• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

6.2 Sistem Kepercayaan dan Mitologi

Pada beberapa literatur (Bartholomew, Cederroth, dan Ecklund) dikemukakan bahwa masyarakat Sasak digambarkan sebagai seorang muslim yang taat. Meskipun begitu, kepercayaan tradisional terhadap mahluk halus dan kekuatan gaib masih tetap kuat. Orang-orang Sasak percaya pada hubungan mikrokosmos (benda-benda pusaka yang bertuah) dengan lingkungan makrokosmos (alam). Bencana dan penyakit dianggap berhubungan erat dengan sikap manusia terhadap pelanggaran-pelanggaran adat. Agama Islam sebagaimana juga terjadi di wilayah-wilayah lainnya masuk melalui keselarasan dengan nilai- nilai tradisional. Menurut Cederroth (1996), Melalatoa (1995), dan Budiwati (2000) dalam Shohibuddin (2000) mengungkapkan bahwa secara sejarah, proses yang amat panjang dan melibatkan berbagai kekuatan politik dari kerajaan- kerajaan di Jawa, Sulawesi, dan juga Bali, dari segi keagamaan masyarakat suku Sasak di Lombok akhirnya terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kelompok Islam Waktu Lima yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran-ajaran dan praktek-praktek yang dianggap ortodoks dari agama Islam. Kedua, adalah kelompok Islam Wetu Telu yaitu mereka yang meski mengaku muslim, tetap menjalankan praktek-praktek dan kepercayaan pra Islam. Berbeda dengan kelompok pertama, yang menonjol dalam keberagaman kelompok ini adalah pengetahuan dan kebiasaan lokal, tentang adat istiadat, dan bukannya tentang

2

45

ajaran Islam sebagai rumusan ajaran dan praktek yang berasal dari negeri Arab. Kelompok ketiga adalah Sasak Boda, yaitu pemeluk ajaran asli penduduk pribumi yang bersifat animistis. Seperti penduduk Tengger di Jawa, kelompok ini adalah mereka yang memilih lari ke pegunungan dan tetap tak terislamkan. Belakangan, kelompok ini kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu sekte agama Budha ketika ada tuntutan dari negara untuk hanya memilih salah satu dari lima yang diakui.

Yang sering menjadi kontroversi adalah pertentangan antara Islam Waktu Lima dengan Islam Wetu Telu. Beberapa poin yang menjadi sumber kontroversi dan sering digugat oleh kalangan Islam ortodoks dari pola keagamaan kelompok Wetu Telu antara lain adalah (Cederroth, 1996) dalam Shohibuddin (2000): (1) di kalangan komunitas Wetu Telu orang awamnya tidak pernah menjalankan kewajiban sholat lima waktu, yang menjalankan sholat adalah kiyai dan inipun dilakukan tidak secara tepat, ada banyak kesalahan cara membaca dan dilaksanakan tidak sebagaimana yang ditentukan, (2) orang awam juga tidak menjalankan puasa selama bulan Ramadhan dan bahkan kiyai mengerjakannya sewaktu-waktu, kebanyakan hanya pada awal, pertengahan dan akhir bulan, (3) biasa mengkonsumsi alkohol baik dalam upacara-upacara adat maupun dalam kebiasaan sehari-hari. Komunitas Wetu Telu mengolah anggur beras dan menyadap kelapa untuk difermentasikan sebagai minuman keras, (4) membolehkan mengkonsumsi makananan tertentu, terutama babi, namun juga reptile tertentu dan kura-kura, (5) praktek mengumpulkan darah dari hewan yang disembelih untuk digunakan memasak, (6) kebiasaan berpakaian, terutama pengenaan ikat kepala putih (sapu puteq) oleh kiyai ataupun ikat kepala batik oleh orang biasa selama pelaksanaan upacara. Dalam Islam sendiri tidak ada larangan mengenakan ikatan kepala semacam demikian, namun kebiasaan ini tetap menimbulkan kegusaran di kalangan komunitas Waktu Lima. Sebab, sapu puteq telah menjadi symbol Wetu Telu dan pengenaannya akan mengimplikasikan perilaku dan kebiasaan yang tidak ortodoks. Lagi pula, kedua jenis ikat kepala ini menyerupai kebiasaan berpakaian di kalangan pemeluk Hindu-Bali, (7) Pemangku, perumbaq, dan belian, para pejabat keagamaan yang menangani aspek-aspek ritual non-Islam dari sinkreatisme Wetu Telu dan dengan demikian harus dihapuskan. Lagi pula, pejabat-pejabat yang identik juga terdapat bukan saja di kalangan pemeluk Boda namun juga Hindu Bali, (8) upacara-upacara penting sepanjang kalender Islam dilakukan dengan cara yang korup, banyak di antaranya yang ditambah dengan aspek-aspek non-Islam seperti pemujaan roh leluhur, dan (9) Upacara-upacara Islam dilaksanakan tiga hari berikutnya dari yang berlaku di kalangan Waktu Lima. Ini disebabkan penggunaan kalender kuno di kalangan Wetu Telu yang tidak sama dengan kalender umat Islam pada umumnya.

Sebagai ajaran dari perkawinan agama Islam dan tradisional, Islam Wetu Telu kemudian mempercayai beberapa mitologi feodalistik yang kemudian membentuk proses berfikir penganutnya. Mitologi kemudian disosialisasikan melalui kegiatan pewayangan. Misalnya mitologi Dewi Rengganis, karya sastra Sasak yang sangat terkenal merefleksikan pandangan budaya Sasak terhadap perempuan Sasak, juga sekaligus menunjukkan etika dan moralitas dari budaya kawin-cerai yang marak di kalangan masyarakat Sasak. Menurut Supratno (2002), mitologi Dewi Rengganis yang diceritakan sebagai seorang putri raja yang sangat cantik, baik budinya dan suka menolong orang lain. Ia juga mempunyai keimanan

46

terhadap agama yang sangat kuat, yang mampu mempertahankan kehormatan dan kesuciannya. Ia tidak mudah tertarik pada rayuan laki-laki, tidak tergoda oleh kedudukan dan kekayaan. Meskipun Raden Repatmaja sebagai kekasihnya, tetapi ia tetap selalu menolak disentuh oleh Raden Repatmaja. Ia baru mau disentuh oleh Raden Repatmaja, bila kekasihnya sudah mempunyai madu 44. Secara harfiah Raden Repatmaja harus menikah 44 kali dahulu, baru bisa menyentuh dewi rengganis. Secara filosofis, 44 dapat diartikan Raden Repatmaja harus mempunyai sifat wajib Tuhan 20, sifat mustahil Tuhan 20, dan sifat wajib Rasul empat. Simbolisasi hubungan percintaan Dewi Rengganis, diduga sebagai sumber terjadinya budaya kawin dan cerai di masyarakat Sasak (Kompas, 14 Agustus 1996). Dewi Rengganis sebagai simbolisasi perempuan Sasak, dikonstruksikan sebagai perempuan yang menunjukkan keikhlasannya terhadap perbuatan kekasihnya yang memiliki istri yang banyak. Kecintaannya pada kekasihnya meskipun cintanya ternodai dengan perselingkuhan sang kekasih, menguatkan bahwa perempuan Sasak terbiasa untuk menerima ketidaksetiaan pasangannya. Menurut Supratno (2002) pada cerita Dewi Rengganis versi yang lainnya Dewi Rengganis dengan senang hati mencarikan kekasih lain Raden Repatmaja, rupanya ini meligitimasi adat bahwa perempuan Sasak akan dengan ikhlas. Sebaliknya, simbolisasi Raden Repatmaja kemudian membentuk nilai-nilai maskulinitas laki-laki Sasak yang ditunjukkan melalui jumlah istri yang dinikahinya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa laki-laki Sasak akan sangat bangga dan dengan suara lantang mengakui berkali-kalinya melakukan pernikahan dan kemudian bercerai.

Mitologi Putri Mandalika yang kemudian mempopulerkan Bau Nyale kemudian juga meligitimasi fenomena kawin cerai dan pernikahan dini di kalangan masyarakat Sasak. Seperti yang diceritakan dalam legenda Bau Nyale, bagaimana seorang Putri yang diceritakan sangat cantik yang diperebutkan oleh banyak lelaki yang berpengaruh. Perebutan ini hampir-hampir menjurus pada peperangan yang besar. Terlepas dari pada akhirnya Putri Mandalika tidak memilih siapa pun dan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut dan menjelma menjadi Nyale, agar dirinya bisa dimiliki, dirasakan, dan dinikmati oleh banyak orang. Cerita mitologi ini kemudian melegitimasi kompetisi cinta, dan membentuk konstruksi pemikiran bahwa kebanggan setiap orang tua ketika anak perempuan diperebutkan orang. Dari hasil wawancara di lapangan, pada tradisi kawin lari atau merari‟ tidak jarang laki-laki yang ingin melarikan seorang perempuan, harus menghadapi pemuda lainnya yang juga ingin melarikannya. Salah-salah, salah satu pemuda bisa kehilangan nyawa, karena akan terjadi perkelahian yang hebat. Kompetisi cinta ini, tidak ada sanksi sosialnya, malah dianggap suatu yang wajar, dan kebanggan bagi pihak perempuan. Kompetisi cinta ini juga mendorong pernikahan muda. Karena telah saling cinta, ditambah dengan kompetisi yang membanganggakan orang tua, pernikahan dilangsungkan, pasangan yang masih belia lupa pada beban yang mereka akan hadapi bukan saja sebagai suami istri melainkan juga sebagai orang tua dari anak-anak mereka. Ketidaksiapan mental lambat laun menimbulkan perselisihan, dan pada akhirnya untuk masalah yang sangat sepele kemudian bercerai. Anak-anak apalagi yang masih bayi dan balita kemudian menjadi korban. Pada kenyataan di lapangan, anak-anak yang berasal dari keluarga yang pernah bercerai berada dalam kondisi kurang gizi.

47

Pewayangan Dewi Rengganis dan Putri Mandalika asal usul mitologi Bau Nyale juga mensimbolisasi bagaimana pengorbanan seorang wanita terhadap orang lain, khususnya kepada pasangannya (unsur non inti budaya Steward). Pengorbanan seorang perempuan Sasak tercermin dari perjuangannya pada ranah domestik dan produktif. Pada bab enam, digambarkan khususnya pada beban kerja perempuan Sasak pesisir yang banting tulang mencari nafkah, beban pengasuhan dibagi kepada anak-anaknya. Beban kerja kemudian menjadikan si ibu menjadi kurang gizi pada saat mengandung, dan pada akhirnya bayi yang dilahirkan juga kurang mendapatkan asupan gizi yang baik, karena kesibukan ibunya.

Mitologi tersebut juga menggambarkan bagaimana posisi laki-laki yang superior di kalangan masyarakat Sasak. Misalnya bagi kaum lelaki Sasak, tidak mau berjalan atau lewat di bawah jemuran. Apalagi jika pakaian yang dijemur itu adalah pakaian dari istrinya, anak perempuannya atau anak lelakinya sekalipun. Seorang suami akan pantang menggunakan pakaian-pakaian istrinya, misalnya kain batik istrinya. Seorang ayah juga akan menghindari makan makanan yang merupakan sisa dari istri dan anaknya. Sehingga pada aturannya, seperti yang juga telah dijabarkan pada bagian bab enam, bahwa ayah akan duluan memakan makanan yang telah dimasak. Setelah ayah makan, barulah istri dan anak-anaknya memakan makanan yang tersisa dari ayahnya. Ini juga bisa memicu munculnya kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang. Pada contoh kasus balita Farhan (Lampiran 2) dapat menjadi refleksi fakta bahwa budaya kawin cerai di masyarakat suku Sasak mendorong terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah persawahan.

Wilayah Sasak pesisir, dikarenakan pengaruh budaya Bugis dan Bajo telah terinternalisasi ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat nelayan Sasak maka mitologi yang dianut pun rupanya mengikuti kepercayaan terhadap mitologi khas masyarakat Bugis dan Bajo. Suku Bajo sebagai suku pelaut mendiami kampung- kampung pesisir di seantero pesisir provinsi NTB seperti di Kabupaten Bima ada di kecamatan Sape yang sebagian besar penduduknya adalah suku Bajo, di Kabupaten Sumbawa ada Desa Pulau Bungin dan Desa Pulau Kaong yang didiami oleh Suku Bajo, di Kabupaten Lombok Utara ada Kampung Jambianom yang merupakan perkampungan Suku Bajo, di kabupaten Lombok Tengah ada Dusun Awang yang didiami suku Bajo dan di Kabupaten Lombok Timur ada desa Tanjung Luar, Desa Labuhan Haji, Desa Maringkik, Desa Ketapang Raya dan Desa Batunampar yang merupakan pusat suku Bajo. Masyarakat Bugis dan Bajo sendiri merupakan dua etnis yang identik dengan budaya laut. Ekologi laut menjadi landasan dari nilai-nilai budaya yang terbangun di masyarakat Bugis dan Bajo. Di dusun Gili Belek sendiri, nilai-nilai masyarakat Bajo kental mewarnai kehidupan sehari-hari mereka. Nilai-nilai ini kemudian juga berperan di dalam menentukan kecenderungan keluarga Sasak memaknai kehamilan, kelahiran dan perawatan anak.

Menurut Nuryaddin (1996)3 dalam kepercayaan suku Bajo dipercayai adanya dunia gaib yang dihuni oleh mahluk halus (pamakitalo) yang kekuatan

3

Nuryaddin dkk, La Ode Taufik. 1996. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Suku Bajo di Kampung Boenaga Kecamatan Lasolo Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari diakses melalui laman : lontar.ui.ac.id/file?file=digital/130307-D%2000633...Analisis.pdf

48

gaibnya dipercaya bisa mendatangkan berkah atau bencana kepada manusia. Mahluk tersebut merupakan jelmaan dari roh nenek moyang, leluhur atau roh dari orang-orang yang sudah meninggal. Dunia gaib tersebut dikendalikan oleh dewata bernama petta sa‟dampalie atau nenek baliang yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Nenek Baliang ini dipercayai kerap menampakkan diri di darat, laut, dan permukaan laut.

Menurut Asba (2010), laut, bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang dari aspek ekonomi, atau laut yang hanya memiliki sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang mengandung nilai-nilai kearifan untuk dimanfaatkan mahluk sejagad ini. Masyarakat Bajo di Bajoe misalnya meyakininya bahwa yang mengatur laut adalah kekuatan roh-roh yang berbentuk makhluk-makhluk gaib. Roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya. Hamparan laut (dalam bahasa Bugis: tasi maloang), selalu ditandai dengan suasana mencekam. Suasana mencekam itu tercermin dalam mitologi yang secara turun-temurun dipelihara oleh masyarakat Bajo. Mitologi tersebut pada akhirnya memunculkan suatu kepercayaan tertentu, ungkapan bahasa dan tabu ( Bugis: pemali) masih ditaati secara patuh dan turut mengendalikan tingkah lakunya.

Beberapa kepercayaan tentang konsep pemahaman laut masyarakat Bajo yang didapatkan dalam bentuk tradisi lisan (oral tradition) antara lain adalah sebagai berikut: (1) Mitos Nabi Hidere‟, (2) Mitos Sawerigading, dan (3) Kepercayaan Tentang Makhlus Halus, misalnya warga desa Bajoe Kabupaten Bone percaya bahwa di beberapa tempat tertentu di laut ada yang menjaganya. Tempat-tempat itu antara lain adalah sebagai berikut: (1) Cella waramparang, yaitu permukaan hamparan air di mana sering muncul air yang kemerah-merahan, (2) Hantu laut yaitu roh orang yang mati di laut sering datang mengganggu perahu. Roh itu muncul saat hujan rintik-rintik disertai dengan kilat dan kelihatan sebagi kunang-kunang di ujung atas tiang layar. Datang pula pada waktu malam saat bulan bersinar remang-remang, (3) Taka‟dewata, yaitu sebuah batu karang di laut yang tidak menetap tempatnya, sering mencelakakan pelaut yang sedang berlayar. Apabila batu karang tersebut tidak mau merusak atau mencelakakan pelaut, ada semacam lilin berjalan berputar-putar di atas permukaan laut dekat perahu, (4) Taka‟bekkeng, yaitu bentuk suatu karang yang melingkar di dasar laut. Para pelaut sering menemukan batu yang melingkar seperti jangkar. Ketika akan berangkat, jangkar diangkat tetapi mata jangkar terpegang oleh taka‟bekeng tersebut, sehingga tak dapat bergerak dari tempatnya. Dalam keaadan demikian, nakhoda harus memerangi atau membuka ikatan tersebut dengan jalan doa-doa atau kekuatan magis (Asba, 2010)4.

Pemaknaan orang-orang Bajo dan Sasak Pesisir mengenai kesehatan kaitannya dengan status gizi balita erat kaitannya dengan makna perempuan khususnya perempuan yang sedang mengandung. Menurut Harjati et al., (2012)

4

Asba, A. Rasyid. 2010. Nilai-Nilai Kebaharian Masyarakat Bajo dalam Pengembangan Wisata Bahari. Diakses melalui laman : Ml.Scribd.Com/.../NILAI-NILAI-KEBAHARIAN-MASYARAKAT-

49

bahwa ibu hamil dikatakan sehat jika dapat melakukan pekerjaan rumah tangga terlihat segar, dapat mengurus anak, kuat makan, tidak mengidam dan tidak sakit kepala. Seperti yang diketahui bahwa perempuan Bajo dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan Bajo dan pada akhirnya perempuan Sasak pesisir menduplikasi makna ini, dianggap menguasai ranah produktif maupun ranah domestik. Beban kerja yang berat menyebabkan kehamilan menjadi diabaikan. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan kelak. Kasus Susanto (Lampiran 2) balita berumur lima tahun merupakan kasus yang menunjukkan bagaimana konstruksi ibu yang dituntut berperan ganda menyebabkan anak-anaknya mengalami kasus Gizi Buruk.