• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radio Komunitas: Menggerakkan Hak-Hak Warga Negara atas Media Menurut saya, media komunitas mempunyai peran yang sangat penting Tetapi in

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 119-123)

tidak dilihat oleh pengambil keputusan dan bahkan juga tidak dilihat oleh media-media besar. Media besar itu punya kecenderungan untuk merendahkan keberadaan media komunitas. Padahal sebetulnya kalo mau yang genuine, yang genuine itu adalah media komunitas. Iya, dong. (Bimo Nugroho, wawancara, 12/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Pengakuan yang diberikan kepada radio komunitas dalam UU Penyiaran No. 32/2002 merupakan hal yang positif. Sejak UU tersebut diberlakukan, radio-radio komunitas baru bermunculan.

Tidak ada data pasti tentang stasiun penyiaran komunitas di Indonesia karena tidak tercatat dengan baik oleh KPI, Kemenkominfo, ataupun JRKI. Dengan demikian, data tentang radio komunitas dikumpulkan dari berbagai sumber. Pada 2003, data dari KPID Jawa Barat tercatat ada 500 radio komunitas yang beroperasi di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat hingga 680 pada 2005, dan menurut JRKI, naik lagi mencapai 700 pada 2006. Meski begitu, data terakhir yang kami peroleh dari JRKI menyatakan bahwa angka tersebut turun hingga hanya 372 radio pada 2009.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 104

Eksistensi penyiaran komunitas kembali diakui melalui PP No. 51/2002 mengenai radio komunitas/ penyiaran komunitas. Namun, radio komunitas masih menghadapi kesulitan dalam memperoleh izin penyiaran dan alokasi frekuensi. Radio komunitas tidak memiliki modal yang dibutuhkan seperti radio swasta yang dapat membeli peralatan dan infrastruktur dengan mudah. Regulasinya pun tidak mencukupi; yang dibutuhkan adalah fasilitas, terutama dari pemerintah lokal agar radio komunitas dan organisasinya mampu menopang diri sendiri. Sebagaimana yang dikatakan salah satu responden:

Kemudian, prosedur untuk diakui bagi radio komunitas itu sama ribetnya dengan persyaratan yang harus mereka lengkapi. Itu sama aja kayak harus melengkapi radio swasta (Ignatius Haryanto, wawancara, 22/08/10, huruf miring ungkapan asli narasumber). Permasalahan ini telah berdampak pada bisnis radio komunitas setiap hari. Radio komunitas selalu khawatir akan ditutup, atau diberi sanksi, oleh Balai Monitoring (Balmon) yang memiliki otoritas mengontrol penggunaan frekuensi. Secara teknis, radio komunitas hanya boleh memiliki jangkauan geografis radius 2,5 km dan antena transmisi berdaya 50 watt. Jika radio komunitas kedapatan melebihi batasan tersebut, sanksi akan diberikan atau izin akan dicabut. Sebenarnya, tanpa batasan yang diberikan oleh pemerintah pun radio komunitas harus berjuang untuk bertahan. Kapasitas organisasi (termasuk finansial dan sumber daya manusia) dari tiap-tiap radio komunitas mungkin menjadi faktor utama dalam menentukan sebuah radio mampu berkembang atau tidak. Harus dipahami bahwa radio komunitas sangatlah ‘organik’ dan sangat bergantung pada partisipasi anggota komunitasnya. Mendorong mereka untuk mempertahankan aktivitas penyiaran juga bukan hal mudah. Dengan demikian, radio komunitas sangat mengandalkan antusiasme dan kegigihan beberapa individu yang menjaga hasrat untuk menjaga radio tetap hidup.

Permasalahan lain yang muncul belakangan ini adalah pembagian waktu di antara radio-radio komunitas. Sebagai respons dari terbatasnya kanal bagi radio komunitas, Kemenkominfo menyarankan stasiun komunitas untuk bersiaran secara bergantian, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar radio komunitas memiliki slot waktu masing-masing dalam bersiaran dan tidak terikat untuk selalu mengudara sepanjang hari. Ide ini secara logis ditolak oleh KPI. Alih-alih, komisi tersebut meminta penambahan alokasi frekuensi bagi radio komunitas sebagai solusi masalah ini. Memaksa radio untuk siaran bergiliran tidaklah adil dan akan menciptakan permasalahan lebih banyak. Berkaitan dengan ini, KPI mengusulkan pemerintah menambah sejumlah kanal baru selama revisi Keputusan Menteri No. 15/2003, tetapi usul tersebut akhirnya ditolak.37

37 http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=30229%3Atime-sharing-no-tam- bah-kanal-yes&catid=14%3Adalam-negeri-umum&lang=id, diakses pada 02/12/2011.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia105

Gambar 6.8 Di dalam studio Radio Sadewa, radio komunitas di Bantul, D.I. Yogyakarta

Sumber: Para penulis, (Fajri Siregar)

Diskriminasi frekuensi memang merupakan salah satu contoh bagaimana radio komunitas dimarginalisasi. Radio komunitas secara keseluruhan hanya mendapat tiga alokasi dalam jalur FM, yaitu 107,7–107,9 MHz yang merupakan jalur tepi atas yang sulit diakses (Laksmi dan Haryanto, 2007: 72). Hal ini juga menjadi keprihatinan masyarakat sipil. Dalam siaran persnya, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menyatakan bahwa radio komunitas masih termarginalisasi melalui minimnya jumlah alokasi frekuensi. Lebih lanjut, prosedur yang rumit dalam memperoleh izin penyiaran juga menghalangi kehidupan radio komunitas. KIDP juga menegaskan kembali bahwa hak- hak tersebut harus disertakan dalam revisi UU Penyiaran. Mereka juga menambahkan bahwa versi UU Penyiaran yang telah direvisi harus secara eksplisit mencantumkan alokasi frekuensi yang didedikasikan bagi penyiaran komunitas, yang tidak boleh diganggu oleh pihak-pihak lain; dari pemerintah ataupun swasta.38

Dengan demikian, radio komunitas menghadapi dua problem utama. Secara internal, tiap-tiap radio komunitas secara terus-menerus menghadapi keputusan berat dalam mengatasi permasalahan organisasional dan manajemen terkait kelangsungan hidupnya. Secara eksternal, mereka harus menghadapi permasalahan perizinan yang tak kunjung usai, dan selalu di ambang penutupan oleh Balai Monitoring. Institusi penyiaran publik dan penyiaran komunitas berada dalam posisi lemah dibanding penyiaran swasta (P. Widiyanto, mantan Ketua KPI, Rapat Dengar Pendapat DPR, 08/12/2010). Namun, tantangan terberat adalah belajar mencari tempat di tengah-tengah industri radio. Tidak hanya karena radio swasta terkadang ‘membajak’ penyiar radio mereka, tetapi, yang terpenting, stasiun radio komunitas selalu berjuang mencari kanal untuk bersiaran, karena mayoritas frekuensi dialokasikan bagi stasiun swasta.

38 http://jrki.or.id/2011/05/negara-harus-berpihak-kepada-lpp-lembaga-penyiaran-publik-dan-lpk-lembaga- penyiaran-komunitas/, diakses pada 05/09/2011.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 106

Kotak 4. Bagaimana Menyajikan Konten?

Perusahaan media berlomba untuk berada di depan para pesaingnya dengan selalu mengikuti perubahan teknologi dan medium terbaru. Hal ini berimbas pada kompetisi kepemilikan medium. Masalah utama perusahaan media adalah menurunnya jumlah kanal yang tersedia dan sulitnya memperoleh IPPP (Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran). Dengan begitu, pertanyaan bagi para pelaku media yang ngotot adalah bagaimana mengakali peraturan. Menurut responden kami yang enggan disebut identitasnya, yang terpenting adalah bagaimana “menciptakan peraturan Anda sendiri” atau, jika perlu, menyuap para regulator.

Dalam melakukan penelitian ini, kami menemukan cerita-cerita yang menggambarkan pentingnya kepemilikan medium yang sempurna. Salah satu ceritanya adalah dugaan penggunaan rute kabel langsung ke setiap rumah tangga melalui saluran listrik dan telepon. Dengan kata lain, penyedia konten atau konglomerat media lainnya sekarang berusaha menguasai akses menuju saluran telepon dan listrik. Jika berhasil, perusahaan media akan mampu menyajikan konten menuju hampir semua rumah tangga di Indonesia tanpa harus repot-repot dengan penggunaan frekuensi. Menurut keterangan responden kami (dianonimkan):

“Lastmile connection itu sementara dikuasai oleh dua infrastruktur besar yang ada di Indonesia. Besar dalam artian murah, dan sudah ditata dengan baik. Dan itu sampai sekarang.Yang pertama punya Telkom, dan yang masalah di Telkom adalah dia sebagai wasit dan juga sebagai pemain. Kemudian yang kedua adalah PLN melalui anak perusahaannya yang namanya Icon Plus. Nah dua ini yang punya. Sasaran tembaknya akhirnya diarahkan ke dua perusahaan plat merah ini. Dalam artian masuk melalui PLN, men-develop Icon Plus supaya siap ketika beberapa tahun lagi sudah IPO.” (Anonim, wawancara, Oktober 2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Melalui perusahaan-perusahaan ini, pekerja media mencari cara untuk memasukkan konten mereka ke rumah-rumah dengan menumpang infrastruktur kabel. Cara lain untuk memperluas jangkauan adalah dengan membeli TV lokal (lihat wawancara A. Armando di atas dan Kotak 2). Skema mendapatkan TV lokal dan frekuensinya digambarkan di bawah ini.

1.Perusahaan media akan mencari atau menyewa seseorang yang memiliki wawasan mencukupi atau jaringan untuk menghubungkan mereka dengan TV lokal atau pelaku media lain. Di sini, orang tersebut dijuluki ‘pembeli’, bertindak atas nama perusahaan. 2. Untuk mengetahui TV lokal atau media lain mana yang tersedia di pasar, pembeli membutuhkan bantuan dari orang dalam yang memiliki data dan informasi tentang izin penyiaran dan perizinan kepemilikan perusahaan. Transaksi ini sering terjadi tanpa sepengetahuan kedua pihak (perusahaan dan regulator), sehingga sulit untuk membuktikan aktivitas semacam ini terjadi.

3. Setelah pembeli mendapat informasi dan mengkalkulasi, perusahaan dapat Perusahaan TV lokal Pembeli KPI 1. 2. 3. Perantara/ Orang dalam

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia107

Kesimpulannya, radio komunitas adalah benteng terakhir bagi warga negara untuk mewujudkan hak- hak mereka dalam memperoleh dan menghasilkan informasi. Peran radio komunitas telah terbukti krusial bagi warga ‘biasa’ untuk memiliki media yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari mereka dan memungkinkan adanya ‘kehidupan bersama’.

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 119-123)