• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prof Ganefri, Ph.D

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 71-77)

Abstrak

Sistem rekrutmen dan distribusi guru di Indonesia masih belum mencapai kondisi optimal bagi perbaikan mutu pendidikan secara keseluruhan. Meskipun payung hukum dan juknis rekrutmen dan distribusi guru diatur dari pusat, namun sejak era otonomi daerah, pengangkatan dan distribusi guru sepenuhnya diselenggarakan oleh daerah. Berbagai kendala dan problem muncul sebagai buah dari kebijakan dan strategi yang belum sepenuhnya bebas dari intervensi kepentingan politik. Faktor minimnya profesionalisme pelaku dan institusi pendidikan dan dukungan yang kurang maksimal oleh pemangku kepentingan merupakan faktor lainnya dan menjadi salah satu bagian dari kendala terciptanya sistem rekrutmen dan distribusi guru yang ideal. Kolaborasi strategi berbasis peningkatan pengelolaan internal dan pemberdayaan lintas institusi serta pengembangan model participatory management merupakan salah satu tawaran solusi menuju sistem rekrutmen dan distribusi guru yang proporsional dan efektif.

Pendahuluan

Peranan guru sebagai pendidik dan ujung tombak program pendidikan nasional tidak dapat dipungkiri. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31, disebutkan tentang arti penting pendidikan sebagai bidang strategis dan modal dasar pembangunan. Lebih jauh, Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 40 ayat 2 memperkuat penjabaran urgensi pendidikan dan merupakan landasan utama pencapaian kualitas pendidikan sebagai usaha menuju kejayaan bangsa. Dalam Sisdiknas tersebut dapat dimaknai bahwa guru sebagai pendidik memiliki peran penting untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam kenyataannya, hingga kini persoalan yang menyangkut kualitas serta harkat dan martabat guru masih saja kompleks dan menyisakan tugas dan tanggung jawab seluruh komponen terkait untuk ikut bersama-sama menyelesaikannya. Problema yang menghinggapi para pendidik anak bangsa tersebut berimbas secara langsung dan tak langsung terhadap kualitas pendidikan nasional dan lokal, sehingga mengakibatkan variabel lain yang ikut menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan juga potensial mengalami masalah.

Jika diperhatikan secara seksama, maka persoalan pertama yang berhubungan erat dengan guru adalah menyangkut pendidikan guru yang masih belum memadai secara nasional. Persoalan kedua berkaitan dengan kesejahteraan para guru. Persoalan berikutnya adalah mengenai pembinaan karir yang

tidak berjalan sesuai tujuan. Persoalan keempat, namun bukan berarti yang paling tidak krusial, adalah masalah sistem rekrutmen atau pengangkatan dan distribusi guru yang tidak merata.

Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak era reformasi sebenarnya kita sudah berusaha melakukan perbaikan sistem pendidikan. Cara yang paling tampak adalah dengan diberlakukannya pelimpahan sejumlah kewenangan dari pusat ke daerah dalam kerangka regulasi otonomi daerah. Dalam kenyataannya, pelimpahan kewenangan pengelolaan guru ke pemerintah daerah belum disertai dengan peningkatan kapasitas untuk pengelolaan guru, khususnya berkaitan dengan analisis kebutuhan nyata di setiap tingkat dan jenis sekolah. Hal ini tercermin dari masih banyaknya daerah yang berkelebihan guru kelas (dilihat dari rasio guru untuk jumlah kelas) di tingkat SD, dan guru mata pelajaran tertentu di tingkat SMP dan SMA jika dilihat dari jumlah rombongan belajar dan beban mengajar guru. Padahal saat ini dapat diasumsikan bahwa jumlah anak usia sekolah dasar terus menurun turun.

Data yang didapat dari Bank Dunia (data.worldbank.org), maka sebenarnya rasio antara guru dan siswa di Indonesia sejak dari 2010 hingga 2013 sudah semakin membaik. Terbukti dari data resmi yang termutakhir, yang mencatat perkembangan rasio guru-siswa, selalu mengalami penurunan. Rasio tahun 2010 tercatat rasio guru dan siswa di Indonesia mencapai 19,012. Setahun berikutnya, angka itu menurun menjadi 18,980. Sementara pada 2012 terjadi sedikit perbaikan di angka 18,592. Untuk tahun 2013, yang merupakan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

36 tahun terakhir yang tercatat oleh Bank Dunia, rasio

guru-siswa berada pada posisi 16,094.

Dalam pada itu, data sampai akhir 2015 menyebutkan bahwa diperkirakan ada 2,2 juta guru di seluruh Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD dan 609 ribu guru di tingkat SMP. Dari 2,2 juta tersebut, 1,5 juta adalah guru PNS, 180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak tetap alias guru honorer. Sekilas, jumlah tersebut seolah mampu memberikan gambaran mengenai ketersediaan jumlah guru. Dengan kata lain, kebutuhan pasokan guru tidak mengalami masalah, karena jumlah guru yang melimpah. Kenyataannya, permasalahan utama distribusi guru hari ini adalah menumpuknya guru PNS di perkotaan. Ditaksir terdapat 11 persen guru di SD dan 27 persen SMP perkotaan perlu diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil (Bank Dunia, 2013).

Pengaturan untuk menata guru sudah diberlakukan sejak tahun 2007 melalui Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian

Kewenangan antara Pusat dan

Daerah. Disebutkan secara tegas dalam PP tersebut bahwa guru PNS dapat dipindahkan antar sekolah dalam kabupaten, antar kabupaten, dan antar provinsi. Sebagai tindak lanjut dari PP, Mendiknas menerbitkan Permendiknas No 20 tahun 2010 tentang SNPK (Standar, Norma, Prosedur, dan Kriteria). Pada Permendiknas tersebut juga ada aturan mengenai mutasi guru antar sekolah dalam kabupaten, antar kabupaten dalam provinsi, dan antar provinsi.

Desentralisasi pendidikan sebagai wujud dari UU Nomor 12 tahun 2008 dan PP Nomor 25 tahun 2000 berkenaan dengan otonomi daerah, membawa dampak terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pada 2011, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri (Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu) tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, yang salah satunya menjadi acuan untuk pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota yang sama, antarkabupaten kota, dan antarprovinsi. Dalam Perber tersebut, selain mengatur kewajiban kabupaten/kota, provinsi, dan kementerian, juga memberikan sanksi kepada kabupaten/kota dan provinsi yang tidak melakukan penataan guru. Sanksi tersebut berupa: 1) penghentian kuota CPNS (MenPAN dan RB), 2) mengurangi alokasi anggaran fungsi pendidikan (Kemdikbud), 3) memberikan penilaian kinerja rendah (Mendagri), dan mengurangi dana perimbangan (MenKeu).

Menyikapi regulasi yang sudah banyak dipayungi oleh peraturan perundang-undangan

mengenai distribusi guru tersebut, seharusnya setiap kabupaten dan kota secara sistematis dan sinergis melakukan redistribusi guru secara proporsional dan

merata. Namun, setelah perber ini diberlakukan, distribusi guru tetap tidak merata. Masih banyak sekolah yang mengalami kelebihan atau kekurangan guru PNS.

Sampai dengan tahun 2011, hanya sedikit kabupaten/kota yang melakukan penataan guru, jika ada, itu pun dilakukan oleh kabupaten/kota yang difasilitasi oleh lembaga donor, seperti USAID melalui proyek DBE dan KINERJA, serta UNICEF melalui MGP. Data yang didapat dari laporan USAID menyebutkan, kabupaten lain di luar mitra donor mulai berminat setelah keluarnya Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri PAN dan RB, serta Menteri Agama) tersebut pada pertengahan 2011.

Ditinjau dari sisi kewajiban aparatur pemerintah sebagai pelayan masyarakat, maka distribusi dan pengangkatan guru yang proporsional dan relevan dengan kebutuhan adalah sebuah keharusan. Kewajiban menyempurnakan distribusi dan pengangkatan guru sebagai tenaga pendidik itu berada dalam ranah pelayanan publik yang prima, sebagai bagian dari wujud keseriusan pemerintah mengelola sistem dan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Di samping itu, peningkatan pelayanan publik oleh unit pelayanan yang dikelola oleh pemerintah daerah merupakan mandat yang diamanatkan oleh berbagai peraturan perundangan, salah satunya Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 63 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Permasalahan Pengangkatan dan Distribusi Guru

Permasalahan Pengangkatan dan Distribusi Guru di Indonesia bisa diurai ke dalam beberapa faktor. Faktor pertama berkenaan dengan wilayah geografis Indonesia yang luas. Luasnya wilayah RI menyebabkan distribusi pendidik juga mengalami masalah terutama dalam hal pemerataan di daerah- daerah pelosok, yang masuk ke dalam kategori 3 T, yaitu Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Karakteristik geografis Indonesia menyebabkan distribusi guru antar wilayah tidak merata. Dengan luas 1.919.031,32 km2, dan 13.446 pulau (Kementerian Kelautan dan

Perikanan, 2011), secara geografis, Indonesia penuh dengan wilayah pelosok dan sulit dijangkau, apalagi infrastruktur sebagian besar masih belum memadai di daerah-daerah terpencil. Pada umumnya guru enggan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

37 ditempatkan dan bertugas di daerah-daerah tersebut

dalam jangka waktu yang lama. Di daerah-daerah itu moda transportasi dan fasilitas hidup – terutama tempat tinggal dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok – sangat terbatas. Akibatnya, guru cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah nyaman. Di sisi lain, di daerah-daerah perkotaan pun ketidakmerataan guru antar sekolah kerap terjadi yang disebabkan oleh penempatan dan penataan guru yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis dibandingkan kebutuhan sekolah.

Terutama menyiasati kendala geografis tersebut, program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T), sudah dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak akhir 2011. Hingga 2016, program ini telah menginjak angkatan ke VI dan sudah memberangkatkan 3000an calon guru PNS. Sejak tahun 2015, diberlakukan aturan bahwa setiap calon guru PNS harus mengikuti program ini dan setelahnya diwajibkan mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) berasrama selama dua semester. Ini kemudian dijabarkan dalam program Guru Garis Depan (GGD) yang merupakan program yang sinergis dengan SM3T, dan secara tidak langsung memiliki dampak positif dalam hal optimalisasi strategi pemerataan guru secara nasional.

Faktor berikutnya berkaitan dengan pola kebijakan di masing-masing daerah yang belum mendukung program nyata untuk mendistribusikan dan mengangkat guru secara proporsional sesuai kebutuhan riil di lapangan. Indonesia Corruption Watch (Tribunnews.com, Desember 2014) mencatat dengan seksama, kegagalan PPG disebabkan penumpukan guru di perkotaan dan kebijakan PPG tidak dijalankan serentak di semua daerah. Penataan dan pemerataan guru masih sangat lemah terutama dalam bidang desain kebijakan. Sebelumnya, pemerintah pusat telah mensosialisasikan kebijakan ini ke daerah namun sosialisasi tersebut tak berjalan optimal. Gagalnya sosialisasi ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam memprioritaskan kebijakan tersebut. Ironis, Pemda menganggap kebijakan ini tidak didukung oleh program dan dana dari pemerintah pusat serta dinilai tidak memberikan keuntungan politik dalam konteks politik lokal.

Faktor ketiga adalah minimnya dana di sektor pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah setempat. Sebagai contoh kasus, di Aceh Barat (Pikirreview.com, 2012), pada 2007 lalu anggaran pendidikan hanya 7,6%. Padahal, dari segi ketersediaan guru, di tempat itu secara total tidak mengalami masalah. Hal yang sama juga terjadi di banyak daerah lainnya, salah satunya di kota Padang, pada tahun 2015 distribusi guru tidak merata terutama

terjadi di tingkat Sekolah Dasar (antaranews.com, 2015). Sementara, jumlah ketersediaan guru Pegawai Negeri Sipil justru mencukupi.

Faktor lainnya yang tidak kalah berperan dalam hal timpangnya distribusi guru di daerah (yang mempengaruhi distribusi guru secara nasional) adalah mengenai kurangnya koordinasi lintas pemerintah di daerah, dimana pihak dinas pendidikan kurang dilibatkan dalam proses rekrutmen dan distribusi guru yang dibutuhkan. Kurangnya fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar terutama di daerah terpencil juga merupakan faktor berpengaruh sehingga kuat dugaan mengakibatkan kurangnya motivasi guru untuk ditempatkan di daerah terpencil. Program KINERJA dan Prioritas USAID

Merujuk kepada program Kinerja yang diselenggarakan oleh USAID pada 2014 maka tata kelola Distribusi Guru secara Proporsional (DGP) dilaksanakan dengan berpegang erat kepada tujuh prinsip. Pertama, penghitungan DGP berdasarkan kebutuhan sekolah, bukan hanya apa yang diinginkan kepala sekolah atau guru serta menampung aspirasi murid, orangtua murid, dan masyarakat. Kedua, Penghitungan DGP menggunakan data yang valid dan mutakhir. Untuk itu manajemen data di Dinas Pendidikan dan sekolah menjadi persyaratan utama. Ketiga, merujuk pada SPM sehingga distribusi guru di sekolah lebih diarahkan pada peningkatan pelayanan publik, pemenuhan standar pelayanan minimal, dan pencapaian mutu pendidikan yang lebih tinggi. Keempat, didasarkan pada regulasi daerah (Peraturan Bupati/Walikota). Hal ini diperlukan untuk menjamin program DGP dapat berlangsung terus secara berkesinambungan. Kelima, Monitoring dan pelaksanaan alokasi dana ke sekolah diperlukan agar pelaksanaan program DGP dapat tepat sasaran dan dapat terus disempurnakan. Keenam, penanganan setiap pengaduan masyarakat mengenai masalah- masalah kekurangan guru. Ketujuh, keberlanjutan program setiap tahunnya untuk memenuhi kesenjangan pembiayaan sekolah yang berpotensi meningkat sesuai kebutuhan pencapaian standar.

Bertolak dari tujuh prinsip di atas, maka USAID merekomendasikan sebanyak enam poin penting sebagai pedoman pelaksanaan DGP. Yang pertama, diperlukan komitmen tinggi dari seluruh pemangku kepentingan di pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah/lokal. Dalam hal ini, keseriusan untuk menopang program DGP mesti dimulai dari Bupati, Walikota, DPRD, serta Dinas terkait (Dinas Pendidikan).

Kedua, setiap kebijakan haruslah berorientasi kepada pelayanan publik yang prima. Mesti diingat, bahwa aspek pendidikan adalah aspek

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

38 paling menentukan dalam pembentukan karakter

bangsa dan peletakan dasar-dasar kekuatan sumber daya manusia. Untuk itu, kebijakan program DGP harus benar-benar ditujukan bagi pelayanan publik yang semakin baik.

Ketiga, DGP mesti mampu melibatkan masyarakat dalam forum-forum multi stake holder dalam penyelenggaraan tata kelola DGP. Untuk itu, komunikasi partisipatif mestilah menjadi pilar utama dalam membangun dan membuka jaringan sinergis. Pemerintah daerah dan pusat harus mau membuka diri untuk mendengar dan menyerap aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Jika ini tidak dijalankan, maka komunikasi yang harmonis tidak akan terbangun, dan program DGP hanya akan menjadi proyek mercusuar belaka.

Keempat, program DGP harus bisa mendayagunakan segenap staf dan struktur organisasi yang bertanggung jawab penuh melaksanakan program DGP secara optimal. Mulai dari elemen terbawah hingga pucuk pimpinan dari seluruh institusi terkait harus dengan kesadaran penuh menjalankan program DGP dan berorientasi pada usaha serta visi dan misi menuju kualitas pendidikan yang lebih baik di masa depan.

Kelima, yang tak kalah pentingnya adalah senantiasa berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait. Ini berarti, pemerintah tidak bisa secara ekslusif menjalankan DGP. Pihak swasta, jika memungkinkan dan menguntungkan kedua belah pihak, dapat pula dirangkul, sebagai mitra konstruktif dalam rangka pemerataan distribusi guru khususnya, dan peningkatan kualitas pendidikan secara umumnya.

Keenam, program DGP harus menetapkan dan berpijak pada indikator kinerja dan pengukuran keberhasilan program yang jelas, terarah, dan visioner. Ini penting, dalam rangka mengukur dan menetapkan standar penjaminan mutu yang tegas dan ketat, demi berjalannya program DGP on the track, sesuai dengan perencanaan awal yang sudah disusun sebelumnya.

Lebih jauh, setelah DGP diujicobakan di beberapa lokasi di Indonesia, maka berdasarkan evaluasi program DGP, didapat hasil yang positif. Pertama, data sebaran guru valid dan mutakhir. Kedua,analisis distribusi guru tersedia di seluruh kecamatan. Ketiga, rekomendasi teknis distribusi guru menjadi proporsional. Keempat, rencana kerja distribusi guru menjadi proporsional. Kelima, skema insentif bagi guru yang ditempatkan di daerah terpencil tersedia. Keenam, DGP ditunjang oleh peraturan Bupati/Walikota yang dapat diandalkan. Ketujuh, juknis pelaksanaan Distribusi Guru

Proporsional tersedia. Kedelapan, impelemantasi DGP sesuai dengan rekomendasi teknis.

Strategi Participatory Management

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41, tahun 2007 memuat tentang beban kerja guru, yang mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Beban

kerja guru sebagaimana

termaktub dalam Peraturan di atas adalah sekurang- kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Konsekuensi dari peraturan ini, tak jarang terjadi distribusi jam mengajar yang tidak merata dan proporsional terhadap seluruh personel guru di sebuah sekolah.

Apabila di sebuah sekolah rasio guru-siswa berada dalam kondisi yang ideal, risiko guru yang masih memiliki kekurangan jam mengajar menjadi tinggi. Sebaliknya, di sebuah sekolah yang jumlah gurunya kurang, maka standar minimal 24 jam mengajar dalam seminggu justru masih belum cukup. Dengan kata lain, di sekolah tersebut bisa jadi ada guru yang terpaksa mengajar lebih dari 24 jam dalam seminggu, disebabkan masih kurangnya ketersediaan guru di sekolah tersebut. Jika ini yang terjadi, maka konsekuensi terburuknya, guru-guru yang memiliki jam mengajar di bawah standar tersebut terancam tidak dibayarkan tunjangan profesinya. Dampak dominonya, guru tersebut akan berpotensi tidak mampu melaksanakan tugas profesionalnya sebagai guru.

Di lain pihak, sekolah yang rata-rata gurunya mengajar di atas 24 jam dalam seminggu, akan menyebabkan guru tidak fokus lagi mengajar dan kehilangan kemampuan untuk menjaga irama serta ritme kualitas pembelajarannya. Secara fisik, mengajar di atas 24 jam seminggu membutuhkan kesehatan dan kreativitas yang prima. Rasa bosan dan jenuh serta masalah dalam hal kesehatan akan dengan mudah mengancam para guru yang mengajar di atas 24 jam dalam seminggu. Jika ini yang terjadi, maka akan sulit mendapatkan mutu pembelajaran serta kualitas pelayanan publik yang optimal. Padahal guru profesional dituntut untuk memiliki minimal empat kompetensi, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Ada pun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

39 Untuk mencegah atau mengantisipasi, juga

memperbaiki masalah yang bersangkut paut dengan distribusi guru tersebut, maka perlu sebuah strategi yang melibatkan usaha serius yang dilakukan oleh seluruh elemen terkait secara partisipatif. Salah satu strategi yang sudah terbukti merupakan strategi yang urgen sekaligus efektif untuk diterapkan adalah strategi Participatory Management (selanjutnya disingkat dengan PM). Strategi PM secara garis besar dapat diartikan sebagai pemberdayaan karyawan di sebuah perusahaan untuk ikut serta mengambil keputusan. Di lingkungan pendidikan, khususnya dalam upaya pemerataan guru dapat dimaknai sebagai peran serta guru untuk ikut serta mengatasi masalah distribusi guru (Yani, 2010: 49).

Secara lebih mendetail, strategi PM mengandalkan program visiting teacher atau sistem Guru Kunjung (selanjutnya disingkat GK), dimana guru yang masih mengalami kekurangan mengajar dipersilakan untuk mengajar di sekolah yang mengalami kekurangan guru. Dengan kata lain, sekolah yang memiliki jumlah guru yang melimpah

dapat‘menyumbangkan’ gurunya ke sekolah yang

minim jumlah guru. Adapun jumlah jam mengajar yang bisa guru bersangkutan ajar di sekolah tujuan mesti dihargai perjamnya, dan diberi insentif yang memadai, apalagi jika sekolah yang menjadi tujuan GK secara geografis berada di lokasi yang jauh dan terpencil.

Untuk dapat menggunakan “dua instrumen”

kebijakan di atas, ada sejumlah faktor pra-kondisi yang harus terpenuhi yaitu payung kebijakan, basis data dan informasi kependidikan, dan penyediaan dana tunjangan (Yani, 2010: 50).

Payung kebijakan merupakan landasan hukum dan yuridis-formal kebijakan strategi PM, di mana pada konteks ini peran seorang Walikota atau Bupati (di tingkat kota/kabupaten, untuk guru Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama), atau Gubernur (di tingkat provinsi, untuk guru Sekolah Menengah Atas) sangatlah penting. Pada intinya, para pemimpin daerah tersebut harus berani berinovasi untuk menetapkan sebuah peraturan daerah yang mendukung program/strategi PM untuk dapat dilaksanakan secara terprogram dan didukung oleh sumber daya, baik manusia maupun keuangan/infrastruktur memadai. Salah satu bentuk landasan yuridis yang terbukti berhasil mendukung penuh strategi PM adalah yang pernah diterapkan di kabupaten Sukabumi pada 2009 menyangkut diperbolehkannya guru-guru di sekolah yang rasio- gurunya cukup atau bahkan di atas standar kecukupan untuk melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan guru (Yani, 2010: 52).

Faktor kedua, berkenaan dengan dibangunnya sebuah sistem pusat pengelolaan data dan informasi kependidikan yang berisikan segala hal yang berkaitan dengan data terkini mengenai kondisi dan jumlah ketersediaan guru, data sebaran guru, serta sekolah-sekolah mana saja yang mengalami kekurangan dalam hal personel guru. Melalui data ini, diharapkan manajemen strategi PM akan berjalan dengan sangat terkoordinasi, mampu dengan cepat mendiagnosis sekolah-sekolah mana saja yang mengalami kekurangan guru, atau juga soal rasio guru-murid di setiap sekolah. Jika data dan informasi yang menunjang strategi PM tidak memadai, maka dipastikan pemangku kebijakan akan mengalami distorsi informasi serta miskomunikasi di lapangan. Untuk itu, diperlukan tersedianya sumber daya manusia yang juga mengerti dan memiliki latar belakang sistem manajemen informasi.

Faktor ketiga, berkaitan dengan insentif yang bisa diberlakukan bagi setiap guru yang dengan sukarela dan dengan kesadaran sendiri mau ikut serta dalam strategi PM. Menurut Yani, (2010: 50), dana tunjangan dapat bersifat instan dan atau bersifat bersaing. Tunjangan yang bersifat instan diperuntukan untuk semua guru yang melaksanakan tugas di daerah terpencil atau melaksanakan tugas pelayanan di sekolah yang kekurangan guru (baik guru kelas di SD-MI maupun guru bidang studi di SMP-MTs). Adapun tunjangan yang bersifat bersaing merupakan tunjangan yang diperlombakan. Lebih jauh, tunjangan bersaing sangat cocok bagi guru yang melakukan inovasi pembelajaran dan menjadi agent

of change. Guru yang ikut dalam program PM

diharapkan juga dengan sukarela mampu mentransfer ilmu dan pengalamannya serta inovasi terbarunya dalam metode pembelajaran.

Adapun mengenai variasi strategi konkrit PM di masing-masing daerah dapat disesuaikan

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 71-77)