• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Dalam sejarah pembangunan ekonomi dunia, revolusi hijau (green revolution) telah membawa masyarakat dunia terlepas dari bencana kekurangan pangan. Revolusi hijau yang dimulai dari pertanian gandum di Amerika Serikat dan Mexico tahun 1960an kemudian menjalar ke pertanian India dan di negara Asia telah menaikkan produksi pangan dunia secara revolusioner (Per Pinstrup-Andersen and Hazel, 1985, Pingali, 2012). Dalam periode 1960-1985 produksi gandum meningkat 208 persen, padi 109 persen dan jagung 157 persen. Di Indonesia revolusi hijau pada pertanian padi telah membawa Indonesia dari negara importir beras terbesar dunia menjadi negara berswasembada beras pada tahun 1984. Produksi beras Indonesia meningkat dari hanya sekitar 2.4 juta ton tahun 1970 meningkat menjadi 25 juta ton tahun 1984 dan menjadi 33 juta ton tahun 1995 atau meningkat hampir 14 kali lipat dalam 25 tahun.

Barangkali luput dari perhatian para ahli pembangunan, perkebunan sawit Indonesia juga mengalami perkembangan yang cepat dan dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi sawit. Produksi CPO Indonesia (Statistik Kelapa Sawit, 2015) meningkat cepat dari sekitar 2.4 juta ton tahun 1990 menjadi sekitar 32 juta ton tahun 2015 atau dalam 25 tahun meningkat 14 kali lipat. Bebeda dengan revolusi padi di Indonesia yang dibiayai dan digerakkan oleh Pemerintah, revolusi sawit tersebut digerakkan dan dibiayai pelaku usaha yakni investasi swasta dan rakyat (small holder). Revolusi sawit

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 725

pembangunan ekonomi maupun pembangunan sektor pertanian.

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana revolusi sawit tersebut terjadi, apa penggerak pertumbuhan (driven) yang memungkinkan terjadinya revolusi tersebut.

Big Push Strategy

Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia, mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2) angkatan kerja terbesar berada dan bekerja di kawasan pedesaan/pertanian; (3) jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian besar berada di kawasan pedesaan/pertanian. Oleh karena itu, pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus pada peningkatan pendapatan di pedesaan (pro-rural income) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor).

Dalam konteks Indonesia selama ini terdapat beberapa tipologi kawasan pedesaan tertinggal yang menjadi kantong-kantong kemiskinan dan keterbelakangan. Tiga diantaranya adalah: Pertama, kawasan pedesaan yang secara alamiah tertinggal dan terisolasi akibat jangkauan infrastruktur transportasi yang masih terbatas. Kedua, kawasan pedesaan eks logging yakni kawasan yang tertinggal setelah era ekonomi logging

berakhir. Daerah pulau Kalimantan, Riau, Sumatera Selatan adalah contoh tipologi tersebut dan ketiga, kawasan pedesaan yang menjadi daerah miskin (ghost town) pasca berakhirnya aktivitas ekonomi berbasis tambang/migas seperti Bangka Belitung pasca tambang timah.

Arus utama (mainstream) pembangunan pedesaan Indonesia umumnya menganut paradigma teori pusat pertumbuhan (growth pole strategy) dari Francois Perroux (1949) yang menetapkan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan dan kawasan pedesaan sekitarnya sebagai dampak (hinter land). Dengan berkembangnya kawasan perkotaan diyakini akan menarik perkembangan pedesaan melalui hubungan input-output. Paradigma pembangunan yang demikian pada kenyataannya memang menciptakan pertumbuhan perkotaan namun kawasan pedesaan menjadi terbelakang akibat menderita penghisapan modal (capital drain) dan pelarian sumber daya manusia bermutu (brain drain) melalui proses urbanisasi.

Teori alternatif pembangunan pedesaan adalah teori dorongan kuat (big-push strategy) yang pertama kali dikembangkan oleh ekonom Paul Rosenstein-Rodan (1943). Menurut pandangan ini pembangunan pedesaan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara investasi kecil-kecilan (“bit by bit investment”). Pembangunan pedesaan akan berhasil secara signifikan jika dilakukan dengan cara investasi relatif besar (big-push) untuk ukuran perekonomian daerah. Meskipun teori tersebut tidak ditujukan (bahkan mengabaikan) pada sektor pertanian, big-push theory tersebut berpandangan bahwa untuk melakukan pembangunan dengan dampak besar

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 727

(industrialisasi) diperlukan dorongan kuat (big-push).

Upaya-upaya (investasi, subsidi, dan lain-lain) yang kecil-kecil (“bit by bit investment”) hanya seperti menyiram setetes air di padang gurun, tidak akan membawa perubahan yang berarti.

Tampaknya pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih cenderung mengadopsi pandangan big-push strategy daripada growth pole strategy. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan skala yang relatif luas, investasi yang relatif besar dan partisipasi yang relatif luas di kawasan pedesaan lebih berakar pada paradigma pembangunan pedesaan dorongan kuat tersebut.

Sejak awalnya di tahun 1980-an, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang, pinggiran, pelosok, terisolir, hinter land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner. Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi dan terbelakang yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara/BUMN (PN) dan atau perusahaan swasta (PS) sebagai inti dan masyarakat lokal (PRP) sebagai plasma dalam suatu kerjasama PIR atau bentuk kemitraan yang lain.

Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road), pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (Gambar 14.1). Dalam konteks wilayah pedesaan yang belum berkembang investasi-investasi tersebut di atas tergolong relatif besar sehingga menjadi pendorong yang kuat bagi dimulainya gerakan roda pembangunan pedesaan yang oleh Paul Rosenstein-Rodan disebut sebagai big-push strategy.

Gambar 14.1. Komponen Investasi Pembangunan Kawasan Perkebunan Sawit

Investasi korporasi perkebunan kelapa sawit tersebut makin besar dan meluas (menjadi big-push investment) dengan pengembangan pola kemitraan antara korporasi dengan petani sawit. Setidak-tidaknya ada empat rangkaian kebijakan yang konsisten dilaksanakan dan menghasilkan percepatan pertumbuhan

15%

35% 30%

20%

Fasilitas perumahan, kantor, pendidikan, kesehatan, dll Infrastruktur jalan, jembatan,

pelabuhan CPO

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 729

perkebunan kelapa sawit (Badrun, 2010; Sipayung, 2012).

Pertama, Kebijakan kemudahan/fasilitas kredit untuk Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yakni PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981-1986) dan PBSN III (1986-1990). Dengan dukungan sistem perkreditan murah, perkebunan besar swasta nasional berhasil bukan hanya merehabilitasi kebun yang sudah ada, tetapi juga membuka perkebunan baru.

Kedua, Kebijakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) baik PIR Khusus dan PIR Lokal yang dimulai tahun 1980.

Kebijakan PIR ini merupakan kelanjutan dari proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) yang dibiayai Bank Dunia, mulai dari NES I sampai NES VII yang dinilai berhasil. Pada kebijakan PIR tersebut yang bertindak sebagai inti adalah perusahaan perkebunan negara dan sebagai plasma adalah para petani (usaha perkebunan rakyat). Inti menyediakan teknologi dan manajemen, sedangkan pembiayaan disediakan dari kredit program, yang pengembaliannya dilakukan/dicicil setelah kelapa sawit menghasilkan.

Ketiga, Kebijakan PIR Transmigrasi (PIR-Trans) tahun 1986. Kebijakan PIR-Trans ini merupakan penyempurnaan dari PIR sebelumnya dan dikaitkan dengan program transmigrasi. Perbedaan PIR Trans dengan PIR sebelumnya adalah pada PIR-Trans yang bertindak sebagai inti adalah perusahaan besar swasta nasional, selain perusahaan negara.

Keempat, Kebijakan pola PIR dengan skim kredit koperasi primer untuk para anggotanya (PIR-KKPA) tahun 1996 yang dilaksanakan bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit yang telah ada. Kebijakan pola

PIR-KKPA ini dilaksanakan dan dikaitkan dengan pengembangan Koperasi Plasma, dimana perusahaan perkebunan bertindak sebagai inti dan petani sawit yang tergabung dalam koperasi sebagai plasma.

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecil-menengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/jasa industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 14.2).

Gambar 14.2. Big-Push Strategy Pembangunan Daerah Berbasis Kebun Sawit

Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 731

kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).

Wujud Revolusi

Setidaknya terdapat 5 wujud perubahan revolusioner dari big-push strategy pada pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia yakni (1) revolusi luas areal dan produksi, (2) revolusi sawit rakyat, (3) revolusi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru, (4) revolusi pangsa Indonesia dalam minyak sawit dunia dan (5) revolusi ekspor minyak sawit Indonesia.

Gambar 14.3. Revolusi Luas Kebun Sawit Menurut Pengusahaan Tahun 1980-2015 (Sumber : Statistik Kelapa Sawit Indonesia)

0.0 5.0 10.0 15.0

juta hektar

Rakyat Negara Swasta

Gambar 14.4. Revolusi Produksi CPO Menurut Pengusahaan Tahun 1980-2015 (Sumber : Statistik Kelapa Sawit Indonesia)

Revolusi Luas Areal dan Produksi. Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 4,1 juta hektar tahun 2000 menjadi 11.30 juta hektar tahun 2015 (Gambar 14.3). Luas perkebunan rakyat meningkat dari sekitar 1,1 juta hektar menjadi 4.57 juta hektar tahun 2015. Perkebunan negara juga masih meningkat dari 588 ribu hektar tahun 2000 menjadi 750 ribu hektar tahun 2015. Demikian juga perkebunan swasta meningkat dari 2,4 juta hektar tahun 2000 menjadi 5.97 juta hektar tahun 2015. Peningkatan produksi CPO lebih fantastis lagi yakni meningkat dari 7 juta ton tahun 2000 menjadi 31 juta ton tahun 2015 (Gambar 14.4).

Revolusi Sawit Rakyat. Pesatnya perkembangan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit antara korporasi dengan petani, melahirkan percepatan perkebunan sawit rakyat sebagai salah satu pelaku usaha penting. Percepatan pertumbuhan kelapa sawit rakyat

5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

juta ton

Rakyat Negara Swasta

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 733

kelapa sawit nasional yang revolusioner (Gambar 14.5).

Pada tahun 1980, pangsa sawit rakyat hanya 2 persen meningkat menjadi 26 persen tahun 1990 dan pada tahun 2015 pangsa sawit rakyat telah mencapai sekitar 41 persen.

Revolusi Pertumbuhan Pusat-Pusat Ekonomi Baru. Melalui big-push strategy yang demikian sentra-sentra perkebunan kelapa sawit berkembang dan meluas dari Sumatera Utara-Aceh ke daerah lain di Indonesia.

Daerah Provinsi Riau, produksi CPO perdana tercatat mulai tahun 1982 dan disusul Sumatera Selatan tahun 1983. Kemudian, produksi perdana CPO Sumatera Barat dan Kalimantan Barat beserta Papua dimulai tahun 1984, kemudian disusul Kalimantan Timur (1986), Jambi dan Lampung (1987), Bengkulu (1988) dan Sulawesi (1989).

Dan dari daerah-daerah tersebut berkembang ke daerah lain sekitarnya. Distribusi luas areal masing-masing daerah sentra sawit Indonesia disajikan pada Gambar 14.6.

Gambar 14.5. Revolusi Pangsa Kebun Sawit Rakyat Dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional (Sumber : Statistik Kelapa Sawit Indonesia)

2%

68%

30%

1980

26%

33%

41%

1990

Rakyat Negara Swasta

41%

52% 7%

2015

Gambar 14.6. Revolusi Penyebaran Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi Sentra Sawit (Sumber : Statistik Kelapa Sawit Indonesia)

Pertumbuhan sentra-sentra perkebunan sawit yang menarik sektor-sektor ekonomi lainnya di kawasan pedesaan terbelakang/terisolir, telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis sentra produksi CPO. Antara lain di provinsi Sumatera Utara seperti Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lain-lain berkembang pesat akibat perkebunan sawit. Di provinsi Riau seperti Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lain-lain.

Demikian juga di provinsi Sumatera Selatan seperti seperti Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas, Peninjauan dan beberapa kota menuju kawasan barat Sumatera Selatan antara lain dari

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000

hektar

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 735

di povinsi Jambi kota yang berkembang pesat akibat perkembangan sawit seperti Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya.

Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan sentra baru pengembangan kebun sawit, seperti Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya.

Sementara di provinsi Kalimantan Timur seperti Sangatta, Tenggaronz, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan kota-kota kecamatan di kabupaten sentra sawit berkembang pesat akibat perkebunan kelapa sawit.

Provinsi Kalimantan Selatan Kota-kota seperti Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya berkembang pesat akibat perkebunan kelapa sawit. Dan di Sulawesi seperti Mamuju, Donggala, Bungku, Luwu, Pasangkayu, dan lainnya berkembang pesat akibat perkebunan kelapa sawit.

Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan. Perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan merupakan lokomotif pembangunan ekonomi pedesaan. Melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit investasi baru meningkat cepat sedemikian rupa sehingga dapat mengubah daerah terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan.

Pernyataan ini juga terkonfirmasi oleh studi World Growth (2011) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan.

Revolusi Pangsa Indonesia dalam Minyak Sawit Dunia. Percepatan peningkatan produksi CPO Indonesia masih berlanjut terus, sehingga pada tahun 2006, pangsa

Indonesia berhasil mencapai 44 persen, mengungguli Malaysia yang pangsanya menurun menjadi 41 persen (Gambar 14.7). Oleh karena itu, tahun 2006 memiliki makna penting bagi industri minyak sawit Indonesia karena pada tahun tersebut berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia atau “raja” CPO dunia.

Pada tahun 2015, produksi CPO Indonesia semakin bertumbuh cepat baik akibat perluasan areal maupun produktivitas sehingga pangsa Indonesia dalam produksi CPO dunia meningkat cepat menjadi 54 persen. Sedangkan dalam periode yang sama pangsa Malaysia menurun menjadi 32 persen.

Gambar 14.7. Revolusi Pangsa Indonesia dalam Produsen Minyak Sawit Dunia (Sumber : Oil World) Keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi CPO juga membawa perubahan besar dalam pasar minyak nabati dunia (vegetable oil). Minyak kedelai (soybean oil) yang hampir 100 tahun menguasai pasar minyak nabati dunia, tergeser minyak sawit pada tahun 2015, sekitar 40 persen minyak nabati dunia merupakan minyak sawit, sedangkan minyak kedelai pangsanya menurun menjadi sekitar 33 persen (Gambar 14.8). Hal ini berarti, Indonesia bukan hanya

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 737

berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia tetapi sekaligus menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia.

Pangsa Indonesia dalam pasar CPO dunia diproyeksikan masih mengalami peningkatan ke depan. Selain sebagian besar masih berupa tanaman muda, juga masih terbuka kesempatan luas untuk meningkatkan produktivitas.

Gambar 14.8. Revolusi Pangsa Minyak Sawit dalam Pasar 4 Minyak Nabati Utama Dunia (Sumber : Oil World)

Revolusi Ekspor Minyak Sawit Indonesia Nilai ekspor CPO dan produk turunannya (Gambar 14.9) mengalami peningkatan dari USD 1.08 miliar (2000) meningkat menjadi USD 21,6 miliar (2011) kemudian karena penurunan harga CPO dunia, turun menjadi USD 18.6 miliar (2015).

Besarnya nilai ekspor minyak sawit tersebut merupakan suatu net ekspor yang terbesar untuk ukuran satu kelompok komoditi dalam perekonomian Indonesia. Devisa hasil ekspor minyak sawit tersebut dari sudut pandang pembangunan juga lebih berkualitas dan berkelanjutan

22%

59% 19%

0%

1965

26%

53% 13%

8%

1980

40%

17%

33%

10%

2015 Minyak Sawit

Minyak Rapeseed

Minyak Kedelai 5.5 juta

ton

18.5 juta ton

155 juta ton

karena (1) dihasilkan dari kebun-kebun sawit pada 190 kabupaten di Indonesia, (2) sekitar 42 persen disumbang oleh sawit rakyat, (3) komposisi produk olahan hasil hilirisasi domestik makin besar dan (4) dihasilkan dengan kreatifitas pelaku perkebunan dan tidak menggunakan subsidi dari pemerintah.

Devisa negara merupakan suatu ekspor netto yakni nilai ekspor dikurang dengan nilai impornya. Suatu industri ekspor meskipun menyumbang nilai ekspor yang besar, apabila nilai impornya juga besar maka secara netto akan menghasilkan devisa yang kecil bahkan dapat menjadi defisit devisa.

Dalam perekonomian Indonesia, sektor non migas (termasuk didalamnya industri minyak sawit) merupakan sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara. Selama periode 2008-2015 (Tabel 14.1) nilai ekspor netto sektor non migas mengalami fluktuasi tetapi secara netto masih surplus.

Jika nilai eskpor non migas dipisahkan antara ekspor minyak sawit dan non minyak sawit akan terlihat bahwa nilai netto ekspor minyak sawit secara konsisten mengalami surplus dengan kecenderungan yang meningkat. Sebaliknya nilai netto ekspor di luar minyak sawit cenderung menurun dari surplus menjadi defisit. Secara total nilai netto ekspor non migas masih mengalami surplus yang disumbang oleh ekspor minyak sawit.

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 739

Gambar 14.9. Revolusi Pertumbuhan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia (Sumber: BPS dan data base PASPI)

Tabel 14.1. Ekspor Minyak Sawit Membuat Surplus Neraca Ekspor Non Migas Indonesia (USD Miliar)

Tahun Netto Ekspor Minyak Sawit

Netto Ekspor Non Migas Selain Minyak Sawit

Netto Ekspor Non Migas

2008 15.4 -0.3 15.

1

2009 12.3 13.3 25.

6

2010 16.3 11.1 27.

4

2011 21.6 13.8 35.

4

2012 21.3 -7.7 13.

6

2013 19.2 -3.6 15.

6

2014 21.1 -9.9 11.

2

2015 18.6 -10.5 8.1

Sumber : BPS, GAPKI

0 5 10 15 20 25

2000 2005 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1.08 3.44

15.42 12.16

16.3

21.6 21.3

19.2 21.1 18.6

USD Milyar

Data tersebut menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit merupakan komponen penting dan penyelamat neraca perdagangan non migas Indonesia. Tanpa ekspor minyak sawit neraca perdagangan Indonesia akan mengalami defisit (negatif devisa).

Kesimpulan

Big-push strategy tampaknya dapat menjelaskan revolusi pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Kombinasi investasi korporasi (BUMN dan swasta) dengan pola kemitraan korporasi dengan petani dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah terbelakang dapat dikategorikan sebagai big-push investment. Big-push strategy tersebut melahirkan revolusi luas areal dan produksi, revolusi sawit rakyat, revolusi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru, revolusi pangsa Indonesia dalam minyak sawit dunia dan revolusi ekspor minyak sawit Indonesia.

Wujud revolusi tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari sekitar 300 ribu hektar tahun 1980 menjadi 11.30 juta hektar tahun 2015 dan pada periode yang sama peningkatan produksi CPO dari 721 ribu ton menjadi 31 juta. Kedua, Percepatan pertumbuhan kelapa sawit rakyat telah merubah komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit nasional yang revolusioner yakni hanya dari 2 persen tahun 1980 meningkat menjadi 26 persen tahun 1990 dan pada tahun 2015 pangsa sawit rakyat telah mencapai sekitar 41 persen. Ketiga, Sentra kebun sawit

Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia 741

berkembang dari dua kabupaten menjadi 190 kabupaten dan melahirkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan. Keempat, Peningkatan produksi CPO Indonesia menempatkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sejak tahun 2006 dengan pangsa mencapai 44 persen, mengungguli Malaysia. Pada tahun 2015 pangsa pasar minyak sawit dunia sekitar 40 persen dalam pasar minyak nabati dunia. Kelima, Nilai ekspor CPO dan produk turunannya juga mengalami peningkatan revolusioner dari USD 1.08 miliar 2000 meningkat menjadi USD 18.6 miliar tahun 2015.

KAWASAN INDUSTRI MASYARAKAT