• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN MANDATORI BIODIESEL SAWIT*

Pendahuluan

Kebijakan mensubsitusi energi fosil dengan energi nabati di Indonesia telah berlangsung 10 tahun, namun realisasinya masih mengecewakan. Sejak diluncurkan kebijakan mandatori biodiesel yakni mencampur biodiesel sawit (FAME: fatty acid methyl ester) dengan solar fosil yang progressif sejak 10 tahun yang lalu, dalam pelaksanaanya selalu maju mundur di bawah target.

Tahun 2016 ini misalnya ditargetkan pencampuran (blending rate) biodiesel dengan solar sebesar 20 persen (B-20) realisasinya sampai Juni 2016 baru mencapai sekitar 11 persen.

Sebagaimana kebijakan di setiap negara, kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia dimaksudkan untuk tiga tujuan utama yakni pertama, untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada solar impor (energy security) yang meningkat setiap tahun dan menguras devisa negara. Kedua untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari konsumsi solar fosil (salah satu penyumbang emisi terbesar) sebagai bagian dari aksi global memitigasi perubahan iklim (global climate change mitigation), dan Ketiga, mendorong pembangunan pertanian-pedesaan sebagai basis produksi bahan baku biodiesel (rural development). Bagi Indonesia sebagai negara produsen terbesar minyak sawit, selain tiga tujuan tersebut di atas, juga tujuan keempat, yakni memperluas pasar CPO di dalam negeri sehingga Indonesia tidak terlalu tergantung pada pasar CPO dunia (economic security).

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 617

Dengan empat tujuan tersebut di atas dimana keempat tujuan tersebut sangat penting bagi pembangunan nasional, seharusnya pemerintah lebih serius untuk mengimplementasikannya. Mengingat pengadaan dan distribusi solar fosil berada sepenuhnya ditangan pemerintah (dan BUMN), seharusnya kebijakan mandatori biodiesel tersebut mudah dilaksanakan jika pemerintah memiliki political will yang kuat.

Tulisan ini mengevaluasi implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia dan mendiskusikan bagaimana memperbaiki implementasinya ke depan.

Memandatori kebijakan mandatori yang menciptakan benefit dan biaya baru, juga didiskusikan.

Realisasi Mandatori Biodiesel Mengecewakan

Konsumsi solar (diesel) di Indonesia diperuntukkan untuk sektor transportasi (terbesar) dan industri (Tabel 5.1). Kebutuhan solar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data Pertamina (Hardadi, 2015) konsumsi solar tahun 2008 masih sekitar 24 juta kl meningkat menjadi 34 juta kl tahun 2015.

Tabel 5.1. Perkembangan Mandatori Biodiesel 2008-2015

Konsumsi Solar (juta kl)

Pencampuran Biodiesel

(juta kl)

Realisasi Mandatori Biodiesel (%)

Target Mandatori Biodiesel (%)

2008 24 0,023 R-0,10 B-1

2009 24 0,06 R-0,25 B-1

2010 26 0,22 R-0,85 B-2,5

2011 28 0,36 R-1,29 B-2,5

2012 28 0,67 R-2,39 B-2,5

2013 30 0,8 R-2,67 B-2,5

2014 32 1,00 R-3,13 B-10

2015 34 0,54 R-1,59 B-15

Sumber : Pertamina (Hardadi, 2015); Kementerian ESDM Konsumsi solar untuk tahun 2016 diperkirakan akan mencapai sekitar 36 juta kl. Sementara itu, kemampuan produksi solar dari kilang domestik dalam periode yang sama hanya sekitar 15-20 juta kl, sehingga defisit kebutuhan solar meningkat dari sekitar 10 juta kl tahun 2008 menjadi sekitar 15 juta kl tahun 2015. Defisit solar tersebut dipenuhi dari impor solar, sehingga pernyataan bahwa Indonesia makin tergantung pada solar impor sesuai fakta. Dan untuk mengurangi ketergantungan solar impor inilah salah satu tujuan kebijakan mandatori biodiesel dilakukan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, volume biodiesel yang dicampurkan dalam konsumsi solar selama periode 2008-2015 masih relatif kecil (Tabel 1) yakni hanya meningkat dari 23 ribu kl tahun 2008 menjadi 1.0 juta kl tahun 2014 dan turun menjadi hanya 0.5 juta kl tahun 2016. Jika dibandingkan dengan volume

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 619

konsumsi solar selama periode tersebut, maka realisasi blending rate hanya sekitar 0.09 persen tahun 2008 dan 3 persen tahun 2014 serta 1.5 persen tahun 2015. Pada hal pada periode yang sama pemerintah menetapkan kebijakan mandatori biodiesel sebesar 1 tahun 2008, B-10 tahun 2014 dan B-15 tahun 2015.

Realisasi yang begitu rendah sangat memprihatinkan. Pada tahun 2014 misalnya dimana harga solar dunia masih relatif mahal sehingga harga MOPS solar lebih tinggi dari harga f.o.b CPO (Tabel 5.2) seharusnya (dengan rasionalitas mekanisme pasar), lebih menguntungkan bagi pemerintah untuk memperbesar porsi biodiesel dalam konsumsi solar. Selain itu kebijakan untuk mencampur lebih banyak solar juga sudah ada yakni B-10. Namun faktanya realisasi pencampuran hanya 3 persen.

Pada kondisi tahun 2015 dan 2016 pemerintah menetapkan kebijakan mandatori biodiesel B-15 (tahun 2015) dan B-20 (tahun 2016). Pada periode tersebut harga MOPS solar berada di atas harga f.o.b CPO sehingga biodiesel domestik menjadi tidak kompetitif dengan solar impor. Oleh karena itu, sejak Juli 2015 pemerintah melalui BPDKS memberikan subsidi untuk menutup selisih harga solar dengan harga biodiesel. Namun realisasinya (Tabel 5.3) juga masih jauh dari yang diharapkan. Konsumsi solar tahun 2016 diperkirakan sekitar 36 juta kl atau sekitar 3 juta kl setiap bulan atau Januari-Juli sekitar 21 juta kl. Dengan kebijakan mandatori B-20 berarti setiap bulan volume solar yang dicampurkan dalam konsumsi solar adalah sekitar 600 ribu kl atau Januari-Juli 2016 sebesar 4.2 juta kl. Namun

realisasinya sampai Juli 2016 masih sekitar 1,4 juta kl atau realisasi kebijakan mandatori hanya 7 persen sangat jauh dari yang diwajibkan yakni 20 persen. Dengan kata lain, ternyata ketersediaan pembiayaan subsidi untuk menutup selisih antara harga solar dengan harga biodiesel tidak juga menjamin tercapainya target kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia.

Tabel 5.2. Perkembangan Harga Crude Oil, MOPS Solar dan CPO (Rp/Liter)

Komoditas 2014 2015 2016

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2

Crude Oil (ICE Brent)

9.455 9.285

8.920 7.388

5.829 6.554

5.684 5.142

3.005 3.946

MOPS Solar 9.056 8.885

8.520 6.989

5.430 6.155

5.249 4.743

3.406 4.428 CPO (KPB

Dumai) 8.002

7.509 6.815

6.820 6.922

6.542 5.572

5.376 6.173

7.643

Sumber : Kementerian Perekonomian RI

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 621

Tabel 5.3. Realisasi Mandatori Biodiesel Periode Januari-Juli 2016

2016

Volume (kilo liter)

Realisasi Mandatori (%)

Target Mandatori Konsumsi

Solar

Realisasi Penyerapan

Biodiesel

Januari 3.000.000 224.000 R-7,47 B-20

Febuari 3.000.000 208.000 R-6,93 B-20

Maret 3.000.000 210.000 R-7,00 B-20

April 3.000.000 200.000 R-6,67 B-20

Mei 3.000.000 214.000 R-7,13 B-20

Juni 3.000.000 202.412 R-6,75 B-20

Juli 3.000.000 208.549 R-6,95 B-20

Jumlah 21.000.000 1.466.961 R-6,99

Sumber : Kementerian Perekonomian (diolah)

Dengan realisasi yang demikian rendah, Pemerintah masih gagal mengeksekusi kebijakannya sendiri padahal semua yang diperlukan untuk mengeksekusi kebijakan tersebut berada sepenuhnya ditangan pemerintah.

Peraturan perundang-undangan sudah ada, impor solar, pencampuran (depo), distribusi solar, dan lainnya semua ada ditangan pemerintah (controllable). Sehingga dengan realisasi yang demikian rendah hanyalah karena Pemerintah kurang memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan perintah Undang-Undang. Ataukah benar pemerintah sendiri tidak memiliki lagi kedaulatan atas kebijakan energi nasional?

Keberhasilan implementasi mandatori biodiesel memang bukan hanya terletak pada pemerintah saja.

Perintah mandatori biodiesel berlaku bagi semua pihak baik Pemerintah, Pertamina, produsen biodiesel,

produsen CPO maupun masyarakat konsumen. Kebijakan mandatori biodiesel menghasilkan manfaat yang dinikmati semua pihak, sehingga biaya yang ditimbulkanya seyogyanya ditanggung secara bersama.

Oleh karena itu, proses memandatori kebijakan mandatori biodiesel yang bertujuan untuk menyamakan pemahaman bersama tentang benefit dan cost kebijakan mandatori biodiesel tersebut, tampaknya masih belum berhasil selama ini sehingga perlu dibenahi ke depan.

Memandatori Kebijakan Mandatori

Dengan kondisi sektor energi Indonesia ke depan, memang kebijakan mandatori biodiesel menjadi suatu keharusan yang perlu disadari bersama. Menurut data Pertamina, volume konsumsi solar di Indonesia masih terus meningkat yakni dari sekitar 34 juta kl tahun 2015 menjadi 42 juta kl tahun 2020 dan 54 juta kl tahun 2025 (proyeksi konsumsi solar ini lebih rendah dari proyeksi USDA, 2013). Sementara kemampuan produksi solar dari kilang domestik hanya diperkirakan sekitar 19 juta kl, sehingga terjadi defisit (impor solar) yang makin membengkak yakni sekitar 23 juta kl tahun 2020 dan 35 juta kl tahun 2025 (Tabel 5.4).

Jika pemerintah sungguh-sungguh mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel yang telah ditetapkan (Permen ESDM 12/2015) yakni B-20 (B-2016-B-2019) dan B-30 (B-20B-20-B-2030) akan terjadi penghematan impor solar sebesar 12 juta kl tahun 2020

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 623

mandatori biodiesel harus dilihat sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi nasional dan bukan sekadar bisnis biasa. Kebijakan mandatori biodiesel juga perlu lebih tegas ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan nasional pengurangan emisi karbon yang sudah dijanjikan pemerintah pada berbagai forum multinasional.

Mengikuti proyeksi konsumsi solar, emisi karbon dari konsumsi solar diproyeksikan naik dari sekitar 130 juta ton CO2 tahun 2015 menjadi 170 juta ton CO2 tahun 2020 dan mencapai 210 juta ton CO2 tahun 2025. Sebagaimana studi European Commission (2012) penggantian solar dengan biodiesel dapat mengurangi 60 persen emisi mesin diesel. Sehingga jika mandari biodiesel B-30 diimplementasikan maka akan terjadi penghematan emisi CO2 dari konsumsi solar sebesar 18.2 persen tahun 2020 dan sekitar 19 persen tahun 2025.

Kebijakan mandatori juga perlu ditempatkan sebagai bagian dari inklusi sektor energi yang cenderung eksklusif selama ini. Dengan implementasi mandatori biodiesel akan tercipta perluasan pasar CPO di dalam negeri sebesar 12.6 juta ton tahun 2020 dan 16 juta ton tahun 2025. Tambahan permintaan akhir CPO ini akan menciptakan multiplier efek dalam perekonomian berupa peningkatan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja baru baik di sentra-sentra kebun sawit (direct effect), baik di luar sentra sawit (indirect effect and consumption effect).

Pencampuran biodiesel dalam konsumsi solar di Indonesia sudah ditetapkan sebagai hal yang wajib (mandatori) oleh Peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Oleh karena itu, Pemerintah dan pelaku usaha yang bergerak pada industri energi nasional terikat dan wajib menjalankannya. Wajib dilaksanakan tidak tergantung ada atau tidak ada subsidi dan juga tidak tergantung berapapun harga solar dan CPO dunia.

Tabel 5.4. Proyeksi Konsumsi Solar dan Kebutuhan Biodiesel di Indonesia 2017-2025

Proyeksi Konsumsi Solar

(juta kl) Target Mandatori Biodiesel

Proyeksi Kebutuhan Biodiesel

(juta kl)

2017 37 B-20 7,4

2018 39 B-20 7,8

2019 41 B-20 8,2

2020 42 B-30 12,6

2021 45 B-30 13,5

2022 47 B-30 14,1

2023 49 B-30 14,7

2024 52 B-30 15,6

2025 54 B-30 16,2

Sumber : Pertamina, Kementerian ESDM

Mandatori biodiesel (social point of view) berbeda dengan sukarela (volountery) yang didasarkan pada untung rugi dari segi bisnis (private point of view). Dari sudut kepentingan bisnis pertimbangan untung rugi secara finansial menjadi pertimbangan pencampuran biodiesel dengan solar, sehingga hanya didasarkan pada prinsip-prinsip mekanisme pasar biasa. Masalahnya perundang-undangan telah menetapkan bahwa pencampuran biodiesel ke konsumsi solar adalah

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 625

bisa melaksanakan mandatori, dirubah saja menjadi sukarela. Sepanjang belum dirubah, sebaiknya pemerintah konsisten untuk melaksanakannya. Tentu saja kebijakan tersebut ada biayanya dan manfaat baru yang tercipta.

Hal-Hal inilah yang disebut sebagai memandatori kebijakan mandatori biodiesel. Kebijakan tersebut menciptakan manfaat baru yang dinikmati semua pihak (embodied green benefit), sehingga wajar (apalagi diperintahkan peraturan perundangan) ikut membayar atas manfaat (benefit) tersebut. Kebijakan mandatori biodiesel akan menciptakan manfaat baru bagi perekonomian berupa manfaat kedaulatan energi, benefit green economy dan benefit inklusi. Manfaat tersebut tentu saja ada biayanya (cost of energy security, cost of green, cost of inclusiveness). Biaya tersebut harus ditanggung bersama baik pemerintah, Pertamina, pelaku usaha maupun konsumen energi (embodied green cost).

Biaya yang ditanggung pemerintah adalah pengurangan pajak untuk menghasilkan biodiesel dan subsidi konsumen target/transportasi publik. Pertamina menanggung biaya berupa pengurangan pendapatan, produsen biodiesel dan produsen sawit menanggung biaya berupa pengurangan keuntungan. Dan konsumen khususnya konsumen kaya (industri) juga menanggung biaya berupa membayar harga bio-solar yang sedikit lebih mahal. Untuk udara yang lebih bersih dan sehat, masyarakat wajar membayarnya dan masyarakat memiliki kesediaan membayar (willingness to pay) atas udara yang lebih bersih. Bagaimana distribusi dan

proporsi biaya tersebut dapat dihitung secara berkeadilan.

Kesimpulan

Kebijakan mandatori biodiesel merupakan wajib dan bukan sukarela. Wajib diimplementasikan semua pihak dan tidak tergantung berapa harga CPO, harga solar dunia; tidak tergantung pada ada atau tidak ada subsidi.

Realisasi mandatori biodiesel sejak tahun 2008 sampai Juli 2016, masih jauh dari yang diharapkan meskipun cenderung makin meningkat. Jika dibandingkan dengan volume konsumsi solar tahun 2016 yakni sekitar 36 juta kl per tahun atau 3 juta kl per bulan maka dengan kebijakan mandatori B-20 seharusnya menyerap sekitar 600 ribu ton per bulan atau 4.2 juta sampai Juli 2016. Namun realisasinya sampai bulan Juli 2016 baru mencapai sekitar 1.4 juta ton biodiesel atau R-7.

Rendahnya realisasi mandatori tersebut mencerminkan komitmen yang rendah dari para pemangku amanah khususnya pemerintah dalam melaksanakan Kebijakan mandatori biodiesel tersebut.

Diperlukan upaya yang lebih serius memandatori kebijakan mandatori biodiesel ke depan. Kebijakan tersebut menciptakan manfaat baru yang dinikmati semua pihak, sehingga wajar (apalagi diperintahkan peraturan perundangan) ikut membayar atas benefit tersebut.

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit 627

Kebijakan mandatori biodiesel akan menciptakan manfaat (benefit) baru bagi perekonomian berupa manfaat kedaulatan energi, benefit green economy dan benefit inklusi sektor energi. Manfaat tersebut tentu saja ada biayanya (cost of energy security, cost of green, cost of inclusiveness). Biaya tersebut harus ditanggung bersama baik pemerintah, Pertamina, pelaku usaha maupun konsumen energi.

EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PUNGUTAN