• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Media dalam Tinjauan Historis: Medium Menentukan Kebijakan?

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 105-110)

Menutup Kesenjangan Informas

6. Reformasi Media di Indonesia: Sebuah Lintasan Perubahan

6.1 Reformasi Media dalam Tinjauan Historis: Medium Menentukan Kebijakan?

Saat Johannes Gutenberg pertama kali menemukan mesin cetak pada 1436, dia mungkin tidak menyadari bahwa penemuannya akan mengubah wajah dunia selamanya. Gutenberg memunculkan revolusi karena kita tidak dapat membayangkan apa jadinya hidup tanpa barang ciptaannya. Perkembangan industri percetakan menggambarkan munculnya jaringan baru dari kekuatan simbolis (Thompson, 1995: 53), yang berada di luar kontrol langsung pemerintah. Lebih lanjut, Thompson berpendapat bahwa:

...kapitalisme percetakan muncul sebagai konsekuensi logis dan menyediakan jalur untuk pers yang berdasarkan komersial. Dan dengan segera, otoritas politik akan mengontrol perkembangan surat kabar harian dan periodik dengan memberlakukan pajak untuk membatasi produksinya dan pada saat yang sama menambah pendapatan negara (hal. 68).

Dengan penemuan media-media lain, kisah yang sama terulang. Reformasi media mengikuti perkembangan teknologi. Kebijakan medialah yang lebih banyak beradaptasi terhadap kemajuan teknologi media; atau, kebijakanlah yang memungkinkan penggunaan teknologi tertentu dalam media— yang pada gilirannya berdampak besar pada kinerja sektor media. Oleh karena itu, dari perspektif kebijakan selalu ada keganjilan yang akan memunculkan kevakuman yurisdiksi (jurisdictional vacuum) dalam ruang yang terbuka dan tidak memiliki regulasi—semua pihak (pemerintah/regulator, industri media, warga negara/masyarakat sipil) akan bersaing demi kepentingan masing-masing, karena media memang merupakan arena yang diperebutkan.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan media juga tampaknya mengikuti perkembangan teknologi yang digunakan oleh industri media: dari televisi terestrial, penggunaan satelit, teknologi seluler, digitalisasi, Internet, nirkabel, broadband, dan kini teknologi 3G. Dalam tiap kemajuan teknologi ini, kebijakan secara substansial terbatas pada meregulasi apa yang sedang terjadi karena kebijakan tidak memiliki kemampuan dan sumber daya untuk memprediksi perubahan dan inovasi yang akan terjadi. Salah satu konsekuensinya adalah ketidakmampuan kebijakan dalam mengantisipasi apalagi mengontrol penggunaan medium atau teknologi baru, baik oleh industri media maupun warga negara dan masyarakat demi keperluan mereka sendiri, yang tentu saja akan memunculkan dampak sosial. Satu hal yang menarik dari sejarah media di Indonesia adalah hubungannya yang erat dengan perebutan kekuasaan dalam dunia politik. Ada dua kemungkinan pemanfaatan media. Pertama, media menjadi alat kontrol dan propaganda massa yang nyata oleh penguasa yang memanfaatkan keistimewaannya dalam ‘merekayasa kesadaran’/consent-manufacturing (sesuai dengan pendapat Herman dan Chomsky, 1988) yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan (Hill dan Sen, 2000; Laksmi dan Haryanto, 2007). Kemungkinan kedua, media digunakan sebagai alat pembebasan untuk menyebarkan informasi massa dan mengumpulkan dukungan serta memobilisasi massa. Di Indonesia, sektor media telah mengalami kedua-duanya. Pemanfaatan yang kedua terbukti selama mobilisasi mahasiswa dan aktivis selama gerakan reformasi (Hill dan Sen, 2000). Internet merupakan salah satu elemen penting yang digunakan dalam upaya mobilisasi dan dipakai untuk mengumpulkan serta menyebarkan informasi ke dunia luar (Lim, 2003; Nugroho, 2010a).

Meski demikian, setelah reformasi, ada perubahan signifikan dalam lanskap media. Dari yang semula digunakan sebagai alat propaganda bagi rezim otoriter, media Indonesia bergerak menuju pasar dengan adanya perusahaan-perusahaan media yang muncul dan menguasai bisnis produksi informasi. Euforia kebebasan pers telah melahirkan pemain-pemain media yang baru dan mendapat keuntungan dari atmosfer yang ada, dan lantas memperluas ranah publik dan kapitalisasi pasar sekaligus. Lihat

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia

90

Gambar 6..1 Rentang Waktu Kebijakan dan Industri Media di Indonesia Sumber: para penulis

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 91

Gambar 6.2 Jejaring isu yang dicakup dalam kebijakan media di Indonesia

Statistik jaringan: N=136; d=0.1106185; 14-core; Algoritma Kamada-Kawai ‘free’ plotting. Sumber: Para penulis. Lihat Lampiran A.3.1. mengenai daftar lengkap semua titik jaringan.

Sebuah analisis jaringan sederhana mengenai isu yang diangkat oleh media massa seperti yang dipetakan di atas mengkonfirmasi betapa luasnya cakupan isu yang dimuat dalam media di Indonesia (ditunjukkan oleh kerapatan [density], d) dan bagaimana isu-isu itu terhubung satu sama lain secara luar (ditunjukkan oleh pengukuran inti [core measure], k core)31. Gambar itu juga menunjukkan

betapa dekatnya hubungan satu isu dengan isu lainnya (ditunjukkan oleh tebalnya garis), sebagai tambahan dari posisi relatif isu-isu itu di dalam jaringan (baik karena isu itu berada di pusat jaringan, di sekeliling jaringan, terisolasi, maupun sebagai perantara). Apa yang terlihat di sini adalah bahwa isu-isu di sektor media relatif terpadu: bahwa satu isu tidak dapat benar-benar dipisahkan dari isu lain. Memahami kinerja media membutuhkan pemahaman tentang bagaimana isu-isu ini berjalan dan saling berhubungan.

Kompleksitas isu dalam media juga ditunjukkan dalam peta jaringan kebijakan berdasarkan isu yang sama-sama diangkat dalam konten sebenarnya yang ada dalam dokumen kebijakan:

31 Satuan d = 0.1106185 menunjukkan jaringan yang relatif rapat. Bilangan 14-core menunjukkan sebuah jaringan kohesif dengan tiap titik simpul terhubung dengan sedikitnya 14 titik lain.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 92

Gambar 6.3 Jejaring Kebijakan Media di Indonesia Secara Faktual (2011)

Statistik jaringan: N = 26; d = 0.3934911; 9-core; algoritma Kamada-Kawai ‘free’ plotting Sumber: Para Penulis. Lihat Lampiran A.3.2. Untuk daftar lengkap titik simpul.

Semakin tebal garis antara dua kebijakan, semakin banyak keduanya berbagi isu. Dengan demikian, kita bisa melihat bagaimana kebijakan media sebenarnya adalah sebuah produk yang tidak pernah berdiri sendiri. Kebijakan saling terkait secara dekat antara satu sama lain dan menggambarkan kompleksitas isu yang harus diangkat. Saat peta jaringan nyata kebijakan media menunjukkan gambaran hubungan yang relatif rumit di antara kebijakan-kebijakan, jaringan formal kebijakan32 jauh lebih sederhana. Lihat

Gambar 6.4.

32 Jaringan nyata kebijakan menggambarkan peta hubungan di antara sejumlah kebijakan yang isu-isu yang diangkat secara bersamaan yang secara eksplisit disebutkan dalam naskah resminya. Jaringan formal kebijakan memetakan keterkaitan kebijakan-kebijakan seperti yang disebutkan secara eksplisit dalam naskah resmi.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 93

Gambar 6.4 Jejaring Formal Kebijakan Media di Indonesia (2011)

Statistik jaringan: N = 33; d = 0.0541781; algoritma Kamada-Kawai ‘free’ plotting Sumber: Para penulis

Struktur jaringan itu jelas menunjukkan kohesi yang relatif rendah antara kebijakan media di Indonesia sebagaimana yang diformulasikan secara formal/resmi, yang ditunjukkan oleh komponen inti yang rendah. Pengamatan lebih seksama bahkan akan mengungkap bahwa sejumlah kebijakan media ‘terisolasi’–sejumlah kebijakan tidak terhubung dengan kebijakan lain. Ada dua kemungkinan. Satu, formulasi sebuah kebijakan media tertentu tidak cukup mempertimbangkan kebijakan-kebiajkan lain yang sudah ada. Dua, kebijakan-kebijakan sengaja dibuat tanpa mempertimbangkan satu atau semua kebijakan lain dan fokus mengatur isu-isu yang dituju.

Pergeseran ini semakin terlihat jelas dalam penyusunan RUU Konvergensi. Saat UU Pers dan UU Penyiaran menekankan peran aktif warga negara dalam media, RUU Konvergensi justru menganggap warga negara hanya sebatas konsumen. Mengapa ini terjadi?

Ketidakmampuan untuk memahami dampak sosial dari teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, sering menyebabkan munculnya kebijakan yang tidak memadai, sebagaimana terlihat dalam UU ITE. Ketika regulasi seharusnya melindungi, ia justru disalahgunakan untuk membahayakan hak-hak warga negara. Ini adalah contoh regulasi yang justru dimanfaatkan melawan konstituennya. Salah satu aspek penting dari kelemahan kebijakan semacam ini adalah adanya pasal karet yang mengindikasi adanya kata-kata yang kabur di dalam UU dan dapat diinterpretasikan secara berbeda sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan. Dengan adanya hal-hal semacam ini, apa yang pada awalnya dimaksudkan sebagai medium untuk memperkuat ranah publik telah terbukti menjadi alat yang dilegitimasi untuk menjajah ranah itu sendiri. Ini juga bisa menjadi indikasi kemungkinan muncul kembalinya pemerintahan otoriter pasca-reformasi (sesuai dengan pendapat Habermas, 1989). UU dan RUU yang dibuat sejak 2008 hingga sekarang tak pelak merupakan bukti empiris dari observasi ini: warga negara menjadi saksi adanya kecenderungan pemerintah yang dirundung kecemasan—atau sebaliknya, wargalah yang menjadi was-was saat mengetahui pemerintah tiba-tiba menganggap dirinya sebagai penjaga moral masyarakat.

Melihat kembali perjalanan sejarah media di Indonesia, jelas industri medialah yang menentukan maju mundurnya perkembangan, sedangkan kebijakan hanya sanggup mengikuti. Karena agenda media digerakkan oleh motif modal dan keuntungan, dengan demikian informasi diperlakukan sebagai

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 94

komoditas. Dalam pandangan industri media, sifat-sifat informasi (kebenaran, akurasi, kualitas, dan sebagainya) tidak selalu dianggap penting bagi kehidupan dan memiliki dampak sosial, tetapi menjadi pertimbangan seberapa besar aspek-aspek itu mampu membawa keuntungan bagi perusahaan. Dengan kata lain, membawa publicum mendekat ke kebenaran merupakan konsekuensi yang tidak disengaja dari niat mengkomersialkan informasi, baik itu secara jujur maupun tidak. Hal yang sama juga berlaku dalam penciptaan ranah publik melalui media: keterlibatan warga negara melalui media hampir tidak pernah menjadi tujuan bisnis media, tetapi sebagai konsekuensi yang tidak direncanakan dari praktiknya.

Meski begitu, kemajuan teknologi media baru membuka kesempatan tidak hanya bagi bisnis media untuk berkembang, tetapi juga bagi warga negara untuk merebut kembali ruang publik mereka (Nugroho, 2011a). Inovasi media baru telah membantu menyediakan alat-alat bagi masyarakat untuk mengeksplorasi kemungkinan baru menjadi pembawa pesan mereka sendiri, menciptakan informasi yang relatif lebih relevan bagi mereka dan komunitasnya. Dengan demikian, tugas yang kini harus dijalankan adalah menjaga hak-hak itu dan memastikan media mempertahankan karakter publik mereka sebagai penjaga ranah publik. Situasi media akan banyak menentukan sifat demokrasi Indonesia, dan hal ini merupakan aspek penting dalam proses transisi, yang memang seharusnya berada di tangan rakyat.

Sekarang kita akan melihat dinamika beragam media di Indonesia dari waktu ke waktu dan kebijakan- kebijakan yang mempengaruhinya.

6.2 Media Cetak: Dari Ideologi Negara Menjadi Kepentingan

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 105-110)