• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

6.3 Sistem Pemaknaan dan Orientasi Nilai

Keselamatan kehamilan seorang perempuan Sasak tidaklah berhenti pada upacara adat. Perempuan Sasak yang hamil dituntut memperhatikan dan menghindari hal-hal yang terlarang. Mulai dari makanan hingga tindak tanduknya selama hamil. Orang Sasak percaya bahwa cerminan jiwa anak kelak dapat terefleksi saat ibu sedang mengandung anaknya. Hal-hal pantangan bagi perempuan Sasak yang sedang hamil akan dijabarkan pada bagian pantangan (taboo) selanjutnya.

Pada Tabel 13 dan Tabel 14 berikut menunjukkan bagaimana para ibu balita Sasak bergizi buruk dan kurang memaknai kehamilan dan hadirnya anak di dalam rumah tangga baik di wilayah Sasak pesisir maupun persawahan.

Tabel 13 Pemaknaan Kehamilan Bagi Ibu Balita Bergizi Buruk/Kurang di Wilayah Sasak Pesisir dan Persawahan, 2011

Makna/arti

kehamilan bagi ibu

Wilayah Total Pesisir Persawahan Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear n % n % n % n % n % Merupakan rejeki dari Allah SWT 10 48 4 44 8 73 8 42 30 50 Titipan anak dari

Allah SWT

3 14 1 11 2 18 5 26 11 19

Menyenangkan/kea daan yang pasti diharapkan oleh setiap pasangan suami istri 2 10 1 11 1 9 1 5 5 8 Keadaan yang merepotkan 6 28 3 33 0 0 5 26 14 23 Total 21 100 9 100 11 100 19 100 60 100

Berdasarkan data di atas ditemukan fakta bahwa makna kehamilan bagi Ibu cenderung dominan pada makna kehamilan sebagai Rezeki dari Allah SWT (48 persen). Para Ibu yang memaknai kehamilan dengan makna tersebut berasal

50

dari keluarga yang utuh (Nuclear Family). Sementara diwilayah Persawahan baik para Ibu yang berasal dari Keluarga yang utuh (Nuclear family) maupun dari Keluarga yang tidak utuh juga dominan memaknai kehamilan sebagai Rezeki dari Allah SWT (73 persen untuk Para Ibu dari Nuclear Family dan 42 persen dari Non Nuclear Family).

Tabel 14. Pemaknaan Anak Bagi Ibu Balita Bergizi Buruk/Kurang di Wilayah Sasak Pesisir dan Persawahan, 2011

Pemaknaan anak bagi ibu Wilayah Total Pesisir Persawahan Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear n % n % n % n % n % Anugrah/rejeki dari Allah SWT 5 24 1 11 8 73 14 74 28 47 Titipan Allah SWT 2 10 2 22 1 9 2 11 7 12 Aset/tabungan

masa depan bagi keluarga 10 48 6 67 1 9 1 5 18 30 Gambaran keberhasilan orang tua 2 10 0 0 1 9 1 5 4 7 Kesempurnaan Hidup 1 5 0 0 0 0 1 5 2 3 Motivator Hidup 1 5 0 0 0 0 0 0 1 2 Total 21 100 9 100 11 100 19 100 60 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita memaknai bahwa kehamilan merupakan rezeki dari Yang Maha Kuasa, baik ibu balita di wilayah Pesisir maupun persawahan. Pemaknaan yang berorientasi pada rasionalitas instrumental cenderung dimaknai oleh para ibu di wilayah pesisir pada tipe rumah tangga nuclear family. Bagi rumah tangga pesisir sendiri, kehadiran anak dimaknai juga sebagai tambahan tenaga kerja misalnya pada Tabel 14 anak bagi Ibu balita yang berasal dari tipe nuclear family lebih kepada aset ekonomi atau tabungan rumah tangga. Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak, mulai yang masih balita hingga sudah dewasa digunakan sebagai tenaga kerja untuk sumber pendapatan rumah tangga. Di setiap rumah tangga yang terpilih untuk diteliti rata-rata memiliki jumlah anak mulai dari tiga orang hingga tujuh orang anak (lihat kembali pada Tabel 14).

Menurut Daliem (1981)5 anak bagi masyarakat Sasak persawahan di Lombok Selatan merupakan suatu kebanggan, khususnya anak perempuan. Anak perempuan menjadi sumber rezeki bagi orang tuanya, ketika sang anak banyak diminati oleh lelaki. Daliem mengungkapkan bahwa dalam acara ngendang/beredang 6 gadis-gadis muda bersolek dan disiapkan untuk memikat

5

M. Mimbarman Daliem. 1981. Lombok Selatan dalam Pelukan Adat Istiadat Sasak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan .

6

51

para lelaki yang membawa pereweh (bingkisan). Orang tua bahkan menyiapkan senggeger (guna-guna) untuk memikat lelaki. Seorang yang menaruh hati pada seorang gadis akan memberikan bingkisannya terlebih dahulu mengisyaratkan pada gadisnya dengan sorot lampu senter yang menyilaukan. Seorang gadis yang mempunyai banyak kekasih akan kewalahan menerima pejambek. Terkadang sampai bertumpuk dan tidak mampu membawanya pulang. Bagi Daliem, ngendang merupakan pemborosan yang luar biasa. Pengeluaran setiap lelaki untuk menyediakan pereweh sangat besar. Karna semakin mewah pereweh maka semakin besar peluang lelaki tersebut diterima oleh perempuan yang ditaksirnya pada acara ngendang.

Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa beberapa ibu balita memaknai bahwa kehamilan sebagai suatu beban. Pada Tabel 13 sebanyak 23 persen ibu balita baik di Pesisir maupun persawahan yang memaknai kehamilan sebagai suatu kondisi yang merepotkan. Pemaknaan ini muncul dari para Ibu di pesisir yang memiliki anak banyak. Sementara di wilayah persawahan pemaknaan ini muncul oleh para Ibu yang pernah mengalami perceraian berkali-kali.

Kehamilan bagi masyarakat Sasak juga merupakan masa-masa rentan seorang wanita terkena penyakit kebatinan yang bisa mengganggu janin dan ibunya sendiri. Masyarakat Sasak mempercayai bahwa belian atau dukun mendapatkan posisi istimewa dan sangat dipercaya oleh masyarakat, karena mampu mengobati penyakit kebatinan (penyakit personalistik). Pemaknaan terhadap Belian oleh para Ibu didorong oleh rasionalitas berorientasi nilai didominasi oleh rasionalitas substatif yang bergerak pada ranah nilai-nilai (beliefs) dan adanya kebiasaan atau tradisi bahwa untuk penyakit guna-guna yang bisa mengancam janin di dalam kandungan maka obat yang mujarab bukanlah obat medis melainkan obat jampi-jampi dari Belian. Namun, seiring berjalannya waktu, peran belian perlahan-lahan digantikan oleh tenaga medis yakni bidan, mantri dan dokter khususnya dalam bidang penanganan pemeriksaan kehamilan, dan proses kelahiran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar ibu hamil di wilayah persawahan memaknai bahwa pemeriksaan kehamilan oleh pihak medis merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh ibu untuk mengikuti perkembangan janin. Sementara ibu balita di pesisir, juga memaknai hal yang sama terhadap kegiatan pemeriksaan kehamilan. Namun, ibu hamil di wilayah pesisir menganggap bahwa pemeriksaan tersebut dilakukan hanya jika terjadi komplikasi atau gangguan kehamilan yang serius.

Meskipun peran belian perlahan-lahan telah berkurang di dalam kegiatan kehamilan, namun unsur-unsur kebatinan (penyakit personalistik) masih menjadi kompetensi utama yang hanya bisa ditangani oleh belian. Misalnya beberapa ibu hamil di pesisir maupun di persawahan melakukan pemeriksaan kehamilan oleh pihak medis hanya jika belian tidak bisa lagi mengobati. Beberapa ibu hamil di pesisir mengungkapkan bahwa belian lah yang bisa menjauhkan dari roh halus. Bagi ibu-ibu yang tengah mengandung di pesisir, belian dianggap sebagai pelengkap bantuan dari pihak medis. Pelengkap di sini diartikan bahwa ada upacara-upacara khusus untuk menghindari penyakit yang tidak bisa dilakukan oleh medis, serta membersihkan bayi yang baru saja dilahirkan. Begitu pula dengan ibu-ibu di wilayah persawahan, beberapa ibu hamil juga memaknai bahwa

52

belian merupakan pendukung dalam perawatan kehamilan yang dilakukan oleh pihak medis.

Masyarakat Sasak yang lekat dengan kepercayaan-kepercayaan dan hal- hal yang magis, tidak bisa terlepas dari peran seorang belian. Belian sendiri merupakan istilah lokal Sasak untuk orang yang mampu memberikan pengobatan secara tradisonal dan membantu proses perawatan kehamilan dan kelahiran. Menurut Bidan Lila, saat ini kecenderungan masyarakat Loyok, untuk kegiatan persalinan sudah jarang yang menyerahkan kepada belian. Masyarakat saat ini cenderung lebih menyerahkan tanggung jawab dalam proses persalinan dan pemeriksaan kehamilan kepada bidan desa yang ditunjuk pemerintah. Karena bidan dipercaya oleh masyarakat mampu mengatasi komplikasi kehamilan seperti eklamsia. Namun, bukan berarti kemudian peran belian sepenuhnya tersingkir di masyarakat. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa dengan kepercayaan masyarakat yang masih sangat kental dengan magis dan kepercayaan-kepercayaan mengenai roh halus, maka belian masih sangat berperan di dalam mendampingi ibu saat hamil dan proses persalinan. Kepercayaan masyarakat Sasak akan kekuatan magis khususnya ilmu hitam yang bisa mencelakai ibu yang sedang hamil, serta kemampuan belian yang dipercayai paling mumpuni di dalam menjauhkan dan menyembuhkan ibu dan janin dari gangguan roh halus.

Menurut Ina‟ Js seorang belian, yang telah tiga tahun menjadi belian mengakui bahwa jenis perawatan kehamilan yang biasa diberikan oleh ibu

yang sedang hamil antara lain selain air jampi-jampi, jeringo (sejenis akar-akaran tanaman sejenis jahe) yang disematkan dengan peniti ke pakaian ibu hamil dan bayi, dan memberikan jimat dari benang yang dipulum dan diikat seadanya dengan hiasan kayu kecil sebagai gelang di tangan ibu dan bayi. Juga memberikan oroh-orohan atau pijat kehamilan yang berfungsi untuk relaksasi ibu hamil, dan mengendalikan posisi bayi di dalam perut sehingga tidak terjadi bayi sungsang, dan mudah dalam proses kehamilan.

Belian diperlukan sesungguhnya menjelang persalinan atau saat mulai pembukaan tiga. Belian kemudian memberi air jampi-jampi agar bayi dengan mudah melewati jalan lahir. Setelah air ketuban pecah, yang merupakan tanda bahwa kegiatan persalinan akan segera dilaksanakan, barulah bidan medis melakukan tugasnya, setelah bayi lahir dan proses kelahiran selesai, perawatan ibu pasca melahirkan dan bayi kembali menjadi tanggung jawab belian. Belian lah yang mencucikan pakaian ibu yang bernoda darah nifas, memandikan bayi, mengurus ari-ari beserta ritual tanam ari-ari di halaman rumah7. Makna ari-ari bayi ditanam di batok tanah liat (nemek) yang ditanam di halaman rumah menandakan harapan bahwa kelak anak tidak akan pergi jauh dari rumah, dan jika anak kelak hidup merantau tidak akan pernah lupa akan rumah, orang tua, dan kampung halaman. Belian nganak juga mengurus ibu pasca melahirkan, ketika tali pusar bayi jatuh atau kira-kira seminggu setelah dilahirkan, atau saat api di atas

7

Menurut May et al., (1989) upacara kelahiran masyarakat Sasak dimulai dari pembersihan ari-ari. Ari-ari bayi (tonto) yang telah dibersihkan oleh Belian kemudian ditanam oleh ayah. Ini dimaksudkan agar supaya ayah juga turut merasakan penderitaan istri dari sejak mengandung sampai melahirkan bayinya. Setelah itu dukun beranak (belian nganak) akan memulai untuk membacakan doa-doanya (mantera) pada rangkaian upacara tersebut. Pada upacara ini dibuat semacam sesajen yang akan dibagi-bagikan kepada setiap mereka yang ada disana. Sesajen tersebut dibuat dari tepung beras dicampur gula kelapa dan kelapa yang sudah agak tua lalu kemudian ditumbuk. Adonan yang sudah halus tersebut disebut songgaq.

53

tempat ari-ari padam, barulah belian nganak melakukan pengobatan kepada ibu. Seminggu pasca kelahiran baru lah tugas belian selesai. Belian juga membantu ibu dan anak melaksanakan peraq api8 atau mate api yang dimaksudkan adalah mematikan atau memadamkan api atau tungku di atas ari-arinya. Tugas Belian berhenti setelah upacara peraq api.

Tahap selanjutnya, setelah seorang ibu menjalani sembilan bulan masa kehamilan, adalah melahirkan dan merawat anak yang telah dikandung. Anak sendiri memiliki makna tersendiri bagi setiap rumah tangga. Dalam tulisan ini pemaknaan, khususnya pemaknaan anak ditengarai menjadi penyebab terjadinya kasus gizi buruk balita yang terjadi di empat lokasi penelitian. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa ibu-ibu balita di wilayah pesisir memaknai anak sebagai aset atau tabungan masa depan keluarga. Menurut Suparman et al., (2008) bahwa ukuran anggota rumah tangga turut mempengaruhi kemampuan akses ekonomi keluarga terhadap pangan. Jumlah anggota keluarga sering dihubungkan dengan beban ekonomi keluarga, sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin rendah ketahanan ekonomi keluarga.

Usia 0-24 bulan bagi anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dan bila bayi dan anak pada usia ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan baik pada masa ini ataupun selanjutnya. Untuk mencapai tumbuh kembang anak yang optimal ibu harus segera memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia enam bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. MPASI yang diberikan hendaknya dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah diperoleh (Dardjito dan Suryanto, 2009).

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian awal tulisan ini bahwa pemberian ASI maupun MPASI dalam penelitian ini dipengaruhi oleh pemaknaan ibu terhadap peran ASI dan MPASI tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI dimaknai oleh sebagian besar ibu di Pesisir sebagai sumber kesehatan bagi anak. Di persawahan juga demikian, ASI menjadi sumber kesehatan bagi anak. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemberian ASI oleh ibu-ibu khususnya di pesisir lebih dari dua tahun, dan tidak ada upaya penyapihan, sehingga kualitas ASI menurun dan tidak menjadi sumber gizi yang layak bagi balita. Kualitas ASI juga dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan ibu. Di persawahan sendiri, ibu mengkonsumsi sayur mayur sebagai pendamping nasi, namun kurang protein. Sementara di pesisir, ibu yang sibuk mencari nafkah setiap hari selain mengurus masalah domestic juga bergelut pada ranah produksi. Beban berat tersebut tidak diimbangi dengan asupan gizi yang baik. Antara lain mengkonsumsi makanan seadanya dengan konsumsi protein ikan sebagai pendamping nasi, namun kurang sayuran.

8

Menurut May et al., (1989) upacara peraq api dilaksanakan setelah tujuh atau sembilan hari pasca bayi lahir ke dunia. Upacara peraq api adalah upacara pemberian nama kepada anak. Peraq api merupakan upacara pemadaman tungku yang sejak lahir sampai hari upacara tersebut dinyalakan. Tungku tersebut dimaksudkan untuk memanasi pakaian bayi yang tidak kering dari jemuran dari siang hari atau untuk menghangati batu yang dipakai ibu untuk merawat kesehatan dari sehabis melahirkan. Api yang dinyalakan selama 7 atau 9 hari pada tungku atau sulung itu disebut sebagai dapuh. Sedangkan kayu yang dibakar pada sulung atau tungku itu disebut sebagai perereng. Pada upacara peraq api itu, bayi diberi nama dan untuk yang pertama kalinya bayi boleh dibawa ke luar rumah.

54

Kemudian, makna makanan bagi anak di awal-awal usia kehidupannya bagi ibu balita di Pesisir adalah makanan sebagai sumber kesehatan anak. Demikian pula halnya dengan pemaknaan makanan bagi anak oleh ibu balita di persawahan . Sayangnya, makna terhadap makanan balita tersebut tidak kemudian menciptakan persepsi ibu terhadap kualitas makanan. Para ibu hanya memperhatikan bahwa setiap harinya anak harus makan, namun jenisnya tidak serta merta diperhatikan oleh ibu-ibu di persawahan. Makanan instant seperti mie instant dan jajanan dianggap ibu merupakan makanan yang layak diberikan kepada anak-anak mereka.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu balita di wilayah pesisir memaknai pemberian makanan tambahan kepada balita sebagai upaya untuk membantu pertumbuhan anak. Kemudian, ada juga para ibu yang memaknai MPASI sebagai upaya agar anak tidak lapar. Demikian halnya dengan ibu di wilayah Sasak Persawahan, beberapa ibu di wilayah pesisir memaknai pemberian MPASI untuk membantu pertumbuhan balita. Sementara ibu balita lainnya memaknai pemberian makanan tambahan agar anak tidak mudah lapar. Ibu balita yang mamaknai bahwa MPASI diberikan agar anak tidak mudah lapar menjadi suatu masalah tersendiri bagi balita. Seperti yang telah disampaikan pada bagian enam tulisan ini, bahwa pada kenyataan di lapangan ditemukan bahwa bayi yang berumur satu sampai dengan dua bulan sudah diberikan makanan lunak oleh ibu atau neneknya (papu‟nya). Makanan lunak biasanya dalam bentuk nasi yang dilumatkan atau beras digiling terlebih dahulu. Akan tetapi, parahnya kalau ibu dan Papu‟ tidak sempat melakukan penggilingan beras sebelum dimasak, biasanya nasi dilumatkan oleh ibu atau papu‟ dengan cara mengunyah langsung makanan yang akan diberikan kepada bayi. Setelah yakin makanan tersebut lumat, kemudian diberikan kepada bayi. Pemberian makanan tambahan yang tidak higienis ini dikenal oleh masyarakat Sasak dengan istilah pakpak.

Gizi kurang dan buruk pada balita adalah masalah yang kompleks dan pelik yang tidak dapat diselesaikan dengan solusi tunggal dan sederhana. Secara teoritis timbulnya masalah ini melibatkan banyak determinan (faktor penentu) yang saling berhubungan. Asupan makanan yang tidak cukup dan adanya penyakit pada balita merupakan penyebab langsung terjadinya gizi buruk dan gizi kurang yang saling mempengaruhi. Balita gizi buruk dan kurang cenderung mudah sakit dan pada akhirnya memperburuk gizinya (Maigoda, et al., 2009).

Pemaknaan perawatan anak saat sakit pada ibu balita di wilayah pesisir sendiri cenderung bervariasi. Beberapa ibu balita di pesisir memaknai perawatan kepada anak yang sakit sebagai bentuk kewajiban dari ibu. Beberapa ibu yang lain memaknai bahwa merawat balita saat sakit merupakan bentuk kasih sayang kepada anak-anaknya, dan ibu balita di wilayah pesisir lainnya memaknai sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab oleh seluruh anggota keluarga. Sementara di persawahan, beberapa ibu balita memaknai bahwa merawat anak saat sakit merupakan bentuk kasih sayang ibu terhadap anaknya. Serta para ibu lainnya di persawahan memaknai perawatan bayi sebagai kewajiban ibu.

55