• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.8 Kebijakan Pembangunan, Kesehatan, dan Pertanian

Transformasi pedesaan saat ini melalui kebijakan pembangunan merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi di dalam proses produksi di pedesaan diarahkan untuk menghasilkan surplus. Proses akumulasi surplus sendiri dipengaruhi oleh proses globalisasi, masuknya industri pangan transnasional ke ekonomi nasional, dan oleh penekanan pada ekspor pertanian sebagai motor dari akumulasi. Sayangnya, dampak pembangunan pertanian misalnya memberikan peningkatan kemiskinan dan terjadinya polarisasi di sistem sosial masyarakat pedesaan (Hayami dan Kikuchi, 1987). Menurut Akram-lodhi, et al. (2007 : 385) transformasi pedesaan berbasis neoliberalisme tidak menggambarkan kesamaan equality telah ditingkatkan. Hal ini membuktikan bahwa globalisasi neoliberal tidak meningkatkan kesejajaran. Malahan semakin menciptakan ketidaksamaan

24

yang mencolok, menciptakan pengekslusifan secara sosial, mengalienasi secara kultural, dan secara politik tidak memberdayakan. Menurut para pemikir post- developmentalism, pembangunan yang terjadi telah gagal, dan era pembangunan telah berakhir. Pembangunan dianggap memperdaya hoax, tidak pernah dirancang untuk setuju pada perikemanusiaan, masalah-masalah lingkungan, namun hanya dirancang sebagai jalan agar memuluskan jalan industrialisasi Barat, khususnya Amerika, untuk melanjutkan dominasinya untuk memelihara standar hidupnya yang sangat tinggi (Allen dan Thomas, 2000 : 19).

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen - dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004)1.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa pembangunan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan manusia. Misalnya saja pembangunan danau buatan Nasser di perbatasan Mesir dan Sudan dengan tujuan untuk mengendalikan banjir, pembangunan instalasi listrik bertenaga air (hidroelektrik), pertanian irigasi, dan perikanan budidaya menimbulkan bahaya yang cukup tinggi bagi kesehatan, terutama yang paling serius adalah penyakit bilharziasis dan ochoncerciasis. Penyebaran penyakit ini hampir seluruhnya disebabkan oleh lahan-lahan pertanian irigasi yang dimungkinkan dengan adanya bendungan-bendungan besar dan waduk-waduk penyimpan air. Sebagai contoh, dalam jangka waktu tiga tahun setelah selesainya bendungan raksasa Nasser di Mesir, angka infeksi di kalangan anak -anak di daerah sekitar danau Nasser yang berumur antara 2-6 tahun meningkat dari sekitar 5-25 persen menjadi 55-85 persen (Miller, 1973 dalam Foster dan Anderson, 1986).

Bukti-bukti empiris (mungkin perlu dipertanyakan kembali) mengenai masa-masa gemilang revolusi hijau menunjukkan betapa surplus-surplus padi hasil intensifikasi pertanian, dan transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian modern dengan penggunaan mesin-mesin pertanian, dan pestisida, serta bibit unggul yang tahan hama, dan produktifitas tinggi, serta subsidi pemerintah, dan pembangunan fasilitas-fasilitas pertanian seperti irigasi teknis, telah terjadi. Banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh negara-negara dunia ketiga akibat revolusi hijau yang dikembangkan oleh masyarakat Barat, antara lain karena intensifikasi pertanian, dan model budidaya monokultur membuat tanah- tanah semakin miskin unsur hara, air tercemar oleh pestisida kimia yang pada akhirnya menyebabkan banyak orang terkena kanker. Para peneliti medis menemukan bahan kimia pestisida di dalam darah para petani di Punjab. Pestisida

1

Bersumber dari http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/

25

menjadi residu bagi tubuh petani melalui air, sayuran, dan bahkan melalui air susu ibu (ASI) perempuan-perempuan di Punjab. Suatu studi menunjukkan bahwa lebih dari 1400 kasus petani yang meninggal akibat kangker di 93 desa antara tahun 1988 sampai 2006 (Bourne, 2009). Petani juga tidak bisa memperluas pasar pangannya karena menghadapi eco-friendly green labelling. Pangan maupun kapas yang dihasilkan oleh petani Punjab di bawah standar kelayakan produk internasional, dan terindikasi teracuni oleh pestisida kimia. Pada akhirnya teknologi revolusi hijau lebih banyak membawa kemudharatan bagi petani, antara lain residu pestisida, pencemaran air, makin miskinnya unsur hara di lahan pertanian, hilangnya bibit-bibit lokal akibat penggunaan bibit unggul.

Kebijakan pembangunan juga menyentuh kebutuhan dasar manusia yakni sektor kesehatan. Visi pembangunan kesehatan yakni mencapai masyarakat Indonesia di masa depan melalui pembangunan kesehatan yang ditandai dengan penduduknya yang hidup di dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Beragam program diluncurkan oleh pemerintah untuk mensukseskan visi pembangunan tersebut antara lain program AKINO (Angka Kematian Ibu Nol), Pemberian Makanan Tambaha (PMT), Pos Pelayanan terpadu (POSYANDU), Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), Jaring Perlindungan Sosial Bidang kesehatan, Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI), Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), dan sebagainya.

Untuk mengatasi permasalahan pembangunan gizi dan kesehatan rupanya menghadapi tantangan besar. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, bahwa kasus kejadian gizi buruk di Indonesia masih tergolong sangat tinggi, dan propinsi Nusa Tenggara Barat menduduki peringkat sepuluh besar. Sangat disayangkan pandangan pemerintah yang menyamaratakan sumber penyebab dari keadaan gizi buruk. Pemerintah seolah-olah beranggapan bahwa kasus gizi buruk akan selesai dengan hanya memberikan bantuan makanan tambahan pada kegiatan posyandu, dan bantuan makanan, seperti pemberian biskuit dan penyuluhan gizi.

Mengatasi masalah gizi buruk, bukanlah hal yang mudah. Upaya tersebut, tersandung dengan rendahnya partisipasi para ibu membawa anaknya di Posyandu. Berikut adalah data yang menunjukkan rendahnya partisipasi ibu di wilayah cakupan pelayanan puskesmas Paruga :

Tabel 4. Persentasi Partisipasi para Ibu Membawa Balitanya ke Posyandu Puskesmas Paruga untuk Melakukan Penimbangan Sejak Maret 2011 hingga November 2011

PMT Penyuluhan

Persentasi partisipasi para Ibu Bulan

Maret April Mei Juni Juli Agus

tus September Oktober November

dan Jumlah Pemberiaan PMT Penyuluhan 32 32 32 32 0 0 32 32 0 Angka D/S 61,31 61,25 62,16 61,11 60,31 60,02 61,2 60,98 61,07

26

Dari data di atas diperoleh kesimpulan bahwa selain partisipasi masyarakat sangat rendah dalam kegiatan penimbangan dan beragam intervensi untuk mengurangi angka gizi buruk yakni pemberian makanan tambahan juga tidak memberikan peningkatan partisipasi seperti yang diharapkan. Misalnya saja pada bulan maret diadakan pemberian PMT dan penyuluhan kepada ibu-ibu, namun angka D/S hanya berkisar 61,31 persen. Sementara pada bulan Juli tidak diberikan intervensi apapun, nilai D/S menurun secara tidak signifikan, artinya penurunan tidak berarti, nilai D/S nyaris tetap di 60,31 persen.

Sangat disayangkan bahwa pemerintah memberikan bentuk intervensi kebijakan yang cenderung tidak berlanjut. Pemberantasan gizi buruk melalui kebijakan dana BOK, sesungguhnya bisa menjadi sedikit solusi untuk mengurangi gizi buruk. Namun, pemerintah dengan program pemberian asupan makanan tambahan pabrikan, hasilnya tentu saja tidak signifikan meningkatkan partisipasi ibu dan bayi ke posyandu, apalagi untuk menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang. Anak-anak bosan dengan rasa dan tekstur makanan pabrikan. Sementara program makanan tambahan khas lokal yang dilaksanakan pada tahun 2006 malah tergolong cukup sukses dalam meningkatkan tingkat partisipasi ibu dan bayi ke Posyandu, begitu juga peningkatan asupan gizi anak. Program makanan tambahan khas lokal sendiri merupakan program yang kegiatannya memberikan uang kepada para kader posyandu untuk menyiapkan panganan khas lokal yang memang familiar di lidah anak-anak. Mengatasi gizi buruk tidaklah mudah, hambatan sosial budaya juga menjadi kunci mengapa intervensi kebijakan mengenai gizi buruk hanya berjalan di tempat, dengan keberhasilan yang kurang berarti.

Beberapa tulisan mengenai permasalahan kesehatan yang ada berpijak pada dua paradigma besar yakni dari sisi paradigma medis, dan antropologi kesehatan. Pada Lampiran enam dijabarkan mengenai beberapa tulisan dan hasil penelitian yang erat kaitannya dengan budaya dan kesehatan pada komunitas masyarakat suku adat. Melihat hasil-hasil penelitian yang ada belum ditemukan penelitian yang menekankan bagaimana sistem nilai budaya berperan di dalam pemaknaan terhadap kesehatan ibu dan anak dan pola kunsumsi pangan keluarga di dua komunitas yang berbeda yaitu Suku Sasak pesisir dan sawah. Dan juga belum ada yang meneliti bagaimana struktur sosial, baik sistem pelapisan sosial, maupun jejaring kekerabatan berperan di dalam kasus gizi buruk di dua komunitas berbeda tersebut. Serta peran intervensi negara dalam hal ini pemerintah, dan juga

LSM di dalam memberikan “reaksi berantai” terhadap kejadian gizi buruk. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat kajian orientasi nilai budaya gizi masyarakat ditinjau dari sosiologi budaya dan sosiologi kesehatan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.

27

3 KERANGKA PEMIKIRAN