• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 KAJIAN LITERATUR

Dalam dokumen M01459 (Halaman 43-47)

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Aris Martono 1 , Nurlaila Suci Rahayu Rais 2 , Albert Yusuf Dien

2 KAJIAN LITERATUR

Kebutuhan seksual adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Demi memenuhi hasrat tersebut, manusia tidak serta merta melakukan kegiatan seksual tanpa melihat norma-norma yang ada dalam masyarakat, dimana kegiatan seksual harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh setiap warga negara Indonesia. Karena agama yang akan mengatur kapan seseorang dapat melakukan pernikahan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, untuk selanjutnya memiliki keturunan sebagai bentuk aktualisasi diri dalam masyarakat.

Melihat masalah seksual yang demikian sakralnya, maka masyarakat Indonesia yang religius akan memandang seks bebas sebagai perbuatan yang nista dan hina, mereka akan mengutuk dan bereaksi keras terhadap keberadaan pelacuran /praktek prostitusi dengan alasan apapun.

Pengertian prostitusi yaitu ―suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan dirinya berhubungan kelamin dengan mengharapkan imbalan berupa uang atau bentuk lainnya‖ [4]. Pelacuran bahkan sudah ada sejak jaman Mesir Kuno, dan telah terjadi sepanjang sejarah manusia.

Di Indonesia, bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda {Hull; 1997:3 dalam Alfian(2013)}. Kondisi ini terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuh-an seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara. [1]. Hull (1997) dalam Alfian(2013) menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa, dimulai dari masa kerajaan- kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan.[11]

Koentjoro (1989:3) dalam Alfian(2013) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota, seperti Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. {Hull, at al.; 1997:2 dalam Alfian(2013)}.

Prostitusi yang terorganisir dengan baik merupakan wujud dari perdagangan perempuan dan ini jelas sekali melanggar hak asasi manusia (HAM). Konsep perdagangan perempuan melibatkan korban yang dijadikan sebagai obyek perdagangan terutama yang berkaitan dengan eksploitasi seksual yang meliputi segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan. [12]

Munculnya perdagangan manusia dipicu oleh adanya permintaan global atas tenaga kerja yang murah, mudah didapatkan, dan ilegal. Biasanya permintaan tenaga kerja seperti ini tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dan skill tertentu seperti pelayan rumah tangga yang terkadang menjadi korban eksploitasi atau kerjapaksa. Seringkali mereka juga menjadi korban penipuan yang semula dijanjikan pekerjaan terhormat dengan gaji besar, ternyata dipekerjakan sebagai pelacur.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberi penjelasan bahwa ‖Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,

44

penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.‖

Dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara berkisar antara lima tahun sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP).

Jumlah website yang menyediakan konten pornografi meningkat hingga 70 persen pada 2009[2]. Pornografi juga masih menjadi kon-sumsi tertinggi bagi para pengakses internet. Bahkan, 12 persen situs di dunia mengandung pornografi. Beberapa akun jejaring sosial, termasuk facebook. Setiap harinya sebanyak 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman website pornografi, Sebanyak 25 persen pengguna memanfaatkan search engine untuk mencari halaman pornografi. menimbulkan kendala bagi Kementerian Kominfo melakukan pemantau-an dan pemblokiran terhadap situs-situs porno. [2]

Pemerintah mengatur masalah pelacur-an dalam dua pasal, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506. Pasal 296 KUHP mengatakan : "Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah." Mucikari dapat dijerat dengan Pasal 506 KUHP yang mengatakan : "Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun."

Pemerintah mengeluarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana per- dagangan orang, termasuk didalamnya yaitu mengenai prostitusi, UU No. 21/2007 tentang Perdagangan Manusia (Human Trafficking). Perdagangan orang, Pasal 1 ayat (1) UU No. 21/2007: "Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penam-pungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculi-an, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."

Tindakan kejahatan prostitusi yang melibatkan anak dapat diterapkan UU No. 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 88 UU Perlindungan Anak (eksploitasi seksual anak), menyangkut pelacur (PSK) yang belum dewasa, ancaman pidananya menurut UU Perlindungan Anak adalah "Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)".

Anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan belas tahun. Pasal 287 KUHP menyatakan bahwa "Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun." Apabila persetubuhan itu menimbul-kan luka-luka atau kematian, maka sipelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagaimana ditetapakan dalam Pasal 291 KUHP ayat (2). Namun dengan keluarnya UU No. 23/2002 serta UU No. 21/2007, maka batas umur dalam Pasal 287 KUHP harus ditafsir dengan didasarkan pada undang-undang yang baru, yaitu di bawah umur delapan belas tahun (penafsiran sistematik).[8]

Melihat fenomena maraknya praktik prostitusi di media sosial, diperlukan peran polisi dalam upaya penegakkan hukum. Selain undang-undang tersebut, pemerintah

45

masih memiliki UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang diharapkan mampu menjadi dasar hukum untuk menjerat pelanggaran hukum via internet. Pelaku dapat dijerat Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan", dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang menyangkut ketentuan pidananya berbunyi : "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." 3. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum normatif yang menggunakan data primer dan sekunder ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research). Data primer diperoleh langsung dari responden di lokasi penelitian. Sumber data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yaitu dari buku, undang-undang yang relevan, media internet, dan pengolahan dan analisis dari penelitian sejenis yang sudah dipublikasikan di berbagai media. Teknik Pengumpulan data dilakukan langsung ke lapangan, dengan wawancara via telpon dan menyebarkan kuesioner, mangacu pada daftar pertanyaan untuk memperoleh informasi yang akurat. Melakukan observasi di lapangan dengan meneliti perkembangan media sosial yang digunakan untuk kegiatan prostitusi tersebut. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 1 di bawah ini.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KUHP mengatur pasal-pasal yang berkaitan dengan pelacuran, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506, namun kedua pasal tersebut tidak menjerat pelaku pelacuran, tapi hanya menjerat mucikarinya saja, karena KUHP mengkategorikan prostitusi sebagai suatu delik terhadap perantaranya, artinya hanya menjerat germonya saja bukan PSK nya. Akibat tidak tersentuh hukum, para PSK terus melakukan kegiatannya. PSK tidak jera, karena apabila PSK menjual dirinya sendiri tanpa mucikari, maka otomatis Polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum tidak mempunyai wewenang untuk menindak.

Pemerintah juga berupaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online di luar jalur hukum pidana dengan melalui pendekatan teknologi,

sosial budaya dan kemasyarakatan, dengan cara meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anak-anak gadisnya, agar tidak tertipu sindikat perdagangan manusia. Diperlukan pula adanya kerjasama internasional, memperketat pengawasan kepada penyedia jasa internet dan pemilik website atau admin-website yang berperan dalam penyedia jasa online, seperti mewujudkan domain dan konten-konten iklan-iklan online prostitution, dsb.nya.

Selain itu, pemerintah juga mengatur undang-undang untuk menjerat para pelaku penyimpangan seksual, diantaranya: UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia (HumanTrafficking)[8], dan biasanya berkaitan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

Survei Data primer : Field research Data sekunder : -kepustakaan -buku -internet -jurnal Analisis: Hukum normatif Menyusun laporan Menyusun laporan akhir

46

muatan yang melanggar kesusilaan", dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang menyangkut ketentuan pidananya yaitu berbunyi : "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

UU ITE diharapkan dapat menjerat para admin-website yang berurusan dengan polisi, akibat bekerjanya kurang hati-hati, sehingga polisi mengetahui kegiatan dalam memuluskan transaksi seks para PSK. Apabila dalam operasinya mereka tertangkap polisi, maka dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, sebagaimana diancam pidana yang dijelaskan diatas.[9]

Berikut ini beberapa faktor yang melatar-belakangi mereka memilih prostitusi sebagai jalan pintas permasalahan, diantaranya:

a. Faktor Ekonomi: merujuk pada masalah kemiskinan dan ini menjadi alasan yang sangat klasik sebagai penyebab banyak keluarga merencakanan strategi penopang kehidupan mereka dengan memperkerja-kan anak gadisnya karena jeratan hutang. b. Faktor Moral dan Akhlak: degradasi moral atau kemerosotan/kerusakan moral masa

kini banyak dipengaruhi oleh dampak negatif globalisasi teknologi. Berkembangnya pornografi secara liar berpotensi memudarnya kualitas keimanan seseorang, terutama bagi remaja masa kini.

c. Faktor Malas: Keinginan untuk memper-oleh materi dengan cepat, semua keingin- nya dilakukan serba instan, mudah dan enak tanpa harus kerja keras, demi mengejar standar hidup yang lebih tinggi.

d. Faktor Sosial Budaya: seperti ajakan teman-temannya yang sudah terlebih dahulu berprofesi sebagai pelacur, ini sangat mempengaruhi masyarakat yang sarat dengan godaan-godaan kehidupan glamour di kota; pentingnya pengawasan orang tua karean anak-anak rentan terhadap perdagangan orang (humantrafficking).

e. Faktor Yuridis: tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran dan melarang terhadap orang-orang yang melakukan hubungan seks sebelum pernikahan atau diluar pernikahan.

f. Faktor Psikologis: ini bisa disebabkan karena keluarga yang tidak harmonis; anak- anak broken home; mengalami trauma pernah diperkosa atau pelecehan seksual; adanya pengalaman traumatis mengakibatkan rasa ingin balas dendam yang pada akhirnya terjun ke dunia hitam.

g. Faktor Biologis: nafsu seks yang tidak terkendali dan selalu tidak merasa puas dalam berhubungan suami/isteri.

h. Faktor Globalisasi Teknologi: Penyalah-gunaan kemudahan dalam globalisasi teknologi informasi dan komunikasi, secara tidak disadari telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seksual yang melibatkan kegiatan prostitusi.

Implikasi prostitusi di media sosial pada masyarakat dan remaja kini, dapat diperinci sebagai berikut:

1. Degradasi Moral Masyarakat: masyarakat sudah mengabaikan masalah moral dan tidak mentaati lagi ajaran-ajaran agama yang mereka anut; kalangan remaja yang kurang mendapat bekal agama serta kurang mempertimbangkan akibat-akibat negatif penyimpangan seksual, bisa terpengaruh oleh sajian media massa yang merangsang pertumbuhan seksual remaja.

2. Merusak Ahlak Anak Dan Remaja: maraknya online prostitution membuat menjamurnya iklan pornografi. Implikasi kedepan, negara ini akan hancur apabila generasi muda sebagai calon-calon pemimpin bangsa ini sudah dirusak moral dan akhlaknya sejak dini.

3. Berpotensi Menyebarkan Penyakit Kelamin: penularan penyakit kelamin. Penularan penyakit ini akan sangat membahayakan suami istri dan dapat mengancam keselamatan anak yang dilahirkannya.

47

5. KESIMPULAN

Prostitusi sebagai jalan pintas permasalahan masyarakat karena alasan faktor ekonomi/kemiskinan, faktor keme-rosotan moral/akhlak masyarakat, faktor pengaruh pergaulan, faktor tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, faktor psikologi seperti akibat anak-anak broken home, faktor biologis yaitu nafsu seks yang tidak terkendali, dan faktor globalisasi teknologi.

Dampak negatif keberadaan prostitusi di media sosial seperti degradasi moral masyarakat, merusak ahlak remaja yang masih sangat labil, berpotensi tersebarnya HIV/AIDS dan penyakit kelamin, serta merusak keharmonisan rumah tangga.

Dalam dokumen M01459 (Halaman 43-47)

Dokumen terkait