• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN EKONOMI BARU INDONESIA*

Pendahuluan

Perkebunan Sawit Rakyat telah berperan dalam mendorong Indonesia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar dunia. Hal ini sekaligus menunjukkan salah satu peran strategis Perkebunan Sawit Rakyat dalam perekonomian Indonesia, baik dalam perolehan devisa, pembangunan daerah. Foverty alleviation, peningkatan PDRB daerah dan peranan pentingnya dalam “feeding the world”.

Tahun 1980, perkebunan sawit Indonesia mulai berkembang pesat dan semakin pesat. Pada tahun 1990-an, yang dimotori perkebunan sawit rakyat, baik plasma maupun petani swadaya (independent farmer). Keberhasilan ini telah mendorong percepatan perkebunan sawit Indonesia hingga mencapai 10,4 juta ha saat ini, dan hampir separuhnya (42%, BPS 2015) adalah perkebunan sawit rakyat. Hal ini perlu digaris bawahi, bahwa perkebunan sawit rakyat memiliki peran penting dalam industri sawit Indonesia, hingga membawa Indonesia sebagai negara produsen utama dengan pangsa 53 persen dari produksi CPO dunia (Malaysia berada diposisi kedua dengan pangsa 33 persen), dan eksportir utama CPO di pasar global dan sekaligus menyelamatkan defisit neraca perdagangan Indonesia, dimana tahun 2014, ekspor minyak sawit Indonesia mencapai USD 21.1 billion 2014.

Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia 683

Replanting Mengapa Penting?

Ditengah tengah berbagai persoalan yang sedang terjadi dalam industri persawitan di Indonesia, saat ini isu replanting merupakan sesuatu yang penting, karena menyangkut masa depan industri sawit Indonesia. Saat ini perkebunan sawit rakyat telah mencapai akhir masa siklus pertama, dan sudah waktunya memasuki siklus penanaman tahap kedua (replanting). Fenomena empiris di berbagai provinsi di Indonesia, baik plasma maupun petani swadaya, memiliki hambatan untuk implementasi program ini.

Sejarah perkembangan berbagai komoditas yang memiliki kisah sukses di masa lalu hingga di pasar dunia, seperti rempah-rempah Indonesia, gula, cengkeh, teh dan kopi, karet (perkembangan teknologi akhirnya menemukan karet sintesis) dan berbagai komoditas lainnya tidak diinginkan terjadi pada komoditas sawit ini dan Indonesia akan sangat menderita kerugian hanya karena peristiwa “salah urus” terjadi pada komoditas ini.

Berbagai tekanan dunia memang sangat kuat dari berbagai dimensi, yang tujuannya menghentikan peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia. Sementara pasar dunia masih tetap membutuhkan CPO tersebut dengan berbagai keunggulannya dibanding dengan sumber minyak nabati lain, sehingga kesempatan ini akan diambil oleh negara negara lain untuk berekspansi ke Afrika.

Dengan demikian, kita bisa nyatakan dengan ringkas, (a) bahwa sawit rakyat sebagai bagian dari industri sawit Indonesia memiliki peran yang sangat penting, (b)

Indonesia tidak mengingikan praktik “salah urus” terjadi pada komoditas strategis ini dan (c) hambatan dan tekanan ini akan dimanfaatkan beberapa negara untuk melakukan ekspansi di negara lain, sementara di Indonesia komoditas ini sudah eksis dan tumbuh dengan baik, sehingga persoalan ekspansi harus dilihat dari sisi kebijakan dan kepentingan nasional.

Sejumlah hasil studi seperti. Potter and Lee (1998);

Rist, Feintrenie and Levang (2010); Zen, Barlow and Gondowarsito (2005); Colchester et al. (2006); Forest Peoples Programme and Sawit Watch (2006); Marti (2008); McCarthy (2009); Potter (2009); Sirait (2009), menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi petani sawit rakyat di Indonesia, antara lain adalah dalam hal (a) status kepemilikan, (b) modal, (c) produktivitas yang rendah, dan (d) aspek politik ekonomi dunia. (PASPI, Vol II No.

15/2016).

Hal ini menunjukkan titik permasalahan yang dihadapi dalam menyelamatkan masa depan industri persawitan Indonesia ini. Bila dilihat dalam keadaan yang paling pahit (ekstrim), maka kegagalan replanting (termasuk perlambatan maupun kegagalan), dapat berpotensi pada pengurangan 4 juta ha sawit Indonesia, dan Indonesia akan kembali di bawah posisi Malaysia dan bukan sebagai negara produsen CPO dunia.

Dua hambatan di atas menjadi kesulitan dalam isu replanting, yakni status kepemilikan dan modal, sehingga skema bantuan perbankan tidak akan mudah dijalankan untuk memberikan kredit kepada petani untuk replanting.

Oleh sebab itu, sangat diperlukan terobosan dalam

Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia 685

hajat hidup 4.5 juta tenaga kerja Indonesia dan masa depan sawit Indonesia.

Replanting Adalah Momentum Perbaikan Ekonomi

Saat ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit nasional baru mencapai 3.69 ton minyak/hektar.

Produktivitas sawit negara (PTPN) sebesar 3.97 ton minyak/hektar; produktivitas perkebunan swasta sebear 3.37 ton minyak/ hektar dan produktivitas perkebunan sawit rakyat baru mencapai rata-rata 2.82 ton minyak per hektar (Kementerian Pertanian, 2014).

Gambar 10.1 menunjukkan, dari sudut ekonomi ada dua cara untuk menaikkan produktivitas sawit Indonesia, cara pertama adalah melalui peningkatan produktivitas parsial (partial factor productivity) kebun sawit (termasuk PKS) pada tanaman menghasilkan (TM) yang ada yakni menggeser kurva produktivitas kebun sawit saat ini (P1) ke kurva produktivitas baru (P2). Dalam prakteknya, cara pertama ini dilakukan melalui perbaikan kultur teknis (best manajemen practices) kebun TM yang ada.

Cara kedua adalah melalui penggunaan benih yang lebih unggul pada saat replanting. Sampai saat ini sebagian varietas benih yang dihasilkan perusahaan perbenihan sawit telah memiliki potensi produktivitas sekitar 35 ton TBS dan rendemen 26 persen atau dapat menghasilkan sekitar 9 ton minyak per hektar.

Agar komposisi tanaman yang ideal, norma standar replanting setiap tahun adalah rata-rata 4 persen dari luas

UMUR TM SAWIT (TAHUN)

kebun. Sehingga secara nasional dengan luas areal 10 juta hektar, diharapkan akan ada sekitar 400 ribu hektar replanting setiap tahun. Melalui cara kedua ini akan menggeser kurva produktivitas dari P1 ke P3.

Kombinasi dari kedua cara tersebut yakni perbaikan kultur teknis TM dan replanting dengan menggunakan bibit unggul, akan menghasilkan peningkatan produktivitas total (total factor productivity) secara berkesinambungan. Kombinasi cara ini akan menggeser kurva produktivitas dari P1 ke P4 dan seterusnya.

Gambar 10.1. Peningkatan Produktivitas Akibat Perbaikan Kultur Teknis (P2 dan P4) dan Total Faktor Productivity (P3)

Dengan demikian, program replanting adalah sebuah milestone baru dalam memajukan industri sawit Indonesia, dan ini sangat relevan saat ini seiring dengan adanya kebijikan moratorium saat ini, sehingga program replanting merupakan sebuah implementasi kebijakan yang akan menentukan nasib industri sawit Indonesia.

PRODUKTIVITAS (TON CPO/HA)

Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia 687

Dampak Replanting

Hasil proyeksi PASPI (2014) menunjukkan bahwa cara kombinasi tersebut akan menaikkan produktivitas sawit nasional menjadi 4.4 ton minyak/hektar tahun 2020 dan 7.42 ton per hektar tahun 2050.

Produktivitas sawit rakyat akan meningkat menjadi 3.39 ton/hektar (2020) dan 6.38 ton/hektar (2050).

Sementara produktivitas sawit negara menjadi 4.93 ton/

hektar (2020) dan 8.32 ton / hektar (2050). Sedangkan produktivitas sawit swasta menjadi 4.16 ton/hektar (2020) dan 7.3 ton/hektar (2050). (Gambar 10.2)

Dengan posisi luas lahan yang tetap yakni 10.4 juta ha dan bila mana hanya mengandalkan kebijakan produktivitas, maka produksi CPO Indonesia akan mencapai 45,76 juta ton pada tahun 2020 dan 77,17 juta ton pada tahun 2050.

Proyeksi produksi CPO Malaysia, tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 21,36 juta ton dan tahun 2050 sebesar 40,82 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tetap berada di atas Malaysia.

Meningkatnya konsumsi per kapita, yang disertai dengan jumlah penduduk dan pendapatan (GDP per kapita), secara bersama-sama akan mempengaruhi permintaan minyak nabati dunia. Penduduk dunia tahun 2020 akan mencapai 7.49 milyar jiwa dan 9,078 milyar pada tahun 2050. Diperkirakan konsumsi CPO dunia pada tahun 2020 dan 2050 masing-masing akan mencapai 73,47 juta ton dan 154,84 juta ton (FAO, diolah).

Hal ini menunjukkan bahwa demand CPO dunia terus tumbuh. Kurangnya pasokan CPO dunia akan mendorong berkembangnya negara negara produsen CPO baru, baik di Asia sendiri maupun di Afrika dan ROW lainnya. Tahun 2020, pangsa CPO di ROW akan mencapai 8% dan akan tumbuh menjadi 23 %.

Gambar 10.2. Proyeksi Produktivitas Perkebunan Sawit Rakyat, Negara dan Swasta tahun 2020 dan 2050

Bila dipersiapkan lebih baik lagi, maka tahun 2040-an, merupakan milestone kedua dalam perbaikan produktivitas CPO Indonesia (bersamaan dengan replanting ke-2, setelah siklus 25 tahun berakhir).

Produktivitas sawit Indonesia diarahan untuk mencapai skenario 35-26, yakni produksi 35 ton TBS per ha dan rendemen 26 persen sehingga produktivitas sawit Indonesia akan mencapai 9 ton minyak per hektar, dan produksi CPO Indonesia bisa ditingkatkan dari 77,17 juta ton pada tahun 2050 menjadi 94,64 juta ton.

0 2 4 6 8 10

Perkebunan Sawit Rakyat

Perkebunan Sawit Negara

Perkebunan Sawit Swasta

Produktivitas (ton/ha)

2020 2050

Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia 689

Replanting Sebagai Pembangunan Ekonomi Baru

Replanting tanaman sawit Indonesia memberikan peluang yang tinggi bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan peran Indonesia sebagai produsen dan eksportir terbesar miyak sawit untuk memenuhi permintaan minyak nabati dunia. Hal ini sejalan dengan kebijakan intensifikasi melalui peningkatan produktivitas dua hingga tiga kali lipat dari tingkat produktivitas saat ini.

Namun, replanting bukanlah sebatas mengganti tanaman sawit baru. Replanting memiliki peran yang lebih strategis dalam pembangunan ekonomi baru Indonesia.

Hal ini didukung hal penting berikut :

1. Industri sawit nasional bersifat inklusif dan memiliki dampak yang sangat luas dalam pembangunan ekonomi Indonesia, serta pembangunan daerah dan salah satu sumber devisa negara.

2. Tanaman sawit Indonesia dalam skop yang lebih luas, memiliki empat fungsi yakni green function, blue services/ function, yellow services/function dan white function (Aldington, 1998; Dobbs and Petty, 2001;

Moyer and Josling, 2002; Harwood, 2003; Jongeneel and Slangen, 2004, Huylenbroeck, et. al, 2007).

Keempat fungsi pertanian/perkebunan tersebut secara internasional sering disebut 3-P yakni profit (white function), people (yellow service), dan planet (green function and blue service).

3. Kebijakan replanting tanaman sawit Indonesia juga sekaligus menguatkan peranan industri sawit Indonesia untuk mencapai Sustain Development Goals, yang secara ringkas meliputi : Pertama, Tujuan Bidang

Ekonomi (8 SDGs) yakni: (1) Menghapus kemiskinan berbagai bentuk dan seluruh tempat, (2) Menghapus kelaparan, kekurangan gizi dan membangun ketahanan pangan inklusif, (3) Membangun energi yang berkelanjutan, (4) Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, (5) Industrialisasi yang berkelanjutan, (6) Pengurangan ketim-pangan, (7) Konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dan (8) Kerjasama global pembangunan berkelanjutan’ Kedua, Tujuan Bidang Sosial (6 SDGs) yakni; (1) Kesehatan, (2) Pendidikan berkua-litas yang inklusif, (3) Kesamaan gender, (4) Ketersediaan air bersih yang inklusif, (5) Pekembangan kota yang inklusif dan berke-lanjutan dan (6) Perdamaian sosial yang inklusif; Ketiga, Tujuan bidang Lingkungan (3 SDGs) yakni: (1) Mengatasi perubahan iklim global, (2) Keberlanjutan laut dan perairan, dan (3) Keberlanjutan hutan dan keragaman hayati (biodiversity).

Uraian di atas jelas menujukkan bahwa kebijakan replanting Indonesia memerlukan dukungan dan komitmen semua pihak terkait untuk pembangunan ekonomi baru Indoesia.

Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia 691

Kesimpulan

Kebijakan replanting memerlukan terobosan baru agar hal ini bisa berjalan dengan baik, dan Indonesia tidak kehilangan waktu.

Dengan replanting, Indonesia sekaligus meningkatkan perbaikan produktivitas dan diikuti dengan perbaikan kultur teknis. Dampak keberhasilan replanting ini akan mendorong produktivitas minyak sawit Indonesia mencapai 4.4 ton/ha dalam jangka pendek dan mencapai 7.3 sampai dengan 9 juta ton/ha.

Kebijakan replanting tidak sebatas mengganti tanaman tua dan tidak produktif menjadi tanaman baru yang memiliki tingkat produktivitas tinggi, tetapi sekaligus menjadi momentum untuk pembangunan ekonomi baru Indonesia.

PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT