• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. KONDISI DAN STATUS GIZI BALITA

8.2 Status Gizi Balita

Masalah gizi sangat erat kaitannya dengan masalah pangan dan kesehatan. Adapun faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap status gizi balita adalah konsumsi zat gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya masalah gizi pada anak balita antara lain disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun gizinya. Salah satu penyebabnya adalah pendapatan yang rendah sehingga menyebabkan terbatasnya daya beli. Kemudian pola asuh anak balita juga merupakan faktor penyebab timbulnya berbagai penyakit yang akan berpengaruh terhadap status gizi, didukung pula oleh faktor lingkungan tempat tinggal.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur (2011) mengenai jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Lombok Timur, ditemukan fakta bahwa kecenderungan yang terjadi adalah jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah pesisir relatif lebih banyak dibandingkan dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah persawahan. Berikut ilustrasi data mengenai perbedaan jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang :

Tabel 26. Perbandingan Jumlah Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Wilayah Persawahan dan Pesisir berdasarkan Jenis Kelamin Balita, Kabupaten Lombok Timur, 2011

Variabel Jenis Kelamin Balita dengan gizi buruk dan kurang Wilayah Total Pesisir (Kecamatan Jerowaru) Persawahan (Kecamatan Sikur) n % n % n % Laki-laki 57 26,8 48 22,5 105 49,3 Perempuan 65 30,5 43 20,2 108 50,7 Total 122 57,3 91 42,7 213 100

Sumber : Data Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang, Kabupaten Lombok Timur, 2011

Berdasarkan data tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa kasus gizi buruk dan gizi kurang cenderung banyak di pesisir dibandingkan dengan kasus di persawahan. Di wilayah Pesisir terdapat 122 kasus gizi buruk dan gizi kurang atau

110

sekitar 57,3 persen dari total kasus di dua kecamatan di wilayah Lombok Timur. Sementara di persawahan berjumlah 91 kasus atau sekitar 42,7 persen dari total kasus.

Mengacu pada konsep Weber mengenai rasionalitas, seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya fakta penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di pesisir cenderung lebih banyak merupakan akibat dari dari dorongan rasionalitas instrumental akibat dari adaptasi ekologi dan jenis sumberdaya pesisir yang tidak dapat diprediksi mengakibatkan anak dimaknai secara ekonomi dan pola pengasuhannya khususnya pemberian makanan dan jenis makanan menurut argumen efisiensi. Terkait dengan unsur masyarakat yang rasional menurut Ritzer pada tinjauan pustaka, bahwa efisiensi merupakan unsur penting dari rasionalitas, maka untuk meningkatkan efisiensi rumah tangga maka para ibu balita menyerahkan pola pengasuhan balita kepada anak yang lebih tua termasuk penyiapan makanan. Anak yang belum sepenuhnya siap merawat adiknya dengan pengetahuan yang minim pula kemudian menyiapkan makanan seadanya, cepat saji atau instant dengan cita rasa yang dijamin anak-anak maupun balita menyukainya (karena penambahan penyedap rasa kimia) antara lain mie instant dan jajanan ringan. Dan pada akhirnya tindakan efisiensi tersebut mengakibatkan rentannya balita jatuh pada kondisi gizi buruk/kurang.

Fakta pada tabel 25 juga memberikan informasi penting bahwa unsur demografi rumah tangga pesisir memperlihatkan perbedaan jumlah anak dibandingkan dengan persawahan. Ini merupakan cerminan dari upaya subsistensi atau pengelolaan ekonomi rumah tangga (merupakan unsur inti budaya Steward) ditambah dengan kondisi sanitasi lingkungan pesisir yang rendah rupanya menyebabkan jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang cenderung lebih banyak. Kenyataan ini juga didukung dengan pemaknaan rumah tangga pesisir yang memaknai hakikat hidup terhadap ruang dan waktu serta dengan alam sekitarnya yang tidak memberikan kepastian nafkah (karena jenis sumberdayanya) kepada rumah tangga.

Pada bagian selanjutnya akan dijabarkan mengenai perbandingan status gizi balita baik di persawahan maupun di wilayah pesisir. Landasan dari perbandingan status gizi balita di pesisir maupun persawahan di penelitian ini yakni aspek pola asuh balita di wilayah pesisir maupun persawahan. Perbandingan akan memfokuskan pada dua indikator penting, antara lain : (1) cara pemberian makanan pendamping ASI oleh ibu kepada balita, (2) siapa anggota keluarga yang dipercaya untuk memberikan makanan pendamping ASI.

Indikator cara pemberian makan pada penelitian ini dianggap sebagai indikator penting dalam memahami status gizi balita karena adanya kenyataan di lapangan bahwa pemberian makanan pendamping ASI diberikan dengan cara di pakpak oleh Ibu dan Papu‟.

111

Tabel 27. Cara Memberikan Makanan Tambahan Balita Berdasarkan Status Gizi Balita Buruk/Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 Cara ibu memberi makan pada balita dengan Status Gizi Balita kurang/ buruk Komunitas Total Pesisir Persawahan

Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear

n % n % n % n % n % Disuapi dengan sendok bersih 7 33 2 22 5 46 7 37 21 35 Disuapi dengan tangan dan di pakpak 14 67 7 78 6 54 12 63 39 65 Total 21 100 9 100 11 100 19 100 60 100

Data tersebut di atas, menunjukkan bahwa pemberian makan balita dengan cara disuapi dengan tangan dan dipakpak menjadi cara dominan yang dipakai para ibu untuk balitanya. Di Pesisir pemberian makan dengan cara disuapi dengan tangan dan dipakpak sebesar 67 persen oleh tipe rumah tangga nuclear family. Demikian halnya dengan kondisi di persawahan, pemberian makan dengan tangan dan dipakpak juga cenderung dilakukan oleh rumahtangga balita sebesar 63 persen dari tipe rumahtangga non nuclear family. Beberapa informan menyampaikan bahwa selain karena merupakan suatu kebiasaan atau bagi Weber sebagai tindakan tradisional, pakpak juga dimaksudkan untuk alasan kepraktisan ibu dan papu‟ agar tidak repot menyediakan makanan olahan khusus untuk balita yang harus melalui tahapan pengelolahan seperti dilumatkan hingga halus.

Jika kita menggunakan unsur budaya Steward, maka kebiasaan memberikan nasi pakpak kepada bayi di usia awal kehidupannya bisa jadi merupakan akibat dari sosialisasi nilai-nilai kolektif masyarakat Sasak mengenai pengasuhan anak. Tradisi pemberian nasi pakpak dianggap sebagai teknologi rumah tangga dalam pengasuhan anak yakni dengan bentuk mekanisme ibu dan papu‟ menyediakan makanan pendamping bagi bayi. Pemberian nasi pakpak juga ditengarai atas kuatnya kelembagaan sorohan (dalam kacamata Weber yang dimodifikasi Kalberg, tindakan cara pemberian makan kepada balita ini sebagai bentuk rasionalitas substantif, yakni yang didominasi rasionalitas berorientasi nilai dan karena tindakan tersebut ditradisikan) atau keluarga luas dalam membantu setiap rumah tangga yang rapuh akibat perceraian khususnya di persawahan. Makna bahwa dengan pemberian nasi pakpak secara cepat memberikan solusi kepada ibu untuk menenangkan anaknya yang lapar dan memudahkan dalam penyediaan makanan mencerminkan pemahaman konsepsi rumah tangga khususnya ibu dan papu‟ terhadap ruang dan waktu.

Pada penelitian Nian dan Maspaitella (1972-1973) di Nusa Tenggara Barat menemukan bahwa 46 persen dari respondennya masih diberi nasi yang dikunyah terlebih dahulu. Kebiasaan memberikan makanan yang dikunyakan kepada bayi merupakan pula salah satu faktor penting yang memungkinkan timbulnya

112

penularan penyakit infeksi, yang secara tidak langsung dapat pula mempengaruhi gizi anak. Pakpak sangat berbahaya bagi bayi karena makanan yang diberikan menjadi tidak higienis, dan rentan menjadi sumber penyakit bagi anak. Secara kualitatif, hasil penelitian Ronoatmodjo, 1996 dalam Swasono (1998) menemukan bahwa alasan budaya yang menonjol sebagai penyebab kematian neonatal pada bayi di wilayah Lombok Timur adalah pemberian nasi pakpak waktu ia baru lahir, yang berjumlah hampir dua kali lipat dari pada bayi yang tidak diberi nasi pakpak pada waktu lahir (Ronoatmodjo, 1996).23 Menurut Handayani, et al., (2011) pemberian nasi pakpak sesungguhnya bukan hanya terkait masalah budaya, akan tetapi juga karena keterbatasan waktu sang Ibu menyiapkan makanan karena perempuan Sasak memegang peran produktif.

UNICEF (1992) berpendapat bahwa pemberian makanan secara tidak higienis merupakan salah satu penyebab dari munculnya kasus gizi kurang pada bayi dan balita. Praktek pemberian makan yang tidak higienis seperti pemberian nasi pakpak akan menyebabkan infeksi berbahaya pada bayi dan balita. Air dan makanan yang tidak sehat merupakan media bagi kuman penyakit yang berbahaya.

Pemberian makanan tambahan pada balita terlalu dini merupakan fakta penelitian yang sangat penting selain juga cara pemberian makanan (nasi pakpak) yang secara medis tidak higienis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan memberikan nasi lumat yang dipak-pak ibunya di usia bayi baru satu bulan merupakan suatu kebiasaan di masyarakat Sasak. Kenyataan ini terjadi karena adanya kebiasaan di kalangan masyarakat Sasak yang disertai kepercayaan bahwa anak bayi menangis dimaknai karena lapar. Dengan pemberian makan lumat bayi dipercaya akan bertambah kuat, tidak rewel, dan cepat besar. Hasil penelitian HKI (2002) dan Handayani (2011) juga serupa dengan hasil penelitian ini. HKI menemukan fakta bahwa di pedesaan Lombok hampir sebagian besar para balita (84 persen) sudah mendapatkan makanan tambahan saat usianya baru empat hingga lima bulan, sementara 12 persen ibu sudah memberikan makanan tambahan kepada bayinya diusia anak baru menginjak dua bulan. Menurut Handayani di wilayah Lombok Timur anak bayi usia dua sampai empat bulan sudah diberikan makanan pendamping ASI.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa papu‟ merupakan ujung tombak para ibu balita yang dipercaya mengurusi anak-anaknya saat para ibu balita bercerai dan menuntut para Ibu untuk mencari nafkah. Tabel berikut menunjukkan kecenderungan tersebut.

Tabel 28 berikut menunjukkan bahwa pada komunitas Sasak pesisir kategori anggota keluarga yang dipercayakan untuk memberikan makanan pendamping

23

Kebiasaan memberi nasi pak-pak pada bayi dilakukan dengan cara mengunyah dulu nasi hingga lembut oleh sang ibu, lalu dikeluarkan dari mulut untuk kemudian diberikan kepada bayi. Sebagian nasi pak-pak diperam dahulu agar lebih lembut dan sebagian lagi langsung diberikan kepada bayi. Hasil kajian Ronoatmodjo menunjukkan bahwa di kecamatan Keruak, Lombok Timur, persentasi kebiasaan makan nasi pak-pak ini masih besar (45%). Dari jumlah ini, kurang dari seperempat jumlah bayi (22%) diberi nasi pak-pak yang tidak diperam, sedangkan selebihnya (23%) mendapat nasi pak-pak yang sudah diperam. Kebiasaan ini telah berlangsung turun temurun berdasarkan keyakinan bahwa dengan memberi makan nasi pak-pak ini, bayi takkan menjadi isah (rewel), bisa rukun dan dekat dengan ibunya, juga tubuhnya akan lekas gemuk. Namun nasi pak-pak ini adalah makanan padat yang secara mekanik dapat menyebabkan obstruksi usus bayi dan enterokolitis yang berakibat kematian.

113

ASI di tipe rumah tangga nuclear family, untuk balita gizi buruk dan gizi kurang adalah selain nenek/papu‟ dari ayah dan ibu berjumlah 48 persen, juga diserahkan kepada ayah dan kakak balita (52 persen). Kakak balita yang relatif belum dewasa sudah diberikan tanggung jawab untuk merawat adiknya yang masih balita. Kemampuan dan pengetahuan kakak balita yang masih minim menyebabkan para balita di pesisir rentan mengalami gizi kurang. Pada kenyataan di lapangan para balita sering mengkonsumsi makanan ringan yang kaya zat makanan tambahan kimiawi dan pengawet seperti snack dan permen serta mie instant. Penjabarannya akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini.

Seperti yang telah diulas pada bagian awal bab ini bahwa di wilayah Sasak pesisir jumlah anak di setiap rumah tangga cenderung lebih banyak dibandingkan dengan di persawahan (lihat kembali pada tabel 25). Di persawahan papu‟ dianggap sebagai pihak yang paling kompeten bagi ibu untuk mengurusi cucunya yang masih balita saat ibu sedang bekerja, maupun bepergian untuk hal tertentu di rumah. Di rumah tangga persawahan non nuclear sebanyak 73 persen ibu akan mempercayakan papu‟ untuk mengurusi anaknya saat bekerja sebagai akibat dari perceraian, atau pada banyak kasus setelah menikah lagi dan suami baru ibu tersebut tidak menghendaki anak pada pernikahan sebelumnya hidup bersama, maka balita dititipkan kepada papu‟nya. Namun, papu‟ sendiri adalah perempuan yang telah lanjut usia, sehingga pengasuhan anak menjadi tidak maksimal.

Tabel 28. Anggota Keluarga yang Dipercaya untuk Memberi MP-ASI Balita berdasarkan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012

Orang yang dipercaya untuk memberikan MP ASI pada balita dengan Status Gizi Balita buruk/kurang Komunitas Total Pesisir Sawah Nuclear Non

Nuclear Nuclear Non Nuclear

n % n % n % n % n %

Nenek dari ibu

/ Ayah 10 48 7 78 6 54 14 73 37 61

Ayah/

Lainnya 11 52 2 22 5 46 5 27 23 39

Total 21 100 9 100 11 100 19 100 60 100

Dilihat dari kacamata teori Steward, maka pengaturan pengasuhan balita di pesisir dengan menyerahkan tugas pola asuh kepada kakak balita dan di persawahan tugas pola pengasuhan diserahkan kepada papu‟ merupakan refleksi atau pencerminan dari unsur inti budaya Steward yakni aktivitas subsistensi dan pengaturan ekonomi rumah tangga.

114