mereka yang lahir sulit untuk mendapatkan akta kelahiran. Sehingga pemerintah setempat memberikan surat keterangan kelahiran untuk setiap anak Sakai yang lahir dari pasangan yang menikah sirih.

Gambar 34: Surat keterangan kelahiran anak yang dimiliki oleh Orang Sakai

Pada masyarakat Sakai di Jembatan II pola menetap setelah menikah tidak ditentukan. Hanya berdasarkan dimana pasangan yang baru berumah tangga itu suka, bebas memilih apakah pada lingkungan kerabat istri, pada lingkungan kerabat suami atau di luar lingkungan kerabat suami dan istri yang disebut neolokal.

Sebagian besar pasangan yang baru berumah tangga di Jembatan II membangun rumah didaerah itu juga. Tanah yang dijadikan lokasi rumah tersebut sangat mudah didapat dan tidak perlu mengeluarkan biaya atau membeli pada siapapun. Sebab tanah di Jembatan II seluruhnya adalah tanah masyarakat,

rumah juga tidak perlu mengeluarkan biaya, sebab akan dibangun secara bergotong royong oleh kerabat dekat dan para tetangga.

3.7 Agama dan Magi