• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini berupaya memahami fenomena booming kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi di suku Sasak. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian latar belakang bahwa kasus booming terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Kejadian tidak hanya di wilayah pesisir (coastal) yang rentan kemiskinan dan rendah pada pengelolaan sanitasi, melainkan kasus gizi buruk dan gizi kurang juga terjadi di masyarakat Sasak yang tinggal di persawahan (lowland). Atas dasar inilah penelitian ini ingin memahami akar penyebab munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang terjadi di komunitas suku Sasak. Akar penyebab tersebut dalam penelitian ini dicoba diungkap dengan berpijak pada teori Weber mengenai pemahaman yang mendalam terhadap tindakan sosial dan rasionalitas di balik tindakan sosial pengasuhan balita. Kemudian, teori adaptasi budaya Steward diaplikasikan untuk memberi penjelasan kausalitas dari rasionalitas tersebut, serta kenyataan bahwa beragam kebijakan pembangunan dan pengentasan gizi buruk dan gizi kurang diduga ikut berkontribusi terhadap tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada rumah tangga suku Sasak baik di pesisir maupun di persawahan.

Status gizi di dalam penelitian ini dipahami sebagai faktor yang sangat ditentukan oleh konsumsi pangan dan pola pengasuhan anak. Semakin baik kondisi pangan yang dikonsumsi (baik secara kualitas maupun kuantitas) serta semakin baik pola pengasuhan yang didapat semakin baik status gizi anak. Konsumsi pangan dan pola pengasuhan anak yang dimaknai dalam penelitian ini erat dengan karakteristik rumahtangga antara lain jumlah pernikahan ayah dan ibu, usia pertama kali ibu menikah serta jumlah anak di dalam rumahtangga.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada point kedua, pemahaman mengenai fenomena kasus gizi buruk dan gizi kurang dianalisis dengan menggunakan teori Weber mengenai rasionalitas dan kemudian penjelasan mengenai perbedaan tindakan sosial antara rumah tangga pesisir dan persawahan terkait dengan pola pengasuhan balita sehingga terjadi kasus gizi buruk dan gizi kurang baik di lokasi studi. Teori Weber di dalam penelitian ini memperhitungkan pemaknaan subyektif individu beserta orientasinya. Analisa berdasarkan tipe ideal Weber mengenai tindakan sosial dan rasionalitasnya serta pengembangan teoritisasi oleh Kalberg antara lain pada gagasan dasar Weber yaitu makna dari tindakan sosial dalam bentuk rasionalitas yang berorientasi nilai dan didasarkan pada pembenaran nilai-nilai yang ditradisikan, serta alasan emosi dan afeksi. Kemudian, rasionalitas instrumental yakni tindakan yang didorong oleh harapan- harapan material atau berupa manfaat ekonomi. Selain pada tipe dasar tersebut, analisa kemudian dikembangkan dengan menggunakan tipe rasionalitas varian baru dengan tetap berlandaskan pada konseptualisasi yang dibangun oleh Weber, antara lain: (1) Practical Rationality atau rasionalitas praktik, (2) Theoritical Rationality atau rasionalitas teoritik, (3) Formal Rationality atau rasionalitas formal dan (4) Substantive rationality atau rasional substantif.

Pemaknaan yang diukur dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian antara lain: (1) pemaknaan terhadap kehamilan termasuk pemaknaan perawatan kehamilan, tindakan mematuhi taboo, kemudian juga mengenai pemaknaan proses kelahiran dan pola pengasuhan balita. Misalnya makna mengenai pihak yang

28

dipercayakan menangani proses kelahiran, dan pemaknaan ini dipahami dengan melihat siapa yang dianggap paling baik oleh ibu di dalam mengasuh anak, menyiapkan makanan, merawat balitanya di saat sakit, dan mengasuh balita, (2) pemaknaan terhadap tindakan pernikahan dini dan kawin cerai yang dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai konstruksi nilai-nilai budaya dan ditopang oleh struktur sosial serta kelembagaan sosial. Misalnya pemaknaan tindakan kawin cerai terkait dengan makna tindakan poligami Tuan Guru sebagai pemimpin lokal yang menjadi sarana penguatan fenomena kawin cerai.

Kemudian, teori ekologi budaya Steward menjadi gagasan pendukung yang akan membantu menjelaskan kausalitas terjadinya perbedaan rasionalitas antara rumah tangga Sasak di wilayah pesisir maupun persawahan. Menurut Steward, bahwa inti budaya (cultural core) merupakan hasil bentukan dari adaptasi manusia dengan bentuk ekologi yang dihadapinya. Inti budaya ( cultural core ) di dalam penelitian ini dimaknai sebagai tiga unsur budaya yang terbentuk akibat hasil adaptasi ekologi yang dihadapi antara lain teknologi, kelembagaan ekonomi, dan demografi kependudukan. Teknologi atau dalam istilah Steward material culture menunjukkan bagaimana komunitas menciptakan pola-pola perilaku tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungan serta perubahannya. Kemudian, pola-pola perilaku yang muncul dari proses adaptasi tersebut memunculkan kelembagaan ekonomi sebagai gambaran umum dari pola hidup masyarakat. Lingkungan juga akan memunculkan model tertentu mengenai gambaran demografi dari komunitas sebagai hasil adaptasi ekologi dalam bentuk jumlah penduduk, kelahiran, kematian dan pola-pola pemukiman (settlement pattern).

Di dalam penelitian ini, selain konsep teoritis Steward mengenai inti budaya (cultural core), juga melihat dari sisi peran non core budaya yakni: (1) religi, (2) nilai-nilai kolektif, (3) ritual, dan (4) adat istiadat. Beberapa unsur non core budaya tersebut bersama-sama dengan core budaya ditengarai juga mendorong terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Unsur-unsur non core juga diasumsikan menjadi titik pembeda antara gambaran tindakan yang menjadi penyebab kasus gizi buruk dan kurang di Sasak Pesisir dan persawahan.

Analisis sosiologis menekankan pada kajian relasi sosial di dalam keluarga, dan kelompok sosial masyarakat kaitannya pada kasus gizi buruk dan gizi kurang.. Tulisan ini meminjam konsep Blau mengenai parameter nominal yakni membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas untuk membedah peran kelompok-kelompok sosial terhadap munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Analisa kelompok sosial antara lain secara kelompok etnis dan kelompok masyarakat berdasarkan agroekologi yang dihadapi. Misalnya mengkaji kelompok masyarakat Sasak Pesisir, Sasak Persawahan, dan masyarakat etnis Bugis dan Bajo. Struktur sosial di dalam penelitian inijuga menekankan pada analisa relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam kelembagaan perkawinan yang pada akhirnya mengarahkan pada ketidakseimbangan peran ibu dan Ayah di dalam keluarga inti kaitannya dengan pola asuh balita, termasuk juga bagaimana sistem strategi ekonomi rumahtangga dibangun dan dijalankan, bagaimana pembagian kerja di dalam keluarga, kemudian bagaimana sumberdaya yang tersedia bagi rumahtangga diakses dan dikontrol oleh anggota rumahtangga baik istri, suami maupun anak-anak khususnya dalam hal pangan, karena penelitian ini mengasumsikan akibat

29

ketimpangan pembagian peran di dalam pengasuhan anak dan kekuasaan di dalam rumah tangga serta pasca perceraian menciptakan bentuk ketidakadilan dan pada akhirnya berdampak pada status gizi anak.

Selain menganalisa sistem sosial, sesungguhnya juga menganalisa bagaimana intervensi negara melalui beragam bentuk kebijakan dalam hal pembangunan pertanian dan upaya pemberantasan gizi buruk dan gizi kurang berperan di dalam memberikan reaksi berantai terhadap kasus gizi buruk yang terjadi baik di Sasak pesisir maupun Sasak di persawahan.

Maka dengan kerangka pemikiran ini diharapkan diperoleh pemahaman mengenai kondisi gizi buruk dan gizi kurang di masyarakat Sasak dan memperhitungkan konsep gagasan idiil yang menjadi landasan filosofis dari pola pengasuhan bayi dan balita. Sehingga pada akhirnya dengan memperhatikan aspek kelokalitasannya yang terkait dengan kekuatan rasionalitas, etika moralitas, dan struktur sosial serta kelembagaan sosial dapat dipahami secara mendalam mengenai akar masalah munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada masyarakat suku Sasak. Gambar alur pemikiran penelitian ini, divisualisasikan pada Gambar 2 pada halaman selanjutnya.

3.2Hipotesa Pengarah

Pengasuhan balita terikat dengan nilai-nilai budaya (baik inti budaya dan non inti budaya yang merupakan hasil adaptasi sistem ekologi yang dihadapi). Selain dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tindakan juga dapat dipahami sebagai kekuatan rasionalitas yang sangat subyektif pada masing-masing individu dan kemudian memotivasi setiap individu untuk mengarahkannya pada tindakan yang nyata. Unsur-unsur tersebut di atas kemudian berakibat pada perbedaan dalam memaknai kehamilan, perkawinan, pengasuhan balita, dan pola konsumsi pangan. Di dalam penelitian ini kasus gizi buruk dan gizi kurang juga bersumber dari reaksi berantai atas perubahan yang berasal dari luar sistem sosial yakni kebijakan pembangunan pertanian dan kesehatan.

3.3Definisi Konseptual

1. Sistem Sosial dimaknai di dalam penelitian ini sebagai intergrasi dari struktur sosial, dan orientasi nilai budaya. Struktur sosial dijabarkan antara lain stratifikasi sosial, jaringan kekerabatan, dan posisi laki-laki dan perempuan di dalam keluarga atau rumahtangga. Sementara orientasi nilai budaya terbagi atas etika sosial, kepercayaan dalam hal ini menyangkut ritual, pantangan, dan mitos.

2. Struktur sosial adalah bentuk relasi yang terbangun di dalam suatu sistem sosial secara mikro (keluarga) dan makro (komunitas). Struktur sosial di dalam penelitian ini melihat secara parameter nominal yakni membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas. Antara lain membagi berdasarkan agroekologi yang dihadapi, sistem religi dan etnisitas, yakni komunitas Sasak Persawahan, Sasak Pesisir, dan komunitas Bajo Bugis, Kelompok Tuan Guru, dan Kelompok Nelayan

30

sabi-punggawa. Secara mikro, struktur sosial dilihat sebagai bentuk relasi laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga kaitannya dengan pola asuh balita.

3. Etika moralitas adalah keyakinan relatif terhadap hal-hal yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, kepada apa yang seharusnya ada dan apa yang seharusnya tidak ada yang menjadi standar normatif untuk berperilaku dalam kehidupan pribadi dan dalam bermasyarakat.

31

Sistem Sosial Sasak Pesisir Sistem Sosial Sasak

Persawahan

Status Gizi Balita : 1. Karakteristik rumah tangga balita 2. Cara pemberian makan balita

3. ART yang dipercaya memberikan MP ASI

4. Frekuensi Pernikahan Ayah dan Ibu 5. Jumlah anak per Rumah Tangga

6. Usia ibu dan ayah saat pertama kali menikah

1. Pemaknaan terhadap tindakan

pemeliharaan

kehamilan dan patuh terhadap Pantangan/taboo 2. Pemaknaan terhadap pola pengasuhan balita 3. Pemaknaan terhadap tindakan pernikahan dini dan kawin cerai

Sistem Nafkah Rumahtangga Teori Weber dan Kalberg

mengenai Tindakan dan Rasionalitas :

1. Rasionalitas Berorientasi Nilai (value rationality) 1.1. Rasionalitas Theoritikal (Theoritical rationality) 1.2. Rasionalitas Substantive (substantive rationality) 2. Rasionalitas Instrumental (Means-ends rationality) 2.1. Rasionalitas Praktikal (practical rationality) 2.2. Rasionalitas Formal (formal rationality)

Teori Ekologi Budaya (Teortisasi Julian Steward)

Culture Core :

(1) Teknologi ; (2) Organisasi sosial ; (3) Demografi

Non Culture Core :

(1) Religi; (2) Nilai-nilai Kolektif ; (3) Ritual ; (4) Adat Istiadat

Kasus Gizi Buruk/Kurang di Dua Wilayah

Gambar 2. Kerangka Berfikir Penelitian Kebijakan Pembangunan Pertanian dan

Kesehatan

Analisa Struktur Sosial: Relasi Laki-laki dan Perempuan di dalam rumah tangga kaitannya dengan pengasuhan balita

32

4. Rasionalitas praktikal (practical rationality) yakni rasionalitas atas tindakan yang dilakukan berdasarkan kalkulasi atas pencapaian tujuan (means-ends calculation), bersifat pragmatis, menjadi referensi dalam proses mental melalui kepentingan/interest dan secara langsung mengarahkan pada tindakan individu.

5. Rasionalitas teoritikal (theoritical rationality) yakni rasionalitas yang memperturutkan proses kognitif yang abstrak, menjadi referensi dalam proses mental melalui nilai-nilai, namun tidak langsung mengarahkan pada tindakan nyata individual.

6. Rasionalitas formal (formal rationality) yakni rasionalitas, yang melibatkan pada tujuan-tujuan yang telah diperhitungkan, langsung mengarahkan pada tindakan nyata individu, dan menjadi referensi dalam proses mental melalui aturan-aturan dan hukum.

7. Rasionalitas substantif (substantif rationality) yakni rasionalitas yang mengesampingkan realitas dan mengutamakan nilai-nilai, langsung mengarahkan pada tindakan nyata individu, dan yang menjadi referensi dalam proses mental melalui nilai-nilai.

8. Stratifikasi sosial adalah bentuk-bentuk pelapisan sosial yang ada pada lokasi penelitian, baik yang ada di wilayah persawahan maupun di wilayah pesisir.

9. Jaringan kekerabatan adalah bentuk-bentuk hubungan kekeluargaan. Pada penelitian ini jaringan kekerabatan dibagi atas dua bagian yakni yang terkait dengan jaringan kekeluargaan inti (nuclear family) dan keluarga luas (non nuclear family).

10.Keluarga inti (nuclear family) adalah yaitu rumahtangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan nenek atau papu‟.

11.Keluarga luas (non nuclear family) terdiri dari bentuk joint family (rumahtangga yang terdiri dari lebih dari satu keluarga), extended family (rumahtangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, nenek, dan kakek), matrifocal family (rumahtangga yang terdiri dari ibu dan anak tanpa ayah). 12.Inti budaya adalah unsur sistem sosial yang sangat responsif terhadap perubahan dan adaptasi. Inti budaya terbagi atas tiga unsur yakni teknologi, kelembagaan ekonomi, dan demografi

13.Non inti budaya adalah unsur sistem sosial yang relatif kurang responsif terhadap perubahan dan adaptasi. Non inti budaya terbagi atas religi, nilai- nilai kolektif, ritual, dan adat istiadat.

3.4Definisi Operasional

1. Kasus gizi buruk dan gizi kurang diamati dari umur anak sejak 0 sampai 59 bulan baik pada anak perempuan, maupun anak laki-laki. Kondisi ini dilihat melalui KMS balita.

2. Klasifikasi dan penentuan status gizi balita (berdasarkan KMS) menurut WHO-NCHS adalah interpretasi dari keadaan gizi anak dengan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB yang digunakan pada survei khusus, akan menjadikan kesimpulan bisa lebih tajam. Adapun kesimpulan dari penilaian indikator status gizi adalah sebagai berikut: (a) Jika BB/U dan

33

TB/U rendah sedangkan BB/TB normal, kesimpulannya keadaan gizi anak saat ini baik, tetapi anak tersebut mengalami masalah kronis, karena berat badan anak proporsional dengan tinggi badan , (b) BB/U normal, TB/U rendah, BB/TB lebih, kesimpulannya anak mengalami masalah gizi kronis dan pada saat ini menderita kegemukan (Overweight) karena berat badan lebih dari proporsional terhadap tinggi badan, (c) BB/U, TB/U dan BB/TB rendah, anak mengalami kurang gizi berat dan kronis. Artinya pada saat ini keadaan gizi anak tidak baik dan riwayat masa lalunya juga tidak baik, (d) BB/U, TB/U dan BB/TB normal, kesimpulannya keadaan gizi anak baik pada saat ini dan masa lalu, (e) BB/U rendah, TB/U normal, BB/TB rendah, kesimpulannya anak mengalami kurang gizi yang berat (kurus), keadaan gizi anak secara umum baik tetapi berat badannya kurang proporsional terhadap Tinggi badannya karena tubuh anak jangkung 3. Karakteristik keluarga diukur dengan melihat umur ayah saat ini, umur

ayah saat menikah, umur ibu saat ini, umur ibu saat menikah, tingkat pendidikan ibu dan ayah, jumlah anggota keluarga, status pekerjaan ayah dan status pekerjaan ibu, serta status ekonomi keluarga balita.

4. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tinggal di satu atap, dan makan dari satu dapur.

5. Status ekonomi keluarga balita adalah keadaan keluarga balita yang diukur dari tingkat pendapatan anggota keluarga yang disumbangkan untuk pembiayaan rumahtangga selama sebulan, pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang pangan dan non pangan.

6. Perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) ibu, yang diamati berdasarkan frekuensi pemeriksaan kehamilan, jenis pemeriksaan, dengan siapa ibu mempercayakan pemeriksaan kehamilannya, jenis pengobatan yang diperoleh dan gangguan selama kehamilan. Kemudian, dengan siapa mereka percayakan untuk melakukan perawatan kehamilan misalnya kepada dokter, bidan atau dukun.

7. Cara pemberian makan balita adalah bagaimana cara ibu memberikan makanan tambahan kepada balitanya. Terbagi dalam tiga cara yakni disuapi dengan sendok bersih, disuapi dengan tangan dan dipakpak. 8. Anggota rumahtangga yang dipercaya untuk memberikan makanan

tambahan atau MPASI adalah siapa anggota rumahtangga yang paling dipercaya untuk memberikan makanan tambahan atau MPASI selain ibu kandung balita. Dikategorikan menjadi empat yakni nenek dari ibu, nenek dari ayah, ayah, dan kakak balita.

9. Status pekerjaan ayah dan ibu adalah pekerjaan utama ayah dan ibu saat penelitian berlangsung.

10.Umur ayah dan ibu balita adalah umur biologis yang dicapai ibu dan ayah pada saat wawancara dilakukan. Umur yang diambil adalah umur penuh atau berdasarkan ulang tahun terakhir.

34

4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Paradigma Penelitian dan Pilihan Paradigma

Post-positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Bertolak dari pemahaman tentang paradigma penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan paradigma post- positivisme yang memandang realitas secara kritis dan memandang realitas sebagai sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk diamati meskipun tidak secara sempurna. Dengan demikian, maka penelitian ini menggunakan kombinasi analisa yaitu analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif dilakukan sebagai penelitian pendahuluan untuk menemukan dan memastikan variabel- variabel penelitian juga digunakan untuk mempelajari bagaimana nilai budaya berperan di dalam pemaknaan terhadap kesehatan ibu dan anak, serta pola konsumsi pangan keluarga. Juga bagaimana struktur sosial, baik sistem pelapisan sosial, maupun jejaring kekerabatan mampu berperan di dalam kasus gizi buruk dan gizi kurang di dua komunitas berbeda. Sedangkan analisa kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi representasi populasi dan digunakan untuk mempelajari sejauh mana realitas sosial nilai budaya gizi masyarakat di dua komunitas berbeda itu terjadi.

Analisa kuantitatif bertujuan untuk menggambarkan gizi buruk dan gizi kurang di tiap komunitas dengan menganalisa gambaran status gizi anak di dua komunitas. Analisa kuantitatif dijabarkan pada tabel tabulasi silang untuk mempermudah frekuensi di tiap kategori.

Analisa kualitatif menjelaskan benang merah dari data-data kuantitatif yang diperoleh. Analisa kualitatif yang bersifat fenomenologis ini akan mendalami konstruksi nilai etika dan moralitas mengapa rumahtangga dari komunitas tertentu memilih (preferensi) metode tertentu dalam perawatan kehamilan, dan pola pemberian nutrisi kepada anak yang bergizi buruk di dua komunitas. Kemudian, menelaah jenis pantangan/pamali memakan makanan tertentu, dan memahami taboo yang dipelihara nilai-nilainya dan kaitannya terhadap kasus gizi buruk dan gizi kurang di komunitas Sasak pesisir dan Sasak persawahan. Data kualitatif juga melihat relasi sosial yang terjadi pada jaringan kekerabatan dan perannya pada pemeliharaan gizi buruk atau bisa jadi sebagai kelembagaan yang mendukung pemenuhan gizi balita.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada dua komunitas Sasak yaitu yang berada di wilayah pesisir (coastal) dan wilayah persawahan (lowland) di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB. Dipilih dua desa di wilayah pesisir dalam satu kecamatan dan dua desa di wilayah persawahan dalam satu kecamatan. Kedua desa dalam setiap kecamatan pada masing-masing wilayah dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan kedua desa tersebut memiliki angka tertinggi dalam jumlah balita kasus gizi buruk dan gizi kurang. Kedua desa di wilayah pesisir tesebut adalah Paremas, dan Batu Nampar, Kecamatan Jerowaru,

35

Kabupaten Lombok Timur, sedangkan untuk desa di wilayah persawahan adalah Desa Kotaraja, dan Loyok, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2012, sebelumnya dilakukan pra penelitian pada bulan Desember 2011.

Unit analisa penelitian ini yakni komunitas suku Sasak di wilayah pesisir dan wilayah persawahan. Namun, mengingat keterbatasan waktu dan biaya maka penelitian ini menggunakan data rumahtangga yang memiliki anak bergizi buruk dan gizi kurang untuk mendalami konteks sosial masyarakat Sasak.

4.3 Sumber, Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer yakni terdiri dari data kuantitatif diperoleh secara langsung dari responden rumahtangga terpilih dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari informan kunci yang dipilih secara sengaja dengan memperhatikan perannya di masyarakat dan pemahamannya yang mendalam mengenai topik yang dikaji. Data kuantitatif mengenai kondisi status gizi buruk dan gizi kurang diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan bantuan kuesioner kepada responden terpilih. Sebagai pembanding data juga diperoleh dari yang berstatus gizi normal. Data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan dan FGD dilakukan untuk memperoleh gambaran pandangan dari pihak-pihak terkait, dan masyarakat lokal mengenai kasus gizi buruk. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sejumlah instansi terkait yaitu instansi pemerintah (Dinas Kesehatan baik tingkat provinsi dan kabupaten), dan swasta (LSM), mengenai bentuk kebijakan yang telah dibangun untuk mengurangi kasus gizi buruk, dan dampaknya terhadap kasus gizi buruk itu sendiri.

4.4 Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel data kuantitatif dilakukan dengan cara Simple cluster sampling atau pengambilan sampel gugus sederhana (Singarimbun, 1987) , dengan langkah-langkah sebagai berikut

1. Menentukan sampling frame berdasarkan daftar nama balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang. Sumber data untuk sampling frame diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB.

2. Dari data yang ada kemudian di cluster atau dikategorikan menjadi dua jenis kumpulan responden, yakni kategori responden dari Sasak persawahan dan kategori Sasak pesisir. Jumlah sampel di masing-masing komunitas sebesar 30 balita gizi buruk dan kurang untuk komunitas Sasak pesisir dan 30 balita gizi buruk dan gizi kurang untuk komunitas Sasak persawahan. Sebagai pembanding diambil juga sampel dengan status gizi normal sebanyak 15 balita untuk masing-masing komunitas.

36

4.5 Teknik Analisis Data

Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis melalui dua pendekatan yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk data kuantitatif dilakukan tabulasi silang untuk melihat gambaran kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta gizi normal pada dua komunitas berbeda. Data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan alasan secara filosofis mengenai faktor pembeda yang menyebabkan booming kasus gizi buruk dan gizi kurang.

37