• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANDATORI BIODIESEL YANG BELUM MANDATORI*

MANDATORI*

ABSTRAK

Realisasi mandatori biodiesel dalam periode 2009-2015 hanya sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel.

Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun. Dengan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel masih belum mandatori dan setengah hati. Pemerintah diharapkan dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan. Mandatori biodiesel adalah bersifat wajib bukan sukarela. Oleh karena itu, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan contoh kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan merealisasikan mandatori biodiesel secara penuh.

Keywords : kebijakan mandatori biodiesel, target dan realisasi, energi terbaharui

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume II No. 10/2016

Pendahuluan

Semangat mentransformasi sektor energi nasional dari energi berbasis energi tidak terbarukan (non renewable energy) kepada energi terbarukan (renewable energy) telah lama ada. Struktur penyediaan dan konsumsi energi nasional yang saat ini sekitar 90 persen berbasis energi fosil (tak terbaharui), sebagian makin tergantung impor (minyak bumi), dan mengotori lingkungan, memang tidak berkelanjutan (unsustainable energy). Oleh karena itu transformasi energi ke energi yang berkelanjutan (terbaharui, berbasis domestik, lebih ramah lingkungan) menjadi pilihan rasional energi Indonesia kedepan.

Salah satu kebijakan transformasi energi tersebut adalah pencampuran (blending) bertahap solar fosil dengan biodiesel berbasis minyak sawit (FAME, fatty acid methyil ester). Kebijakan pencampuran bertahap tersebut diputuskan pemerintah bersifat wajib (mandatori) sejak tahun 2009, sehingga disebut dan dikenal sebagai kebijakan mandatori biodiesel.

Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan target wajib mandatori biodiesel satu persen (B-1), lalu dinaikkan menjadi B-2.5 (tahun 2010-2012), kemudian naik lagi menjadi B-10 (2013-2014) dan B-15 (2015).

Untuk tahun 2016 pemerintah mewajibkan B-20. Namun realisasinya, masih jauh panggang dari api. Sehingga patut mempertanyakan konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam implementasi kebijakan mandatori biodiesel tersebut.

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 593

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana besarnya kesenjangan antara target wajib dengan realisasi kebijakan mandatori biodiesel, yang mau tak mau harus menggugat integritas pemerintah dalam mendesain dan mengimplementasi kebijakan. Selain itu, juga disikusikan bahwa sesungguhnya pemerintah belum melaksanakan mandatori biodiesel meskipun peraturan perundang-undangan mengamanatkan mandatori.

Kebijakan Mandatori Biodiesel

Pencampuran atau subsitusi solar fosil dengan biodiesel di setiap negara termasuk di Indonesia dimaksudkan untuk tiga tujuan yakni pertama, mengurangi ketergantungan pada energi fosil (energy security) yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis. Bagi negara-negara importir atau net importir minyak bumi seperti Indonesia subsitusi tersebut juga penting untuk menyehatkan neraca transaksi berjalan (current account). Kedua, mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) khususnya emisi karbon (global climate change mitigation). Sebagaimana diketahui bahwa pemanasan global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim global disebabkan terutama oleh emisi GHG dari komsumsi energi fosil. Sehingga dengan mengganti energi fosil dengan biodiesel akan mengurangi emisi GHG. Ketiga, mendorong pembangunan pedesaan sebagai penghasil bahan baku biodiesel.

Instrumen kebijakan yang digunakan untuk implementasi subsitusi solar fosil dengan biodiesel

diberbagai negara umumnya salah satu atau kombinasi dari Instrumen kebijakan berikut yakni : (1) alokasi anggaran pemerintah untuk penyediaan biodiesel (budgeting), (2) target atau wajib konsumsi (consumption targeting) yakni sukarela (non binding) atau mandatori (binding), (3) kebijakan perdagangan (trade policy) berupa tarif,duty impor untuk melindungi industri biodiesel domestik pada tahap awal (infant industry strategy), dan (4) insentif produksi dan distribusi (production and distribution incentives) seperti keringan pajak, subsidi bunga kredit maupun subsidi pemerintah.

Kebijakan pencampuran solar dengan biodiesel di Indonesia menganut kebijakan target konsumsi secara wajib atau mandatori (binding). Kebijakan mandatori biodiesel tersebut telah diatur melalui peraturan perundang-undangan mulai dari level undang-undang hingga peraturan menteri (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Peraturan Perundang-undangan Landasan Kebijakan Mandatori di Indonesia

Nama Peraturan

Perundang-Undangan Tentang

Target Madatori Biodiesel (B) UUD No. 30 tahun 2007 Energi

INPRES RI No. 1 tahun 2006

Tanggal 25 Januari 2006

Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Inisiasi percepatan penyediaan

PERMEN ESDM No.051 tahun 2006

Tanggal 10 Oktober 2006

Persyaratan dan Pedoman Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

PERMEN ESDM No. 32 tahun 2008

Tanggal 26 September 2008

Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata

Niaga BBN (Mandatori B-1 & B-2,5) B-1

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 595 Nama Peraturan

Perundang-Undangan Tentang

Target Madatori Biodiesel (B) tahun 2010

Tanggal 1 januari 2010

yang Dicampurkan kedalam Jenis BBM Tertentu (Harga Biodiesel Berdasarkan HPE Kelapa Sawit) PERMEN ESDM No.25

tahun 2013 Tanggal 1 September 2013

Perubahan PERMEN ESDM/No 32/2008 (Penerapan Mandatori

B-10 untuk Transportasi PSO) B-2,5 KEPMEN ESDM No. 2185

tahun 2014 Tanggal 1 April 2014

Perubahan KEPMEN ESDM No.

0219/2010 (Harga Biodiesel Berdasarkan MOPS)

B-10 PERMEN ESDM No. 20

tahun 2014 Tanggal 3 Juli 2014

Perubahan Kedua PERMEN ESDM No. 32/2008 (Penerapan B-10 untuk

Semua Jenis Sektor) B-10

PERMEN ESDM No. 12 tahun 2015

Tanggal 1 April 2015

Perubahan Ketiga PERMEN ESDM No.32/2008 Penerapan Mandatori B-15 (2015), B-20 (2016), B-30 (2020, 2025)

B-15 (2015), B-20 (2016), B-30 (2020, 2025) PP No. 61 tahun 2015

Tanggal 25 Mei 2015

Peghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Pembentukan BPDP Kelapa Sawit) KEPMEN ESDM No. 3239

tahun 2015

Tanggal 30 Juni 2015

Harga Indeks Pasar BBN yang Dicampur kedalam Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan (Harga Biodiesel Berdasarkan Harga CPO)

PERMEN ESDM No. 29 tahun 2015

Tanggal 11 September 2015

Penyediaan dan Pemanfaatan BBN Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDP Kelapa Sawit (Penetapan Sanksi Administratif Rp. 6000)

Dengan landasan hukum yang relatif kuat tersebut, sesungguhnya pemerintah dapat lebih memastikan implementasi dari mandatori biodiesel. Eksekutor kebijakan mandatori biodiesel adalah BUMN Pertamina yang diberikan Undang-Undang hak otoritas mengatur penggunaan dan distribusi bahan bakar minyak dan telah

memiliki jejaring depo, fasilitas blending, sistem transportasi dan jejaring stasiun retailer BBM (SPBU) di titik-titik konsumen. Oleh karena itu, dengan kondisi demikian dimana segalanya dibawah kendali pemerintah sulit dimengerti jika implementasi mandatori biodiesel tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Target Vs Realisasi : Masih Setengah Hati

Sejak diberlakukan kebijakan mandatori biodiesel tahun 2009, pemerintah terus menaikkan target mandatori (blending rate). Pada tahun 2009 diberlakukan B-1, kemudian dinaikkan menjadi B-2.5 selama periode tahun 2010-2012 (Tabel 3.2). Kemudian dinaikkan menjadi B-10 dalam periode tahun 2013-2014. Mulai bulan Agustus - Desember 2015 dinaikkan menjadi B-15 dan ditargetkan pada tahun 2016 dinaikkan menjadi B-20.

Namun demikian, jika dilihat realisasinya tidak seoptimis penetapan targetnya. Realisasi mandatori biodiesel berkisar antara 35 sampai 94 persen dengan rata-rata sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel.

Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun.

Dengan perbedaan antara target dan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel secara relatif cenderung mengalami penurunan. Tidak

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 597

tercermin dari rataan realisasi yang hanya sekitar 51 persen dari target.

Tentu saja alasan tidak tercapainya target mandatori yang ditetapkan tidak pernah habis. Dari informasi yang diperoleh setidaknya ada 6 alasan mengapa Pertamina tidak mencapai target yang ditetapkan yakni (1) harga crude oil yang turun dan lebih rendah dari harga CPO/biodiesel, (2) rantai distribusi yang belum menjangkau seluruh daerah, (3) belum adanya tanki biodiesel dilokasi kilang, (4) tidak adanya insentif ekonomi, (5) rendahnya kontrol, dan (6) tidak menjadi indikator kinerja (KPI) Pertamina.

Tabel 3.2. Perbandingan Target dan Realisasi Penyerapan Biodiesel PSO dan Non PSO

Tahun

Target Mandatori

Biodiesel Realisasi Mandatori Biodiesel

Persentase Realisasi Blending

rate (B)

Target penyerapan

biodiesel (ribu kl)

Realisasi blending rate (R)

Realisasi penyerapan

biodiesel (ribu kl)

2009 B-1 236 R-0,5 119 50,42

2010 B-2,5 236 R-2,4 223 94,49

2011 B-2,5 1.180 R-0,8 359 30,42

2012 B-2,5 1.388 R-1,2 669 48,20

2013 B-10 2.404 R-2,2 1.048 43,59

2014 B-10 3.134 R-5,9 1.845 58,87

2015 B-15 1.530 R-5,3 539 35,23

2016 B-20 3.200 ? ?

Rata-rata 51,60

Sumber : Pertamina & Dirjen EBTKE (Kemenko Perekonomian, 2016).

Keenam faktor tersebut sesungguhnya sebagian besar dibawah kendali dan bukan diluar kontrol Pertamina dan

Pemerintah. Oleh karena itu, jika banyak pihak yang berpandangan bahwa rendahnya realisasi mandatori biodiesel tersebut merupakan bentuk wanprestasi dari Pertamina dan Pemerintah, sulit dibantah.

Mandatori Yang Belum Mandatori

Rendahnya realisasi mandatori biodiesel tersebut mencerminkan bahwa pemerintah belum konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel.

Mandatori biodiesel tentu sangat berbeda dengan subsitusi sukarela pencampuran biodiesel (non binding or business as usual). Subsitusi sukarela pencampuran biodesel dengan solar tergantung mekanisme pasar murni sehingga realisasi penyerapan biodiesel oleh Pertamina tergantung untung-rugi secara finansial dari sudut pandang bisnis (business point of view).

Berbeda dengan pencampuran sukarela tersebut, mandatori biodiesel adalah wajib karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau kebijakan negara kepada warganya termasuk pelaku ekonomi. Oleh karena itu Pertamina dan pelaku ekonomi pengguna solar harus wajib menjalankanya. Jika tidak dilaksanakan dapat diartikan melawan hukum atau melawan kebijakan pemerintah sendiri.

Realisasi mandatori biodiesel seharusnya tidak tergantung berapa harga CPO atau harga minyak bumi, dan juga tidak tergantung ada atau tidak ada subsidi. Jika realisasi blending rate biodiesel hanya terjadi ketika harga

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 599

tinggi dari harga CPO) itu bukan mandatori melainkan business as usual sebagai respons bisnis biasa. Juga jika realisasi blending rate terpenuhi dengan subsidi konsumen atau subsidi produsen biodiesel, itu bukan mandatori melainkan mekanisme bisnis biasa.

Oleh karena itu alasan-alasan yang digunakan Pertamina mengapa realisasi penyerapan biodiesel rendah, tidak relevan dalam konteks mandatori biodiesel.

Alasan Pertamina tersebut sebagai BUMN yang diberikan negara hak monopoli penyediaan energi nasional hanya relevan jika kebijakan pencampuran biodiesel dengan solar bersifat sukarela. Pada harga minyak bumi yang rendah seperti saat ini, realisasi mandatori biodiesel seharusnya dilaksanakan secara penuh. Karena tidak terlalu berdampak besar pada pengeluaran konsumen.

Realisasi mandatori biodiesel yang rendah tersebut menjadi pertanyaan besar jika dilihat struktur konsumsi solar di Indonesia. Sebagaimana diketahui dari total konsumsi solar di Indonesia sekitar 50 persen merupakan solar non subsidi (non PSO) yang digunakan oleh industri, sedangkan 50 persen merupakan solar subsidi (PSO).

Untuk mandatori biodiesel pada solar non subsidi seharusnya tidak masalah bagi Pertamina terutama pada masa harga minyak bumi yang rendah sekarang ini.

Meskipun harga minyak bumi lebih rendah dari harga CPO, dengan memberlakukan mandatori B-15 atau B-20 pada solar non subsidi tidak signifikan menambah biaya pokok solar non subsidi. Lagi pula jika ada tambahan biaya pokok solar akibat blending biodiesel akan ditanggung kelompok industri non subsidi yang sudah terbiasa membeli solar dengan harga internasional.

Untuk solar subsidi juga seharusnya tidak menjadi masalah. Selain APBN masih memberikanya subsidi konsumen juga harga minyak bumi sedang rendah-rendahnya. Seandainyapun ada beban tambahan bagi Pertamina, Pemerintah dapat memberi kompensasi berupa pengurangan PPn, PPh badan atau pengurangan deviden.

Selain itu pelaksanaan mandatori biodiesel dengan subsidi selain tidak konsisten dengan kebijakan mandatori itu sendiri juga tidak relevan lagi dalam konteks era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sedang berlangsung. Memberikan subsidi tak langsung kepada konsumen akan menciptakan disparitas harga akhir solar antara Indonesia dengan negara tetangga sehingga solar Indonesia akan mengalir ke negara tetangga. Demikian juga memberikan subsidi pada produsen biodiesel seperti saat ini, akan mengalirkan biodiesel produksi Malaysia masuk ke Indonesia. Karena subsidi produsen biodiesel dibiayai dari pungutan ekspor minyak sawit, berarti produsen CPO Indonesia mensubsidi produsen biodiesel Malaysia dan konsumen solar negara tetangga.

Kedepan diharapkan Pemerintah dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan.

Sebagai mandatori yang bersifat wajib, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Kebijakan Mandatori Biodiesel. Kebijakan tersebut seharusnya menjadi success story dan bagian dari transformasi energi nasional dari berbasis energi tak terbaharui (unsustainable energy) menuju energi terbaharui (sustainable energy).

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 601

Kesimpulan

Konsumsi energi nasional yang saat ini sekitar 90 persen berbasis energi fosil (tak terbaharui), sebagian makin tergantung impor (minyak bumi), dan mengotori lingkungan, memang tidak berkelanjutan (unsustainable energy). Oleh karena itu transformasi energi ke energi yang berkelanjutan (terbaharui, berbasis domestik, lebih ramah lingkungan) menjadi pilihan rasional energi Indonesia kedepan.

Salah satu kebijakan transformasi energi tersebut adalah pencampuran (blending) bertahap solar fosil dengan biodiesel berbasis minyak sawit (FAME, fatty acid methyil ester). Tujuan mensubsitusi solar fosil dengan biodiesel dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis, mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) khususnya emisi karbon serta untuk mendorong pembangunan pedesaan sebagai penghasil bahan baku biodiesel.

Realisasi mandatori biodiesel berkisar antara 35 sampai 94 persen dengan rata-rata sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel. Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun. Dengan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel secara relatif cenderung mengalami penurunan dan setengah hati.

Pemerintah diharapkan dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan. Sebagai mandatori yang bersifat wajib, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Kebijakan Mandatori Biodiesel.

PEMANFAATAN MINYAK GORENG JELANTAH