• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Tanpa Pembebasan

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 97-99)

Akses terhadap informasi merupakan hak dasar warga negara. Hal ini dijamin oleh konstitusi. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Pasal 19 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR/

The International Covenant on Civil and Political Rights). Dengan kebijakan media yang ada sekarang, warga negara Indonesia dijamin memiliki kebebasan mengekspresikan opininya dan mengakses informasi. Namun, secara fundamental, hak-hak ini tidak dijamin oleh atmosfer demokratis yang seharusnya secara alamiah menjamin keberadaannya. Hak warga negara atas media diperlakukan hanya sebagai simbol atau kewajiban yang secara eksplisit dituangkan di atas kertas. Berbagai kasus pencemaran nama baik yang diajukan oleh otoritas publik merupakan beberapa indikasi dari argumentasi ini.

keduanya diberi mandat bidang regulasi telekomunikasi, termasuk operator. Sejauh yang diketahui publik, belum ada penyelesaian masalah ini.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 82

Dengan demikian, warga negara selalu ditantang untuk menjaga kebebasan mereka yang sebelumnya tak pernah dikenal. Ancaman terhadap kebebasan ini bersifat ganda. Pertama, ancaman muncul dari upaya negara itu sendiri untuk mendukung kebijakan-kebijakannya yang didasarkan pada pertimbangan moral; kedua, ancaman muncul dari industri yang berkembang dengan subur dan memandang kinerja media murni sebagai aktivitas ekonomi dengan mengabaikan nilai-nilai pencerdaskan publik.

Meski demikian, institusi seperti regulator media yang independen, yang diharapkan dapat mewakili kepentingan publik, sering tak berdaya menghadapi industri. Terjebak dalam jaringan kepentingan pribadi, para regulator juga sering hanya menyampaikan kepentingan industri, sebagaimana yang dikemukakan pakar media:

Regulator kalau melihat kotaknya selalu mendahulukan kepentingan industri, kepentingan bisnis (Ignatius Haryanto, wawancara, 22/08/2011).

Argumentasi ini juga disetujui oleh mantan anggota KPI yang sekarang menjadi praktisi media:

Kita hanya kecewa menghadapi regulator yang seharusnya mempunyai prioritas untuk mengatur yang perlu diatur, daripada yang tidak perlu diatur. Iya, loh. Regulator itu nggak

tahu prioritasnya apa saja. Entah Menkominfo, entah KPI. Kalo pembagiannya, kan, sudah sangat jelas, bahwa Kominfo itu mengatur strukturnya, infrastrukturnya. [Sedangkan] KPI itu mengatur content-nya. Nah ini kita punya Menteri yang mengurusi soal membangun infrastruktur. Itu nggak dilaksanakan. Departemen PU malah lebih baik. Dia membangun jalan, tahu prioritas. Tegas, nyata. Sebetulnya Kominfo juga nyata, tapi dia tidak lakukan (Bimo Nugroho, wawancara, 11/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber). Sementara itu, dengan taraf komersialisasi seperti yang ada sekarang, pada akhirnya media akan memilih konten yang efisien untuk diproduksi, dengan hasil yang mengundang rating, share, dan penjualan yang tinggi. Cara berpikir ini tidak memberi ruang bagi liputan mendalam (in-depth) laporan berita esensial mengenai subyek yang bukan arus utama atau cerita-cerita yang tidak menarik dalam konteks nasional. Dengan situasi semacam ini, pilihannya ada pada warga negara untuk menciptakan media mereka sendiri, yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan kebijakan media saat ini. Semakin seseorang mengamati ranah media saat ini, semakin terlihat pentingnya kebijakan media. Efektivitas kebijakan media sangat penting dalam rangka meneguhkan fungsi sosial dari media. Untuk mewujudkannya, kita juga tidak bisa begitu saja mengamini kenyataan bahwa media telah menjadi institusi ekonomi. Kita perlu menempatkan media ke dalam sebuah perspektif dan hal ini harus menjadi tugas kebijakan media, yaitu mensyaratkan media bekerja dalam kode etik yang ketat. Dalam kasus kita, hal yang sama juga harus diberlakukan pada lingkup finansial dan ekonomi dari industri media. Hal ini juga ditekankan dengan kuat oleh mantan anggota DPR, Paulus Widiyanto:

Itulah kebijakan publik, diterapkan, [...] diprasyaratkan bahwa ini ada aspek ekonomi, ini ada aspek budayanya, ini ada aspek sosialnya masuk ke dalam regulasi dan ini harus komprehensif. Jadi karena itu sebetulnya. Filosofi bangsa kita adalah apakah kita menjadi, atau kita akan membikin bangsa [ini jadi] apa (Paulus Widiyanto, wawancara, 14/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Berkaitan dengan hal ini, pemerintah harus mencari pilihan kebijakan yang mampu menyikapi hak melaksanakan kebebasan berekspresi (FI dan FNS, 2010: 51), terutama karena saat ini publik Indonesia semakin khawatir pelaksanaan kebebasan berekspresi makin terancam. Mungkin inilah yang

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 83

dimaksudkan Morozov dengan istilah jaringan yang terbuka tetapi pikiran yang tertutup atau ‘Open Networks, Narrow Minds’ (Morozov, 2011: 228).

Saat ini hampir tidak mungkin memperoleh media yang independen dan terlepas dari kelompok kepentingan mana pun, atau bebas dari motif politik dan ekonomi. Sangat sulit, bahkan mustahil, untuk melepaskan diri dari industri media, karena segala aspek kehidupan telah dikomodifikasi. Janji kebebasan berekspresi diri, berpendapat dan pers bertentangan dengan banyak kebijakan non-media. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi tidak disertai dengan perubahan perilaku pemerintah/pembuat kebijakan dalam memandang pentinganya opini dan keterlibatan publik. Masih ada keengganan yang kuat dari pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi publik terlibat secara diskursif dalam isu- isu yang relevan dengan kehidupan mereka. Negara belum membebaskan warganya untuk sebenar- benarnya berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan yang krusial. Namun, di sisi lain, warga negara juga belum mampu mendefinisikan batasan dari kebebasan berpendapat. Saat ini lebih dari satu dekade pasca-reformasi, negara dan rakyatnya masih berusaha memberi makna pada gagasan tentang kebebasan.

Selanjutnya, sangat penting juga—dalam pemikiran mengenai kebebasan dan keterwakilan—bahwa proses pembuatan kebijakan media dapat memastikan kelompok minoritas dan lemah memiliki kesempatan menyampaikan suara mereka di media, dan untuk menempatkan mereka dalam ranah publik. Hal ini karena, sesuai dengan gagasan Habermas, ranah publik tidak boleh hanya mewakili kepentingan orang-orang berpengaruh yang hanya sedikit, tetapi juga mengikutsertakan ‘suara dari bawah’ (Habermas, 1989).

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 97-99)