• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN*

KAWASAN INDUSTRI MASYARAKAT

Pendahuluan

Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memiliki pola pengembangan perkebunan berkelanjutan (Estate Sustainable Development) termasuk untuk perkebunan kelapa sawit yang dikenal dengan pola Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun). Pola Kimbun juga telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Perkebunan maupun peraturan pelaksanaanya.

Pendekatan Kimbun merupakan jawaban atas perubahan lingkungan strategis yang terjadi sekaligus melihat tantangan jangka panjang. Perubahan lingkungan strategis yang dimaksud setidaknya lima aspek yakni (1) Era liberalisasi perdagangan dunia yang secara resmi telah dimulai sejak tahun 2000 yang menuntut peningkatan daya saing yang berkelanjutan, (2) Dimulainya era demokrasi/reformasi di Indonesia sejak tahun 2000 yang menuntut tata kelola yang baik (good corporate governance), (3) Dimulainya era otonomi daerah/desentralisasi sejak tahun 2000 yang menuntut desentralisasi pembangunan perkebunan dan good citizen corporate governance, (4) Tuntutan masyarakat akan pentingnya perhatian pada petani kecil (smallholder) dan daerah tertinggal, dan (5) Tuntutan global yang makin menguat pada pentingnya pelestarian lingkungan sebagai bagian dari pembangunan bekelanjutan.

Didasari perubahan lingkungan strategis yang demikian, maka visi pembangunan perkebunan nasional ditetapkan "Membangun Sistem dan Usaha Agribisnis Perkebunan yang Berdaya Saing, Berkerakyatan,

KIMBUN Sebagai Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 745

pembangunan perkebunan yang demikian pada level daerah dikembangkan pola Kimbun.

Pendekatan pembangunan perkebunan dengan pola Kimbun tersebut sesungguhnya merupakan pendekatan kawasan, multidimensi dan holistik yang akan menghasilkan perkebunan berkelanjutan. Pendekatan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ada saat ini seperti ISPO dan RSPO bersifat parsial dan mereduksi makna sesungguhnya dari sustainability itu sendiri, sehingga juga tidak berkelanjutan (unsustainability).

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana pembangunan kelapa sawit pola Kimbun tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi bahwa pendekatan Kimbun merupakan pendekatan sustainability yang sesungguhnya serta dimana posisi ISPO dan RSPO dalam konteks pembangunan perkebunan berkelanjutan.

Pendekatan Pola Kimbun

Pola Kimbun ditetapkan dalam Kepmentan No.

633/Kpts/OT.140/10/2004 tentang Pedoman Kriteria dan Standarnisasi Klasifikasi Kimbun. Dalam Kepmentan tersebut, didefinisikan bahwa “Kawasan industri masyarakat perkebunan merupakan bentuk pendekatan perkebunan yang menggunakan kawasan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan sistem agribisnis dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan dimensi ruang, waktu dan manajemen atas

dasar kebersamaan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan”.

Struktur suatu Kimbun terdiri atas : (1) suatu hamparan perkebunan kelapa sawit dan PKS yang dikelola perusahaan (swasta dan BUMN) yang bekerja sama dengan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri, (2) lembaga/industri yang menghasilkan/menyediakan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, alsin), pembiayaan, infrastruktur jalan dan pelabuhan, transportasi, penelitian lokal, pelatihan lokal, (3) industri hilir minyak sawit, (4) pelayanan dan kebijakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan (5) sistem pengelolaan kawasan seperti tata air dan pemanfaatan (pengairan/irigasi) kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan pengendalian organisme penyakit tanaman (OPT). Unsur-unsur dan struktur Kimbun tersebut berkembang secara evolusioner mulai dari Kimbun Pemula ke Kimbun Madya dan akhirnya pada Kimbun Maju (Gambar 15.1).

Pada fase Kimbun Pemula, dalam suatu hamparan berkembang perkebunan kelapa sawit yang merupakan kemitraan antara perusahaan perkebunan swasta dan atau BUMN (C) yang memiliki PKS/CPO Mill (M), dengan kebun sawit rakyat baik sebagai petani plasma (P) maupun petani sawit mandiri (I). Hamparan tersebut merupakan unit terkecil suatu Kimbun.

Pada fase Kimbun Madya, unit-unit Kimbun tersebut dikembangkan lebih lanjut dan diorganisasikan menjadi suatu hamparan yang lebih luas (teraglomerasi) sehingga

KIMBUN Sebagai Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 747

I C P

M I C P

M

I C P

M I C P

M

I C P

M

KIMBUN PEMULA

KIMBUN MADYA

KIMBUN MAJU

dibutuhkan untuk suatu industri hulu (up-stream) dan jasa lain seperti unit pembibitan/pabrik pupuk, penelitian dan pelatihan lokal. Pengembangan up-stream tersebut juga mengikutsertakan koperasi petani plasma dan petani mandiri secara joint venture dengan investasi swasta.

Fase Kimbun Maju merupakan pengembangan lanjutan dari Kimbun-kimbun Madya. Unit-unit Kimbun pada fase Kimbun Madya teraglomerasi menjadi satu kesatuan ekonomi, memiliki industri hilir dan pelabuhan dalam satu ekosistem (misalnya satu kawasan daerah aliran sungai). Perkembangan dari Kimbun Pemula menjadi Kimbun Madya dan ke Kimbun Maju diukur dengan berbagai indikator kinerja Kimbun yakni Aspek Teknis Agronomis, Aspek Teknis Industri, Aspek Sosial Kelembagaan/ekonomi, Aspek Penunjang dan Aspek ekologis.

Gambar 15.1. Evolusi Perkembangan dari Kimbun Pemula menjadi Kimbun Maju (Kepmentan 633/2004)

C : KEBUN SWASTA / BUMN P : KEBUN RAKYAT PLASMA I : KEBUN RAKYAT MANDIRI M : CPO MILL

: UP STREAM DAN LAYANAN PEMERINTAH : DOWN STREAM

: PELABUHAN

Searah dengan perkembangan Kimbun tersebut, perkebunan kelapa sawit yang ada di suatu Kimbun juga dikembangkan untuk mencapai standar kinerja kebun yang telah ditetapkan pada Permentan No.

07/permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan, baik pada Tahap Pembangunan maupun Tahap Operasional (Tabel 15.1).

Pada Tahap Pembangunan kinerja pelaksanaan pembangunan kebun dengan indikator (Legalitas, Manajemen, Penyelesaian Hak atas Tanah, Realisasi Pembangunan Kimbun dan/atau Unit Pengolahan, Kepemilikan Sarpras dan Sistem GAH dan DAL Kebakaran, Kepemilikan Sarpras dan sistem GAH dan DAL OPT, Penerapan AMDAL atau UKL dan UPL, penumbuhan dan pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat, Pelaporan). Kinerja perkebunan pada tahap ini dikategorikan menjadi kelas A (terbaik), B, C, D, E (terjelek), yang kemudian dilakukan perbaikan agar kelas B, C, D, E dapat mencapai kualitas kelas A.

Sedangkan kinerja pada Tahap Operasional dengan 8 indikator (Legalitas, Manajemen, Kebun, Pengolahan Hasil, Sosial, Ekonomi Wilayah, Lingkungan, Pelaporan) dikelompokan menjadi kelas I (terbaik), II, III, IV, dan V (terjelek). Perkebunan yang masih tergolong kelas IV, V dilakukan peningkatan kualitas agar minimum mencapai kelas III.

KIMBUN Sebagai Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 749

Tabel 15.1. Klasifikasi dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kimbun (Permentan No.

07/2009)

Tahap Pembangunan Tahap Operasional

Kriteria 1. Legalitas 2. Manajemen

3. Penyelesaian hak tanah 4. Realisasi pembangunan

kebun/unit pengolahan 5. Kepemilikan sarpras dan

sistem GAH dan DAL kebakaran

6. Kepemilikan sarpras dan sistem GAH dan DAL OPT 7. Penerapan Amdal/UKL/UPL

8. Penumbuhan dan

pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat

9. Pelaporan

Kriteria 1. Legalitas 2. Manajemen 3. Kebun

4. Pengolahan hasil 5. Sosial

6. Ekonomi 7. Lingkungan 8. Pelaporan

Perkebunan kelapa sawit yang telah mencapai kualitas kelas I, II, III tentu belum menjamin Kimbun secara keseluruhan mencapai standar kinerja yang ditetapkan. Pencapaian kualitas perkebunan kelapa sawit (minimum kelas III) merupakan syarat keharusan

A B

D E

C

I II

IV V

III

(necessary condition). Sedangkan syarat kecukupan (sufficient condition) Kimbun juga secara keseluruhan harus mencapai standar kinerja Kimbun Maju yang ditetapkan.

Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Prinsip dasar pendekatan Kimbun sebagaimana pola Kimbun di atas adalah: Pertama, pendekatan Kimbun merupakan pendekatan ekosistem/kawasan secara holistik baik aspek ekologis, ekonomi dan sosial.

Pendekatan Kimbun tidak didasarkan pada batas-batas administrasi pemerintahan melainkan menggunakan pendekatan ruang secara holistik. Hal ini sesuai dengan prinsip ekosistem yang tak terbagikan (indivisibility).

Pengelolaan hamparan kebun sawit di lahan mineral tidak bisa dipisahkan dengan hamparan kebun sawit pada lahan gambut/pesisir. Pengelolaan (pengendalian OPT, pencegahan kebakaran) pada hamparan sawit korporasi tidak bisa dipisahkan dengan kebun sawit rakyat yang berada di sekitarnya.

Kedua, pendekatan pengembangan perkebunan kelapa sawit menggunakan pendekatan sistem agribisnis perkebunan kelapa sawit (supply chain) yakni (1) subsistem hulu (penyediaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida, alat dan mesin), (2) subsistem budidaya perkebunan kelapa sawit, (3) subsistem hilir (pengolahan) dan (4) subsistem penyedia jasa seperti infrastruktur jalan dan pengairan, perbankan, litbang, pendidikan,

KIMBUN Sebagai Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 751

pendekatan inkusif yakni melalui institusi kerjasama se-kawasan baik antar dan inter pelaku perkebunan (swasta, BUMN, petani plasma, petani mandiri) dengan pelaku supplier kerjasama antara pelaku usaha dengan peran pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten). Dengan kata lain kerjasama dalam Kimbun merupakan sinergi aksi individu pelaku (individual action) dengan aksi bersama (collective action).

Keempat, pendekatan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Kimbun merupakan konsep pembangunan yang melakukan perubahan struktural terencana, menyeluruh dan terus menerus baik pada level pelaku perkebunan itu sendiri maupun Kimbun secara keseluruhan. Dengan demikian kemampuan dan kapasitas Kimbun dalam menghasilkan “kue” ekonomi, sosial dan ekologis makin meningkat secara lintas generasi.

Output dari suatu Kimbun yang sudah mencapai Kimbun Maju terdiri atas private goods dan public goods.

Private goods yang dimaksud mencakup produk-produk oleofood, oleokimia dan biofuel. Sedangkan public goods yang merupakan output Kimbun adalah sustainability baik secara ekonomi, sosial dan ekologis dari Kimbun itu sendiri. Dengan kata lain, sustainability adalah atribut suatu ekosistem (Kimbun) yang tidak terbagikan (indivisibility) menjadi atribut komoditi, produk atau perusahaan.

Dalam kaitannya dengan ISPO dan RSPO, menarik untuk didiskusikan apakah sustainability palm oil yang dimaksud merupakan sustainability Kimbun sawit, atau hanyalah tata kelola perkebunan yang baik (good corporate governance, GCG). Tampaknya prinsip, kriteria