• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Cetak: Dari Ideologi Negara Menjadi Kepentingan Bisnis

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 110-112)

Menutup Kesenjangan Informas

6. Reformasi Media di Indonesia: Sebuah Lintasan Perubahan

6.2 Media Cetak: Dari Ideologi Negara Menjadi Kepentingan Bisnis

Sama halnya dengan perkembangan media di belahan dunia lain, media cetak menetapkan kondisi awal lanskap media di Indonesia sejak kemerdekaannya pada 1945. Saat itu pers diberi label ‘pers perjuangan’. Istilah itu benar secara politis. Kebijakan media yang pertama, yaitu UU Pers No. 11/1966 secara legal memanfaatkan media sebagai alat ideologi negara. Di bawah kepresidenan Soekarno, pers digunakan sebagai sarana mengumpulkan dukungan massa sesuai dengan konteks politik pada saat itu. Pemerintahan Soekarno kemudian mengeluarkan UU Pers No. 4/1967 yang menambahkan satu pasal untuk membatalkan regulasi larangan penerbitan buku. Tidak ada hal baru bagi pers dan media cetak dalam UU tersebut.

Saat rezim berganti, media cetak merasakan masa-masa baru selama Orde Baru. Meski pemerintah menerapkan sistem otoriter, media cetak ‘bersemi’ untuk pertama kalinya dan mampu memanfaatkan izin penerbitan. Akan tetapi, tetap saja, media cetak menjadi sasaran kontrol ketat, diwajibkan menerbitkan SIUPP sebagai bentuk legal kontrol pemerintah, dan publikasi dapat dilarang terbit sewaktu-waktu jika dianggap mengganggu ketertiban publik, yang definisinya ‘luas dan lentur’ (Hill dan Sen, 2000: 37).

Demi membuat industri semakin kompetitif, para investor meminta Departemen Penerangan (pada waktu itu) untuk memperlonggar batasan perizinan penyiaran (SIUPP) dan membiarkan pasar menentukan kelangsungan hidup media cetak (Hill dan Sen, 2000: 63). Akibat karakter oligarkis rezim Soeharto yang juga mengontrol bisnis strategis termasuk media, kemampuan berkompetisi dalam bisnis percetakan pada saat itu berarti memiliki hubungan baik dengan lingkaran Istana. Kewajiban untuk memiliki izin SIUPP dapat dikompensasi dengan memiliki ikatan dekat dengan Soeharto dan keluarganya. Dengan demikian, bagi mereka yang menjadi bagian dari jaringan Istana, SIUPP hanyalah formalitas.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 95

Dalam situasi seperti itu, pasar akhirnya mampu unggul dan menggerakkan lanskap media. Berkembangnya industri percetakan pada 1980-an membuat jurnalis Tempo pernah berkata bahwa setiap kelompok bisnis hanya akan merasa puas jika telah mendirikan bank, supermarket, dan surat kabar (Hill, 1944: 271). Hal ini menandai berawalnya komersialisasi media di Indonesia, saat perusahaan-perusahaan tanpa pengalaman dan latar belakang media mulai memasuki bidang usaha ini. Kecenderungan ini juga menunjukkan bahwa pemodal lokal mulai melihat media sebagai bagian strategis dari pertumbuhan usaha mereka.

Meski industri pers mengalami perkembangan, publikasi politik sangat diawasi selama Orde Baru. Saat kebijakan mengenai media tidak mencukupi, kebijakan lain yang berdasarkan keamanan negara akan dipergunakan. UU Anti Subversi (UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi) merupakan aturan yang paling umum dan sering dipakai untuk membubarkan gerakan bawah tanah dan/atau mahasiswa, menahan individu-individu yang dianggap ‘berbahaya’ atau ‘mengancam’, atau dalam perspektif media, melarang peredaran buku-buku dan publikasi atau melarang penyiaran program tertentu.

Kebijakan yang paling penting untuk disebut di sini adalah UU Pers No. 21/1982 yang mengubah fungsi media tanpa memberikan kebebasan yang diperlukannya secara fundamental. Secara harafiah, UU tersebut menyatakan bahwa fungsi media pers adalah menjadi ‘penjaga ideologi Pancasila’ menggantikan status sebagai ‘penjaga revolusi’ pada era Soekarno. Sebagai tambahan, istilah ‘Pers Sosialis Pancasila’ juga diganti menjadi ‘Pers Pancasila’33. Tampaknya Soeharto ingin menjamin pers

menyesuaikan diri dengan gagasannya mengenai perkembangan dan Pancasila.

Aspek lain yang menonjol dari media cetak selama Orde Baru adalah awal kemunculan konglomerat industri pers, dicirikan dengan nepotisme (Hill dan Sen, 2000). Pada awal 1990-an, industri media cetak semakin terkonsentrasi ke sedikit orang, tetapi dengan jumlah pembaca yang jauh lebih besar (hal. 57). Industri yang tumbuh ini akhirnya menyumbangkan ‘hukuman’ bagi Soeharto karena kontribusi pers dalam memberikan tekanan agar Soeharto mundur dari jabatannya pada masa reformasi.

Dengan adanya reformasi, muncul pula reformasi pers. Hanya berselang satu tahun dari kejatuhan Soeharto, DPR mengesahkan UU Pers No. 40/1999, membuka jalan bagi kebebasan pers dan berekspresi yang sudah lama dinanti. UU tersebut tetap menjadi satu-satunya regulasi formal mengenai jurnalisme dan pers hingga saat ini. Tanpa PP atau kebijakan formal lainnya, media cetak mengandalkan pedoman dan aturan yang dirancang oleh Dewan Pers secara sepenuhnya hingga saat ini. Meskipun demikian, sejumlah kebijakan non-media telah memberi dampak yang cukup kuat pada konten media cetak dan media pada umumnya. Regulasi yang mempengaruhi konten ini adalah UU Pencemaran Nama Baik, UU Anti Pornografi, KUHP, dan, pada sisi positif, UU Keterbukaan Informasi Publik. Ada sejumlah permintaan untuk merevisi UU Pers. Namun, karena mayoritas pihak yang terlibat tidak menganggap perundang-undangan tersebut bermasalah, tampaknya mengganti substansi UU Pers tidak menjadi prioritas (I. Haryanto, wawancara, 22/08/2011).

Pasca-reformasi, dinamika media cetak lebih dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan perkembangan teknologi, dan bukan oleh kebijakan publik. Kebijakan publik telah memungkinkan industri itu tumbuh; nantinya dengan independensi yang jauh lebih besar, yang sesuai dengan permintaan industri. Lihat Gambar 6.5.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia 96

289

1,381

1,881

889

983

1,008

1,036

1,076

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

1997

1999

2001

2006

2007

2008

2009

2010

Gambar 6.5 Jumlah Media Cetak Sejak 1997-2010

Sumber: Para penulis, berdasarkan SPS (Serikat Penerbit Surat kabar).

Situasi ini dilematis. Di satu sisi, absennya intervensi kebijakan publik membantu media tumbuh dengan semakin bebas; di sisi lain, tanpa adanya kebijakan yang mengontrol kinerja mereka, media dapat mengabaikan fungsi publiknya dan memperlakukan warga negara sebagai konsumen belaka. Isu terbaru yang perlu digarisbawahi dalam industri media cetak adalah munculnya, dan menjamurnya, media cetak franchise/berlisensi. Perusahaan media makin banyak menerbitkan majalah asing dengan pertalian yang minim terhadap kontennya. Hal ini menjadi paradoks dari teori yang menyatakan bahwa adanya digitalisasi membuat media cetak akhirnya musnah. Tanpa membutuhkan izin penerbitan, perusahaan media berlomba menerbitkan makin banyak majalah asing berlisensi. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa Indonesia hanya diperlakukan sebagai pasar potensial tanpa batasan dalam menghadapi industri yang sarat ambisi.

Dalam dokumen Riset kerjasama antara Didukung oleh (Halaman 110-112)