• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Gambaran Umum

2.1 Sejarah Daerah Riau

Menurut Syair, dkk (1978:8-9), Riau mendapatkan persoalan pra-sejarah yang sulit dalam usaha memperoleh keterangan tentang asal-usul penghuni yang pertama, demikian juga tentang hidup dan kehidupannya, karena kenyataannya di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan artefak-artefak. Suatu bukti bahwa daerah Riau pernah dihuni oleh orang pada zaman pra-sejarah ialah dengan diketemukannyan arca-arca perunggu yang ditemukan selama penggalian-penggalian di bagian Barat Provinsi Riau, arca ini ada diruang pameran Museum Pusat, Jakarta. Arca itu berasal dari Kuwu dekat Bangkinang.

Walaupun di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan kurangnya artefak-artefak sebagai sumber utama untuk mendapatkan keterangan tentang hidup serta kehidupan manusia pertama di Riau, tetapi para peneliti masih dapat mengambil manfaat dari terdapatnya suku-suku terbelakang yang hidup dibeberapa bagian daerah Riau. Suku-suku dimaksud ialah suku Saksi, suku Kubu, suku Orang Hutan, suku Akik dan suku Sakai. Suku Sakai mendiami daerah Minas, Duri, Siak, Sungai apit. Semua suku-suku diatas berada di wilayah Kabupaten Bengkalis (Syair, dkk, 1978:9).

Terdapatnya sisa-sisa manusia tertua di daerah ini yaitu suku-suku terbelakang seperti yang dikemukaan diatas, dapatlah diperkirakan bahwa kedatangan penduduk yang mula-mula kedaerah Riau ini terjadi secara bergelombang disesuaikan dengan keadaan alam dan iklimnya. Gelombang utama

dan zaman mesolitikum yang kebanyakan para ahli mengatakannya sebagai suku ras manusia pertama yang menghuni Nusantara ini. Corak-corak Weddoid tersebut adalah orang Sakai dan Orang Kubu di Riau. ciri-cirinya ialah mempunyai rambut yang berombak dengan warna kulit sawo matang, bertubuh pendek (1,55m) dan berkepala mesocephal (Syair, dkk (1978:10-11).

Riau yang terletak di perairan Selat Malaka merupakan daerah yang strategis dalam arus lalu-lintas Selat Malaka, dilengkapi pula dengan kekayaan alamnya yang menghasilkan benda-benda dagang berharga, serta penduduknya yang berdarah pelaut. Faktor-faktor itulah yang memungkinkan di Riau timbulnya suatu bentuk kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan. Kerajaan yang terbentuk antara lain Kerajaan Sriwijaya pada abad ke VII yang permulaan pusatnya di Muaratakus. Disusul dengan Kerajaan-kerajaan Melayu seperti kerajaan Bintan, Tumasik dan Malaka; kerajaan Kandis dan Kuantan; kerajaan Keritang dan Inderagiri; kerajaan Gasib; kerajaan Rokan; kerajaan Segati; kerajaan Pekantua; serta pemerintahan Andiko Nan 44 di Kampar (Syair, dkk, 1978:30-42). Kemudian sekitar tahun 1500 M-1800 M terbentuk Kerajaan Malaka, Kemaharajaan Melayu, Kerajaan Siak, Kerajaan Inderagiri, dan Kerajaan Kampar. Pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Riau tersebut mendapat campur tangan oleh Kompeni Belanda (Syair, dkk, 1978:79-96).

Pada sekitar tahun 1900 keadaan kerajaan di Riau sudah mulai menurun kekuasaannya. Belanda dengan segala macam usahanya mengadakan perjanjian dengan raja-raja dari kerajaan Riau. Perjanjian itu mengakibatkan semakin berkurngnya kedaulatan dan semakin sempitnya kekuasaan raja-raja. Pada tahun

Perjanjian ini menetapkan Belanda mulai berkuasa di Riau. Perjanjian berikutnya diadakan pada tanggal 26 November 1818 yang mempertegas bahwa daerah kekuasaan Riau meliputi: Johor, Pahang, Riau/Lingga serta Rantau jajahan tahkluknya. Akan tetapi dengan traktak London tahun 1824 yaitu perjanjian antara Belanda dengan Inggris menyatakan bahwa Kerajaan Riau dan Lingga langsung dibawah kekuasaan Belanda. Perjanjian pada tanggal 29 Oktober 1830 antara Sultan Riau dengan Belanda semakin memperkuat kekuasaan Belanda di Riau. Sejak saat itu kedaulatan Sultan Riau/Lingga merupakan lambang belaka (Syair, dkk, 1978:154).

Mendaratnya bala tentara Jepang pada tahun 1942 mulanya mendapat sambutan hangat dari rakyat Riau daratan karena Jepang dianggap sebagai tentara yang membebaskan daerah ini dari penjajahan Belanda. Kedatangan mereka ini sungguh sangat menarik sekali dan sangat ramah tamah sehingga memikat perhatian rakyat. Tentara Jepang memerintahkan pembesar-pembesar Belanda seperti asisten Residen Bengkalis, Kontrolur Siak, Kontrolur Bagansiapi-api, dan pembesar lainnya untuk menyerah kepada Jepang di Istana Siak. Penyerahan pembesar belanda itu dilakukan dimuka istana Sultan Siak dengan maksud supaya dapat disaksikan oleh rakyat (Syair, dkk, 1978:185).

Setelah seluruh Riau dapat diduduki Jepang dan mereka telah mengadakan konsolidasi tentaranya, suasana ramah tamah mulai hilang dan muncullah watak militer fasisme yang sbenarnya. Bendera merah putih tidak lagi boleh dikibarkan. Tindakan sewenang-wenang, tampar, sepak terjang dan maki-maki kasar sebagai bagaro merupakan pandangan dan pendengaran setiap hari. Rakyat mulai kecut

para Sultan atau Raja di Riau boleh dikatakan tidak ada lagi. Mereka tidak menjelaskan pemerintahan, hanya dianggap sebagai orang-orang terkemuka saja. Pada akhirnya pemerintahan Sultan dan raja-raja dibekukan dan seluruh wilayah Riau langsung dibawah pemerintahan Jepang (Syair, dkk, 1978:187).

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bnagsa Indonesia pada tanggal 17 Agustur 1945 di Jakarta, tidak dapat dengan serentak tersebar ke seluruh plosok Tanah Air termasuk daerah Riau. Hal ini desebabkan karena Jepang mengadakan pengawasan ketat terhadap alat kominikasi terutama radio karena Jepang terikat dengan syarat yang telah ditentukan, ketika menyerah kalah pada pihak sekutu yaitu antara lain bahwa jepang harus mempertahankan status quo negara-negara bekas jajahannya sampai datangnya pasukan sekutu mengambil alih kedudukan jepang di negeri-negeri tersebut (Syair, dkk, 1978:205).

Teks proklamasi lengkap baru diketahui dan diterima di Pekanbaru oleh masyarakat pada tanggal 30 Agustus 1945 dalam bentuk selebaran/pamplet. Selebaran itu dibawa dan ditempelkan oleh 3 orang anggota Gyu Gun yang datang dari Bukit Tinggi.yaitu mansurdin, Nur Rauf, dan Rajab (Syair, dkk, 1978:206).

Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat No. 19 tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Dalam Undang-Undang tersebut ditetapkan terbentuknya daerah swatantra tingkat I Sumatera Brat, Jambi, dan Riau, Lembaran Negara tahun 1957 No. 75. Daerah swatantra tingkat I Riau meliputi wilayah daerah-daerah swatantra tingkat

II yaitu Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau dan Kotapraja Pekanbaru (Syair, dkk, 1978:238).

Dengan surat Keputusan Presiden tanggal 27 Februari 1958, No 258/M/1958 setekah diangkat Mr.S.M.Amin selaku Gubernur KDH Provinsi Riau yang pertama. Pada tanggal 20 Januari 1959 Menteri Dalam Negeri dengan surat keputusan No. Des, 52/1/44 – 25, menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau yang baru (Syair, dkk, 1978:239).