• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rektor Universitas Negeri Jakarta/Ketua ALPTKN

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 37-49)

A. Rasional

Penetapan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU-Sisdiknas) yang diikuti Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU-GD) dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 yang diperbarui Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, secara konseptual dan empirik memerlukan penyesuaian tingkat kebijakan yang akan dijadikan rujukan dalam menyusun berbagai program, termasuk pendidikan guru. Kajian terhadap produk Undang-Undang berkaitan dengan guru telah menghasilkan berbagai rumusan yang intinya menunjukkan urgensi adanya terobosan untuk menerjemahkan ketentuan-ketentuan tersebut secara arif ke dalam kebijakan dan program yang mendorong tercapainya visi pendidikan Indonesia tahun 2025.

Guru merupakan jabatan profesional yang memberikan layanan ahli dan menuntut persyaratan kemampuan yang secara akademik dan pedagogis maupun secara profesional dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan yang terkait, baik penerima jasa layanan secara langsung maupun pihak lain terhadap siapa guru bertanggung jawab. Guru sebagai penyandang jabatan profesional harus disiapkan melalui program pendidikan yang relatif panjang dan dirancang berdasarkan standar kompetensi guru. Oleh sebab itu diperlukan waktu dan keahlian untuk membekali para lulusannya dengan berbagai kompetensi, yaitu penguasaan bidang studi, landasan keilmuan dari kegiatan mendidik, maupun strategi menerapkannya secara profesional di lapangan. Untuk mewujudkan profil lulusan guru yang profesional diperlukan suatu Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kurikulum LPTK harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan kekinian, mengacu pada KKNI, Standar Nasional pendidikan Tinggi, dan masa depan untuk menjamin mutu calon pendidik profesional, serta landasan dalam merekonstruksi program dan penyelenggaraan pendidikan guru secara komprehensif di LPTK.

Kurikulum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperti apa yang tersurat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 ayat (1) Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan

mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

B. Landasan

1. Filosofis

Pendidikan merupakan kegiatan mengawal generasi saat ini dan menyiapkan masa depan suatu bangsa, yang bukan hanya harus bertahan agar tetap eksis, tetapi dalam berbagai dimensi kehidupan pada tataran nasional maupun internasional dapat mengambil peran secara bermartabat, yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur budaya Indonesia yang kokoh. Pada hakikatnya pendidikan merupakan bantuan pendidik terhadap peserta didik dalam bentuk bimbingan, arahan, pembelajaran, pemodelan, latihan, melalui penerapan berbagai strategi pembelajaran yang mendidik. Pendidikan berlangsung dalam ruang dan waktu yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik, psikologis, sosial, dan budaya.

Filsafat pendidikan mencakup lima kajian yaitu hakikat kehidupan yang baik, hakikat masyarakat, hakikat peserta didik, hakikat proses pendidikan, dan hakikat kenyataan (realitas) yang menjadi kepedulian pendidik dan peserta didik.

Hakikat kehidupan yang baik adalah tipe manusia yang diinginkan sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Manusia yang baik adalah manusia yang menyadari hakikatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dalam kedudukannya sebagai ciptaan sempurna itu, manusia berfungsi sebagai hamba dan khalifahNya yang akan berupaya mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian di muka bumi.

Hakikat masyarakat berkaitan dengan pendidikan sebagai upaya yang terjadi untuk dan dalam masyarakat, serta mempunyai pengaruh masyarakat. Pancasila menyatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah berketuhanan yang Maha Esa, perikemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat peserta didik adalah sebagai makhluk individual, sosial, dan unik serta memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya. Kesamaannya

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

2 adalah manusia sebagai makhluk yang beragama

(homo religious), berekonomi (homo economicus), bermasyarakat (homo socius), dlsb adalah makhluk yang harus dan dapat mengalami pendidikan. Prinsip optimisme pedagogik bahwa manusia bisa dididik dalam mewujudkan konsep homo educandum, yang tidak terbatas pada pelatihan-pelatihan tetapi atas pengembangan peradaban.

Hakikat proses pendidikan untuk mewujudkan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi tersebut, maka pendidikan dilakukan secara sadar dan terencana. Dalam pendidikan, manusia secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pribadi yang unggul dan handal, serta memiliki budaya kerja keras, jujur, berpikir kritis, kreatif, dan mandiri yang merupakan cerminan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dan peserta didik yang secara hakiki tidak berbeda, keduanya sama dalam proses dinamis

“untuk menjadi” (on becoming), yaitu menjadi

manusia yang utuh sesuai dengan citra keunikannya (Carl Rogers, 1961). Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran yang mempersiapkan peserta didik mencapai pengembangan potensinya secara optimal, pendidik hendaknya menjadikan landasan filosofis sebagai pedoman.

Hakikat realitas (kebenaran) dapat dikaji antara lain berdasarkan aliran filsafat idealisme, realisme, dan pragmatisme. Aliran idealis berpendapat bahwa kebenaran bersifat rohaniah, tidak dalam bentuk fisik atau materi melainkan dalam wujud fikiran. Aliran idealis memandang bahwa peserta didik adalah makhluk rohaniah yang merupakan bagian dari alam rohaniah jagat raya, memiliki tujuan-tujuan rohaniah yang harus dicapai melalui aktualisasi potensi dirinya dengan meningkatkan kesadaran dan keakraban manusia terhadap potensi rohaniah yang dimilikinya, dan membina hubungan dengan lingkungannya. Pendidikan merupakan proses mendinamisasi potensi peserta didik sepanjang hayatnya dengan mengkondisikan pembelajaran sehingga peserta didik dapat melakukan penyesuaian secara harmonis antara perkembangan rohaniah dan pertumbuhan jasmaniah, mengembangkan sikap positif, berpikir bebas, bertanggung jawab, dan hubungan dengan Khalik dan makhluknya.

Menurut aliran realis rasional bahwa kebenaran berada di luar pikiran manusia, setiap kenyataan adalah bagian dari alam ciptaan Tuhan dan keteraturan alam dapat dipikirkan. Aliran realis alamiah berpendapat bahwa manusia adalah makhluk biologis yang memiliki susunan syaraf yang rumit serta memiliki disposisi sosial. Aliran realis ilmiah memandang ketiadaan kebebasan mutlak karena struktur genesis manusia dipengaruhi oleh

lingkungan alam dan sosial. Pendidikan perlu memuat bahan belajar inti (core) yang memungkinkan peserta didik mampu memahami lingkungan alam secara tepat, mengembangkan kemampuan intelektualnya, inovatif, dan empati. Aliran pragmatis memandang bahwa kenyataan/kebenaran adalah yang dialami oleh panca indera manusia. Aliran ini mengembangkan tema tentang adanya perubahan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dan sosial, kerelatifan nilai, dan penggunaan potensi diri untuk belajar dan bertindak secara kritis di dalam dan terhadap dunia kehidupannya. Pendidikan adalah untuk mengembangkan pengalaman kreativitas peserta didik dengan mengeksplorasi pemikirannya dan mengantisipasi kenyataan yang mungkin, dapat, dan diharapkan terjadi di masa depan.

Untuk mewujudkan proses pembentukan manusia itulah diperlukan pendidik dan tenaga kependidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik melalui oleh qolbu, olah cipta/pikir, olah karsa, olah karya, olah rasa, dan olah raga. Semua ini diperlukan guna meningkatkan kesadaran dan wawasan akan peran, hak, dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju terbentuknya masyarakat Pancasila yang madani dengan ciri penghargaan terhadap hak asasi manusia, keekaan dalam kebhinekaan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, dan kesetaraan gender (Proposal: Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Tahun 2006, BSNP).

2. Konseptual

Secara konseptual pengembangan kurikulum mengacu kepada Relevansi Sosial, Epistemologis

(akademik), dan personal (Phenix, P, 1964).

Relevansi sosial mengacu kepada kesesuaian kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan lapangan kerja. Relevansi epistemologis kesesuaian kurikulum dengan struktur keilmuan dari materi bidang kajian. Sedangkan relevansi personal adalah kesesuaian antara kurikulum dengan minat individual perserta didik, sehingga menjadi matakuliah pilihan bagi peserta didik.

Kurikulum memiliki tataran konseptual berupa gagasan-gagasan tentang kecakapan-kecakapan atau kompetensi para lulusan. Pada tataran dokumen kurikulum merupakan panduan-panduan yang dirujuk untuk diimplementasikan. Pada tataran eksperiensial adalah kegiatan nyata yang dialami peserta didik yang terorganisasikan dengan lingkup dan kedalaman tertentu serta dievaluasi secara representif, objektif dan transparan. Pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh falsafah negara (termasuk agama), hasil-hasil riset, dan suprasistem yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Ipoleksosbud). Kurikulum adalah seperangkat rencana dan

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

3 pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran

serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam UU No 20 tahun 2003 dijelaskan pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Landasan penyelenggaraan kurikulum adalah prinsip optimisme pedagogik bahwa manusia bisa dididik dalam mewujudkan konsep homo educandum, yang tidak terbatas pada pelatihan-pelatihan, melainkan atas pengembangan peradaban.

Dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi, dalam hal ini LPTK, institusi pendidikan harus melakukan penetapan konsep lulusan yang akan termuat dalam visi dan misi institusi. Konsep lulusan tersebut selanjutnya akan terwujud sebagai profil lulusan. Profil lulusan harus ditetapkan dengan mengacu pada rumusan mutu lulusan dan relevansi. Kesemuanya itu akan dicapai melalui suatu rangkaian proses pendidikan yang bermutu, baik untuk pendidikan akademik maupun pendidikan profesi. Keunikan karakteristik profesi guru yaitu: (a) subjek layanan adalah manusia; (b) individu yang unik yang berkembang; (c) secara hakiki tidak berbeda dari pendidik; (d) subjek layanan yang memiliki berbagai potensi; dan (e) keputusan-keputusan profesional dilakukan dalam situasi transaksional yang dinamis. Karena pengembangan ilmu pendidikan merupakan tugas program akademik dan profesi, maka calon lulusan harus dibekali dengan teori dan praktik, serta kemampuan meneliti .

Pendidikan profesi mengacu kepada ciri-ciri suatu profesi yang menunjukkan karaktersitik sebagai berikut: (a) mensyaratkan pendidikan persiapan yang relatif panjang untuk memenuhi kinerja yang sesuai dengan standar akademik dan kompetensi; (b) dalam bekerja mampu menerapkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman; (c) mensyaratkan praktik kependidikan yang intensif maupun ekstensif; (d) mampu membuat keputusan-keputusan secara mandiri; (e) proses dan hasil kerja dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholders; (f) dalam menjalankan profesinya, tunduk kepada kode etik sebagai acuan norma yang berisi rambu-rambu tentang kepatutan bertindak dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya; (g) memperoleh imbalan yang layak atas jasa layanan yang diberikannya; (h) mempunyai cita-cita dan dedikasi melayani; (i) menggunakan haknya untuk memperoleh peningkatan dalam jabatan; (j) selalu berihtiar untuk mengembangkan diri melalui belajar

1 Setelah pendidikan guru di tingkat sekolah lanjutan atas dilikuidasi, dari 273 buah (terdiri dari 213 SPG, 54 SGO, dan 6 SGPLB) yang

sepanjang hayat; (k) membentuk asosiasi profesi kependidikan; (l) bekerja mengacu pada standar yang sesuai dengan lingkungannya; (m) mampu bekerjasama dengan profesi lain dan dalam profesi kependidikan; dan (n) memperoleh pengakuan dari masyarakat atas keprofesionalannya sebagai pendidik dan tenaga kependidikan (NA Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2006).

3. Historis

Pendidikan guru di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang. Tuntutan kualifikasi terus meningkat, sehingga berdampak pada lamanya seseorang menempuh pendidikan persiapan menjadi guru. Misalnya, pada akhir masa penjajahan Belanda, untuk menjadi guru Sekolah Desa 3 tahun adalah lulusan CVO (Cursus voor Volk Onderwijser, 2 tahun sesudah SR), untuk menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) Nomor Dua (5 tahun) adalah lulusan Normal School (4 tahun sesudah SR), untuk menjadi guru

Holland Irlanders School (HIS/Sekolah Dasar

Belanda untuk orang Indonesia dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda lamanya 7 tahun) adalah lulusan HIK (6 tahun setelah HIS); dan lulusan

Hoofdt Acte untuk menjadi guru MULO (SMP).

Setelah kemerdekaan, pemerintah mendirikan Sekolah Guru B (4 tahun sesudah SD) untuk mendidik calon guru SD, selanjutnya mulai tahun 1957 persyaratan tersebut meningkat menjadi minimal lulusan SGA (3 tahun setelah SMP). Pada pertengahan tahun 1960an SGB dilikuidasi dan SGA berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang mendidik calon guru SD. Bagi guru yang belum memenuhi syarat diwajibkan mengikuti pendidikan yang sederajat, yakni Kursus Pendidikan Guru (KPG). Tahun 1989 persyaratan untuk menjadi guru SD ditingkatkan lagi menjadi minimal lulusan program Diploma II (2 tahun setelah SMA/SPG), sedangkan SPG dilikuidasi dan perangkat sumber dayanya diintegrasikan ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK (IKIP/FKIP Universitas/STKIP)1.

Sebelum tahun 1954 SGA dimaksudkan untuk mendidik calon guru SLP dan kursus B1 (1 tahun sesudah SMA) dan B2 (2 tahun sesudah SMA) untuk mendidik calon guru SLTA. Guna memenuhi kebutuhan guru SMA juga diangkat lulusan Candidat 1 (C 1) dan Candidat 2 (C2) universitas dalam bidang studi yang relevan.

Penyelenggaraan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi mulai berlangsung sejak tahun 1954 dengan didirikannya Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondano untuk mendidik calon guru SLTA, dialihkan menjadi program D-II di LPTK adalah 64 (35 SPG, 29 SGO), dan 6 SGPLB langsung menjadi S-1. Selebihnya dialihfungsikan menjadi 197 SMA dan 6 buah Balai Pendidikan Guru (BPG).

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

4 walaupun pendidikan guru MIPA telah dilaksanakan

tahun 1947 di Fakulteit van Exacte Wetenschap (sekarang FMIPA ITB) di Bandung.2 Pada tahun

1957 PTPG bergabung ke universitas menjadi Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Selanjutnya pada tahun 1963 FKIP tersebut berdiri sendiri menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan kursus B1 dan B2 diintegrasikan dengan IKIP. Jumlah IKIP kemudian bertambah menjadi 10. Di luar itu di setiap propinsi yang tidak ada IKIP berkembang FKIP di dalam lingkungan universitas negeri. IKIP/FKIP yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA kemudian juga mendidik guru SLTP dengan menyelenggarakan

crash-program PGSLP dengan beasiswa pada tahun

1970an di samping juga menyelenggarakan PGSLA. Pada tahun 1989 SPG dilebur ke dalam IKIP/FKIP. Tahun 1989 LPTK ditugasi pula mendidik calon guru TK dan SD melalui program Diploma II PGTK dan PGSD. Pada tahun 2006, PGTK berkembang menjadi progam S-1 PG PAUD yang memiliki konsentrasi studi dengan kompetensi lulusan sebagai pendidik pada Kelompok Bermain atau menjadi guru pada Taman Kanak-kanak.

Menjelang akhir abad ke-20, pada tahun 1999 dalam perkembangan berikutnya IKIP diberikan perluasan mandat untuk tidak saja mengembangkan ilmu pendidikan tetapi juga ilmu-ilmu nonkependidikan dalam wadah universitas. Selanjutnya pada tanggal 4 Agustus 1999 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 93/1999, beberapa IKIP diubah menjadi universitas.

Tahun 1954 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan Nomor 382/Kab. Tahun 1954 menetapkan pendirian Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang didirikan di empat kota, yaitu Batusangkar, Bandung, Malang, dan Tondano. Karena pergolakan politik nasional pada tahun 1957 -1959, PTPG Batusangkar tidak beroperasi lagi, dan banyak mahasiswa yang pindah ke PTPG Bandung. Ketiga lembaga ini kemudian diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada universitas terdekat. Pada tahun 1958 berdasarkan PP No. 51 tahun 1958 Fakultas Paedagogik diintegrasikan ke dalam FKIP. Pada kurun waktu 1958 – 1963, ada tiga lembaga yang menyiapkan guru, yaitu Kursus B-I & B-II, Fakultas Paedagogik Universitet Gadjah Mada dan 3 PTPG yaitu PTPG Bandung Malang dan Tondano. Dalam perkembangannya, kursus B-I, B-II pada awal tahun 1960 diintegrasikan ke dalam FKIP Universitas. Pada tahun 1963 FKIP universitas berubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Selanjutnya pada tahun 1963,

2 FMIPA ITB, 1997

oleh Kementerian Pendidikan Dasar didirikan Institut Pendidikan Guru (IPG) untuk menghasilkan guru sekolah menengah. Sementara itu, berdasarkan Keputusan Menteri P dan K No. 6 dan 7 tanggal 8 Februari 1961 Kursus B-I dan B-II diintegrasikan ke dalam FKIP di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi yang juga menghasilkan guru sekolah menengah. Dualisme ini dirasakan kurang efektif dan mengganggu manajemen pendidikan guru. Untuk mengatasi masalah ini, maka kursus B-I dan B-II diintegrasikan ke dalam FKIP pada Universitas. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 1 tahun 1963 tanggal 3 Januari 1963, ditetapkan integrasi sistem kelembagaan pendidikan guru. Salah satu butir pernyataan Keppres tersebut adalah bahwa surat keputusan ini berlaku sejak tanggal 16 Mei 1964, FKIP dan IPG diubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dalam perjalanannya, beberapa universitas masih tetap mengembangkan pendidikan guru dalam wadah FKIP.

Perubahan dan atau perkembangan dari FKIP ke IKIP, hingga menjadi Universitas, hakikatnya bukan karena inisiatif dan dinamika internal sivitas akademika, melainkan merupakan bagian dari kebijakan nasional dalam mengembangkan sistem pendidikan nasional.

Sepanjang perjalanan sejarah pendidikan guru di Indonesia, sistem pendidikan guru ini menggunakan kurikulum dengan dua komponen pokok, yaitu (i) komponen kurikulum untuk memberikan bekal kompetensi kependidikan dan (ii) komponen kurikulum untuk memberikan bekal kompetensi substansi materi yang akan diajarkan. Secara singkat perjalanan Kurikulum LPTK di Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut.

a. Kurikulum Era sebelum 1970an

Kurikulum pendidikan guru pada era sebelum 1970an, pada dasarnya dilaksanakan dengan sistem terintegrasi yaitu pola penyiapan guru yang memadukan elemen pendidikan yang bercirikan nasionalisme, pedagogik, ilmu jiwa, bidang studi yang diajarkan, dan praktik mengajar sebagai bagian yang terintegrasi dalam pembinaan akademik dan profesi. LPTK menghasilkan calon guru dengan kualifikasi lulusan sarjana muda (bachelor degree) dan lulusan sarjana (doctorandus dan doctoranda). Kurikulum pendidikan guru sebelum tahun 1970-an ini terdiri dari 6 elemen utama: (i) nasionalisme; (ii) pedagogik; (iii) ilmu jiwa umum dan ilmu jiwa pendidik; (iv) didaktik metodik; (v) bidang studi yang diajarkan, dan (vi) praktik mengajar.

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

5

b. Kurikulum Era 1970 – 1990

Kurikulum lembaga pendidikan tenaga kependidikan saat itu dikembangkan untuk menghasilkan calon guru profesional. Pendidikan guru waktu itu dilaksanakan dengan sistem concurrent atau terintegrasi, yaitu pola penyiapan guru yang terintegrasi antara pendidikan akademik dan pendidikan profesi, yang ditandai dengan pemberian Ijazah dan Akta Mengajar bagi setiap lulusannya. Kurikulum ini terdiri dari pengembangan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi akademik bidang studi yang diperkuat dengan pengembangan jati diri bangsa Indonesia melalui Matakuliah Dasar Umum yang dimaksudkan untuk menyiapkan pendidik yang religius, nasionalis, patriotik, dan berkepribadian luhur. Pengelompokkan kurikulum waktu itu adalah: Kelompok Matakuliah Dasar Umum (MKDU), Matakuliah Dasar Kependidikan (MKDK), Matakuliah Penguasaan Bidang Studi (MKPBS), Matakuliah Proses Belajar mengajar (MKPBM). MKDK dan MKPBM adalah Matakuliah untuk menyiapkan calon pendidik yang menguasai kompetensi akademik kependidikan, dan MKPBS adalah Matakuliah untuk menyiapkan calon pendidik menguasai kompetensi akademik bidang studi, yang dilandasi dengan MKDU.

c. Dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2000

Kurikulum 1994 pendekatannya adalah topik inti (content based curriculum), yang menekankan hasil belajar pada keutuhan penguasaan substansi bidang ilmu, dan dikelompokkan ke dalam Matakuliah Umum (MKU), Matakuliah Dasar Kependidikan (MKDK), Matakuliah Keahlian I (MKK I), dan Matakuliah Keahlian II (MKK II). MKK I adalah kelompok matakuliah untuk pengembangan kompetensi akademik kependidikan, dan MKK II adalah kelompok matakuliah untuk pengembangan kompetensi akademik bidang studi. Pada implementasi kurikulum tersebut, LPTK waktu itu pernah menerapkan kebijakan untuk menyiapkan lulusannya tidak hanya menguasai kemampuan utama sesuai program studinya, tetapi juga kewenangan tambahan yang dikenal dengan program Post

Secondary Subject Matter (PSSM) dengan beban

belajar kurang lebih 20 sks, sebagai contoh mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Biasa dapat mengambil PSSM Pendidikan Bahasa. Program tersebut kurang sempurna dalam implementasinya, terutama dalam koordinasi pelaksanaan pembelajaran lintas program studi, dan lintas fakutas.

d. Kurikulum LPTK setelah Tahun 2000

Pada tahun 2000, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan kurikulum pendidikan tinggi yang dilandasai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000. Pendekatan Kurikulum ini berbasis kompetensi atau populer dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competence based

curriculum). Hal ini diperjelas pada Pasal 1 Kepmendiknas 045/U/2002, dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Penekanan hasil belajar pada keutuhan kompetensi berkarya (a method of inquiry), dan dikelompokkan ke dalam Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB), Matakuliah Keahlian berkarya (MKB), dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Di dalam Pasal 2 ayat (1) dijelaskan mengenai Kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas:

a.

Kompetensi utama;

b.

Kompetensi pendukung; dan

c.

Kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.

Selanjutnya disebutkan pula bahwa kompetensi tersebut dikembangkan ke dalam elemen-elemen kompetensi pada ayat (2) elemen-elemen kompetensi terdiri atas:

a.

Landasan kepribadian;

b.

Penguasaan ilmu dan keterampilan;

c.

Kemampuan berkarya;

d.

Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai;

e.

Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Elemen-elemen kompetensi tersebut dikembangkan atas dasar kategorisasi dari the four pilars of

education UNESCO (1997) yaitu Learning to know,

learning to do, learning to live together, dan learning to be.

Dalam implementasinya, elemen elemen yang ditetapkan dalam Permendiknas nomor 045/U/2002 yang semestinya dijadikan dasar dalam penyusunan kurikulum agar dalam mengembangkan matakuliah mengandung kelima elemen tersebut, seperti diperkuat oleh PP nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 97 ayat 3, cenderung digunakan untuk mengelompokkan matakuliah. Selanjutnya,

“kekeliruan” pengelompokan matakuliah tersebut

menjadi kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB), Matakuliah Keahlian berkarya (MKB), dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB), menggantikan pengelompokkan Matakuliah pada kurikulum 1994 yaitu MKU, MKK I, dan MKK II.

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016

6 Kepmendiknas 232/U/2000 dan 045/U/2002

sesungguhnya dapat disebut kadaluwarsa, mengingat pada tahun 2003 muncul Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab X Pasal 38 (4) menyebutkan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Bagi LPTK, kurikulum yang dikembangkan selain mengacu pada UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, juga harus mengacu pada PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang di dalamnya terkandung beberapa hal terkait dengan kompetensi

Dalam dokumen MODEL PERKULIAHAN INOVATIF UNTUK CALON G (Halaman 37-49)