• Tidak ada hasil yang ditemukan

RT/RW Net dan Penggunaan Teknologi Alternatif Cerita tentang RT/RW Net merupakan salah satu kisah terbaik dalam penggunaan te-

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 135-138)

Televisi Lokal dan Penyiaran Komunitas

Kotak 1. RT/RW Net dan Penggunaan Teknologi Alternatif Cerita tentang RT/RW Net merupakan salah satu kisah terbaik dalam penggunaan te-

knologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam mendukung warga negara tanpa harus mengandalkan sumber daya besar yang formal. Warga dan kelompok masyarakat sipil telah menggalakkan layanan RT/RW Net sejak akhir 90-an (dipelopori oleh pakar Internet Onno W. Purbo, tetapi saat ini telah dilarang oleh pemerintah. Permasalahannya adalah bahwa gagasan ini dioperasikan oleh operator non-telekomunikasi, yang berlawanan dengan UU Telekomunikasi No. 36/1999. Jika program RT/RW Net ini diteruskan, warga biasanya harus mendaftar untuk memperoleh perizinan ISP demi mendapatkan jaringan akses Internet, yang biasanya digunakan untuk kepentingan komersial. Dengan kata lain, program tersebut dilarang karena dianggap ilegal dan dijalankan menggunakan sumber daya yang tidak resmi.

Meski begitu, dampak RT/RW Net cukup besar. Para penduduk desa dan komunitas ter- pencil lainnya bisa mendapatkan akses tanpa harus mengandalkan Telkom atau berlang- ganan kepada penyedia layanan Internet swasta. Berawal dengan peralatan yang sangat sederhana, sistem tersebut kini memanfaatkan teknologi nirkabel agar beberapa orang dapat berbagi koneksi broadband (Freedom House, 2011). Namun, gagasan itu tidak ber- jalan tanpa halangan. Banyak orang diselidiki oleh Balmon karena penggunaan frekuensi dan operasi ISP yang ilegal, seperti yang terjadi di Riau pada 2007.

Teknologi alternatif membutuhkan pendekatan alternatif. Dalam kasus implementasi RT/RW Net, negara jelas-jelas telah gagal memandang pentingnya mengadopsi teknologi alternatif untuk mengembangkan akses terhadap infrastruktur media bagi masyarakat. Pelajaran yang dipetik dari RT/RW Net adalah bahwa jaringan dapat dibangun secara in- dependen dan bahwa kepemilikan infrastruktur dapat diserahkan kepada sejumlah war- ga yang bertanggung jawab. Kasus RT/RW Net menunjukkan secara terbuka bagaimana pemerintah tidak mampu mengadopsi pendekatan yang bijaksana dalam penggunaan teknologi alternatif.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 120

No. Target Tahun

1 Indonesia Terkoneksi 2012

2 Indonesia Informatif 2014

3 Indonesia Broadband 2016

4 Indonesia Digital 2018

Tabel 7.2 Program-Program Masyarakat Informasi Indonesia Sumber: Kemenkominfo seperti digambarkan dalam Vivanews46.

Kemenkominfo telah memulai target ini meski belum mengumumkan kepada publik indikator atau parameter yang dipakai.

Program tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan digital. Salah satu faktor yang paling jelas berkontribusi atas kesenjangan tersebut adalah karena sejumlah NAP (network-access provider/ penyedia akses jaringan) utama di negara ini, yang menghubungkan ISP level retail ke tulang punggung Internet, terkonsentrasi di Jawa, terutama di Jakarta (Freedom House, 2011: 4; Nugroho, 2011a: 26- 28). Jurang yang mencolok dalam akses Internet antara wilayah pedesaan dan perkotaan terlihat pada tabel di bawah ini (untuk kesenjangan antara Jawa dan non-Jawa, lihat Tabel 7.5 di bagian lain dari laporan ini).

Klasifikasi Tahun

Lokasi Mengakses Internet (% dari Populasi) (% dari Total Populasi) Rumah Tangga / Telepon Rumah Telepon Seluler (Ponsel) Warung

Internet / KantorSekolah Lain

Perkotaan 2007 1.20 - 2.05 2.07 0.18 5.49 2008 0.82 3.72 2.62 2.11 0.15 7.29 2009 2.59 - 4.35 3.82 0.64 11.41 2010 4.93 8.02 8.49 6.16 1.12 17.74 Pedesaan 2007 0.09 - 0.13 0.24 0.3 0.52 2008 0.02 2.03 1.25 0.22 0.2 1.12 2009 0.22 - 0.66 0.57 0.9 1.53 2010 0.39 2.40 1.88 1.18 0.13 4.16 Perkotaan + Pedesaan 2007 0.57 - 0.98 1.04 0.9 2.69 2008 0.41 2.85 1.38 1.13 0.8 4.19 2009 1.37 - 2.45 2.14 0.36 6.32 2010 2.65 5.60 5.17 3.66 0.62 10.92

Tabel 7.3 Bagaimana Orang Indonesia Mengakses Internet: 2007-2010 Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS, 2011).

Tabel di atas menjelaskan peningkatan akses Internet di area perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa individu perkotaan lebih terhubung dengan Internet dibandingkan dengan mereka yang ada di pedesaan. Ada kesenjangan akses, bahkan ‘kesenjangan digital’, antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Namun, lepas dari kurangnya infrastruktur, warga pedesaan semakin mengenal Internet, sebagian berkat penggunaan ponsel untuk mengakses Internet. Sekitar 5,60% dari

46 Lihat http://teknologi.vivanews.com/news/read/269781-2019--indonesia-bisa-laksanakan-e-election, di- akses pada 04/12/2011.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia121

total populasi pada 2010 telah mengakses Internet melalui ponsel (BPS, 2011: 53). Jumlah ini lebih banyak daripada akses menggunakan kabel tetap.

Dorongan untuk mengakses situs jaringan sosial merupakan salah satu alasan mengapa warga negara Indonesia membutuhkan akses Internet yang mudah dan cepat. Hal ini sudah terbukti menjadi faktor yang signifikan dalam mendorong budaya “selalu terkoneksi di mana pun” (Nugroho, 2011: 29). Terlepas dari segala dampak sosialnya, pertumbuhan akses Internet melalui ponsel merupakan perkembangan positif, terutama karena harganya relatif terjangkau dan biaya untuk infrastruktur yang dibutuhkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan biaya broadband kabel (Freedom House, 2011: 2). Hal ini telah banyak membantu mengatasi kesenjangan digital yang bisa saja memburuk karena kurangnya konektivitas kabel.

Penyedia layanan ponsel swasta berkontribusi besar. Sebagai contoh, Telkomsel, operator telepon seluler terbesar, mengoperasikan 44.000 BTS (Base Transmitter Station) di seluruh Indonesia dan merupakan penggerak utama dalam bisnis infrastruktur karena mereka memahami potensi sektor layanan data. Perusahaan tersebut menargetkan memperoleh 10 juta konsumen pada 201247.Provider

(penyedia layanan) lainnya juga tak kalah bersemangat turut serta dalam sektor ini. AXIS, pemain yang relatif baru dalam bidang ini, telah meluncurkan kampanye ‘Internet untuk Rakyat’ demi menarik para pengguna Internet.

Sejauh ini, kisah-kisah tersebut mungkin terdengar indah. Meski demikian, permasalahannya terletak pada tiadanya prioritas yang jelas dalam memilih medium untuk mendorong tren ini. Yang jelas tertinggal adalah infrastruktur fisik (kabel), dan non-ponsel; konsekuensi yang multidimensional—dari sosio-ekonomi, budaya, hingga politik (untuk elaborasi yang detail mengenai hal ini, lihat Nugroho, 2011a: 25-35). Pandangan serupa juga diyakini oleh Mastel, yang menyatakan perlu adanya rencana jaringan broadband nasional. Ada juga kebutuhan yang signifikan untuk memperluas jaringan serat kaca (fiber optic), alih-alih mengandalkan koneksi nirkabel.

Perbandingan menarik dalam data infrastruktur di Indonesia disediakan oleh Bank Dunia, yang membandingkan akses media di Indonesia dengan negara-negara lain.

Akses Indonesia Kelompok Pendapatan Menengah ke Bawah Kelompok Asia Timur & Pasifik

2000 2009 2009 2009

Sambungan Telepon

(per 100 orang) 3.2 14.8 12.7 20.4

Pelanggan Telepon Seluler

(per 100 orang) 1.8 69.2 57.8 61.6

Pelanggan Internet Tetap

(per 100 orang) 0.2 0.8 5.5 9.0

Komputer Pribadi

(per 100 orang) 1.0 2.0 4.5 5.6

Rumah Tangga dengan TV/

Seperangkat TV (%) 62 69 - -

Tabel 7.4 Akses terhadap Teknologi Media: Indonesia dan Negara-Negara lain Sumber: Bank Dunia (2010)-ICT at a Glance (Sekilas pandang TIK)-Indonesia. 47 Sesuai dengan yang ditulis dalam berita, The Jakarta Post, 24/10/2011.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 122

Menarik untuk mengamati bahwa jumlah pelanggan Internet tetap di Indonesia masih sangat rendah (0,8 per 100 orang), bahkan pada 2009, dibandingkan dengan negara-negara lain yang berada dalam kelompok pendapatan menengah ke bawah (5,5). Gambaran tersebut sangat penting karena saat Internet memasuki era 3,0, masyarakat menuntut koneksi yang makin stabil dan cepat. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memperoleh koneksi broadband kabel dan mayoritas populasi perkotaan sangat bergantung pada koneksi Internet. Oleh karena itu, semakin menjadi pasar yang menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan ISP dan TI.

Selain ketersediaan infrastruktur, Indonesia juga harus mengatasi koneksi Internetnya yang berkualitas rendah. Seperti yang termuat dalam penelitian OSF, Indonesia, bersama dengan Vietnam, menempati peringkat terendah dalam survei kualitas koneksi Internet di ASEAN (Wagstaff, 2010: 10). Sekali lagi, campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan demi memastikan hak primer untuk memiliki akses terhadap informasi bisa terwujud dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai—Internet merupakan fokus utama saat ini. Hal ini menjadi sangat penting karena permasalahan konsentrasi kepemilikan juga ditemukan di industri infrastruktur. Dominasi pemain-pemain besar dan konsentrasi NAP (network-access provider) menciptakan halangan yang signifikan bagi perusahaan ISP kecil untuk memasuki pasar dengan legal (Freedom House, 2011: 4).

Dalam mengatasi masalah tersebut, seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab. Peran ini dijalankan oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Badan tersebut berfungsi membuat regulasi, mengawasi, dan mengontrol segala hal yang berkaitan dengan layanan dan jaringan telekomunikasi. BRTI seharusnya menjadi regulator yang independen, merencanakan dan memonitor kebijakan-kebijakan tentang infrastruktur telekomunikasi dan informasi. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas dan independensinya karena BRTI berada di bawah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan memperoleh anggaran dari alokasi DGPT (Freedom House, 2011: 4). Pada dasarnya, manajemen infrastruktur Internet bergantung pada bagaimana pemerintah memandang pentingnya akses menuju informasi dan peran yang akan diambil dalam menjamin akses warga negara terhadap informasi. Tanggung jawab ini dituangkan dalam kebijakan yang mampu menjamin ketersediaan Internet. Di AS, keberhasilan siklus inovasi Internet disebabkan oleh adanya arsitektur jaringan yang terbuka, yang merupakan hasil kebijakan FCC yang konsisten selama 30 tahun terakhir (Bar et al., 2000). Namun sebaliknya, Indonesia terus ‘bereksperimen’ dengan arsitektur Internetnya, mencoba mencari keseimbangan antara peran negara dan pasar dalam menggerakkan adopsi Internet di seluruh Nusantara.

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 135-138)