• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 154-159)

Email: tut_arni@yahoo.com

ABSTRAK

Reward dan Punishment dalam dunia pendidikan merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Namun akhir- akhir ini pelaksanaan reward dan punishment dalam praktik pendidikan tidak dapat bermakna sesuai dengan fungsinya. Reward yang dianggap oleh sebagian besar praktisi pendidikan dapat berfungsi sebagai penghargaan yang mampu menstimuli motivasi positif siswa, juga belum sesuai dengan fungsi reward yang diharapkan. Terlebih lagi dengan pelaksanaan punishment dalam praktik pendidikan, yang sangat mengejutkan bahkan mendatangkan bencana bagi kalangan praktisi pendidikan (guru maupun dosen). Jika demikian hal nya, apa yang harus dilakukan oleh para guru maupun dosen dalam meneruskan nilai-nilai budaya melalui proses pendidikan. Karena praktisi dan pemerhati pendidikan tetap sepakat bahwa reward dan punishment adalah alat pendidikan yang tidak dapat terpisahkan dalam praktik pendidikan.Berangkat dari permasalahan inilah, penulis tergelitik untuk menelisik kembali fungsi reward dan punishment dari ideology awal untuk mengembangkan insan-insan yang berkualitas cerdas dan berkarakter, dengan berbagai permasalahan yang ada atas kompleksitas kehidupan saat ini. Berkaitan dengan inilah maka sangat relevan jika dikaji kembali “format baru” pelaksanaan reward dan punishment sesuai dengan kompleksitas perkembangan masyarakat saat ini. Apa yang salah dalam penerapan reward dan punishment tersebut? Berfungsi sebagai alat pendidikan, mengapa tidak bermakna apa-apa saat diterapkan untuk membantu pencapaian tujuan pendidikan?Format baru pelaksanaan reward dan punishment dalam tulisan ini, dikaji melalui metode analisis teoritik dengan komparasi kejadian-kejadian secara factual. Simpulan yang diperoleh dalam kajian ini, diharapkan dapat mendorong para akademisi, praktisi pendidikan untuk melakukan pengkajian lebih lanjut baik melalui penelitian maupun analisis-analisis pendalaman teoritik.

Kata kunci: Reward, Punishment, Pendidikan

PENDAHULUAN

Reward dan Punishment merupakan alat

pendidikan, jika digunakan sebagai metode pembelajaran akan sangat ideal dan strategis bila sesuai dengan prinsip-prinsip belajar untuk merangsang belajar dalam rangka mengembangkan potensi anak didik”. Metode reward (ganjaran) dan

punishment (hukuman) merupakan suatu bentuk teori

penguatan positif yang bersumber dari teori

Behavioristik. Menurut teori Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). Reward (ganjaran) adalah segala sesuatu yang berupa penghargaan yang menyenangkan perasaan yang diberikan kepada peserta didik karena mendapat hasil

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

119 baik dalam proses pendidikannya dengan tujuan agar

senantiasa melakukan pekerjaan yang lebih baik dan terpuji. Punishment adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik setelah siswa melakukan pelanggaran atau kesalahan.

Thorndike (dalam, Elliot, 1999), dengan temuanya the law of effect yang menjelaskan bahwa intensitas interaksi antara S–R sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka perilaku akan melemah. Reward dan punishment merupakan salah satu metode yang lazim digunakan oleh pendidik dalam mempertahankan prinsip tentang kuat–lemahnya hubungan S–R tersebut. Interaksi S- R dapat menggambarkan berlangsungnya sebuah proses pendidikan. Oleh karenanya, baik reward maupun punishment adalah alat pendidikan yang sampai saat ini masih disetujui oleh para praktisi pendidikan sebagai metode yang dapat memotivasi siswa, baik yang mendapatkan reward maupun siswa lain yang tidak mendapatkan reward agar berusaha mendapatkan hal yang sama yang dianggap sebagai kesenangan dan kepuasan atas hasil prestasi yang didapat, dan menghindari hukuman karena dianggap merupakan sangsi yang menyakitkan. Dengan bermaknanya reward dan punishment ini dalam pelaksanaanya di dunia pendidikan, maka amat menyedihkan jika kedua alat pendidikan ini tidak dapat bermanfaat secara singnifikan dalam praktik pendidikan, dan bahkan terjadi kebalikan dari ideology kehadiranya dalam rekayasa pedagogik. Mungkin kita belum lupa dengan tayangan pada beberapa stasiun televise di Indonesia, yang menampilkan berita tentang pendidik yang memukul siswanya, dan sebaliknya peserta didik yang membalas dendam pada pendidiknya karena merasa sering di punish dengan teguran-teguran, seorang guru dipukul oleh orang tua setelah putranya mengadu ditegur karena melanggar disiplin sekolah. Kejadian-kejadian yang digambarkan tersebut merupakan praktik kekerasan, dan kita melihat efek yang terjadi, yaitu para anak-anak yang melihatnya kemudian menirunya dan mempraktikkan pada temanya. Kejadian-kejadian ini dapat kita banyangkan, betapa sangat mengejutkan dan menyedihkan dampak dari fakta yang muncul. Jika sudah terjadi demikian maka budaya kekerasan fisik maupun perkataan yang bersifat bullying akan menjadi sebuah budaya yang dianggap tidak bermasalah dalam masyarakat.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan permasalahan yang muncul dipermukaan ini, sangatlah relevan para ahli dan praktisi pendidikan segera melakukan pengkajian tentang penerapan reward dan punishment dalam

rekayasa pedagogik. Untuk menjawab berbagai permasalahan tentang penerapan reward dan punishment, dalam pembahasan ini perlu dianalisis factor-faktor apa yang memicu pelaksanaan reward dan punishment yang tidak sesuai dengan fungsinya? Solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi berbagai masalah tentang penerapan reward dan

punishment agar dapat berfungsi sebagai alat

pendidikan yang dapat memotivasi peserta didik dalam memodifikasi perilakunya menjadi lebih baik? KAJIAN TEORI

Tujuan pendidikan nasional menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UU No. 2/1989, ps 4). Menyimak tujuan nasional pendidikan di Indonesia, tampaklah harus diciptakan sebuah proses untuk mengkondisikan dan memfasilitasi agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan maksimal. Proses ini yang dimaksud dengan proses belajar.Menurut teori Behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Melalui pendidikan formal ini, metode reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) lasim digunakan oleh para praktisi pendidikan sebagai alat pendidikan merupakan suatu bentuk teori penguatan positif yang bertujuan untuk membantu individu memperoleh tingkah laku baru baik secara kognitif, afektif, dan psikomotor.

Beberapa pengertian relatif bersifat sama, diungkapkan oleh para ahli psikologi bahwa reward diartikan dengan ganjaran, penghargaan, ataupun hadiah. Makna yang terkandung dalam kata reward, ganjaran, penghargaan, hadiah menurut Ngalim Purwanto (2006) merupakan alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat pujian. Atau mengandung makna penilaian yang bersifat positif terhadap belajarnya peserta didik. Dengan demikian,

reward dalam proses belajar/pendidikan adalah

segala sesuatu yang berupa penghargaan yang menyenangkan perasaan yang diberikan kepada peserta didik karena mendapat hasil baik dalam proses pendidikannya dengan tujuan agar senantiasa melakukan pekerjaan yang baik dan terpuji.

Peranan reward dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang cukup penting terutama sebagai faktor eksternal dalam mempengaruhi dan mengarahkan perilaku peserta didik. Hal ini berdasarkan atas berbagai pertimbangan logis, diantaranya reward biasanya dapat menimbulkan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

120 motivasi belajar peserta didik, dan reward juga

memiliki pengaruh positif dalam kehidupan peserta didik.

Reward merupakan alat pendidikan yang

mudah dilaksanakan dan sangat menyenangkan para peserta didik, untuk itu reward dalam suatu proses pendidikan sangat dibutuhkan keberadaannya demi meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Reward diberikan kepada peserta didik adalah supaya peserta didik menjadi lebih giat lagi berusaha untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi yang telah dicapainya, dengan kata lain peserta didik menjadi lebih keras kemauannya untuk belajar lebih baik.

Pemberian reward dalam konteks pendidikan dapat diberikan bagi siapa saja yang berprestasi, dengan adanya reward itu peserta didik akan lebih giat belajar karena dengan adanya reward itu peserta didik menjadi termotivasi untuk selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, untuk itulah pentingnya metode reward diterapkan dalam pendidikan.

Demikian makna positif yang terkandung dalam reward, agar sesuai dengan fungsinya maka sangat penting secara terus-menerus memperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan reward, diantaranya: 1) seorang guru hendaknya dapat mengetahui siapa yang berhak mendapatkan reward, seorang guru hendaklah bijaksana, jangan sampai reward menimbulkan iri hati pada peserta didik yang lain yang merasa dirinya lebih pandai, tetapi tidak mendapat reward. 2) Memberi reward hendaklah hemat dan tepat. Terlalu kerap atau terus-menerus memberi reward akan menjadi hilang arti reward itu sebagai alat pedeagogik. 3) Jangan memberi reward dengan menjanjikan lebih dahulu sebelum peserta didik menunjukkan prestasi kerjanya apalagi reward yang diberikan kepada seluruh kelas. Reward yang telah dijanjikan lebih dahulu hanyalah akan membuat peserta didik terburu-buru dalam bekerja dan akan membawa kesukaran-kesukaran bagi beberapa peserta didik yang kurang pintar. 4) Pendidik harus berhati-hati memberikan reward, jangan sampai reward yang diberikan pada peserta didik diterima sebagai upah dari jerih payah yang telah dilakukannya.

Walaupun reward diakui manfaatnya dalam dunia pendidikan, namun ada juga pencermatan- pencermatan terhadap pelaksanaan reward secara pedagogic. Ada sebagian para ahli pendidikan menyetujui dan menganggap penting reward itu dipakai sebagai alat untuk membentuk kata hati peserta didik. Sebaliknya ada pula ahli-ahli pendidikan yang tidak suka sama sekali menggunakan reward. Mereka berpendapat bahwa reward itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat pada peserta didik. Menurut pendapat mereka, seorang guru hendaklah mendidik peserta didik supaya mengerjakan dan berbuat yang baik dengan tidak mengharapkan pujian atau reward,

tetapi semata-mata karena pekerjaan atau perbuatan itu memang kewajibannya.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan

reward sebagai alat pendidikan, maka muncul

pendapat yang berada diantara kedua pendapat sebelumnya, sebagai seorang pendidik hendaknya memahami bahwa yang dididik adalah peserta didik yang masih lemah kemauannya dan belum mempunyai kata hati seperti orang dewasa. Dari mereka belumlah dapat dituntut supaya mereka mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan dan pemahamannya sendiri. Perasaan kewajiban mereka masih belum sempurna, bahkan pada peserta didik yang masih kecil boleh dikatakan belum ada. Untuk itu, maka reward sangat diperlukan dalam proses pembelajaran dan pendidikan dan berguna bagi pembentukan kata hati dan kemauan.

Setelah mengetahui beberapa pendapat para ahli pendidikan di atas dapatlah disimpulkan, reward juga sangat penting tetapi juga ada dampak negatifnya, untuk itu seorang guru harus memberitahu kepada peserta didik bahwa berbuat baik bukan karena mengaharap suatu reward, maka seorang guru harus selalu ingat akan syarat-syarat reward seperti yang diuraikan di atas.

Punishment, menurut (Fadjar, M; 2005) adalah

usaha edukatif untuk memperbaiki dan mengarahkan peserta didik ke arah yang benar, bukan praktik hukuman dan siksaan yang memasung kreativitas.

Punishment menurut Guy R (1999) adalah suatu

perbuatan yang tidak menyenangkan (hukuman) dari orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk pelanggaran dan kejahatan, yang bermaksud memperbaiki kesalahan anak. Punishment (hukuman) adalah suatu perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan kesedihan kepada orang lain, baik dari aspek jasmani maupun dari aspek rohani. Posisi individu yang di-punish itu mempunyai kelemahan bila dibandingkan dengan diri pendidik,, dan oleh karena itu maka sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat menarik kesimpulan, bahwa punishment adalah suatu perbuatan yang kurang menyenangkan, yang berupa penderitaan yang diberikan kepada peserta didik secara sadar dan sengaja, sehingga sadar hatinya untuk tidak mengulangi lagi. Pada dasarnya Punishment diberikan bukan sebagai bentuk siksaan baik fisik maupun psikis, melainkan sebagai usaha mengembalikan peserta didik ke arah yang baik dan memotivasinya menjadi pribadi yang imajinatif, kreatif dan produktif.

Dalam memberikan punishment guru tidak boleh bertindak sewenang-wenang, punishment yang diberikan itu harus bersifat pedagogis dan bukan karena balas dendam. Punishment bisa dikatakan berhasil apabila dapat menimbulkan perasaan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

121 penyesalan akan perbuatan yang telah dilakukannya.

Di samping itu punishment juga mempunyai dampak sebagai berikut: 1) Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Ini adalah akibat dari hukuman sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab, 2) Menyebabkan peserta didik menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran, 3) Dapat memperbaiki tingkah laku si pelanggar, mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar dengan punishment yang telah dideritanya, 4) Akibat yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.

Punishment merupakan alat pendidikan yang tidak menyenangkan, bersifat negatif, namun demikian dapat juga menjadi motivasi, alat pendorong untuk mempergiat belajar peserta didik. Peserta didik yang pernah mendapat punishment karena tidak mengerjakan tugas, maka ia akan berusaha untuk tidak memperoleh punishment lagi. Ia berusaha untuk dapat selalu memenuhi tugas-tugas belajarnya agar terhindar dari bahaya punishment, hal ini berarti bahwa ia didorong untuk selalu belajar.

Dalam dunia pendidikan juga menerapkan punishment tidak lain hanyalah untuk memperbaiki tingkah laku peserta didik untuk menjadi lebih baik. Punishment di sini sebagai alat pendidikan untuk memperbaiki pelanggaran yang dilakukan peserta didik bukan untuk balas dendam. Supaya punishment bisa menjadi alat pendidikan, maka seorang guru sebelum memberikan punishment pada peserta didik yang melakukan pelanggaran sebaiknya guru memperhatikan syarat-syarat punishment yang bersifat pedagogis sebagai berikut: 1) Tiap-tiap

punishment handaknya dapat dipertanggung

jawabkan. Ini berarti punishment itu tidak boleh sewenang-wenang, 2) Punishment itu sedapat- dapatnya bersifat memperbaiki, 3) Punishment tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat personal, 4) Jangan menghukum pada saat sedang marah, 5) Tiap-tiap punishment (hukuman) harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu, 6) Jangan melakukan punishment fisik sebab pada hakikatnya punishment fisik itu dilarang oleh Negara. 7) Punishment tidak boleh merusakkan hubungan baik antara pendidik dan peserta didik, 8) Adanya kesanggupan memberikan maaf dari pendidik, sesudah menjatuhkan punishment dan setelah peserta didik itu jera atas kesalahannya. PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peserta didik belumlah dapat dituntut supaya mereka mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan dan pemahamannya sendiri. Perasaan kewajiban mereka masih belum sempurna, bahkan para peserta didik yang masih kecil boleh dikatakan belum ada. Untuk itu, maka

reward dan punishment dengan berbagai

kelemahanya masih disetujui secara social digunakan sebagai alat pendidikan bagi pembentukan kata hati dan kedewasaan peserta didik.

Secara faktual sifat yang lebih kuat nampak antara reward dan punishment adalah sifat predictable dan unpredictable. Reward ditemukan bersifat predictable, sedangkan punishment bersifat

unpredictable. Predictable artinya pelaksanaan

reward diprediksi oleh para ahli psikologi dan praktisi pendidikan bahwa pelaksanaan reward dapat mendatangkan kebahagiaan, kesenangan, kepuasan dan akan diperkuat lagi karena merasa memperoleh kesenagan atau kebahagiaan. Dan ketika individu yang di-reward merasa senang dengan kepuasan tersebut maka siswa/individu akan mempertahankan dan akan mengulang prilaku yang memunculkan kepuasan dari hasil usaha yang dilakukan.

Unpredictable merupakan sifat dari pelaksanaan

punishment yang memiliki efek tidak dapat

memprediksi terjadinya perubahan perilaku setelah pelaksanaan punishment. Setelah pelaksanaan

punishment kadang-kadang terjadi perubahan

perilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dapat berubah menjadi perilaku lebih baik, namun kadang- kadang perubahan perilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan berubah menjadi lebih buruk. Sifat unpredictable dari hukuman ini secara factual telah membuktikan munculnya perilaku yang lebih buruk bahkan bersifat agresi pada yang menghukum setelah punishment dilaksanakan. Untuk sementara faktor-faktor penyebab dapat teridentifikasi berdasarkan analisis teoritik dan kejadian-kejadian dalam kehidupan. Ada dua factor yang dapat diidentifikasi dalam menurunya kualitas reward dan punishment sebagai berikut: 1) dari pihak pendidik, ada kalanya kurang mencermati sifat predictable dari pelaksanaan reward dan sifat unpredictable dari punishment, 2) dari pihak peserta didik, ada berbagai model perilaku kekerasan yang dijadikan contoh yang menyebabkan terjadinya degradasi moral, sehingga perilaku melawan, tidak menghormati orang yang lebih tua/pendidik, merupakan perilaku yang mudah dilakukan.

KESIMPULAN

Beberapa solusi telah dilaksanakan dalam proses pendidikan, seperti membentuk komite sekolah, meningkatkan peranan guru Wali (wali kelas), pembinaan dari Guru BK, sepekatan pelaksanaan disiplin sekolah namun semakin waktu berjalan semakin banyak pula pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik. Jika pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik seperti melanggar disiplin sekolah, tidak semangat belajar, sering membolos maka punishment sebagai alat pendidikan semestinya dilaksnakan dalam proses pendewasaan peserta didik atas dasar jalinan cinta kasih sayang. Berdasarkan beberapa permasalahan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

122 yang muncul, maka beberapa analisis teoritik dan

factual diusulkan sebagai solusi bahwa penerapan

punishment perlu di format baru dalam

pelaksanaanya. Format yang dapat diusulkan adalah merubah sifat punishment yang unpredictable menjadi setara dengan reward yang predictable.

Punishment akan lebih bermakna jika diadakan

kesepakatan bersama antara pendidik dengan peserta didik. Jika kepakatan telah dipeoleh melalui komunikasi atau informasi maka yang dikenai

punishment dapat memahami dan mengerti mengapa

dia dihukum. Sehingga jika ingin melaksanakan

punishment maka perlu ada kontrak kesepahaman

antara kedua belah pihak. Misalnya jika peserta didik sudah mengetahui bahwa terlambat hadir 10 menit dari jam pelajaran mulai, maka dia dalam kontrak tidak diperkenankan belajar di kelas melainkan belajar diperpustakaan, maka anak ini tidak akan terkejut atau dendam menjalani hukumanya. Sehingga format punishment akan lebih bersahabat jika disertai dengan kontrak kesepahaman/ persetujuan atau informasi tentang butir-butir punishment yang akan dilaksanakan dalam proses pendidikan.

PENUTUP

Berdasarkan kesimpulan dari pencermatan yang ditulis dalam makalah ini, maka akan sangat relevan para pemerhati pendidikan menganalisis, mengkaji, meneliti melalui berbagai cara yang dapat ditemukan sebagai input untuk mengembalikan fungsi dan makna reward dan punishment dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena dalam kerangka teoritik pedagogik sangat dirasakan secara rasional reward dan punishment dapat membantu proses mendidik peserta didik menuju kedewasaannya.

REFERENSI

B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, An Introduction to…84

B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, An

Introduction to…127-128

Carter V. Good, Dictionary of Education, New York; McGrow Hill, pp. 185-185, Inc..1973. Elizabeth B. Hurlock, Child Development, New

York; McGraw-Hill, pp. 393, Inc.,1978. Elliot, Stephen N, Educational Psychology: Effective

Teaching, Effective Learning McGraw-Hill;

3rd edition June 14, 1999.

Fadjar, Malik, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.

Guy R. Lefrancois, Psychology for Teaching

(Education Series) Wadsworth Publishing; 10

edition (October 13, 1999)

Http://artikata.com/arti-154371-reward.html Http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-

pendidikan-nasional.html

Joh W. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia. pp. 485, 2003.

Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rodakarya, pp. 485, 2006.

Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, England: Allyn & Bacon, pp. 183, 200

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

123

KEY PERFORMANCE INDICATOR DALAM KONTEKS BALANCED

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 154-159)